4. Undang-Undang  No.  20  Tahun  2001  Pasal  20  ayat  1  tentang  tindak
pidana korupsi 5.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 4 ayat 1.
Dari  penjelasan  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  yang  dapat  melakukan maupun  mempertanggungjawabkan  suatu  tindak  pidana  adalah  orang  danatau
korporasi.  Sehubungan  dengan  diterimanya  korporasi  sebagai  subjek  hukum pidana,  maka  hal  ini  berarti  telah  terjadi  perluasan  dari  pengertian  siapa  yang
merupakan  pelaku  tindak  pidana.  Akan  tetapi,  pengaturan  tanggung  jawab langsung  korporasi  hanya  terbatas  dalam  perundang-undangan  khusus  di  luar
KUHP.  Walaupun  pada  asasnya  korporasi  dapat  dipertanggungjawabkan  sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian yaitu
83
: a.
Dalam  perkara  yang  menurut  kodratnya  tidak  dapat  dilakukan  oleh korporasi misalnya : bigami, Perkosaan, sumpah palsu;
b. Dalam  perkara  yang  satu-satunya  pidana  yang  dapat  dikenakan  tidak
mungkin dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara dan pidana mati.
B. Pengaturan  Korporasi  Sebagai  Subjek  Hukum  dalam  Tindak  Pidana
Korupsi
Jika  dilihat  dalam  undang-undang  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi, pelaku  untuk  dapat  dimintakan  pertanggungjawaban  tindak  pidana  korupsi  lebih
83
Barda  Nawawi  Arief,
Perbandingan  Hukum  Pidana
,  Semarang:  Badan  Penyediaan Bahan Kuliah FH-Undip, 1988, hlm. 40.
diperluas  lagi  cakupannya,  yaitu  bukan  hanya  perorangan  saja  melainkan  juga terhadap  korporasi,  dapat  dimintakan  pertanggungjawabannya  apabila  terbukti
melakukan  korupsi.  Pengaturan  secara  teoritis  korporasi  sebagai  subjek  dalam tindak  pidana  korupsi  ditemukan  dalam  Undang-Undang  No.  31  Tahun  1999
tentang  pembernatasan  tindka  pidana  korupsi  jo.  Undang-Undang  No.  20  Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti misalnya Pasal 1 butir
3  yang  menyebutkan  bahwa: “setiap  orang  adalah  orang  perseorangan  atau
termasuk korporasi”. Dengan  adanya  perumusan  Pasal  1  butir  3  tersebut,  dapat  diketahui
bahwa  subjek  atau  pelaku  tindak  pidana korupsi  adalah  orang  perseorangan  atau korporasi. Selain itu di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  jo.  Undang-Undang  No.  20  tahun  2001 disebutkan bahwa:
1. Setiap  orang  yang  secara  melawan  hukum  melakukan  perbuatan
memperkaya  diri  sendiri  atau  orang  lain  atau  suatu  korporasi  yang  dapat merugikan  keuangan  negara  atau  perekonomian  negara,  dipidana  dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. 2.
Dalam  hal  tindak  pidana  korupsi  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Selanjutnya, Pasal 3 menyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain,  atau  suatu  korporasi,  menyalahgunakan  kewenangan,  kesempatan
atau  sarana  yang  ada  padanya  karena  jabatan atau  kedudukan  yang  dapat merugikan  keuangan  negara  atau  perekonomian  negara,  dipidana  dengan
pidana  penjara  seumur  hidup  atau  pidana  penjara  paling  singkat  1  satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit
Rp.  50.000.000,00  lima  puluh  juta  rupiah  dan  paling  banyak  Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.”
Dari ketentuan tersebut di atas, membuktikan adanya perkembangan baru yang  diatur  dalam  Undang-Undang  ini,  yaitu  diaturnya  korporasi  sebagai  subjek
tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Selain  itu,  perumusan  subjek  tindak  pidana  korupsi  sebagaimana  diatur
dalam  Pasal  7  dapat  ditafsir  bahwa  di  dalam  pengertiannya  termasuk  korporasi sebagai pelakunya. Adanya kata “pemborong”, dapat ditafsirkan sebagai manusia
atau juga korporasi, karena pekerjaan yang disebutkan dalam pasal tersebut dapat dilakukan oleh manusia maupun oleh korporasi.
Demikian pula halnya dengan Pasal 20 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa:
Ayat 1  : dalam hal tindak pidana korupsi  dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi,  maka  tuntutan  dan  penjatuhan  pidana  dapat  dilakukan  terhadap
korporasi dan atau pengurusnya. Ayat  2  :  tindak  pidana  korupsi  dilakukan  oleh  korporasi  apabila  tindak  pidana
tersebut  dilakukan  oleh  orang-orang  baik  berdasarkan  hubungan  kerja  maupun
berdasarkan  hubungan  lain,  bertindak  dalam  lingkungan  korporasi  tersebut  baik sendiri maupun bersama-sama.
Menurut Sutan Remy Sjahdeni, makna orang-orang berdasarkan hubungan kerja  dalam  ayat  2  adalah  orang-orang  yang  memiliki  hubungan  kerja  sebagai
pengurus atau sebagai pegawai berdasarkan:
84
a. Anggaran dasar dan perubahannya
b. Surat pengangkatan sebagai pegawai
c. Perjanjian kerja sebagai pegawai
Orang-orang  yang  berdasarkan  hubungan  lain  adalah  orang-orang  yang memiliki  hubungan  lain  selain  hubungan  kerja  dengan  korporasi.  Mereka  itu
antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama korporasi berdasarkan
85
: 1.
Pemberian kuasa 2.
Berdasarkan perjanjian dengan pemberi kuasa 3.
Berdasarkan pendelegasian wewenang. Rumusan Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana
korupsi  sama  sekali  tidak  terkait  dengan  aspek  pertanggungjawaban  pidana, melainkan  mengenai  dasar  teoritis  penentuan  tindak  pidana  korupsi  oleh
korporasi. Undang-Undang  hukum  pidana  banyak  yang  tersebar  di  luar  KUHP  atau
yang  disebut  hukum  pidana  khusus  seperti  Undang-Undang  No.  31  tahun  1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UUPTPK jo.
84
Sutan Remy Sjahdeni,
op. cit
., hlm. 152.
85
Ibid
., hlm. 153.
UU  No.  20  tahun  2001  tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang  No.  31  Tahun 1999.  Untuk  membentuk  Undang-Undang  pidana  khusus  harus  memenuhi
kriteria-kriteria  tertentu  seperti  yang  dikemukakan  oleh  Loebby  Loqman,  yang intinya sebagai berikut:
86
Bahwa  suatu  perbuatan  itu  harus  diatur  tersendiri  dalam  Undang-Undang pidana khusus disebabkan oleh karena :
a. Jika  dimasukkan  kedalam  kodifikasi  KUHP  akan  merusak  sistem
kodifikasi tersebut; b.
Karena adanya keadaan tertentu misalnya keadaan darurat; dan c.
Karena  kesulitan  melakukan  perubahan  atau  penambahan  dalam kodifikasi,  karena  dalam  hal  tertentu  dikehendaki  adanya  penyimpangan
sistem yang telah ada sebelumnya. Dari kriteria tersebut di atas dihubungkan dengan Undang-Undang No. 31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001, diketahui bahwa ada hal-hal yang khusus dalam Undang-Undang
tersebut  yang  berbeda  dengan  KUHP  misalnya  masalah  percobaan,  pembantuan dan  permufakatan  jahat  untuk  melakukan  tindak  pidana  dijatuhi  pidana  yang
sama  dengan  pidana  yang  dijatuhkan  pada  pelaku  delik,  dan  masalah  korporasi sebagai  subjek  hukum  pidana,  dimana  korporasi  dapat  melakukan  tindak  pidana
dan  dapat  dipertanggungjawabkan.  Semangat  pemberantasan  tindak  pidana
86
http:eprints.undip.ac.id186511ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf
korupsi setelah reformasi ditandai dengan dibuatnya berbagai produk perundang- undangan sebagai berikut:
87
1. Peraturan Penguasa Militer Nomor PrtPM061957 tentang pemberantasan
korupsi 2.
Peraturan  Penguasa  Perang  Pusat  Angkatan  Darat  Nomor PrtPerpu0131958
3. Undang-Undang  No.  24Prp1960  dan  keputusan  Presiden  Nomor  228
tahun 1967 tentang tindak pidana korupsi 4.
Undang-Undang  No.  3  tahun  1971  tentang  pemberantasan  tindak  pidana korupsi
5. Undang-Undang  No.  28  tahun  1999  tentang  Penyelenggaraan  Negara
Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN 6.
Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  tentang  “Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi”, yang mengubah dan menggantikan undang-undang No. 3
Tahun 1971. 7.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
8. Undang-Undang No. 15 tahun 2002 yang diubah dengan Undang-Undang
No. 25 tahun 2003 tentang tentang tindak pidan pencucian uang 9.
Undang-Undang  No.  30  Tahun  2002  tentang  Komisi  Pemberantasan Korupsi
87
Edi Yunara,
op. cit
., hlm. 103.
10.Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang tindak pidana informasi dan transaksi elektronik
Berdasarkan  hal-hal  di  atas  jelas  bahwa  dalam  Undang-Undang Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi,  sistem  pertanggungjawaban  pidana
korporasi sudah sampai pada tahap ketiga yaitu korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan. Perumusan tindak pidana dalam Bab II
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika dihubungkan dengan subjek hukum yang dikenal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, berakibat bahwa tidak semua tindak pidana tersebut dapat dilakukan oleh korporasi,  karena  selain  korporasi  sebagai  subjek  hukum,  Undang-Undang
Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  juga  mengenal  subjek  hukum  berupa orang  dan  pegawai  negeri.  Adapun  tindak  pidana  korupsi  yang  dapat  dilakukan
oleh korporasi adalah tindak pidana korupsi  yang dirumuskan di dalam Undang- Undang  No  31  Tahun  1999  tentang  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  jo.
Undang-Undang No 20 Tahun 2001 adalah: a.
Pasal 2 ayat 1, “Setiap  orang  yang  secara  melawan  hukum  melakukan  perbuatan
memperkaya  diri  sendiri  atau  orang  lain  atau  suatu  korporasi  yang  dapat merugikan  keuangan  negara  atau  perekonomian  negara,  dipidana  dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.” b.
Pasal 3,
“setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain,  atau  suatu  korporasi,  menyalahgunakan  kewenangan,  kesempatan
atau  sarana  yang  ada  padanya  karena  jabatan atau  kedudukan  yang  dapat merugikan  keuangan  negara  atau  perekonomian  negara,  dipidana  dengan
pidana  penjara  seumur  hidup  atau  pidana  penjara  paling  singkat  1  satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit
Rp.  50.000.000,00  lima  puluh  juta  rupiah  dan  paling  banyak  Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.”
c. Pasal 5 ayat 1,
Dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  1  satu  tahun  dan  paling lama  5  lima  tahun  dan  atau  pidana  denda  paling  sedikit  Rp.
50.000.000,00  lima  puluh  juta  rupiah  dan  paling  banyak  Rp. 250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta rupiah:
1. Memberi  atau  menjanjikan  sesuatu  kepada  pegawai  negeri  atau
penyelenggara  negara  dengan  maksud  supaya  pegawai  negeri  atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya 2.
Memberi  sesuatu  kepada  pegawai  negeri  atau  penyelenggara  negara karena  tau  berhubungan  dengan  sesuatu  yang  bertentangan  kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya d.
Pasal 6 ayat 1, Dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  3  tiga  tahun  dan  paling
lama  15  lima  belas  tahun  dan  dipidana  denda  paling  sedikit  Rp.
150.000.000,00  seratus  lima  puluh  juta  rupiah  dan  paling  banyak  Rp. 750.000.000 tujuh ratus lima puluh juta rupiah setiap orang yang:
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi  putusan  perkara  yang  diserahkan  kepadanya  untuk diadili.
2. Memberi  atau  menjanjikan  sesuatu  kepada  seseorang  yang  menurut
ketentuan  peraturan  perundang-undangan  ditentukan  menjadi  advokat untuk  menghadiri  sidang  pengadilan  dengan  maksud  untuk
mempengaruhi  nasihat  atau  pendapat  yang  akan  diberikan  berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
e. Pasal 7,
1 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling
lama  7  tujuh  tahun  dan  atau  pidana  denda  paling  sedikit  Rp. 100.000.000,00  seratus  juta  rupiah  dan  paling  banyak  Rp.
350.000.000,00 tiga ratus lima puluh juta rupiah : a.
Pemborong,  ahli  bangunan  yang  pada  waktu  membuat  bangunan, atau  penjual  bahan  bangunan,  melakukan  perbuatan  curang  yang
dapat  membahayakan  keamanan  orang  atau  barang,  atau keselamatan negara dalam keadaan perang
b. Setiap  orang  yang  bertugas  mengawasi  pembangunan  atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja dengan membiarkan perbuatan curang
c. Setiap  orang  yang  pada  waktu  menyerahkan  barang  keperluan
Tentara  Nasional  Indonesia  dan  atau  Kepolisian  Negara  Republik Indonesia  melakukan  perbuatan  curang  yang  dapat  membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang d.
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara  Nasional  Indonesia  dan  atau  Kepolisian  Negara  Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang 2
Bagi  orang  yang  menerima  penyerahan  barang  keperluan  Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang f.
Pasal 13, “Setiap  orang  yang  memberi  hadiah  atau  janji  kepada  pegawai  negeri
dengan mengingat kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada  jabatan  atau  kedudukan  tersebut,  dipidana  dengan  pidana  penjara paling  lama  3  tiga  tahun  dan  atau  denda  paling  banyak  Rp.
150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah.” g.
Pasal 15 “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan
jahat  untuk  melakukan  tindak  pidana  korupsi,  dipidana  dengan  pidana yang  sama  sebagaimana  dimaksud  dengan  Pasal  2,  Pasal  3,  Pasal  5,
sampai dengan Pasal 14.” h.
Pasal 16
“Setiap  orang  di  luar  wilayah  negara  Republik  Indonesia  yang memberikan  bantuan,  kesempatan,  sarana,  atau  keterangan  untuk
terjadinya  tindak  pidana  korupsi  dipidana  dengan  pidana  yang  sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dengan Pasal
2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pas al 14.”
Dengan adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi  di  dalam  UU  No.  31  Tahun  1999  Jo.  UU  No.  20    Tahun  2001  tentang
pemberantasan  tindak  pidana  korupsi,  maka  konsekuensinya  korporasi  dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana korupsi
yang dilakukannya.
C. Latar  Belakang  Pengaturan  Korporasi  sebagai  Subjek  Hukum  dalam