1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan akan kebermaknaan sangat mendesak bagi masyarakat modern, tetapi nampaknya kurang mendapat respon dari teori normatif Metz, 2002. Debats
1995 berpendapat bahwa makna hidup merupakan persoalan penting dalam eksistensi manusia terlebih lagi dalam masyarakat modern. Namun karena masih
sedikitnya penelitian di bidang tersebut, sehingga masih diperlukan
melakukanprediksi-prediksisecara teoritis Harries dalam Sumanto, 2006.
Seligman 1998 mengatakan bahwa psikologi dapat membantu merumuskan jalan keluar bagi umat manusia untuk dapat memiliki kehidupan
yang bermakna meski hidup dalam ketidakpastian dan persaingan, bisa dilakukan dengan cara memaksimalkan aspek positif dalam diri individu. Namun pada
kenyataannya, banyak psikolog yang lebih memberikan perhatian terhadap aspek negatif dibanding terhadap kesehatan mental. Penelusuran Csikszentmihalyi
dalam Sumanto, 2006 pada abstrak psikologi, sejak tahun 1887 hingga tahun 1997 membuktikan bahwa artikel-artikel aspek positif dan negatif kehidupan
manusia berada dalam perbandingan yang tidak seimbang; terdapat 8.072 artikel kemarahan, 57.800 artikel kecemasan, dan 70.856 artikel depresi dan hanya 851
artikel tentang kegembiraan, 2.958 artikel kesejahteraan subyektif, dan 5.701 artikel kepuasan hidup. Perbandingannya sangat jauh yaitu 7:1.Penemuan artikel-
artikel tersebut merupakan bukti nyata bahwa masih sedikitnya perhatian psikolog terhadap pentingnya memaksimalkan aspek positif pada diri individu.Oleh sebab
itu penulis tertarik membahas makna hidup yang merupakan aspek positif untuk menuju kebahagiaan hidup manusia.
Keinginan untuk hidup bermakna the will to meaning merupakan komponen dasar untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.Hasrat inilah yang
mendorong setiap individu untuk melakukan berbagai kegiatan seperti kegiatan bekerja dan berkarya untuk bertahan hidup agar hidupnya dirasakan berarti dan
berharga. Individu akan menemukan makna bagi dirinya sendiri ketika ia menanamkan perasaan dan energi dalam aktifitas yang dapat mengekspresikan
keinginan dan prioritas yang istimewa bagi individu tersebut. Menurut Fabry 1980 salah satu dasar makna hidup adalah mengembangkan potensi individu.
Sehingga usaha tersebut menunjukan adanya keingingan individu untuk memiliki kebermaknaan dalam hidupnya. Potensi individu disini diartikan sebagai kapasitas
dan kualitas individu yang meningkatkan kehidupannya sendiri maupun orang lain, baik dalam hal kualitas maupun materiil.
MenurutKierkegaard1813-1855, hidup
tidak sekedar
sesuatu sebagaimana yang kita pikirkan melainkan sebagaimana kita hayati Sumanto,
2006: 117. Semakin mendalam penghayatan seseorang terhadap perihal kehidupan, makin bermaknalah kehidupannya. Penghayatan eksistensial adalah
kedekatan dengan Tuhan; makin seseorang mendekati kesempurnaan, makin ia membutuhkan Tuhan. Hal tersebut sejalan dengan hasil studi Steger Frazier
2005 mengatakan bahwa makna hidupdiidentifikasi sebagai penghubung antara religiusitas dan kesehatan psikologis,karena salah satu fungsi agama religion
adalah memberikan individu cara-cara yang jika dijalani mereka akan mendapatkan tujuan purpose dalam hidupnya Emmons Paloutzian, 2003.
Makna hidup merupakan elemen penting dalam kesejahteraankesehatan mental well-being dan fungsi hidup manusia Steger Frazier, 2005. Tanpa
makna hidup, tujuan, nilai, atau idealisme dalam diri individu maka akan timbul keputusasaan. Bahkan menurut Frankl, jika seseorang tidak berjuang untuk makna
hidupnya maka akan mengalami eksistensi-ham pa atau “meaninglessness”.
Kondisi tersebut apabila berkepanjangan dapat menyebabkan “noogenic neurosis
”, suatu kondisi yang ditandai dengan gejala kebosanan dan apatismeSumanto, 2006.Dari pendapat-pendapat diatas menimbulkan pertanyaan
mengenai bagaimana cara kita memperoleh makna hidup di tengah permasalahan hidup yang kian menekan.
Setiap diri kita pasti akan berhadapan dengan masalah atau yang dalam Islam disebut dengan cobaan, bisa berupa kegagalan, kesedihan dan sebagainya.
Dan apapun masalah yang telah terjadi dimasa lalu maupun yang sekarang sedang dihadapi, kehidupan ini haruslah terus berjalan sebagaimana mestinya.Oleh sebab
itu alangkah sayangnya jika kehidupan ini kita jalani dengan kesia-siaan atau keputusasaan apalagi hingga merasa bahwa kehidupan ini tidaklah ada
gunanya.Debat 1995 berpendapat rendahnya makna hidup individu berhubungan dengan psikopatologis Yalom, 1980, rendahnya kesehatan mental Reker,
Peacock Wong, 1987; Zika Chamberlain, 1992, terjerumus kepenggunaan NAZA dan keinginan untuk bunuh diri Harlow, Newcomb Bentler, 1986.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi makna hidup yang pernah diteliti oleh Debats, Van der Lubbe, dan Wezeman dalam Debats dkk,
1995mengenai hubungan antara Life Regard Index LRI dengan demografis seks, usia, pendidikan dan karakteristik kepribadian menemukan bahwa faktor
demografis tidak berpengaruh, namun ditemukan pengaruh yang signifikan pada individu yang berstatus menikah dibandingkan dengan yang belum atau tidak
menikah, individu yang memiliki hubungan baik dalam pernikahan dengan individu yang telah bercerai dalam pernikahan, individu yang memiliki pasangan
partner dengan yang tidak memiliki pasangan, yang menghasilkan kesimpulan bahwa memiliki hubungan intim intimate relationship menghasilkan tingginya
skor positive life regard. Individu yang memiliki hubungan intim biasanya memiliki pengalaman makna hidup dibandingkan dengan yang tidak memiliki
hubungan tersebut dalam Leath ,1999.
Pendapat lain dalam Sumanto 2006 mengatakan bahwa salah satu unsur penting dalam makna hidup ialah saat individu mampu menemukan orientasi
intrinsik dan membuat keputusan pribadi dalam mengatasi krisis yang akan mendatangkan pengalaman-pengalaman emosi positif Leath, 1999. Sebaliknya,
kegagalan manusia dalam menemukan orientasi intrinsik ditengah berbagai kemungkinan yang tak terhitung banyaknya berpotensi menimbulkan kecemasan
yang menjadi salah satu ancaman terhadap kebermaknaan hidup manusia
Sumanto, 2006. Misal, terjadinya kehilangan “basic spiritual need” pada pecandu NAZA yang disampaikan oleh Kendler et.al 1997, sehingga untuk
mengisi kebutuhan yang „hilang‟ itu digantikan dengan mengkonsumsi NAZA dalam Hawari, 2002.
Clinebell dalam Hawari, 2002: 18 dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual basic spiritual
needs.Bagi mereka yang beragama kebutuhan spiritual ini dapat diperoleh melalui pengalaman agama. Namun bagi mereka yang sekuler mengatasinya
dengan jalan penyalahgunaan NAZA sebagai bentuk pelarian escape reaction karena ketidakmampuannya menghadapi kenyataan Hawari, 2002: 17. Dapat
dikatakan bahwa individu yang mengalami kecanduan NAZA tidak berhasil menemukan orientasi intrinsik yang dapat membantunya menghadapi
permasalahan hidup sehinga ia melarikan diri ke penggunaan NAZA.
Hal tersebut sama yang penulis ketahui selama tiga minggu Kuliah Kerja Lapangan di Unit Terapi Rehabilitasi BNN, ketika masih mengkonsumsi
NAZA subjek menyatakan ketidakberdayaannya terhadap benda tersebut, segala cara hingga tindak kriminal akan mereka lakukan hanya demi mendapatkan
NAZA, hidup mereka hanya terfokus untuk memenuhi kebutuhannya mengkonsumsi NAZA, mereka menjadi lupa akan tujuan hidupnya sehingga
terjadilah meaningless dalam menjalani hidup. Adapun gambaran tentang makna hidup pada recovering addict yang telah menjalani program recovery, dimana
mereka mulai belajar kembali tugas-tugas kehidupan yang seharusnya dilakukan,
tentang apa tujuan hidup ini, mereka disadarkan tentang bahayanya penyalahgunaan NAZA yang telah mereka alami.Recovering addict merasa lebih
bersyukur karena Tuhan masih memberi mereka kesempatan untuk berubah jadi lebih baik lagi, dan merasa lebih berguna karena selama di tempat rehabilitasi
mereka bisa saling membantu sesama untuk keberhasilan proses pemulihan recovery.Banyak dari mereka yang juga berusaha untuk mendapatkan
kepercayaan kembali dari keluarga dan masyarakat disekitarnya.
Program-programdi BNN membuat mereka belajar kembali fungsi kehidupan seperti pada recovering addict yang masih menjadi residen baik di fase
Primary maupun Re-Entry, mereka mendapat banyak informasi baru dari yang berbentuk sosial hingga spiritual. Mereka juga sudah dituntut untuk bertanggung
jawab atas kelangsungan kegiatan sehari-hari dari mulai merapikan tempat tidur, saling mengingatkan dan menegur jika sesama mereka melakukan kesalahan,
menyiapkan makan, sampai membersihkan tempat tinggal. Bahkan pada fase akhir Re-Entry telah diberi tanggung jawab mengawasi dan memimpin jalannya
kegiatan di fase pertama detox. Sedangkan pada staff addict mereka yang mengawasi dan memimpin jalannya seluruh kegiatan pemulihan di BNN. Dari
kegiatan bermanfaat yang dilakukan selama di tempat rehabilitasi, dapat menimbulkan perasaan bermakna pada diri recovering addict. Mereka merasa
lebih bermakna dalam menjalani hidup selama di tempat rehabilitasi, karena lebih terarah dalam menjalani keseharian.
Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian kualitatif yang pernah
dilakukan di Indonesia, recovering addict yang telah berhasil pulih dari perilaku addict-nya merasa lebih dekat dengan Tuhan religious, dan juga merasa Tuhan
telah mengabulkan semua doa dan keinginannya. Mereka mencoba mencari apa arti kehidupan yang bermakna tanpa menggunakan NAZA dan berusaha
menemukan kembali makna hidup yang hilang Junaiedi, 2009.
Contoh lain tentang makna hidup yang disaksikan sendiri oleh Frankl ketika terpenjara di „kamp maut‟ NAZI dimana ia dihadapkan pada keadaan penuh
siksaan, teror, dan pembunuhan kejam oleh tentara NAZI terhadap warga Yahudi. Namun ternyata ditengah penderitaan tersebut Frankl menemukan sebagian
tahanan yang tetap menunjukkan sikap tabah, berusaha bertahan, dan bahkan tetap berusaha membantu sesama tanpa mengalami putus asa, apatis dan kehilangan
semangat hidup, mereka pun tidak melakukan bunuh diri guna membebaskan diri dari penderitaan. Para tahanan tersebut adalah mereka yang berhasil
mengembangkan dalam diri mereka harapan-harapan baik akan hari esok dan masa depan, serta meyakini datangnya pertolongan Tuhan dengan berbuat
kebajikan, berhasil menemukan dan mengembangkan makna dari penderitaan mereka
„meaning in suffering‟ Teori Frankl ebook.
Kasus Frankl hampir sama dengan latar belakang permasalahan yang dihadapi para mantan pecandu NAZA yang berusaha untuk tetap bertahan agar
tidak terjerumus lagi pada penyalahgunaan NAZA serta untuk bertahan menghadapi stigma negatif masyarakat terhadap dirinya. Memori masa lalu dan
permasalahan yang dihadapi mantan pecandu tidak akan menjadi penghalang
untuk tetap menciptakan makna hidup selama mereka mampu menemukan orientasi intrinsik dan membuat keputusan pribadi disetiap mengatasi masalah
Sumanto, 2006: 115.
Dapat dikatakan bahwa makna hidup dapat muncul tanpa adanya kesejahteraan Debats, 1990; King Napa, 1998 dalam Sumanto, 2006. Frankl
pun berpendapat bahwa hidup dalam penderitaan tidak menghalangi individu untuk tetap memiliki kehidupan yang bermakna Earnshaw, 2004 selama mereka
dapat menemukan dan mengembangkan makna dari penderitaan yang dialami „meaning in suffering‟. Seperti merasa bersyukur karena telah diberikan
kesempatan oleh Tuhan untuk selamat tidak meninggal karena over dosis, diijinkan untuk berubah menjadi lebih baik serta bermakna bagi rekan sesama
pecandu. Sehingga bisa dikatakan, menemukan makna hidup adalah saat kita memiliki kekuatan intrinsik yang dapat membantu kita menghayati sebuah
penderitaan, sampai kita berhasil mendatangkan pengalaman emosi positif dari penderitaan tersebut.
William James berpendapat kekuatan intrinsik tersebut bisa didapat dari agama yang dapat memberikan energi spiritual, dapat menggairahkan semangat
hidup, meluaskan kepribadian, memperbarui daya hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. James juga
mengatakan bahwa agama adalah sumber kebahagiaan Rakhmat, 2003.Dalam Adler 1997 menyatakan bahwa makna hidup individu berhubungan dengan
kuatnya kepercayaan terhadap suatu agama religious belief, keanggotaan pada
sebuah kelompok, pengabdian pada sebuah sebab, nilai hidup, dan tujuan hidup yang jelas Yalom, 1980; in Zika Chamberlain, 1992.
Pendapat yang hampir serupa dinyatakan juga oleh Steger 2005: 574, dimana inti manfaat dari pengalaman religius dapat menjadi luas, ketika agama
telah memberikan individu sebuah perasaan bermakna sense of meaning dan hubungan mengenai dasar kebenaran Exline, 2002; Simpson, 2002. Penemuan
lain juga mendukung bahwa agama religion dapat menjadi sebuah sumber kesehatan mental well-being dalam kehidupan individu, dan dengan religiusitas
individu dapat memperoleh makna dari agama mereka dengan membantu mereka merasa lebih baik Steger Frazier, 2005: 580. Peran agama dapat memberikan
dukungan sosial sosial support atau sebagai sumber penanganan masalah coping resources, atau dengan perasaan bahwa dirinya berharga self-esteem
sehingga agama dapat menciptakan sebuah perasaan bermakna dalam hidup meaning in life yang pada gilirannya menuju kesehatan mental Steger
Frazier, 2005: 580.
Dari penelitian-penelitian diatas yang menjelaskan mengenai kuatnya pengaruh agama terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan individu ditengah
penderitaan atau masalah yang dialami individu. Sehingga penulis tertarik melakukan replika penelitian dari penelitian tersebut. Namun disini penulis akan
menggunakan alat ukur religiusitas yang lebih baru dan bersifat multidimensional sehingga diharapkan dapat mengukur religiusitas secara komprehensif, baik dari
segi ekstrinsik yang berupa ritualkegiatan keagamaan serta segi intrinsiknya,
yang tergabung dalam dimensi religiusitas milik Kendler dkk 2003 seperti General Religiosity coping religious; Sosial Support; Forgiveness; Tuhan
sebagai Penetap Takdir God as judge; Rasa Berterima Kasih thankfulness; Perasaan Tidak Dendam unvengefulness; Keterlibatan Tuhan dalam Aktifitas
keseharian Involve God; dsb Kendler et al., 2003serta ingin melihat apakah terdapat perbedaan pengaruh antara individu yang berstatus tidak menikah single
atau cerai dengan yang telah menikah terhadap makna hiduprecovering addict di BNN. Dengan penelitian yang hanya melihat pengaruh dimensi religiusitas dan
latar belakang status pernikahan terhadap makna hidup individu, diharapkan dapat lebih baik dan fokus dalam memperoleh temuan-temuan pada penelitian ini.
Sehingga penulis akan melakukan penelitian mengenai
“DIMENSI RELIGIUSITAS
DAN MAKNA
HIDUP RECOVERING
ADDICTDI UPT TR BNN ”.
1.2 Pembatasan Perumusan Masalah