bahwa  korporasi  juga  dapat  melakukan  perbuatan-perbuatan  hukum  seperti misalnya dalam hal transaksi bisnis. Akan tetapi, ada beberapa perbuatan hukum
yang  tidak  dapat  dilakukan  oleh  korporasi    dan  hanya  dapat  dilakukan  oleh manusia, yakni melakukan perkawinan, pewarisan, dan lain sebagainya.
Istilah badan hukum dulunya tidak dikenal dalam masyarakat yang masih primitif,  karena  kehidupan  yang  dijalankan  masih  sederhana  dan  kegiatan-
kegiatan usaha dijalankan secara individu. Namun, seiring dengan perkembangan zaman  yang  berimbas  pada  meningkatnya  kebutuhan  masyarakat,  mengharuskan
individu-individu  melakukan  kerja  sama  untuk  memenuhi  kebutuhan  mereka.
33
Dari situlah kemudian istilah badan hukum berkembang sampai sekarang. Istilah  badan  hukum  cenderung  dipakai  dalam  lingkup  hukum  perdata,
sedangkan  dalam  hukum  pidana  cenderung  digunakan  istilah  korporasi  yang cakupannya lebih luas daripada badan hukum.
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Masalah  pertanggungjawaban  pidana  pada  dasarnya  membahas  tentang penjatuhan  pidana  bagi  pelaku  tindak  pidana  sebagai  akibat  dari  perbuatannya.
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang  ada  pada  tindak  pidana  dan  secara  subjektif  yang  memenuhi  syarat  untuk
dapat dipidana karena perbuatannya itu.
34
Menurut kamus besar bahasa Indonesia “Tanggung  Jawab”  artinya  keadaan  wajib  menanggung  segala  sesuatu  kalau
terjadi  apa-apa  boleh  dituntut,  dipersalahkan,  diperkarakan  dan  sebagainya. Dalam  hal  ini  berarti  bahwa  masalah  pertanggungjawaban  pidana  korporasi
33
Ibid.,
hlm. 6.
34
Ibid
., hlm. 94.
merupakan masalah dalam penentuan dapat atau tidaknya suatu korporasi dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.
Dalam  ilmu  hukum  pidana  kemampuan  bertanggungjawab  merupakan masalah  yang  menyangkut  keadaan  batin  orang  yang  melakukan  tindak  pidana.
Roeslan Saleh menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah mampu menginsyafi  sifat  melawan  hukumnya  suatu  perbuatan  dan  mampu  menentukan
kehendaknya.
35
Van  Hamel  berpendapat  bahwa  kemampuan  bertanggungjawab adalah  suatu  keadaan  normalitas  psikis  dan  kematangan  atau  kedewasaan,
sehingga seseorang memiliki tiga macam kemampuan, yaitu
36
: 1.
Mampu mengerti maksud perbuatannya 2.
Mampu  menyadari  bahwa  perbuatannya  tidak  dapat  diberikan  oleh masyarakat
3. Mampu menentukan kehendak dalam melakukan perbuatannya.
Kemampuan  bertanggungjawab  juga  diartikan  sebagai  kondisi  batin  yang normal  atau  sehat  dan  mempunyai  akal  dalam  membeda-bedakan  hal-hal  yang
baik dan yang buruk. Dasar  dari  adanya  tindak  pidana  adalah  asas  legalitas,  sedangkan  dasar
dapat  dipidananya  pembuat  adalah  asas  kesalahan.  Ini  berarti  bahwa  pembuat tindak  pidana  hanya  akan  dipidana  jika  ia  mempunyai  kesalahan  dalam
melakukan  tindak  pidana  tersebut.  Kapan  seseorang  dikatakan  mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal yang berkaitan
35
Roeslan Saleh,
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 185.
36
Hamzah Hatrik,
Asas Pertanggungja waban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia Strict Liability dan Vicarious Liability
, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hlm. 84.
dengan  masalah  pertanggungjawaban  pidana.
37
Seseorang  mempunyai  kesalahan bilamana  melakukan  tindak  pidana,  dilihat  dari  segi  kemasyarakatan  ia  dapat
dicela oleh karena perbuatan tersebut. Berkaitan  dengan  pertanggungjawaban  pidana,  terdapat  dua  pandangan
ahli  yang  berbeda  yaitu  pandangan  yang  monistis  dan  pandangan  yang  dualistis. Pandangan monistis diperkenalkan oleh S
imon yang merumuskan „
strafbaar feit
‟ sebagai berikut:
“
Strafbaar  gestelde,  onrechmatige,  met  schuld  in  verband  staande handeling van een torekeningvatbaar persoon
suatu perbuatan yang oleh hukum diancam  dengan  hukuman,  bertentangan  dengan  hukum,  dilakukan  oleh  seorang
yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya”.
38
Menurut  pandangan  monistis  unsur-unsur
strafbaar  feit
itu  meliputi  baik unsur  perbuatan  unsur  objektif,  maupun  unsur  pembuat  unsur  subjektif,
dimana unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi hal-hal dibawah ini
39
: a.
Kemampuan bertanggungjawab b.
Kesalahan dalam arti luas baik sengaja atau karena kealpaan c.
Tidak adanya alasan pemaaf. Selain  pandangan  monistis,  ada  juga  pandangan  dualistis  yang  pertama
kali  diperkenalkan  oleh  Herman  Kontorowicz  pada  tahun  1993  melalui  bukunya yang  berjudul  “
Tut und
Schuld
”.  Menurut  Herman,  untuk  adanya “
Strafvoraussetzungen
”  yaitu  syarat-syarat  penjatuhan  pidana  terhadap  pembuat
37
Mahrus Ali,
op., cit
., hlm. 94.
38
Muladi dan Dwija Priyatno,
Pertanggungja waban Pidana Korpora si
, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 61.
39
Ibid
., hlm. 63.
diperlukan  terlebih  dahulu  pembuktian  adanya
strafbare  handlung
perbuatan pidana kemudian harus dibuktikan pula schuld kesalahan subjektif pembuat
40
. Berdasarkan  kedua  pandangan  diatas,  dapat  disimpulkan  bahwa  masalah
pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan unsur kesalahan. Seperti yang disebutkan oleh Idema bahwa membicarakan unsur kesalahan dalam hukum
pidana  berarti  membicarakan  mengenai  jantungnya  hukum  pidana.  Bersamaan dengan hal tersebut, Sauer memberikan tiga pengertian dasar dalam hukum pidana
yaitu
41
: 1.
Sifat melawan hukum unrecht 2.
Kesalahan schuld 3.
Pidana strafe Berbeda  dengan  Roeslan  Saleh  yang  memisahkan  antara  pengertian
perbuatan  pidana  dengan  pertanggungjawaban  pidana.  Perbuatan  pidana  hanya menunjuk  pada  dilarangnya  perbuatan,  sedangkan  untuk  dapat  dipidananya
seseorang yang  telah  melakukan  perbuatan  pidana  tergantung  pada
kesalahannya
42
.  Jika  orang  yang  melakukan  perbuatan  pidana  mempunyai kesalahan  maka  dia  dapat  dipidana.  Berhubungan  dengan  hal  itu,  Sudarto  juga
menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan  perbuatan  yang  bertentangan  dengan  hukum  atau  bersifat  melawan
hukum
43
.  Jadi  meskipun  perbuatannya  telah  memenuhi  rumusan  delik  dalam undang-undang  dan  perbuatannya  tidak  dibenarkan,  namun  hal  tersebut  belum
40
Ibid
., hlm. 64.
41
Ibid.
, hlm. 68.
42
Ibid
., hlm. 68.
43
Ibid
., hlm. 69.
memenuhi  syarat  untuk  penjatuhan  pidana.  Harus  dibuktikan  terlebih  dahulu apakah  terdapat  unsur  kesalahan  dari  perbuatan  pelaku.  Hal  ini  sejalan  dengan
asas tiada pidana tanpa kesalahan. Sehubungan  dengan  masalah  pertangungjawaban  pidana,  Barda  Nawawi
Arief  menyatakan  bahwa  untuk  adanya  pertanggungjawaban  pidana  harus  jelas terlebih  dahulu  mengenai  siapa  yang  dapat  dipertanggungjawabkan.
44
Harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dapat dinyatakan sebagai pembuat dari suatu
tindak pidana. Pembuat atau subjek tindak pidana merupakan bagian dari masalah pertanggungjawaban  pidana  yang  meliputi  dua  hal,  yaitu  siapa  yang  melakukan
tindak  pidana  dan  siapa  yang  dapat  dipertanggungjawabkan.  Pada  umumnya dalam hukum pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana
adalah  pembuat,  akan  tetapi  tidak  selalu  demikian.  Dalam  hal  tindak  pidana korporasi,  perbuatan  yang  dilakukan  oleh  pengurus  dapat  dilimpahkan  kepada
korporasi mengenai pertanggungjawaban pidananya. Banyak  perbuatan  ilegal  yang  dilakukan  oleh  korporasi  yang  berakibat
buruk terhadap masyarakat. Tindakan ilegal korporasi dilakukan dengan cara-cara nonfisik  dan  penyembunyian  atau  tipu  muslihat  untuk  memperoleh  uang  atau
harta  benda  dan  memperoleh  manfaat  perorangan  dalam  dunia  usaha.  Motivasi korporasi  melakukan  berbagai  bentuk  pelanggaran  dibidang  usaha  adalah  untuk
mencapai  tujuan  dan  keuntungan  yang  menimbulkan  kerugian  bagi  warga masyarakat,  negara,  dan lingkungan.  Pertanggungjawaban  pidana  korporasi  pada
hakikatnya  merupakan  suatu  mekanisme  yang  dibangun  oleh  hukum  pidana
44
Ibid
., hlm. 82.
sebagai  reaksi  terhadap  pelanggaran  yang  telah  dilakukannya.  Maka  untuk memunculkan  pertanggungjawaban  korporasi  atas  tindakan  yang  dilakukannya,
perlu  ditingkatkan  fungsi  hukum  pidana  dengan  cara  menetapkan  korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Sehubungan  dengan  pembebanan  pertanggungjawaban  pidana  terhadap korporasi,  terdapat  tiga  model  pertanggungjawaban  pidana  korporasi  yang
dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, yaitu
45
: a.
Pengurus  korporasi  sebagai  pembuat  dan  penguruslah  yang bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat empat kemungkinan sistem  pembebanan  pertanggungjawaban  pidana  kepada  korporasi.  Keempat
kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah
46
: 1.
Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
2. Korporasi  sebagai  pelaku  tindak  pidana,  tetapi  pengurus  yang  harus
memikul pertanggungjawaban pidana. 3.
Korporasi  sebagai  pelaku  tindak  pidana  dan  korporasi  itu  sendiri  yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
45
Dwija  Priyatno,
Kebijakan  Legislasi  tentang  Sistem  Pertanggungja waban  Pidana Korpora si di Indonesia
, Bandung: CV Utomo, 2004, hlm. 53.
46
Sutan  Remy  Sjahdeni,
Pertanggungja waban  Pidana  Korporasi
,  Jakarta:  Grafiti  Pers, 2006, hlm. 58.
4. Pengurus  dan  korporasi  keduanya  sebagai  pelaku  tindak  pidana,  dan
keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. Alasan  beliau  menambahkan  sistem  pembebanan  yang  keempat  adalah
sebagai berikut
47
: a.
Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat  yang  telah menderita kerugian karena
pengurus  dalam melakukan  perbuatannya  itu  adalah  untuk  dan  atas  nama korporasi  serta  dimaksudkan  untuk  memberikan  keuntungan  atau
menghindarkanmengurangi kerugian finansial bagi korporasi. b.
Apabila  yang  dibebani  pertanggungjawaban  pidana  hanya  korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini
akan  dapat  memungkinkan  pengurus  bersikap  “lempar  batu  sembunyi tanga
n”. Dengan kata lain pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung  korporasi  untuk  melepaskan  dirinya  dari  tanggung  jawab
dengan  dalih  dahwa  perbuatannya  itu  bukan  untuk  kepentingan  pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi
dan untuk kepentingan korporasi. c.
Pembebanan  pertanggungjawaban  pidana  kepada  korporasi  hanya mungkin dilakukan secara vikarius, atau bukan langsung.
Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak  dikenal. Apabila pengurus  korporasi  melakukan  tindak  pidana  yang  dilakukan  dalam  rangka
mewakili atau
dilakukan untuk
dan atas
nama korporasi,
maka
47
Ibid
., hlm. 59.
pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 59 KUHP adalah sebagai berikut :
“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran, terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas
pengurus  atau  komisaris  jika  nyata  bahwa  pelanggaran  itu  telah  terjadi  diluar tanggungannya”.
Dari isi Pasal 59  KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah  dilakukan  oleh  korporasi  tetapi  dilakukan  oleh  pengurusnya.  Sebagai
konsekuensinya,  maka  pengurus  itu  pula  yang  dibebani  pertanggungjawaban pidana  sekalipun  pengurus  dalam  melakukan  perbuatan  itu  dilakukan  untuk  dan
atas  nama  korporasi  atau  untuk  kepentingan  korporasi,  atau  bertujuan  untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.
Alasan  KUHP  tidak  mengenal  adanya  tanggung  jawab  pidana  oleh korporasi dipengaruhi oleh dua azas, yaitu azas
“societas delinquere non potest” dan
“actus  non  facit  reum,  nisi  mens  sit  rea”.  Azas  “societas  delinquere  non potest”  atau  “universitas  delinquere  non  potest”  berarti  bahwa  badan-badan
hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari  pemikiran  dogmatis  dari  abad  ke-19,  dimana  kesalahan  menurut  hukum
pidana  selalu  diisyaratkan  sebagai  kesalahan  manusia.
48
Sehingga  kesalahan korporasi  tidak  diakui  dalam  hukum  pidana.  Para  pembuat  KUHP  berpendapat
bahwa  hanya  manusia  yang  dapat  dibebani  dengan  pertanggungjawaban  pidana berdasarkan azas
“actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau
“nulla poena sine
48
Muladi dan Dwija Priyatno,
op. cit
., hlm. 53.
culpa”.  Azas  ini  berarti  bahwa “a
n  act  does  not  make  a  man  guilty  of  crime,
unless  his  mind  be  also  guilty”.  Atau  dalam  bahasa  Belanda  dikenal  dengan ungkapan
“Geen  straf  zonder  schuld”.  Jika  diterjemahkan  kedalam  bahasa Indonesia adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”.
49
Yang  dimaksud  dari azas  ini adalah  untuk  membuktikan  bahwa  benar  seseorang  telah  bersalah  karena
melakukan  suatu  perbuatan  yang  diberikan  sanksi  pidana maka  harus  dibuktikan terlebih  dahulu  kesalahannya  baik  dalam  perilaku  maupun  pikirannya.  Azas  ini
mengandung  arti  bahwa  seseorang  tidak  dapat  dibebani  pertanggungjawaban pidana  karena  telah  melakukan  suatu  tindak  pidana  apabila  dalam  melakukan
perbuatan  yang  menurut  undang-undang  pidana  merupakan  tindak  pidana,  telah melakukan  perbuatan  tersebut  dengan  tidak  sengaja  dan  bukan  karena
kelalaiannya. Berkaitan  dengan  azas  tersebut  di  atas,  terdapat  dua  syarat  yang  harus
dipenuhi untuk dapat memidana seseorang,  yaitu adanya perbuatan lahiriah yang terlarangtindak pidana yang disebut actus reus dan sikap batin jahattercela yang
disebut mens rea.
50
Actus reus
tidak hanya memandang pada suatu perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
51
1. Perbuatan dari si terdakwa
the  conduct of  the  accused  person.
Perbuatan ini  dapat  dibagi  menjadi  dua  macam,  yaitu;  komisi
commisions
dan omisi
omissions
. 2.
Hasil atau akibat dari perbuatannya itu
its resultconsequences;
dan
49
Muladi dan Dwija Priyatno,
op. cit
., hlm. 98.
50
Mahrus Ali,
op. cit
., hlm. 93.
51
http:en.wikipedia.orgwikiActus Reus
3. Keadaan-keadaan  yang  tercantum  dalam  perumusan  tindak  pidana
surrounding  circumstances  which  are  inclided  ini  the  definition  of  the offence.
Mens rea
berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu
guilty mind.
Sikap kalbu seseorang  yang termasuk
mens  rea
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
52
a.
Intention
kesengajaan b.
Recklessness
kesembronoan,  atau  sering  disebut  juga  dengan  istilah
willful  blindness.
Dikatakan  terdapat
recklessness
jika  seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko yang tidak dibenarkan.
c.
Criminal negligence
kealpaankekurang hati-hatian. Dalam  hukum  pidana  Indonesia
mens  rea
hanya  terbagi  menjadi  dua bagian,  yaitu  kesengajaan  atau
dolus
dan  kealpaan  atau
culpa.
Jika  seseorang hanya  memiliki  sikap  batin  yang  jahat  tetapi  tidak  pernah  melaksanakan  sikap
batinnya  itu  dalam  wujud  suatu  perilaku,  baik  yang  terlihat  sebagai  melakukan perbuatan tertentu atau sebagai tidak berbuat sesuatu, tidak dapat dikatakan orang
tersebut telah melakukan suatu tindak pidana. Bagi  korporasi,  unsur  kesalahan  sangat  sulit  diterapkan  karena  korporasi
bukanlah  manusia.  Korporasi  tidak  memiliki  batin  dan  karena  itu  sulit  untuk mengetahui  niatnya.  Namun,  apabila  korporasi  tidak  dapat  dimintai
pertanggungjawaban  hanya  karena  sulitnya  membuktikan  kesalahan,  maka  akan
52
http:en.wikipedia.orgwikiMens Rea
terjadi  kekebalan  hukum  terhadap  korporasi,  padahal  korporasi  juga  banyak melakukan tindak pidana.
Tindak  pidana  korupsi  yang  dirumuskan  dalam  Undang-undang pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  adalah  tindak  pidana  formil,  dengan
demikian  apabila  perbuatan  pelaku  tindak  pidana  korupsi  tersebut  sudah memenuhi  rumusan  unsur-unsur  pasal  tindak  pidana  korupsi  maka  sudah  dapat
disangka  sebagai  pelaku  tindak  pidana  korupsi.  Penjelasan  Pasal  2  ayat  1 Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  sebagaimana  telah  diubah  dalam
Undang-Undang  Nomor  20  tahun  2001  tentang  pemberantasan  tindak  pidana korupsi  menyatakan  bahwa  tindak  pidana  korupsi  merupakan  delik  formil,  yaitu
adanya  tindak  pidana  korupsi  cukup  dengan  dipenuhinya  unsur-unsur  perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Pasal  20  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  sebagaimana  telah diubah  dalam  Undang-Undang  Nomor  20  tahun  2001  tentang  pemberantasan
tindak pidana korupsi telah mengatur pertanggungjawaban pidana suatu korporasi. Dengan  diterimanya  korporasi  sebagai  subjek  tindak  pidana  maka  tidak  dapat
dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban pidana.
F. Metode Penelitian