Kajian Faktor Reduksi U (Shear Lag Factor) Pada Komponen Struktur yang Memikul Gaya Aksial ” (Studi Literatur)

(1)

KAJIAN FAKTOR REDUKSI U (SHEAR LAG FACTOR) PADA

KOMPONEN STRUKTUR YANG MEMIKUL GAYA AKSIAL

(Studi Literatur)

TUGAS AKHIR

040404048

RANGGA PUTRA ANGKOLA SIAGIAN

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK USU

2010


(2)

ABSTRAK

Batang-batang struktur baik kolom maupun balok harus memiliki kekuatan, kekakuan dan ketahanan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama umur layanan struktur tersebut. Dalam mendesain batang tarik yaitu balok baja harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang diperlukan untuk menanggung beban layanan, yaitu balok harus memiliki kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan kekuatan (understrength). Kelebihan beban dapat terjadi akibat perubahan fungsi balok, terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan yang berlebihan dalam analisis strukturnya, dan akibat variasi-variasi dalam prosedur konstruksinya.

Kajian faktor reduksi U (Shear Lag Factor) yang dilakukan pada tugas akhir ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar nilainya berpengaruh terhadap perencanaan kuat tarik rencana pada struktur baja sederhana yang mengalami gaya tarik aksial. Kemudian dianalisa perbandingan perhitungan menggunakan rumusan faktor U yang telah ditetapkan pada peraturan SNI 03-1729-2002 dengan perhitungan menggunakan rumusan faktor UL yang merupakan hasil analisa dari Howard I. Epstein dan Christopher L. D Auito yang dinilai lebih konservatif.

Dari hasil analisa yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan faktor U dengan nilai yang ditetapkan sebesar ≤ 0,9 pada komponen struktur yang disambung dengan baut dan mengalami gaya tarik aksial dapat digunakan dalam perhitungan untuk semua jenis profil seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan yang kita gunakan saat ini. Sementara untuk jenis profil lain selain profil T seperti profil IWF, Siku dan Profil C (Kanal) yang diujicobakan

menggunakan rumusan UL ternyata menghasilkan nilai yang lebih besar daripada


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. Tugas akhir ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam ujian Sarjana Teknik Sipil Bidang studi Struktur pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah : “ Kajian Faktor Reduksi U (Shear Lag Factor) Pada Komponen Struktur yang Memikul Gaya Aksial ” (Studi Literatur). Penulis berusaha menyelesaikan tulisan ini sebaik mungkin, namun penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangannya. Keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pengalaman merupakan penyebab dari ketidaksempurnaan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu penulis, mengharapkan kritik dan saran dari Bapak dan Ibu dosen serta rekan-rekan Mahasiswa.

Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan untuk terselesainya tugas akhir ini kepada :

1. Bapak Ir. Robert Panjaitan, sebagai pembimbing tugas akhir. 2. Bapak dosen penguji tugas akhir.

3. Bapak Prof. DR. Ing. Johannes Tarigan, sebagai Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, sebagai Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Ir. Sanci Barus,MT, sebagai Koordinator sub jurusan Struktur Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(4)

6. Bapak dan Ibu Staf Dosen dan Pengajar di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak, Ibu, Abang dan Kakak pegawai Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (Kak Lince, Kak Dina, Bang Zul, Bang Edi dan Bang Amin).

8. Kepada keluarga besarku, kedua orangtuaku, Ayahanda Suharjo Siagian dan Ibunda Edip Hanum, yang selama ini selalu berusaha memberikan segala yang terbaik kepada anak-anaknya sehingga bisa seperti sekarang ini, kakakku Ermi Arlini Siagian dan adik-adikku Muhammad Armado Siagian dan Pagar Alam Siagian terima kasih untuk perhatian, nasehat, semangat, bantuan, dan dorongan serta kesabaran yang telah diberikan.

9. Rekan-rekan seperjuanganku di Stambuk 2004 Teknik Sipil, Dzi, Salma, Freedi, Aswin, Dini, Andi, Gafur, Erwin, Joko, Amex, Acha, Erick, Joko S, Budiman, Emir, Ical, Pepeng, Mario, Rizal, Rinal, Royhan, Roy, Ela, Oki, Topan, Dody dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Abang-abang stambuk 2003 dan adik-adik stambuk 2005, 2006, 2007 ,2008 dan 2009. Pengurus IMS FT USU terutama adinda Joseph yang telah banyak membantu menyelesaikan persoalan di kampus, terima kasih atas support dan do’anya sehingga dapat menyelesaikan semua ini dengan baik. Teman-teman seperjuangan di HMI Komisariat FT USU, Iskandar, Ronny, Varo, Windi, Zuna, Asrul, Rio yang sama-sama berjuang di kala susah maupun senang. Adik-adikku tercinta Rora, Ratih, Andi, Mora, Yuda, Habibi, Fandi, Asrul, Haikal, Asril, Bayu, Budi, Rina, Toni, Vina, Irsyad, Ikhwan, Andika, Armi, Ari, Robi, Galih, Syafi’i, Riza, Trisnal, Andre, Hadi, Marlin serta adik-adik stambuk 2005 hingga 2009 yang lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga


(5)

perjuangan kita tetap berlanjut dan masa depan yang cerah menjadi tujuan akhir hidup kita. Teman-teman di kepengurusan HMI Cabang Medan, Kakanda senioran Bang Khalid, Bang Riki, Bang Bayu, Kak Qotul, Kak Ria, Bang Aidil, Bang Iwan, Kak Desi, Bang Hafis yang telah bersama-sama mewujudkan jannah di dunia beserta dengan warga lainnya yang tidak dapat diungkap satu-persatu. Akhir kata penulis mengharapkan semoga tugas akhir ini dapat berguna bagi kita semua. Amin.

Medan, Desember 2010 Hormat Saya,

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……… ….. i

KATA PENGANTAR ……….. ….. ii

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR NOTASI ………. viii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ……….. xii

BAB I : PENDAHULUAN ………. 1

I.1 Latar Belakang ……… 1

I.2 Permasalahan ……….. 3

I.3 Manfaat dan Tujuan ……… 6

I.4 Pembatasan Masalah ……… 7

I.5 Metodologi ……….. 8

I.6 Sistematika Penulisan ………... 8

BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN ……….. 9

II. 1 PENGENALAN DESAIN STRUKTUR BAJA ………... 9

II. 1. 1 Desain Konstruksi ………. 9

II. 1. 2 Kerangka Perencanaan Struktur ... 10

II. 1. 3 Keunggulan Baja Sebagai Material Konstruksi ………. 10

1.3.1 Kekuatan tinggi (High Strength) ………... 10

1.3.2 Keseragaman (Uniformity) ……… 11

1.3.3 Elastisitas (Elasticity) ……… 11

1.3.4 Daktilitas (Ductility) ……….. 11

1.3.5 Kuat Patah/Rekah (Fracture Toughness) ……….. 12

II. 1. 4 Kelemahan Baja Sebagai Material Konstruksi ……….. 12

1.4.1 Biaya Perawatan (Maintenance Cost) ……… 12

1.4.2 Biaya Penahan Api (Fire Proofing Cost) ………... 12

1.4.3 Kelelahan (Fatigue) ……… 12


(7)

II. 1. 5 Sifat-Sifat Mekanis Baja Struktural ………... 13

1.5.1 Tegangan Leleh (Yielding Stress) ……….. 13

1.5.2 Tegangan Putus (Ultimate Stress) ……….. 13

1.5.3 Sifat-Sifat Mekanis Lainnya ……….. 14

II. 1. 6 Jenis-Jenis Baja Struktural yang Umum Digunakan ……….. 14

1.6.1 Profil Baja Giling (Rolled Steel Shapes) ……… 14

1.6.2 Profil Baja yang Dibentuk Dalam Keadaan Dingin ……… 15

II. 1. 7 Hubungan Antara Tegangan dan Regangan pada Konstruksi Baja ………. 16

II. 1. 8 Metode ASD (Allowable Stress Design) ………... 18

II. 1. 9 Metode LRFD (Load Resistance Factor Design) ……….. 19

II. 1. 10 Hubungan Metode ASD dan LRFD ……….. 21

II. 2 KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA AKSIAL ... 22

II. 2. 1 Kuat Tarik Rencana ……… 22

II. 2. 2 Komponen Struktur Tarik ……….. 23

II. 2. 3 Luas Penampang Efektif ( Effective Area) ……… 24

II. 3 SAMBUNGAN BAJA ... 24

II. 3. 1 Klasifikasi Sambungan ... 24

3.1.1 Sambungan Kaku ... 24

3.1.2 Sambungan Semi Kaku ... 25

3.1.3 Sambungan Sendi ... 26

II. 3. 2 Jenis alat penyambung ………. 26

3.2.1 Baut (Bolt) ………. 26

3.2.2 Las ………. 35

II. 3. 3 Perencanaan Sambungan ... 43

II. 4 PERKEMBANGAN METODE ANALISA SAMBUNGAN BAJA ... 44


(8)

BAB III : PEMBAHASAN MASALAH ………. 47

III. 1 DESAIN KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA TARIK AKSIAL ………. 47

III. 1. 1 Konsep dasar ……….. 47

1.1.1 Tegangan ……….. 47

1.1.2 Pembebanan ………. 48

1.1.3 Tahanan Nominal/Kuat tarik rencana ……….. 49

1.1.3.a Kondisi leleh dari luas penampang kotor ………. 50

1.1.3.b Kondisi fraktur dari luas penampang Efektif pada sambungan …………...……… 50

1.1.4 Luas Neto (Net Area) ………... 51

1.1.4.a Luas Neto akibat Lubang Selang-seling ... 52

1.1.5 Luas Neto Efektif (Nett Effective Area) ………. 55

1.1.6 Luas Netto Efektif (Nett Effective Area) pada sambungan las ... 58

1.1.7 Geser Eksentris ... 64

III. 2 FAKTOR REDUKSI U (SHEAR LAG FACTOR) ... 65

III. 2. 1 Penelitian fenomena kelambanan sesar (Shear Lag) yang menyebabkan adanya faktor reduksi U ... 67

III. 2. 2 Pembatasan pada penelitian fenomena kelambanan sesar (shear lag)……….. 70

III. 3 FENOMENA BLOK GESER (SHEAR BLOCK) ……….. 77

III. 4 EFEK MOMEN PADA BATANG TARIK PROFIL T-BEAM ……….. 80

BAB IV : APLIKASI ……….. 91

IV. 1 PROFIL BAJA YANG DIGUNAKAN ………... 91

IV. 2 ALAT PENYAMBUNG YANG DIGUNAKAN ………. 92

IV. 3 PEMODELAN STRUKTUR ……….. 93

IV. 4 PERBANDINGAN RUMUS PERHITUNGAN YANG DIGUNAKAN ………... 94


(9)

IV.5. 1 APLIKASI PERHITUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN

BERBAGAI JENIS PROFIL BAJA ……… 128

IV. 5. 1. 1 PROFIL BAJA IWF ……… 128

IV. 5. 1. 2 PROFIL BAJA SIKU ……….. 140

IV. 5. 1. 3 PROFIL BAJA C (KANAL)……… 152

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………... 164

V. 1 KESIMPULAN ………... 164

V. 2 SARAN ……….. 166


(10)

DAFTAR NOTASI Ae = luas neto efektif

Ag= luas penampang efektif neto

Agv = luas penampang bruto yang berhubungan dengan geser

Agt = luas penampang bruto yang berhubungan dengan tarik

Anv = luas neto penampang yang berhubungan dengan geser

Ant = luas neto penampang yang berhubungan dengan tarik

An = luas neto penampang

U = faktor reduksi (Shear Lag Factor)

UL = faktor reduksi (Shear Lag Factor) hasil analisa pada profil T beam

= jarak dari titik berat panampang yang tersambung secara eksentris ke bidang pemindahan beban.

l = panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua buah baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las dalam arah gaya tarik.

Ω = Faktor resistensi / tahanan pada ASD

Rn = Tegangan nominal bahan (kg/cm2)

Ø = Faktor resistensi / tahanan

fn = Kekuatan nominal bahan MPa / (kg/cm2)


(11)

fu = tegangan tarik putus, MPa / (kg/cm2)

Pa = kekuatan yang didapatkan dengan metode LRFD. (N)

Pb = kekuatan yang didapatkan dengan metode ASD (N)

F = faktor geser permukaan Φ = faktor keamanan = 1,4

N0= pembebanan tarik awal (proof load)

n = jumlah bidang geser

T = gaya aksial tarik yang bekerja pada sambungan baut

D = beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen termasuk dinding lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga dan peralatan layan tetap.

L = beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperit angin, hujan dan lain-lain.

La = beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja, peralatan, dan material atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak.

H = beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air.

W = beban angin

E = beban gempa, yang ditentukan menurut SNNI 03-1726-1989, atau penggantinya.

E = modulus elastisitas,


(12)

L = panjang keseluruhan dari penampang.

G = modulus geser penampang,

H = panjang profil arah vertical/tinggi profil,

tw = ketebalan dari penampang profil,

Kθ = perputaran kekakuan dari sambungan,

Nu = gaya aksial terfaktor,

Mu = momen lentur nominal penampang komponen struktur,

Øb= faktor reduksi kekuatan untuk komponen struktur lentur = 0,90 dan ini berlaku apabila merupakan sambungan gaya tarik dan tidak ditemukan ketidakstabilan lateral.

Øt = faktor reduksi kekuatan untuk komponen struktur tarik = 0,75 (butir 10.1.1-2.b SNI 03-1729-2002).

Z = modulus penampang plastis

Mp = Kapasitas momen dalam keadaan plastis


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Faktor penentu nilai tahanan nominal

komponen struktur tarik ……… 2

Gambar 1.2 Penentuan letak nilai x ……….. 4

Gambar 1.3 Blok Geser ………. 5

Gambar 2.1 Profil baja giling ……….. 15

Gambar 2.2 Profil yang dibentuk dalam keadaan dingin ……… 15

Gambar 2.3 Grafik hubungan tegangan-regangan ……… 16

Gambar 2.4 Grafik hubungan tegangan-regangan yang telah dinormalisasi ……….. 18

Gambar 2.5 Sambungan kaku……… 25

Gambar 2.6 Sambungan semi kaku……… 25

Gambar 2.7 Sambungan sendi ………... 26

Gambar 2. 8 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh panjang ulir di dalam elemen pelat ………. 31

Gambar 2. 9 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh putaran kunci ………. 32

Gambar 2. 10 Hubungan Tegangan vs Perpanjangan A490 bolt & A325 bolt ... 32

Gambar 2. 11 Tipe-tipe las ... 37

Gambar 2. 12 Tipe-tipe las Groove ………. 38

Gambar 2. 13 Penggunaan las Groove pada sambungan T ... 38

Gambar 2.14 Kegunaan tipikal las fillet ... 39

Gambar 2.15 Lasslot dan las plug dengan kombinasi las fillet ... 40

Gambar 2.16 Tebal las ………. 40

Gambar 2.16 Gaya P yang membentuk sudut α terhadap bidang retak las ……… 41

Gambar 2.16 Gaya P izin yang dapat dipikul beberapa jenis sambungan las …… 43

Gambar 3.1 Contoh komponen struktur tarik ... 47

Gambar 3.2 Distribusi tegangan akibat adanya lubang pada penampang ... 51

Gambar 3.3 lubang baut pada pelat ... 52

Gambar 3.4 Lubang selang-seling ………... 53

Gambar 3.5 Profil siku dengan lubang pada kedua kaki ... 54


(14)

Gambar 3.7 Sambungan las ……… 58

Gambar 3.8 Sambungan las pada dua sisi ……….. 58

Gambar 3.9 Contoh sambungan geser eksentris …...……….. 64

Gambar 3.10 Kombinasi Momen dan Geser ………64

Gambar 3.11 Sambungan antara rangka baja dan plat buhul (Gusset Plate)... 65

Gambar 3.12 Distribusi tekanan memanjang normal pada penampang…………. 66

Gambar 3.13 Definisi dari aspek rasio ………... 71

Gambar 3.14 Gambaran dari profil baja yang menggunakan aspek rasio ……… 73

Gambar 3.15 Tipikal mekanisme keruntuhan blok geser ……… 77

Gambar 3.16 Cara menentukan keruntuhan blok geser pada profil T-beam…….. 81

Gambar 3.17 Momen pada batang tarik yang dibebankan secara eksentris ……... 83

Gambar 3.18 Bentuk perlawanan Momen yang disederhanakan ……… 84

Gambar 3.19 Perpindahan Elastis ……….. 84

Gambar 3.20 Penyebaran gaya tarik geser pada sambungan dan pola lengkungannya ……….. 86

Gambar 3.21 Perbandingan cara analitis dan metode elemen hingga pada reaksi non-dimensional versus panjang sambungan non-dimensional……. 87

Gambar 4.1 Profil T-Beam……….. 91

Gambar 4.2 Tampak depan Profil T-Beam yang disambung dengan baut... 93

Gambar 4.3 Tampak samping Profil T-Beam yang disambung dengan baut ... 93

Gambar 4.4 Spesifikasi Profil T 400 x 200 ... 97

Gambar 4.5 Spesifikasi Profil T 300 x 200 ...107

Gambar 4.6 Spesifikasi Profil T 200 x 200 ... 118

Gambar 4.7 Spesifikasi Profil IWF 400 x 400... 129

Gambar 4.8 Spesifikasi Profil Siku 100x100x10.... 141


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat mekanis baja struktural ………. 13

Tabel 2.2 Sifat-sifat baja ……… 27

Tabel 2.3 Harga faktor geser permukaan ……….. 34

Tabel 2.4 Analisa kimia ideal dari baja karbon untuk kemampuan dilas yang baik ……… 36

Tabel 2.5 Harga c untuk beberapa α ………. 42

Tabel 3.1 Faktor Reduksi U untuk sambungan pada batang tarik ……… 57

Tabel 3.2 Bentuk-bentuk profil baja yang diujicoba ……….. 74

Tabel 3.3 Aspek Rasio pada profil baja yang diujicoba ……… 75

Tabel 3.4 Dimensi profil baja yang diujicoba ……… 76

Tabel 4.1 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi... 91

Tabel 4.2 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil T 400 x 200 ... 107

Tabel 4.3Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil T 300 x 200... 117

Tabel 4.4 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil T 200 x 200 ... 127

Tabel 4.5 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi...128

Tabel 4.6 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil IWF 400 x 400 ... 139

Tabel 4.7 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi...140

Tabel 4.8 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil Siku 100 x 100 x 10 ... 151

Tabel 4.9 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi...152

Tabel 4.10 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil C 200 x 70 x 7 x 10 ... 163


(16)

ABSTRAK

Batang-batang struktur baik kolom maupun balok harus memiliki kekuatan, kekakuan dan ketahanan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama umur layanan struktur tersebut. Dalam mendesain batang tarik yaitu balok baja harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang diperlukan untuk menanggung beban layanan, yaitu balok harus memiliki kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan kekuatan (understrength). Kelebihan beban dapat terjadi akibat perubahan fungsi balok, terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan yang berlebihan dalam analisis strukturnya, dan akibat variasi-variasi dalam prosedur konstruksinya.

Kajian faktor reduksi U (Shear Lag Factor) yang dilakukan pada tugas akhir ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar nilainya berpengaruh terhadap perencanaan kuat tarik rencana pada struktur baja sederhana yang mengalami gaya tarik aksial. Kemudian dianalisa perbandingan perhitungan menggunakan rumusan faktor U yang telah ditetapkan pada peraturan SNI 03-1729-2002 dengan perhitungan menggunakan rumusan faktor UL yang merupakan hasil analisa dari Howard I. Epstein dan Christopher L. D Auito yang dinilai lebih konservatif.

Dari hasil analisa yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan faktor U dengan nilai yang ditetapkan sebesar ≤ 0,9 pada komponen struktur yang disambung dengan baut dan mengalami gaya tarik aksial dapat digunakan dalam perhitungan untuk semua jenis profil seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan yang kita gunakan saat ini. Sementara untuk jenis profil lain selain profil T seperti profil IWF, Siku dan Profil C (Kanal) yang diujicobakan

menggunakan rumusan UL ternyata menghasilkan nilai yang lebih besar daripada


(17)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1 LATAR BELAKANG

Batang-batang struktur baik kolom maupun balok harus memiliki kekuatan, kekakuan dan ketahanan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama umur layanan struktur tersebut. Dalam mendesain batang tarik yaitu balok baja harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang diperlukan untuk menanggung beban layanan, yaitu balok harus memiliki kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan kekuatan (understrength). Kelebihan beban dapat terjadi akibat perubahan fungsi balok, terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan yang berlebihan dalam analisis strukturnya, dan akibat variasi-variasi dalam prosedur konstruksinya.

Dalam merencanakan suatu struktur baja untuk bangunan gedung, SNI 03-1729-2002 telah menjadi standar Indonesia dalam perencanaan saat ini. Dalam perencanaan struktur baja, ada tiga cara yang dapat digunakan.

1. Metode elastis (ASD = Allowable Stress Design) 2. Metode plastis (PD = Plastic Design)

3. Metode LRFD (Load and Resistance Factor Design)

Di Indonesia, kebanyakan desain masih dilakukan dengan desain tegangan ijin menurut metode ASD (Allowable Stress Design). Metode ASD menitik beratkan pada beban layanan (beban kerja) dan tegangan yang dihitung secara elastis dengan cara membandingkan tegangan terhadap harga batas yang diizinkan.


(18)

Peraturan SNI 03-1729-2002 yang kita gunakan, yang sebelumnya menggunakan desain tegangan izin seperti metode ASD pada Peraturan Pembebanan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI 1983) terlihat memperbaharui metodenya dengan mengacu pada LRFD. Komponen struktur dengan rangka dua dimensi dan tiga dimensi hampir setengahnya merupakan komponen struktur tarik. Komponen struktur tarik juga dapat dilihat pada hubungan atau pada struktur yang tergantung. Komponen struktur tarik juga terlihat pada elemen pengaku yang menahan pengaruh gempa dan angin.

Komponen struktur tarik baja didesain dengan memperhitungkan kemungkinan model kegagalan yang terjadi serta menggunakan kriteria beban yang sesuai agar aman digunakan. Tahanan nominal komponen struktur tarik dapat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

(a) Leleh penampang pada daerah yang jauh dari hubungan (las)

(b) Fraktur pada penampang efektif neto pada lubang-lubang baut di hubungan (las)

(c) Keruntuhan blok geser (Shear Block) pada lubang-lubang baut di hubungan (las)

Gambar 1.1 Faktor penentu nilai tahanan nominal komponen struktur tarik

a b


(19)

I. 2 PERMASALAHAN

Untuk kasus (a) berlaku tahanan tarik nominal

di mana Fy adalah kuat leleh (MPa/(Kg/Cm2)) Agadalah luas penampang bruto (Cm2)

Untuk kasus (b) pada hubungan yang menggunakan baut maka senantiasa terjadi konsentrasi tegangan di sekitar lubang baut. Pada kasus (b) yang mana leleh terjadi secara lokal menyebabkan terjadinya fraktur pada luas penampang neto sehingga tahanan nominalnya adalah

di mana Fu adalah kuat tarik (MPa/(Kg/Cm2)) Ae adalah luas penampang efektif (Cm2)

Ae adalah luas penampang efektif yang diperoleh dengan sebelumya mengalikan luas neto penampang dengan faktor reduksi U akibat adanya eksentrisitas pada sambungan, sedemikian hingga didapat :

di mana Ae adalah luas penampang efektif (Cm2)

U adalah faktor reduksi (Shear Lag Factor) An adalah luas neto penampang (Cm2)

Koefisien reduksi U untuk hubungan yang menggunakan baut atau paku keling diperoleh dari persamaan berikut:

di mana adalah jarak dari titik berat panampang yang tersambung secara eksentris ke bidang pemindahan beban.

l adalah panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua buah baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las dalam arah gaya tarik.


(20)

Gambar 1.2Penentuan letak nilai x Untuk hubungan dengan las.

1. Bila komponen struktur tarik dilas kepada pelat menggunakan las longitudinal di kedua sisinya,

2. Bila komponen struktur tarik dihubungkan menggunakan las transversal saja,

3. Bila komponen struktur tarik dihubungkan kepada baja bukan pelat menggunakan las longitudinal/transversal.

Yang menjadi permasalahan pada tugas akhir ini adalah pada kasus (c) saat terjadinya suatu keruntuhan dimana mekanisme keruntuhannya merupakan kombinasi geser dan tarik, dan terjadi melewati lubang-lubang baut pada komponen struktur tarik dikenal dengan sebutan keruntuhan blok geser (Shear Block).


(21)

Keruntuhan jenis ini sering terjadi pada sambungan dengan baut terhadap pelat badan yang tipis pada komponen struktur tarik. Keruntuhan tersebut juga umum dijumpai pada sambungan pendek, yaitu sambungan yang menggunakan dua baut atau kurang pada garis searah dengan bekerjanya gaya.

Gambar 1.3 Blok Geser

Pengujian menunjukkan bahwa keruntuhan geser blok dapat dihitung dengan menjumlahkan tarik leleh (atau tarik fraktur) pada suatu irisan dengan tahanan geser fraktur (atau geser leleh) pada bidang lainnya yang saling tegak lurus. Tahanan tarik blok geser nominal ditentukan oleh persamaan berikut ini, dengan fraktur mendahului leleh atau rasio fraktur/leleh terbesar.

…………(a) Dimana (fraktur) ≥ (leleh)

………….(b) Dimana (leleh) > (fraktur)

Nilai Ø = 0.75

Agv adalah luas penampang yang berhubungan dengan geser Agt adalah luas penampang yang berhubungan dengan tarik Anv adalah luas neto penampang yang berhubungan dengan geser Ant adalah luas neto penampang yang berhubungan dengan tarik


(22)

Madugula dan Mohan (1999) memperlihatkan hasil percobaan yang dilakukan pada sudut sebuah batang tarik eksentris. Mereka memperlihatkan 13 kegagalan blok geser dari 61 sudut yang di uji coba. Mereka menyimpulkan bahwa kegagalan blok geser terjadi pada sudut batang tarik yang eksentris. Pada tahun 1990-1992 sebuah hasil penelitian dipublikasikan dari percobaan untuk sambungan baut dengan gaya tarik pada sudut struktural (Adidam,1990; Epstein and Adidam,1991; Eipstein, 1992). Mereka menyimpulkan bahwa faktor keamanan pada AISC ASD dan LRFD yang ada tidak cukup memadai untuk kegagalan blok geser pada struktur. Kemudian, dengan semakin bertambah luasnya daerah kaki sambungan, maka besarnya eksentrisitas akan bertambah dan mengurangi kekuatan dari komponen tersebut. Howard I. Epstein dan Christopher L. D Auito juga menawarkan sebuah persamaan analitis yang dapat digunakan dalam perhitungan komponen struktur baja yang mengalami gaya tarik aksial, dan dinilai lebih konservatif.

Dengan demikian, melalui tugas akhir ini dapat dilakukan kajian terhadap faktor reduksi U dengan memperhitungkan komponen komponen lainnya yang berperan dalam menghasilkan perhitungan blok geser yang dapat lebih efektif digunakan dalam perencanaan struktur baja terutama pada sambungan.

I. 3 MANFAAT DAN TUJUAN

Dalam tugas akhir ini, penulis bertujuan untuk melakukan kajian terhadap faktor reduksi U yang terdapat pada peraturan SNI 03-1729-2002 khususnya pada pembahasan komponen struktur yang mengalami gaya tarik aksial pada kondisi blok geser (Shear Block). Sehingga nantinya diharapkan mendapat kesimpulan perumusan perhitungan yang baru dan lebih efektif untuk digunakan


(23)

dalam perhitungan kuat tarik rencana pada komponen struktur yang mengalami kegagalan pada kondisi blok geser (Shear Block).

I. 4 PEMBATASAN MASALAH

Adapun pembatasan masalah yang diambil untuk pengerjaan tugas akhir ini adalah:

1. Kajian faktor U yang dilakukan adalah pada saat komponen struktur baja mengalami keadaan keruntuhan blok geser (Shear Block).

2. Menggunakan peraturan SNI 03-1729-2002 Tata cara perencanaan struktur baja untuk bangunan gedung dan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI) tahun 1983.

3. Perhitungan yang dilakukan menggunakan model struktur sebagai berikut:

4. Penampang adalah profil T-beam dengan perbandingan tertentu antara tinggi dan lebar profil dan tebal badan dan tebal sayap profil

5. Baut yang digunakan adalah baut mutu tinggi untuk sambungan pelat. 6. Analisa regangan tidak ditinjau

7. Pengaruh komposisi bahan, temperatur, kecepatan regang bahan dan residual stress tidak ditinjau


(24)

I. 5 METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penyelesaian tugas akhir ini adalah dengan studi literatur yang berasal dari berbagai sumber seperti buku, jurnal-jurnal ilmiah. Selain itu juga akan dilakukan perhitungan secara analitis.

I. 6 SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memberikan gambaran garis besar penulisan tugas akhir ini, maka isi dari tugas akhir ini dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, terdiri dari latar belakang, permasalahan, manfaat dan tujuan, metodologi penulisan dan sistermatika penulisan.

BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN, terdiri dari penjelasan umum mengenai struktur baja, komponen yang mengalami gaya tarik aksial, sambungan baja.

BAB III : PEMBAHASAN MASALAH, terdiri dari prinsip umum terjadinya shear block (blok geser), kajian mengenai faktor U beserta faktor-faktor yang mempengaruhi adanya nilai faktor-faktor U yang terdapat pada peraturan yang digunakan.

BAB IV : APLIKASI


(25)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN II. 1 PENGENALAN DESAIN STRUKTUR BAJA II. 1. 1 Desain Konstruksi

Desain konstruksi dapat didefenisikan sebagai kombinasi antara seni (artistik/keindahan) dan ilmu pengetahuan (science) yang menggabungkan

intuisi para ahli struktur mengenai prilaku struktur dengan pengetahuan prinsip-prinsip statika, dinamika, mekanika bahan dan analisis struktur untuk menghasilkan suatu struktur yang aman dan ekonomis serta memenuhi fungsi tertentu dan persyaratan estetika selama masa layannya. Metode perhitungan yang berdasarkan keilmuan harus menjadi pedoman dalam proses pengambilan keputusan. Kemampuan intuisi yang dirasionalkan oleh hasil-hasil perhitungan dapat menjadi dasar proses pengambilan keputusan yang baik.

Struktur optimum dicirikan sebagai berikut: a. Biaya minimum

b. Bobot minimum

c. Periode pekerjaan konstruksi minimum d. Kebutuhan tenaga kerja minimum e. Biaya manufaktur minimum

f. Manfaat maksimum pada saat layan

Untuk mencapai tujuan, diharapkan dalam menghasilkan sebuah struktur yang berkemampuan optimum seorang desainer/perancang struktur harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang:


(26)

1. Sifat-sifat fisis material. 2. Sifat-sifat mekanis material. 3. Analisa struktur.

4. Hubungan antara fungsi rancangan dan fungsi struktur.

II. 1. 2 Kerangka Perencanaan Struktur

Kerangka perencanaan struktur adalah proses penentuan jenis struktur dan pendimensian komponen struktur sedemikian hingga beban kerja dapat dipikul secara aman, dan perpindahan yang terjadi dapat ditolerir oleh syarat-syarat yang berlaku. Prosedur perencanaan struktur secara iterasi dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Perancangan, terdiri dari pemilihan tipe dan rancangan struktur sesuai fungsi dan kriteria keberhasilan yang optimum.

2. Penentuan besarnya beban-beban yang bekerja pada struktur.

3. Menentukan gaya-gaya dalam dan momen yang terjadi pada struktur.

4. Pemilihan komponen-komponen struktur beserta sambungannya yang memenuhi kriteria kekuatan, kekakuan, dan ekonomis.

5. Pemeriksaan ketahanan struktur akibat beban kerja. 6. Perbaikan akhir.

II. 1. 3 Keunggulan Baja Sebagai Material Konstruksi

1.3.1

Baja struktural umumnya mempunyai daya tarikan (tensile strength) antara 400 s/d 900 MPa. Hal ini sangat berguna untuk dipakai pada jembatan berbentang panjang, bangunan tinggi, dan struktur tanah lunak. Sedangkan pada beton, selain kekuatannya lebih kecil juga sebagian besar beban yang


(27)

dipikulnya berasal dari berat sendirinya. Struktur kayu sebenarnya juga cukup ringan, namun kelemahannya terletak pada kekuatan dan keawetannya.

1.3.2

Sifat-sifat baja tidak berubah karena waktu, berbeda dengan beton dan kayu yang tergantung waktu. Hampir seluruh bagian baja memiliki sifat-sifat yang sama sehingga cukup menjamin kekuatannya. Pada beton dapat terjadi perbedaan sifat pada bagian yang berbeda meskipun waktu pembuatan dan mutu betonnya sama. Begitu pula dengan kayu yang ditandai dengan adanya mata kayu dan ketidakseragaman dimensi penampang.

Keseragaman (Uniformity)

1.3.3

Baja mendekati perilaku seperti asumsi yang dibuat dalam perencanaan, karena mengikuti hukum Hooke, walaupun telah mencapai tegangan yang cukup tinggi. Modulus elastisitasnya sama untuk tarik dan tekan. Pada beton, tegangan tarik, tekan, dan modulus elastisitasnya berbeda. Demikian juga pada kayu, dibedakan tegangan searah serat dengan tegak lurus serat.

Elastisitas (Elasticity)

1.3.4

Daktilitas adalah kemampuan struktur atau komponennya untuk melakukan deformasi inelastik bolak-balik berulang diluar batas titik leleh pertama, sambil mempertahankan sejumlah besar kemampuan daya dukung bebannya. Manfaat daktilitas ini bagi kinerja struktural adalah pada saat baja mengalami pembebanan yang melebihi kekuatannya, baja tidak langsung hancur tetapi akan meregang sampai batas daktilitasnya sebelum runtuh. Demikian juga pada beban siklik, daktilitas yang tinggi ini menyebabkan baja dapat menyerap energi yang besar.


(28)

1.3.5

Baja adalah material yang sangat ulet sehingga dapat memikul pembebanan yang berulang-ulang. Komponen struktur baja yang dibebani sampai mengalami deformasi besar, masih mampu menahan gaya-gaya yang cukup besar tanpa mengalami fraktur. Keuletan ini dibutuhkan jika terjadi konsentrasi tegangan walaupun tegangan yang masih di bawah batas yang diizinkan. Pada bahan yang tidak mempunyai keuletan, keruntuhan dapat terjadi pada tegangan yang rendah dan akan bersifat getas (keruntuhan secara langsung).

Kuat Patah/Rekah (Fracture Toughness)

II. 1. 4 Kelemahan Baja Sebagai Material Konstruksi

1.4.1

Baja bisa berkarat karena berhubungan dengan air dan udara. Oleh sebab itu, baja harus dicat secara berkala.

Biaya Perawatan (Maintenance Cost)

1.4.2

Kekuatan baja berkurang drastis pada temperatur tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, baja struktural harus dilindungi dengan bahan insulasi/penahan panas.

Biaya Penahan Api (Fire Proofing Cost)

1.4.3

Kelelahan pada baja tidak selalu dimulai dengan yielding (leleh) atau deformasi yang sangat besar, tetapi dapat juga disebabkan beban siklik ataupun pembebanan yang berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Kejadian ini sering terjadi pada struktur yang berbentuk jembatan, dikarenakan adanya pembebanan berulang melalui lalu lintas harian rata-rata yang melewati jembatan tersebut.


(29)

1.4.4

Struktur baja ada kalanya tiba-tiba runtuh tanpa menunjukkan tanda-tanda deformasi yang membesar. Kegagalan ini sangat berbahaya dan harus dihindari. Berbeda dengan kelelahan, rekah kerapuhan disebabkan oleh beban statik.

Rekah Kerapuhan (Brittle Fracture)

II. 1. 5 Sifat-Sifat Mekanis Baja Struktural

Menurut SNI 03-1729-2002, sifat mekanis baja struktural yang digunakan dalam perencanaan harus memenuhi persyaratan minimum yang diberikan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Sifat mekanis baja struktural Jenis

Baja

Tegangan Putus Minimum, fu (MPa)

Tegangan Leleh Minimum, fy (MPa)

Peregangan Minimum (%) BJ 34 BJ 37 BJ 41 BJ 50 BJ 55 340 370 410 500 550 210 240 250 290 410 22 20 18 16 13 1.5.1

Tegangan leleh untuk perencanaan (fy) tidak boleh diambil melebihi nilai yang diberikan pada tabel 1.1.

Tegangan Leleh (Yielding Stress)

1.5.2

Tegangan putus untuk perencanaan (fu) tidak boleh diambil melebihi nilai yang diberikan pada tabel 1.1.


(30)

1.5.3

 Modulus Elastisitas : E = 200.000 MPa Sifat-Sifat Mekanis Lainnya

Sifat-sifat mekanis lain baja struktural untuk maksud perencanaan ditetapkan sebagai berikut:

 Modulus Geser : G = 80.000 MPa

 Angka Poisson : μ = 0,3

 Koefisien Pemuaian : α = 12 x 10-6

/ 0C

II. 1. 6 Jenis-Jenis Baja Struktural yang Umum Digunakan

Fungsi struktur merupakan faktor utama dalam menentukan konfigurasi struktur. Berdasarkan konfigurasi struktur dan beban rencana, setiap elemen atau komponen dipilih untuk menyanggah dan menyalurkan beban pada keseluruhan struktur dengan baik. Adapun jenis-jenis baja struktural yang umum digunakan adalah profil baja giling (rolled steel shapes) dan profil baja yang dibentuk dalam keadaan dingin (cold formed steel shapes).

1.6.1 Profil Baja Giling (Rolled Steel Shapes)

Baja struktural dapat dibuat dalam berbagai ukuran dan bentuk tanpa merubah sifat-sifat fisisnya. Profil baja giling dibentuk dengan cara blok-blok baja yang panas diproses melalui rol-rol dalam pabrik. Profil baja giling ini mengandung tegangan residu (residual stress) yaitu tegangan yang timbul sebagai akibat proses pendinginan baja. Jadi, sebelum batang dibebani sudah ada residual stress yang berasal dari pabrik. Bentuk tipikal dari profil baja giling dapat ditunjukkan pada gambar 3.1.


(31)

(b) Profil Z

(a) Kanal C (c) Kanal ganda berbentuk I

(d) Profil Siku (e) Penampang topi

Gambar 2.1 Profil baja giling 1.6.2

Selain profil baja giling, ada juga penampang baja yang dibentuk dari baja lembaran tipis yang dinamakan profil baja yang dibentuk dalam keadaan dingin (cold formed steel shapes). Profil semacam ini dibentuk dari pelat-pelat yang sudah jadi menjadi profil baja dalam temperatur atmosfir (dalam keadaan dingin). Bentuk tipikal profil baja yang dibentuk dalam keadaan dingin dapat ditunjukkan pada gambar 3.2.

Profil Baja yang Dibentuk Dalam Keadaan Dingin

Gambar 2.2 Profil yang dibentuk dalam keadaan dingin

(e) Profil T (d) Profil siku

(a) Profil sayap lebar (b) Balok standar Amerika (c) Profil kanal


(32)

F

II. 1. 7 Hubungan Antara Tegangan dan Regangan pada Konstruksi Baja

Dalam peraturan AISC 2005, perhitungan rumus kekuatan nominal (RN) menggunakan tegangan leleh (fy) maupun tegangan ultimate (fu),

pemilihan tegangan baik itu fu maupun fy didasarkan atas kemampuan struktur mempertahankan stabilitasnya setelah beban maximum diberikan. Oleh sebab itu sebaiknya terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang pengertian tegangan ultimate dan tegangan luluh berdasarkan grafik hubungan tegangan-regangan sebagai berikut:

Gambar 2.3 Grafik hubungan tegangan-regangan

Grafik diatas menunjukkan hasil pengukuran hubungan tegangan-regangan dalam percobaan tarik baja. Tipikal grafik seperti diatas hanya dapat dijumpai pada percobaan tarik baja lunak (mild).

Benda uji baja diberikan beban tarik sehingga tegangan baja meningkat dari titik O sampai ke titik A. Ordinat titik A disebut tegangan proposional (fp). Hubungan tegangan-regangan dari titik awal sampai ke titik

A masih linear. Daerah antara titik O dan A disebut juga daerah elastis yang artinya jika suatu bahan baja mengalami tegangan tidak melewati titik A dan


(33)

apabila beban dilepaskan, maka baja masih dapat kembali ke bentuk atau panjang semula.

Ketika beban diperbesar sehingga tegangan baja sampai ke titik B, maka hubungan tegangan-regangan tidak linear lagi. Titik B merupakan titik leleh (fy) dari baja yang ditandai dengan tegangan yang relatif tidak naik dan regangan yang meningkat. Daerah antara titik A ke C merupakan daerah plastis, dimana jika suatu batang baja mengalami tegangan sampai melewati titik A (masuk ke daerah A-C) dan beban dilepaskan, maka baja tidak akan kembali ke panjang semula. Dengan demikian terdapat regangan residu yang disebabkan karena inelastis dari bahan tersebut.

Apabila beban diperbesar lagi maka yang terjadi adalah regangan akan terus meningkat tanpa disertai tegangan sampai ke titik C, yang disebut titik pengerasan regangan. Pada titik C, terdapat kenaikan tegangan yang disebabkan karena regangan bahan sudah hampir mencapai maximum. Bahan masih mampu menahan tegangan tambahan sampai ke titik D yang disebut tegangan ultimate (fu). Daerah antara titik C ke D merupakan daerah strain hardening yang ditandai dengan peningkatan tegangan dan regangan setelah melewati batas plastis.

Jika beban ditambah sampai tegangan baja melewati tegangan ultimate, maka baja akan mengalami kegagalan putus leleh yang ditandai dengan penurunan tegangan dan regangan yang terus bertambah sampai benda uji putus.


(34)

Gambar 2.4 Grafik hubungan tegangan-regangan yang telah dinormalisasi Grafik gambar 2.3 dapat dinormalisasi menjadi seperti pada gambar 2.4. Tegangan leleh berada pada titik A dan daerah antara titik O dan titik A adalah daerah elastis sedangkan daerah antara titik A dan B adalah daerah plastis.

II. 1. 8 Metode ASD (Allowable Stress Design)

Metode ASD (Allowable Stress Design) merupakan metode yang paing konvensional yang digunakan dalam perencanaan konstruksi. Metode ini menggunakan beban servis (service load) sebagai beban yang harus dapat ditahan oleh material (bahan). Agar konstruksi aman maka harus direncanakan bentuk dan kekuatan bahan yang mampu menahan beban tersebut. Tegangan maksimum yang diizinkan terjadi pada suatu bahan pada saat beban servis bekerja harus lebih kecil atau sama dengan tegangan leleh (fy). Untuk memastikan bahwa tegangan yang terjadi tidak melebihi tegangan


(35)

leleh (fy) maka diberikan faktor keamanan terhadap tegangan izin maksimum yang boleh terjadi.

Besaran faktor keamanan yang diberikan lebih kurang sama dengan 1,5; sehingga boleh dipastikan bahwa kekuatan maksimum yang diizinkan terjadi adalah 2/3 fu yang berarti juga akan terletak pada daerah elastis. Perencanaan dengan memakai ASD akan memberikan penampang yang lebih konvensional.

II. 1. 9 Metode LRFD (Load Resistance Factor Design)

LRFD (Load Resistance Factor Design) adalah suatu metode perencanaan yang sekarang ini digunakan dalam peraturan konstruksi baja Amerika yang bernama AISC-LRFD. Peraturan kita yakni SNI, yang sebelumnya menggunakan desain tegangan ijin seperti pada metode ASD terlihat memperbaharui metodenya dengan mengacu kepada AISC-LRFD. Metode LRFD lebih mementingkan perilaku bahan atau penampang pada saat terjadinya keruntuhan. Seperti yang kita ketahui bahwa suatu bahan (khususnya baja) tidak akan segera runtuh ketika tegangan terjadi melebihi tegangan leleh (fy), namun akan terjadi regangan plastis pada bahan tersebut. Apabila regangan yang terjadi sudah sangat besar maka akan terjadi strain hardening yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tegangan sampai ke tegangan runtuh (fu) yang lebih sering disebut tegangan ultimate.

u

f

n

f

Ω

u

f

f

dimana: fu = Tegangan yang dibutuhkan (MPa)

Ω = Faktor resistensi / tahanan


(36)

n

u

f

f

φ

Pada saat tegangan ultimate dilampaui maka akan terjadi keruntuhan bahan. Metode LRFD pada umumnya menggunakan perhitungan dengan menggunakan tegangan ultimate (fu) menjadi tegangan izin, namun tidak semua perhitungan menggunakan fu, ada juga yang masih menggunakan fy, terutama pada perhitungan kekuatan dimana deformasi yang besar akan mengakibatkan ketidakstabilan konstruksi.

Metode LRFD menggunakan beban terfaktor sebagai beban maksimum pada saat terjadi keruntuhan. Beban servis akan dikalikan dengan faktor amplikasi yang tentunya lebih besar dari 1 dan selanjutnya akan menjadi beban terfaktor. Selain itu kekuatan nominal (kekuatan yang dapat ditahan bahan) akan diberikan faktor resistansi juga sebagai faktor reduksi akibat dari ketidak sempurnanya pelaksanaan dilapangan maupun pabrik.

Besaran faktor resistansi berbeda-beda untuk setiap perhitungan kekuatan yang ditinjau, misalnya: untuk kekuatan tarik digunakan faktor 0,9 dan untuk kekuatan geser digunakan 0,75 dan lain sebagainya. Penentuan besaran faktor resistansi didapatkan dengan cara statistik baik yang didapatkan dari percobaan laboratorium maupun kejadian di lapangan. Dapat dilihat bahwa untuk penampang yang sama hasil kekuatan nominal yang didapatkan dengan metode LRFD akan lebih tinggi daripada yang dihasilkan dengan metode ASD.

dimana: fu = Tegangan yang dibutuhkan (MPa)

Ø = Faktor resistensi / tahanan


(37)

φ

3

2

1

=

y a

A f

P

=

φ

=

y b

A f

P

y

b

A f

P

=

2/3

a

b

P

P

=

2/3

II. 1. 10 Hubungan Metode ASD dan LRFD

Dalam buku peraturan AISC 2005 kedua metode menggunakan rumus yang sama namun faktor yang diberikan berbeda. Safety factor (faktor keamanan) untuk metode ASD diberi lambang Ω sedangkan Resistance factor (faktor resistansi) untuk metode LRFD diberi lambang Ø. Kesimpulan dapat ditarik dari peraturan AISC 2005 bahwa hubungan antara Ω dan Ø adalah sebagai berikut:

Dari hubungan diatas, terlihat bahwa perhitungan kekuatan nominal dengan metode ASD menggunakan tegangan yang lebih kecil, yaitu: berkisar 2/3 dari tegangan yang digunakan pada metode LRFD. Kekuatan nominal adalah kekuatan yang dimiliki bahan. Akibat dari penggunaan tegangan yang lebih kecil maka pada umumnya kekuatan nominal yang dihitung dengan metode ASD akan lebih kecil dibandingkan dengan metode LRFD. Hubungan ini dapat didefinisikan sebagai berikut:

karena 1/Ω = 2/3 Ø, maka:

(LRFD)

(ASD)

dimana: Pa = kekuatan yang didapatkan dengan metode LRFD. (N)

Pb = kekuatan yang didapatkan dengan metode ASD (N)

fy = tegangan leleh baja. (MPa) A = luas penampang (mm2)


(38)

A

P

f

f

A

P

f

a

=

a

atau

φ

y

A

P

f

f

A

P

f

b b y

=

atau

a b y b y b y a

f

f

f

f

f

f

f

f

3

2

3

2

=

=

=

=

φ

φ

Apabila hubungan diatas kita lihat dari sudut pandang tegangan yang terjadi (f) maka:

II. 2 KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA TARIK AKSIAL

II. 2. 1 Kuat Tarik Rencana

Komponen struktur yang memikul gaya aksial terfaktor Nu harus memenuhi:

Nu ≤ Ø Nn

dengan Ø Nnadalah kuat tarik rencana yang besarnya diambil sebagai nilai terendah di antara dua perhitungan menggunakan harga-harga Ø dan Nn

di bawah ini:

Ø = 0,9 Nn = Ag fy

dimana: fa = tegangan terjadi yang didapatkan dengan metode LRFD. (MPa)

fb = tegangan terjadi yang didapatkan dengan metode ASD. (MPa)

= tegangan izin (MPa)

P = gaya aksial yang diberikan. (N) A = luas penampang nominal. (mm2)

(LRFD)


(39)

Dan

Ø = 0,75 Nn = Ae fu

Keterangan:

Agadalah luas penampang bruto, mm2

Aeadalah luas penampang efektif, mm2

fy adalah tegangan leleh, MPa / (kg/cm2)

fu adalah tegangan tarik putus, MPa / (kg/cm2)

II. 2. 2 Komponen Struktur Tarik

Batang tarik dapat terbuat dari profil bulat ( 0 ), pelat ( ), siku ( ), dobel siku ( ), siku bintang ( ), kanal tunggal/dobel ( [ / ][ ), dan lain-lain.

Tahanan nominal komponen struktur tarik dapat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

(d)Leleh penampang pada daerah yang jauh dari hubungan (las).

(e) Fraktur pada penampang efektif neto pada lubang-lubang baut di hubungan (las).

(f) Keruntuhan blok geser (Shear Block) pada lubang-lubang baut di hubungan (las).

Adapun kriteria kelangsingan komponen struktur tarik, λ = L/r, dibatasi sebesar 240 untuk batang tarik utama, dan 300 untuk batang tarik sekunder. Ketentuan tersebut berlaku untuk struktur bulat.


(40)

II. 2. 3 Luas Penampang Efektif ( Effective Area)

Luas penampang efektif komponen struktur yang mengalami gaya tarik ditentukan sebagai berikut:

Ae = AU

Keterangan :

Aadalah luas penampang, mm2

Uadalah faktor reduksi dikenal juga dengan nama Shear Lag Factor

Dimana :

xadalah eksentrisitas sambungan, jarak tegak lurus arah gaya tarik, antara titik berat penampang komponen yang disambung dengan bidang sambungan, mm

l adalah panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las dalam arah gaya tarik, mm.

II. 3 SAMBUNGAN BAJA II. 3. 1 Klasifikasi Sambungan

3.1.1

Pada sambungan kaku, sambungan dianggap memiliki kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen struktur yang disambung. Deformasi titik kumpul harus sedemikian rupa sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap distribusi gaya maupun terhadap deformasi keseluruhan struktur.


(41)

Gambar 2.5 Sambungan kaku 3.1.2

Sambungan semi kaku tidak memiliki kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen struktur yang disambung, namun harus dianggap memiliki kapasitas yang cukup untuk memberikan kekangan yang dapat diukur terhadap perubahan sudut-sudut tersebut. Perhitungan kekakuan, penyebaran gaya, dan deformasinya harus menggunakan analisis mekanika yang hasilnya didukung oleh percobaan eksperimental.

Sambungan Semi Kaku


(42)

3.1.3

Sambungan sendi dianggap tidak ada momen pada kedua ujung yang disambung. Sambungan sendi harus dapat berubah bentuk agar memberikan rotasi yang diperlukan pada sambungan. Sambungan tidak boleh mengakibatkan momen lentur terhadap komponen struktur yang disambung. Detail sambungan harus mempunyai kemampuan rotasi yang cukup. Sambungan harus bisa memikul gaya reaksi yang bekerja pada eksentrisitas yang sesuai dengan detail sambungannya.

Sambungan Sendi

Gambar 2.7 Sambungan sendi II. 3. 2 Jenis alat penyambung

3.2.1 Baut (Bolt)

Baut merupakan elemen penyambung yang paling vital untuk diperhitungkan, hal ini dikarenakan baut merupakan alat sambung yang paling sering dan umum digunakan. Ada dua jenis utama baut kekuatan (mutu) tinggi yang ditunjukkan oleh ASTM sebagai A325 dan A490.


(43)

Sifat bahan dari baut ini diringkas dalam tabel 2.2. Baut jenis ini memiliki kepala segi enam yang tebal dan digunakan dengan mur segi enam yang setengah halus (semi finished), bagian berulirnya lebih pendek dari baut non struktural dan dapat dipotong atau digiling (rolled). Baut A325 terbuat dari baja karbon sedang yang diberi perlakuan panas dengan kekuatan leleh sekitar 81 sampai 92 ksi (558 sampai 634 Mpa) yang tergantung pada diameternya. Baut A490 juga diberi perlakuan panas tetapi terbuat dari baja paduan (alloy) dengan kekuatan leleh sekitar 115 sampai 130 ksi (793 sampai 896 Mpa) yang tergantung juga pada diameternya.

Baut A490 terkadang digunakan bila diameter yang diperlukan berkisar antara 1 ½ sampai 3 inchi dan juga untuk baut angkur serta batang bulat berulir.

Tabel 2.2 Sifat-sifat baja

Identifikasi ANSI / ASTM

Diameter Inchi (mm)

Beban leleh 1) Beban leleh 1)

Kekuatan Tarik Minimum Metode

Pengukuran Panjang 2)

Metode Kekuatan

Leleh 3) Ksi (MPa) Ksi

(MPa)

Ksi (MPa) A307 4), baja karbon rendah

Mutu A dan B

¼ s/d 4

(6,35 – 10,4) - - 60

A325 5), baja berkekuatan tinggi

Tipe 1, 2 dan 3

Tipe 1, 2 dan 3

½ s/d 1 (12,7 – 25,40)

1 1/8 s/d 1 ½ (28,6 – 38,1)

85 (585) 74 (510) 92 (635) 81 (560) 120 (825) 105 (725)


(44)

A449 6), baja berkekuatan tinggi

(catatan: pemakaiannya dibatasi oleh AISC hanya untuk baut yang lebih besar dari 1 ½ inchi sea untuk batang berulir dan baut angkur)

¼ s/d 1 (6,35 – 25,4) 1 1/8 s/d 1 ½ (28,6 – 38,1)

1 ¾ s/d 3 (6,35 – 76,2)

85 (585) 74 (510) 55 (380) 92 (635) 81 (560) 58 (400) 120 (825) 105 (725) 90 (620)

A449 6), baja paduan yang diberi perlakuan panas

½ s/d 1 ½ (12,7 – 38,1)

120 (825) 130 (895) 150 (1035) Sumber: Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid I, Edisi ke-3, Penerbit Erlangga.

1996

1) Beban leleh (prof load) dan beban tarik sesungguhnya yang diperoleh dengan mengalikan harga tegangan tertentu dan luas tegangan tarik As; As = 0,7584 [D – (0,9743/n)]2, dengan As = luas tegangan dalam inchi2, D = diameter baut nominal dalam inchi dan n = jumlah ulir per inchi. 2) Perpanjangan 0,5 % akibat beban.

3) Nilai pada regangan tetap 0,2 %. 4) ANSI/ASTM A307 – 78

5) ANSI/ASTM A325 – 78a 6) ANSI/ASTM A449 – 78a 7) ANSI/ASTM A490 – 78

Baut kekuatan tinggi dikencangkan (tightened) untuk menimbulkan tegangan tarik yang ditetapkan pada baut sehingga terjadi gaya jepit (klem / clamping force ) pada sambungan. Oleh karena itu, pemindahan beban kerja yang sesungguhnya pada sambungan terjadi akibat adanya gaya gesekan (friksi) pada potongan yang disambung. Sambungan dengan baut kekuatan


(45)

tinggi dapat direncanakan sebagai tipe geser (friction type), bila daya tahan gelincir yang tinggi tidak dibutuhkan.

Selain baut kekuatan tinggi, juga ada jenis baut lain yang digunakan sebagai alat penyambung. Adapun jenis baut yang dimaksud antara lain: a) Baut hitam

Baut ini dibuat dari baja karbon rendah yang diidentifikasi sebagai ASTM A307 dan merupakan jenis baut yang paling murah. Namun, baut ini belum tentu menghasilkan sambungan yang paling murah, karena banyaknya jumlah baut yang dibutuhkan pada suatu sambungan. Pemakaiannya terutama pada struktur yang ringan, batang sekunder atau pengaku, anjungan (platform), jalan haluan (catwalk), gording, rusuk dinding, rangka batang yang kecil dan lain-lain yang bebannya kecil dan bersifat statis. Baut ini juga digunakan sebagai alat penyambung sementara pada sambungan yang menggunakan baut kekuataa tinggi, paku keeling atau las. Baut hitam (yang tidak dihaluskan) kadang-kadang disebut baut biasa, baut mesin atau baut kasar, serta kepala dan murnya dapat berbentuk bujur sangkar.

b) Baut sekrup (turned bolt)

Baut yang secara praktis sudah ditinggalkan ini dibuat dengan mesin dari bahan berbentuk segi enam dengan toleransi yang lebih kecil (sekitar 1/50 inchi) bila dibandingkan baut biasa. Jenis baut ini terutama digunakan bila sambungan memerlukan baut yang pas dengan lubang yang dibor. Kadang-kadang baut ini bermanfaat dalam mensejajarkan peralatan mesin dan batang struktural yang posisinya harus akurat. Pada saat ini baut


(46)

sekrup jarang sekali digunakan pada sambungan struktural, karena baut dengan kekuatan mutu tinggi lebih baik dan lebih murah.

c) Baut bersisip (ribbed bolt)

Baut ini terbuat dari baja paku keling biasa dan berkepala bundar dengan tonjolan sirip-sirip yang sejajar tangkainya. Baut bersirip telah lama dipakai sebagai alternatif dari paku keling. Diameter yang sesungguhnya pada baut bersirip dengan ukuran tertentu sedikit lebih besar dari lubang tempat baut tersebut. Dalam pemasangan baut bersirip, baut memotong tepi keliling lubang sehingga diperoleh cengkeraman yang relatif erat. Jenis baut ini terutama bermanfaat pada sambungan tumpu (bearing) dan pada sambungan yang mengalami tegangan berganti (bolak-balik).

Variasi moderen dari baut bersirip adalah baut dengan tangkai bergigi (interference-body bolt) yang terbuat dari baja baut A325, sebagai pengganti sirip longitudinal. Baut ini memiliki gerigi keliling dan sirip sejajar tangkainya. Karena gerigi sekeliling tangkai memotong sirip sejajar, baut ini kadang-kadang disebut bersirip terputus (interrupted-rib). Baut kekuatan tinggi A325 dengan tangkai bergerigi yang sekarang juga sukar dimasukkan ke dalam lubang yang melalui sejumlah pelat, namun baut ini dapat digunakan bila hendak memperoleh baut yang bercengkeraman erat pada lubangnya. Selain itu pada saat pengencangan mur, kepala baut tidak perlu dipegang seperti pada umumnya dilakukan pada baut A325 biada yang polos.


(47)

Dari hasil penelitian oleh Hertwig dan Petermann menyatakan bila jumlah baut dalam satu baris maksimum 5 (lima) buah baut, maka perencanaan sambungan dengan asumsi setiap baut dapat menerima beban sama besar dapat diterima.

Namun, jika dalam satu baris dipakai lebih dari 6 (enam) buah baut maka baut yang paling akhir, memikul 65 % beban yang diterima sambungan. Dari penyelidikan di laboratorium terhadap baut mutu tinggi diperoleh grafik hubungan tegangan baut terhadap perpanjangan batang baut, dapat dilihat pada gambar 2.17 di bawah ini. Baut yang digunakan adalah baut A325.

Gambar 2. 8 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh panjang ulir di dalam elemen pelat


(48)

Gambar 2. 9 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh putaran kunci

Gambar 2. 10 Hubungan Tegangan vs Perpanjangan A490 bolt & A325 bolt Harga proof load (beban tarik awal) N0 dapat dihitung dengan

persamaan:

N0 = 0.75 x σe x Ae

Dimana :

Ae = luas efektif baut, yakni luas pada bagian yang berulir σe = tegangan leleh baut


(49)

Adapun definisi harga proof load pada baut mutu tinggi adalah tegangan yang diberikan pada baut mutu tinggi pada waktu pemasangan baut. Untuk mendapatkan perencanaan yang efektif, hendaklah dipakai baut dengan kekuatan tarik minimum (tensile strength) 8000 kg/cm2 dan faktor geser minimum 0,35 bila baut mutu tinggi pada pemasangan mengalami over strained, maka baut tersebut harus diganti dengan baut mutu tinggi yang baru.

Untuk baut mutu tinggi tipe geser, kekuatan sebuah baut terhadap geser dihitung dengan persamaan:

Ng = ( F/Φ ) x n x N0

Kekuatan sebuah baut terhadap gaya aksial tarik dihitung dengan persamaan :

Untuk beban statis : Nt = 0,6 x N0

Untuk beban bolak-balik : Nt = 0,5 x N0

Kekuatan terhadap kombinasi pembebanan tarik dan geser, maka :

Ng = ( F/Φ ) x n x ( N0 – 1,7 T )

Dimana :

F = faktor geser permukaan Φ = faktor keamanan = 1,4

N0 = pembebanan tarik awal (proof load)

n = jumlah bidang geser


(50)

Tabel 2.3 Harga faktor geser permukaan

Keadaan permukaan F

Bersih Digalvanis Dicat

Berkarat, dengan karat lepas dihilangkan Disemprotkan pasir

0,35 0,16 – 0,26 0,07 – 0,10 0,45 – 0,70 0,40 – 0,70 Sumber: Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI) 1983

Untuk baut mutu tinggi tipe tumpu, tegangan-tegangan yang diizinkan dalam menghitung kekuatan baut adalah:

• Tegangan geser yang diizinkan :

• Tegangan tarik yang diizinkan :

• Tegangan tumpu yang diizinkan :

Untuk S1≥ 2d, σ tu = 1,5 σ

Untuk 1,5d ≤ S1≤ 2d, σ tu = 1,2 σ

Untuk persamaan tegangan geser dan tegangan tarik menggunakan tegangan dasar bahan baut dan untuk persamaan tegangan tumpu menggunakan tegangan dasar yang terkecil antara bahan baut dengan bahan batang yang akan disambung. Pada waktu pemasangan baut, ring harus dipasang pada bagian bawah kepala baut dan bagian bawah mur.

τ

= 0,7

σ


(51)

3.2.2

Proses pengelasan adalah proses penyambungan bahan yang menghasilkan menghasilkan peleburan bahan dengan memanasinya hingga suhu yang tepat dengan atau tanpa pemberian tekanan dan dengan atau tanpa pemakaian bahan pengisi. Energi pembangkit panas dapat dibedakan menurut sumbernya: listrik, kimiawi, optis, mekanis dan bahan semi konduktor. Panas digunakan untuk mencairkan logam dasar dan bahan pengisi agar terjadi aliran bahan (terjadi peleburan). Selain itu panas dipakai untuk menaikkan daktailitas (ductility) sehingga aliran plastis dapat terjadi meskipun jika bahan tidak mencair. Lebih jauh lagi pemanasan dapat membantu menghilangkan kotoran pada bahan.

Las

Proses pengelasan yang paling umum terutama untuk mengelas baja struktural memakai energi listrik sebagai sumber panas, yang paling banyak digunakan adalah busur listrik (nyala). Busur nyala adalah pancaran arus listrik yang relatif besar antara elektroda dan bahan dasar yang dialirkan melalui kolom gas ion hasil pemanasan, kolom gas ini disebut plasma. Pada pengelasan busur nyala, peleburan terjadi akibat aliran bahan yang melintasi busur dengan tanpa diberi tekanan.

Beberapa proses pengelasan dipakai khusus untuk logam dengan ketebalan tertentu. Pembahasan dalam bagian ini ditekankan pada proses yang digunakan dalam pengelasan baja karbon dan baja paduan rendah untuk gedung dan jembatan. Pengelasan busur nyala merupakan kategori proses yang terutama dibahas, untuk profil baja ringan (light gage) pengelasan yang digunakan adalah tahanan listrik.


(52)

Kebanyakan baja konstruksi dalam spesifikasi ASTM dapat dilas tanpa prosedur khusus atau perlakuan khusus. Kemampuan dilas (weldability) dari baja adalah ukuran kemudahan menghasilkan sambungan struktural yang teguh tanpa retak. Beberapa baja struktural lebih sesuai dilas daripada yang lain. Prosedur pengelasan sebaiknya didasarkan pada kimiawi baja, bukan pada kandungan paduan maksimum yang ditetapkan. Karena kebanyakan hasil pabrik berada dibawah dalam batas ini, sedangkan baja yang berkekuatan lebih tinggi dapat melampaui analisa ideal yang ditunjukkan dalam tabel 2.4.

Tabel 2.4 Analisa kimia ideal dari baja karbon untuk kemampuan dilas yang baik Unsur Batas Nominal (%) Persen yang memerlukan perlakuan khusus

Karbon Mangan Silicon Sulfur fosfor

0,06 – 0,25 0,35 – 0,80 0,10 maks 0,035 maks 0,030 maks

0,350 1,400 0,300 0,050 0,040

Dalam pekerjaan konstruksi, ada empat tipe pengelasan yakni: Groove, fillet, slot dan plug seperti terlihat dalam Gambar 2.18 di bawah ini. Masing-masing tipe las memiliki kelebihannya sendiri yang menentukan rentang penggunaannya. Secara kasar keempat tipe terrsebut mewakili persentase konstruksi las berikut ini: las groove (las tumpul) 15 %, fillet (las sudut) 80 %, sisanya terbagi-bagi untuk slot, plug dan las-las khusus lainnya.


(53)

Gambar 2. 11 Tipe-tipe las a). Las Groove

Kegunaan umum las groove adalah untuk menghubungkan batang-batang struktur yang dipasangkan pada bidang yang sama. Karena las groove biasanya dimaksudkan untuk mentransmisikan beban penuh batang-batang yang dihubungkannya, las tersebut harus memiliki kekuatan yang sama dengan batang-batang yang digabungkan. Las groove seperti ini disebut sebagai las groove dengan penetrasi sambungan yang lengkap. Bila sambungan didesain sedemikian rupa sehingga las groove tidak sepenuhnya menjangkau ketebalan bagian-bagian yang digabungkan, las demikian disebut sebagai las groove dengan penetrasi sambungan sebagian. Untuk ini berlaku persyaratan-persyaratan desain yang khusus.

Ada banyak variasi las groove dan masing-masing diklasifikasikan menurut bentuknya yang khusus. Kebanyakan las groove membutuhkan

a. Las Fillet b. Las Groove

c. Las Plug

Ujung-ujung harus berbentuk

setengah lingkaran atau memiliki

sudut-sudut yang dibundarkan

dengan jari-jari tidak kurang

dari ketebalan bagian pelat yang

berisi slot


(54)

persiapan pinggiran yang khusus dan diberi nama menurut persiapannya. Gambar 2. 12 menunjukkan beberapa tipe las groove dan menunjukkan persiapan groove yang dibutuhkan. Pemilihan las groove yang tepat tergantung pada proses pengelasan yang digunakan, biaya persiapan pinggiran dan biaya pembuatan las. las groove dapat juga digunakan pada sambungan T (gambar 2. 13).

Gambar 2. 12 Tipe-tipe las Groove

Gambar 2. 13 Penggunaan las Groove pada sambungan T b). Las Fillet

las sudut (fillet weld) merupakan jenis las yang paling banyak digunakan, hal ini dikarenakan las jenis ini adalah jenis las yang hemat, mudah dipabrikasi dan adaptibilitasnya baik. Dalam gambar 2.14 diperlihatkan beberapa kegunaan las fillet. Pada umumnya jenis las ini kurang membutuhkan presisi pada pengepasannya karena masing-masing bagian itu cukup ditumpang-tindihkan.


(55)

Sedangkan las groove membutuhkan pengepasan yang teliti dengan celah alur bukaan tertentu (bukaan akar) di antara bagian-bagiannya. Las fillet secara khusus berguna bagi pengelasan di lapangan. Pengepasan kembali batang-batang ataupun pada sambungan-sambungan yang dipabrikasi dengan toleransi yang masih dapat diterima namun mungkin tidak dipasang pas seperti yang dikehendaki. Lagipula pinggiran bagian-bagian yang disambungkan jarang membutuhkan persiapan khusus seperti pemotongan miring atau pengirisan tegak, karena kondisi pinggiran hasil pemotongan dengan api atau pengirisan pun sudah memadai.

Gambar 2.14 kegunaan tipikal las fillet c). Las Slot dan Plug

las slot dan plug dapat digunakan secara eksklusif hanya dalam sambungan seperti gambar 2.15 atau dalam kombinasi dengan las fillet seperti gambar 2.14. Kegunaan utama las slot dan plug adalah untuk mentransmisikan geser pada sembungan impit bila ukuran sambungan tersebut tidak cukup untuk las fillet atau las pinggir lainnya. Las slot dan plug berguna untuk mencegah agar bagian-bagian yang saling tumpang tindih tidak mengalami tekuk.

Sambungan T Konsol Pelat pemikul Balok

Penampang Built Up

Konsol balok Pelat Dasar Kolom


(56)

Gambar 2.15 Lasslot dan las plug dengan kombinasi las fillet

Untuk mendapatkan sambungan las yang memuaskan, diperlukan kombinasi dari banyak keterampilan individu yang dimulai dengan desain sebenarnya dari las tersebut dan diakhiri dengan operasi pengelasan. Panjang las netto tidak boleh kurang dari 40 mm atau 8a sampai 10a dan tidak boleh lebih dari 40a (a= tebal las). Dapat ditulis dengan 40 mm (8-10a) ≤ Ln ≤ 40a. Panjang netto las dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Ln = Lbruto – 3a.

Dimana a = tebal las

Gambar 2.16 Tebal las

Untuk tebal las sudut tidak boleh kurang dari ½ t√2, dimana t adalah tebal terkecil pelat yang dilas.

Ujung-ujungnya


(57)

Apabila gaya P yang ditahan oleh las membentuk sudut α dengan bidang retak las (seperti gambar 2.17), tegangan miring yang diizinkan adalah:

σ α = c.σ

c = 1 / √ sin 2α + 3. cos 2α

dimana: σ = tegangan dasar baja

Gambar 2.16 Gaya P yang membentuk sudut α terhadap bidang retak las Tegangan miring yang terjadi dihitung dengan:

σ a = P / A

dan tidak boleh lebih besar daripada tegangan miring yang diizinkan, dimana, P = gaya yang ditahan oleh las

A = luas bidang retak las

Tegangan idiil pada las dapat dihitung dengan:

σ 1 = √ α 2 + 3. τ 2 atau σ 1 = σ a / c

dimana, σ= tegangan normal pada bidang retak las τ = tegangan geser pada bidang retak las

Tegangan idiil yang terjadi tidak boleh melebihi tegangan dasar yang ada. Dalam buku Peraturan Perencanaan Bangunan baja Indonesia (PPBBI) harga c untuk beberapa sudut α telah ditabelkan guna mempermudah perhitungan las.


(58)

Tabel 2.5 Harga c untuk beberapa α

α c α c

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0.58 0.58 0.58 0.59 0.60 0.61 0.63 0.65 0.68 0.71 50 55 60 65 70 75 80 85 90 0.74 0.78 0.82 0.86 0.90 0.94 0.97 0.99 1

Untuk beberapa macam sambungan las, gaya P yang dapat dipikul oleh sambungan las tersebut adalah seperti gambar 2.17 dibawah ini


(59)

Gambar 2.16 Gaya P izin yang dapat dipikul beberapa jenis sambungan las II. 3. 3 Perencanaan Sambungan

Baja sebagai bahan bangunan, diproduksi di pabrik-pabrik peleburan dalam bentuk, ukuran dan panjang tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan. Tidak mungkin membangun suatu konstruksi baja secara monolit (dipabrikasi/dicetak), akan tetapi dibangun dari elemen-elemen yang disambung satu-persatu di lapangan. Sifat dari sambungan ini sangat tergantung pada jenis dan konstruksi sambungan. Bervariasi mulai dari yang berkelakuan sebagai sendi sampai dengan kaku sempurna. Pada struktur batang istilah kekakuan (stfiffness) digunakan untuk faktor EI.


(60)

Suatu struktur bangunan dapat bersifat sendi, kaku (rigid), semi kaku (semi rigid). Tidak ada ukuran pasti yang dapat dipakai untuk menentukan tingkat dari sambungan yang dimaksud.

Kuat rencana setiap komponen sambungan tidak boleh kurang dari beban terfaktor yang dihitung. Perencanaan sambungan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Gaya dalam yang disalurkan berada dalam keseimbangan dengan gaya-gaya yang bekerja pada sambungan.

2. Deformasi pada sambungan masih berada dalam batas kemampuan deformasi sambungan.

3. Sambungan dan komponen yang berdekatan harus mampu memikul gaya-gaya yang bekerja padanya.

II. 4 PERKEMBANGAN METODE ANALISA SAMBUNGAN BAJA

Bangunan konstruksi yang menggunakan baja telah ada sejak dulu kala, akan tetapi perkembangan sistem struktur jenis ini selalu bertambah dan berubah seiring dengan semakin tingginya ilmu pengetahuan dan rumitnya pekerjaan konstruksi dalam hal desain dan faktor-faktor penentu keandalan sebuah bangunan.

Penggunaan sistem rangka yang ringan merupakan jawaban yang paling tepat, karena yang digunakan adalah rangka yang terbuat dari besi (baja) dan kemudian baja memungkinkan bangunan menjadi lebih tinggi serta bukaan yang lebih basar dan banyak.


(61)

Perbaikan metode rancangan baja memungkinkan bangunan tumbuh terus keatas. Akan tetapi dengan bertambahnya tinggi bangunan, gaya angin dan gaya gempa menjadi pertimbangan rancangan yang penting. Struktur baja seringkali disambung dengan alat penyambung baja standar seperti las dan baut.

Sambungan pada komponen baja memiliki pengaruh yang sangat besar dalam keandalan kinerja komponen. Sambungan juga dapat melemahkan kinerja komponen dan perhitungan dari pengaruh tersebut dinamakan efisiensi sambungan (joint efficiency). Efek dari efisiensi sambungan ini dipengaruhi oleh:

- Daktailitas material.

- Jarak antara alat penyambung penyambung (las atau baut). - Konsentrasi tegangan pada lubang.

- Prosedur fabrikasi.

- Kelambanan sesar (Shear Lag).

Semua faktor diatas member kontribusi untuk mengurangi keefektifan sambungan namun kelambanan sesar (Shear Lag) adalah faktor yang paling penting dan berpengaruh.

Banyak fenomena menarik yang terjadi dengan adanya pengaruh faktor reduksi atau faktor kelambanan sesar (Shear Lag factor) yang disimbolkan U pada sambungan komponen struktur baja. Baik peraturan AISC 2005 maupun peraturan SNI 03-1729-2002 yang digunakan di Indonesia mengenai penggunaan faktor reduksi ini tidak terdapat banyak penjelasan dan di dalam ketentuan langsung diberikan nilai-nilai asumsi yang bisa digunakan


(62)

dalam perhitungan. Seperti pada SNI 03-1729-2002 poin 10.2 , 10.2.3 dan 10.2.4 tertulis bahwa:

untuk gaya tarik yang disalurkan oleh baut Untuk kasus gaya tarik yang disalurkan oleh las

l ≥ 2w U = 1,0 2w ≥ l ≥ 1,5w U = 0,87 1,5w ≥ l ≥ w U = 0,75

Keterangan :

l adalah panjang pengelasan, mm.

w adalah lebar pelat (jarak antar sumbu pengelasan), mm.

Nilai-nilai U tersebut tidak disertai penjelasan yang rinci mengenai dasar perhitungan yang digunakan untuk menentukan mengapa besaran tersebut yang digunakan dan hal ini dipertegas pada poin 10.2.5 mengenai komponen struktur yang mengalami gaya tarik aksial tertulis “ Nilai U dapat diambil lebih besar bila dapat dibuktikan melalui pengujian atau ketentuan lain yang dapat diterima “. Hal ini menandakan bahwa masih terdapat banyak kemungkinan kajian yang dapat dilakukan untuk menentukan angka atau nilai faktor reduksi

U yang lebih konservatif dan dapat diperhitungkan kemungkinan nilai yang lebih kecil dari ketentuan ataupun lebih besar. Hal inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tugas akhir ini.


(63)

BAB III

PEMBAHASAN MASALAH

III. 1 DESAIN KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA TARIK AKSIAL

III. 1.1 Konsep dasar

1.1.1 Tegangan

Tegangan pada komponen struktur yang dibebani secara aksial dinyatakan dalam persamaan (3.1)

Dimana, P adalah total nilai dari pembebanan. A adalah luas daerah yang dibebani.

Tegangan pada komponen struktur tarik adalah seragam sepanjang bentang, kecuali pada posisi yang dekat dengan titik pembebanan dan pada persilangan sambungan dengan lubang untuk baut dan alat pengencang lainnya. Sebagai contoh,perhitungan dari batang profil baja dengan profil berukuran 8 x ½ inch. Disambung dengan plat dan diberi pembebanan tarik seperti pada gambar 3.1

Gambar 3.1 Contoh komponen struktur tarik

Potongan b - b

Potongan a - a a

a

b b

Plat Buhul

10 mm Diameter lubang


(64)

Luas profil batang pada potongan a -- a = 900 x 300 = 270.000 mm2 Luas profil batang pada potongan b -- b = (900 – (2 x 10 )) x 300

= 264.000 mm2

Kemudian, dengan perhitungan pada persamaan 3.1, maka pengurangan luas pada potongan b – b akan menimbulkan tegangan tertinggi dan akan terjadi di sekitar potongan b – b. Luas daerah pada komponen struktur yang tidak dikurangi dengan luas lubang dinamakan luas bruto ( Gross Area ) = Ag. Sedangkan luas daerah yang sudah dikurangi dengan luas lubang pada profil dinamakan luas neto ( Net Area ) = An.

1.1.2 Pembebanan

Perencanaan suatu struktur untuk keadaan-keadaan stabil batas, kekuatan batas, dan kemampuan-layan batas harus memperhitungkan pengaruh-pengaruh dari aksi sebagai akibat dari beban-beban berikut ini:

1,4 D (3. 2)

1.2 D + 1.6 L + 0,5 ( Laatau H ) (3. 3) 1.2 D + 1.6 (Laatau H) + ( γLL atau 0.8 W ) (3. 4) 1.2 D + 1.3 W + γL L + 0,5 ( Laatau H ) (3. 5) 1.2 D ± 1.0 E + γL L (3. 6) 0.9 D ± ( 1.3 W atau 1.0 E ) (3. 7) Keterangan:

D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen termasuk dinding lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga dan peralatan layan tetap.


(65)

L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperit angin, hujan dan lain-lain.

La adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja, peralatan, dan material atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak.

H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air.

W adalah beban angin

E adalah beban gempa, yang ditentukan menurut SNNI 03-1726-1989, atau penggantinya.

Dengan,

γL = 0.5 bila L < 5 kPa, dan γL = 1 bila L ≥ 5 kPa.

Pengecualian : faktor beban untuk L di dalam kombinasi pembebanan pada persamaan 3. 4, 3. 5, dan 3. 6 harus sama dengan 1.0 untuk garasi parkir, daerah yang digunakan untuk pertemuan umum, dan semua daerah di mana beban hidup lebih besar daripada 5 kPa.

1.1.3 Tahanan Nominal/Kuat tarik rencana

Dalam menentukan tahanan nominal suatu batang tarik, harus diperiksa terhadap tiga macam kondisi keruntuhan yang menentukan, yaitu: a. Leleh dari luas penampang kotor, di daerah yang jauh dari sambungan b. Fraktur dari luas penampang efektif pada daerah sambungan

c. Blok geser pada sambungan.

Menurut SNI 03-1729-2002 pasal 10.1 dinyatakan bahwa semua komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial terfaktor sebesar NU , maka harus memenuhi:


(66)

NU adalah tahanan nominal/ kuat tarik rencana dari penampang yang ditentukan berdasarkan tiga macam kondisi keruntuhan batang tarik seperti telah disebutkan di atas.

1.1.3.a Kondisi leleh dari luas penampang kotor

Bila kondisi leleh yang menentukan, maka kuat tarik rencana dari batang tarik memenuhi persamaan:

Dengan =Luas penampang kotor, mm2 = Tegangan leleh material, Kg/Cm2

1.1.3.b Kondisi fraktur dari luas penampang Efektif pada sambungan

Untuk batang tarik yang mempunyai lubang, misalnya untuk penempatan baut, maka luas penampangnya tereduksi dan dinamakan luas netto ( An ). Lubang pada batang menimbulkan konsentrasi tegangan akibat beban kerja. Teori elastisitas menunjukkan bahwa tegangan tarik di sekitar lubang baut tersebut adalah sekitar 3 kali tegangan rata-rata pada penampng netto. Namun saat serat dalam material mencapai regangan leleh εy = fy / Es ,

tegangan menjadi konstan sebesar fy , dengan deformasi yang masih berlanjut

sehingga semua serat dalam material mencapai εy atau lebih. Tegangan yang terkonsentrasi di sekitar lubang tersebut menimbulkan fraktur pada sambungan.


(1)

Untuk lI = 12 cm

untuk l < 2H


(2)

Tabel 4.10 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil C 200 x 70 x 7 x 10

l (cm) NU dengan U (Ton) NU dengan UL (Ton)

Kondisi Leleh Kondisi Fraktur Kondisi Blok Geser

6 58,147 35,062 47,699 43,709

8 58,147 39,491 49,859 44,869

10 58,147 42,127 52,019 45,976


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN V. 1 KESIMPULAN

1. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan pada aplikasi didapatkan

kesimpulan bahwa semakin besar nilai faktor reduksi U (Shear Lag Factor)

maka nilai (Luas Netto efektif) akan semakin besar. Dengan demikian

maka nilai

(T

ahanan nominal/kuat tarik rencana) akan semakin besar pula.

2. Penggunaan rumus menghasilkan nilai U yang

lebih besar daripada nilai yang

ditawarkan oleh Howard I. Epstein dan Christopher L. D Auito pada sambungan dengan jarak terpanjang yaitu 12 cm.

3. Kuat tarik rencana yang menentukan adalah pada saat struktur mengalami keruntuhan fraktur. Melalui perhitungan didapatkan bahwa secara umum dengan mengunakan faktor UL didapatkan nilaikuat tarik rencana (Nu) yang

lebih kecil pada nilai panjang sambungan (l) yang terpanjang.

• Profil T 400x200 dengan l = 12 cm, U = 0,647, Nu = 54,976 Ton

UL= 0,591, Nu = 50,218 Ton • Profil T 300x200 dengan l = 12 cm, U = 0,764, Nu = 54,338 Ton

UL= 0,735, Nu = 52,276 Ton • Profil T 200x200 dengan l = 12 cm, U = 0,856, Nu = 50,382 Ton

UL= 0,844, Nu = 49,676 Ton


(4)

4. Sementara untuk jenis profil lain selain profil T yang diujicobakan menggunakan rumusan UL ternyata menghasilkan nilai yang lebih besar daripada menggunakan faktor U.

• Profil IWF 400 x 400 dengan l = 12 cm, U = 0,729, Nu = 405,040 Ton

UL= 0,826, Nu = 458,934 Ton • Profil Siku 100 x 100 dengan l = 12 cm, U = 0,761, Nu = 23,399 Ton

UL= 0,900, Nu = 27,672 Ton • Profil C 200 x 70 x 7 x 10 dengan l = 12 cm,

U = 0,833, Nu = 43,920 Ton


(5)

V. 2 SARAN

Dalam penurunan rumus (formulasi) untuk menentukan faktor reduksi U

(Shear Lag Factor) yang akan dikembangkan nantinya, hendaknya dibutuhkan

contoh-contoh lain yang lebih kompleks dan akurat untuk berbagai jenis profil, misalnya dengan menganalisa portal sederhana dengan profil W, IWF, HSS maupun jenis profil lainnya yang disambung dengan baut dan dengan penambahan jumlah alat penyambungnya, atau dengan melakukan analisa lebih lanjut pada sambungan yang terdiri dari sambungan las dan baut, sehingga bisa memperluas kajian kita mengenai analisa struktur ini dan menghasilkan nilai-nilai faktor reduksi yang lebih akurat dan efisien dalam penggunaannya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Barus, Sanci dan Robert Panjaitan. Analisis Baut Mutu Tinggi Serta Aplikasinya

Pada Hubungan Balok-Kolom. USU Journal. Medan. 2007.

Departeman Pekerjaan Umum. Standar Nasional Indonesia (SNI 03-1729-2002)

Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung. Jakarta. 2002.

Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. Peraturan Perencanaan Bangunan

Baja Indonesia (PPBBI). Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. Bandung.

1984.

Epstein, Howard I. dan Christopher L D Aiuto. Using Moment and Axial

Interaction Equations to Account for Moment and Shear Lag Effects in Tension

Members. Engineering Journal,AISC. Second Quarter. 2002.

Gunawan, Ir. Rudi. Tabel Profil Konstruksi Baja. Kanisius. Yogyakarta. 1988.

Kirkham, Willam J. and Thomas H. Miller. Examination of AISC LRFD Shear Lag

Design Provisions. Engineering Journal,AISC. Third Quarter. 2000.

Mangkoesoebroto, Sindur P. Catatan Kuliah: Struktur Baja. FTSP-ITB. Bandung.

2007.

Salmon, Charles G dan John E Johnson. Struktur Baja : Desain dan Perilaku

Jilid I edisi ketiga dengan penekanan pada Load and Resistance Factor Design.

PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995.

Setiawan, Agus. Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD (Berdasarkan