36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Antibiotik selanjutnya yang digunakan adalah amoksisilin, yaitu diberikan pada pasien kelompok umur 15
– 44 tahun 27 tahun dengan dosis 3x500 mg. Dalam buku Drug Information Handbook menyatakan,
dosis untuk anak ≤ 3 bulan adalah 20 – 30 mgkghari terbagi setiap 12
jam, untuk anak 3 bulan atau 40 kg adalah 20 – 50 mgkghari dosis
terbagi setiap 8 – 12 jam, dan untuk dewasa adalah 250 – 500 mg setiap 8
jam atau 500 – 875 mg 2x sehari, dosis maksimum 2 – 3 ghari. Jadi, dosis
amoksisilin yang diberikan sesuai dengan buku Drug Information Handbook untuk pasien pada kelompok umur 15
– 44 tahun.
4.13.2.6. Analisis Tepat Cara Pemberian
Berdasarkan data hasil cara pemberian, antibiotik yang diberikan paling banyak diberikan secara oral yaitu merupakan tepat cara pemberian.
Cara pemberian secara injeksi juga termasuk tepat cara pemberian. Dalam penelitian ini, pasien yang paling banyak adalah pasien dengan umur 1
– 14 tahun. Antibiotik lebih banyak diberikan secara oral kemungkinan
dikarenakan kebanyakan pasien adalah pasien umur 1 – 14 tahun yang
akan lebih susah diberikan secara injeksi dibandingkan diberikan secara oral. Karena bentuk sediaan antibiotik yang tersedia di rumah sakit
maupun di pasaran adalah berupa tablet, kapsul atau puyer dan tidak bisa diberikan secara injkesi sehingga cara pemberiannya secara oral.
4.13.2.7. Analisis Tepat Lama Pemberian
Berdasarkan hasil lama pemberian obat antibiotik menunjukkan bahwa sebagian besar pasien DHF diberikan terapi antibiotik yaitu
berkisar antara 4 – 6 hari yang merupakan tepat lama pemberian.
Sementara untuk lama pemberian selama 1 – 3 hari, 7 – 9 hari dan 9 hari
merupakan tidak tepat lama pemberian. Dimana, berdasarkan lama pemberian antibiotik secara umum adalah antibiotik paling lama diberikan
selama 7 hari atau sampai antibiotik tersebut habis. Distribusi frekuensi lama pemberian obat antibiotik disini
berdasarkan lama perawatan pasien di RS Mintohardjo, yaitu pasien
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diberikan terapi obat antibiotik pada saat pasien datang ke RS sampai pasien keluar dari RS. Akan tetapi, ada beberapa pasien yang diberikan
antibiotik berkisar antara 1 – 3 hari kemudian pada hari berikutnya tidak
diberikan antibiotik. Hal ini dikarenakan keluhan pasien pada hari selanjutnya yang memungkinkan untuk tidak diberikan antibiotik.
4.13.2.8. Analisis waspada efek samping
Berdasarkan hasil penelitian dari keluhan pasien, demam atau panas, mual, muntah, sakit kepala atau pusing dan lemas adalah keluhan
yang paling banyak dikeluhkan oleh pasien DHF, baik pasien DHF yang diberikan antibiotik maupun pasien DHF yang tidak diberikan antibiotik.
Infeksi dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus pertama kali dapat memberi gejala sebagai demam dengue.
Keluhan pasien tersebut dapat juga ditimbulkan dari efek samping obat antibiotik seperti seftriakson yang menimbulkan efek samping
gastrointestinal yaitu faeces encer diare, mual, muntah, stomatitis dan glositis. Sefiksim memberikan efek samping seperti syok, reaksi
hipersensitivitas, kelainan hematologi, peningkatan hasil tes fungsi hati, gangguan saluran cerna, disfungsi ginjal, gangguan pernapasan, sakit
kepala atau pusing. Siprofloksasin mempunyai efek samping seperti mual, rasa tidak enak pada perut, dyspepsia, kembung, diare dan stomatitis,
kolitis psedomembranosa, sakit kepala, pusing, tidak enak badan, mengantuk, rasa capek, kegelisahan, insomnia, terkadang depresi,
halusinasi, pandangan kabur, psikosis dan kejang serta kulit kemerahan. Sedangkan untuk amoksisilin mempunyai efek samping berupa reaksi
kepekaan seperti erythematosus maculopapular, rash, urtikaria, serum sickness. Reaksi kepekaan yang serius dan fatal pada amoksisilin adalah
anafilaksis terutama terjadi pada penderita yang hipersensitif pada penisilin, gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah dan diare,
reaksi – reaksi hematologik biasanya bersifat reversibel.
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.13.2.9. Analisis Tepat Pasien
Berdasarkan data catatan rekam medis yang didapatkan, tidak dituliskan atau tidak dicantumkan bahwasannya pasien mempunyai
riwayat alergi, adanya penyakit kelainan ginjal atau kerusakan hati dan kondisi khusus misalnya pasien tersebut hamil, laktasi, balita atau lansia.
Sehingga terdapat kesulitan untuk mempertimbangkan pemilihan obat dan untuk menganalisis ketepatan pasien, apakah obat yang diberikan pada
pasien tersebut telah memenuhi syarat tepat pasien atau tidak. Dalam teori pada penelitian ini, obat yang akan digunakan oleh
pasien mempertimbangkan
kondisi individu
atau pasien
yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan
ginal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya
pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari Swestika,
2013.
4.13.2.10. Pasien DHF berdasarkan lama perawatan
Berdasarkan hasil penelitian dari lama perawatan pasien DHF, sebagian besar pasien dirawat di RS selama 4
– 6 hari. Pada penelitian oleh Afiana dan Mery 2012 dari Universitas Muhammadiyah Semarang
menunjukkan bahwa pasien DHF paling lama dirawat selama 4 – 6 hari di
Rumah Sakit. Ini dilihat dari hasil laboratorium pasien, dimana hasil data laboratorium berdasarkan kadar trombosit pasien semakin meningkat
setiap harinya. Sehingga memungkinkan pasien untuk tidak dirawat di rumah sakit atau diperbolehkan pulang. Kadar trombosit normal adalah
150.000 sampai 450.000 trombosit per mikro-liter darah.
4.13.2.11. Pasien DHF berdasarkan data laboratorium 4.13.2.11.1. Pasien DHF berdasarkan kadar trombosit
Berdasarkan hasil data laboratorium dilihat dari kadar trombosit menunjukkan bahwa sebagian besar pasien mengalami trombositopenia.