Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti Vicarious Liability

individu juga bertindak melalui perusahaan. Oleh karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan kejahatan yang dilakuakan individu seharusnya tidak dilimpahkan kepada perusahaan. Begitu juga sebaliknya.

2. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti Vicarious Liability

Pertanggungjawaban pengganti adalah pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi yang bertanggungjawab atas tindakan orang lain a vicarious liability is one where in one person, though without personal fault, is more liable for the conduct of another . Menurut doktrin vicarious liability , seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahan orang lain. Vicarious liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan sebagai pertanggungjawaban hukum atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”. 111 Menurut doktrin ini, majikan atau employer adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruhkaryawannya yang telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup tugaspekerjaannya. Pengadilan telah mengembangkan sejumlah prinsip-prinsip mengenai doktrin vicarious liability , salah satunya adalah “ employment principle ”. Menurut prinsip ini, majikan employer adalah penanggung jawab utama dari perbuatan-perbuatan para buruhkaryawan yang melakukan perbuatan itu dengan ruang lingkup tugaspekerjaannya. Di Australia tidak ada keraguan, bahwa “the vicar’s criminal act” perbuatan dalam delik vicarious dan “the vicar’s guilty mind” kesalahansikap batin jahat dalam delik 111 Ibid ., hlm. 100. vicarious dapat dihubungkan dengan majikan atau pembuat principal. Berlawanan dengan di Inggris “ a guilty mind ” hanya dapat dihubungkan dengan majikan apabila ada delegasi kewenangan dan kewajiban yang relevan a relevan “delegation” of power and duties menurut undang-undang. 112 Selanjutnya dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain, dapat dilihat dari ketentuan sebagai berikut: 113 a. Ketentuan umum yang berlaku menurut common law ialah, bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelayanburuhnya. Hal ini terlihat dalam kasus R.v.Huggins 1730, dimana Huggins X seorang sipir penjara dituduh membunuh seorang narapidana Y, yang sebenarnya dibunuh oleh pelayan Huggins Z. Dalam kasus ini Z yang dinyatakan bersalah, sedangkan X tidak karena perbuatan Z itu dilakukan tanpa sepengetahuan X. Dari kasus ini terlihat bahwa pada prinsipnya seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pelayannya. Namun ada perkecualiannya yaitu dalam hal public nuisance yaitu suatu perbuatan yang menyebabkan gangguan substansial terhadap penduduk atau menimbulkan bahaya terhadap kehidupan, kesehatan dan harta benda, dan juga criminal libel. Dalam kedua tindak pidana ini seorang majikan bertanggungjawab atas perbuatan pelayanburuhnya sekalipun secara langsung tidak bersalah. 112 Ibid ., hlm. 101 113 Ibid ., hlm., 102. b. Menurut Undang-Undang statute law, vicarious liability dapat dipertanggungjawabkan dalam hal-hal: 1. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan the delegation principle. Contoh kasus Allen V.Whitehead 1930, X adalah pemilik rumah makan. Pengelolaan rumah makan itu diserahkan kepada Y manager. Berdasarkan peringatan dari polisi, X telah menginstruksikanmelarang Y untuk mengijinkan pelacuran di tempat itu yang ternyata dilanggar Y. X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan police act 1839 Pasal 44. Konstruksi hukumannya demikian “X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y manager. Dengan telah melimpahkan kebijaksanaan usahanya itu kepada manager, maka pengetahuan si manager merupakan pengetahuan dari si pemilik rumah makan itu ”. Dalam hal ini X dinyatakan tidak bersalah, karena telah mendelegasikan kewenangannya untuk mengelola restoran kepada Y. 2. Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisikjasmaniah dilakukan oleh buruhpekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan the servant’s act is the mater’s act in law. Jadi apabila si pekerja sebagai pembuat materilfisik auctor fisicus dan majikan sebagai pembuat intelektual actor intellectualis . Dalam perkara pidana ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan pidana dengan pertanggungjawaban pengganti, syarat tersebut adalah : 114 a. Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara majikan dan pegawaipekerja; b. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. c. Adanya pendelegasian the delegation principle wewenang dari majikan kepada pegawaipekerja d. Prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan the servant’s act is the mater’s act in law. Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara pemberi kerja employer dengan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Luasnya otonomi dari seorang pegawai profesional, perwakilan, atau kuasa dari korporasi tersebut, dapat menimbulkan keragu-raguan mengenai hubungan subordinasi tersebut, yaitu untuk dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu kepada pemberi kerjanya. Lebih lanjut, harus dapat dipastikan apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab atas perbuatannya. Sementara itu, tidak selalu dapat diketahui 114 Edi Yunara, op. cit ., hlm. 60. dengan jelas apakah perbuatan pelaku tindak pidana memang telah dilakukan dalam rangka tugasnya. 115

3. Doktrin Pertanggungjawaban ketat Strict Liability

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 82 117

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 61 4

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35