Perbandingan PENGUBURAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

3.3 Perbandingan

Dalam sistem kepercayaan masyarakat Jepang dan Batak Toba, terdapat pernyataan bahwa kematian merupakan proses terpisahnya roh dari raganya, sehingga manusia itu dianggap telah mati atau meninggal. Pelaksanaan upacara kematian di Jepang pada umumnya dilaksanakan pada “hari yang baik”, karena menurut kepercayaan masyarakat Jepang, apabila upacara kematian dilaksanakan pada “hari yang buruk” maka roh orang yang meninggal akan membawa serta angggota keluarga , temankerabat dekatnya untuk menyertainya ke alam baka Dananjaja, 1997. Sedangkan pada masyarakat Batak Toba, acara kematian tidak didasari pada hari yang baik atau hari yang buruk, tetapi tergantung musyawarah dari pihak keluarga dekat ataupun unsur “Dalihan Na Tolu” mengenai kapan dan dimana mayat itu akan dikuburkan Harianja, 2006. Upacara kematian masyarakat Jepang mayoritas dilakukan dalam ritus Buddha dan Shinto, sedangkan upacara kematian pada masyarakat Batak Toba dilakukan dalam tata ibadah Kristen, dengan tidak meninggalkan adat istiadat di derahnya. Dalam penyelenggaraan upacara kematian masyarakat Jepang dan Batak Toba, para Pendeta ataupun peminpin agama memiliki peranan yang penting dalam penyelenggaraan jalannya upacara ataupun ritual kematian. Dalam pelaksanaannya, upacara kematian dalam masyarakat Jepang dilakukan secara bertahap, tidak dibedakan antara anak-anak dengan orang dewasa. Namun lain halnya pada masyarakat Batak Toba yang membedakan pelaksanaan Universitas Sumatera Utara upacara pada beberapa jenis kematian. Upacara adat secara bertahap dilakukan hanya pada orang yang telah meninggal sari matua atau saur matua. Bagi masyarakat Jepang dan Batak Toba penanganan jenazah secara baik adalah salah satu wujud dari rasa hormat keluarga yang masih hidup terhadap orang yang telah meninggal. Dalam masyarakat Jepang. pada waktu jenazah disemayamkan di rumah duka, diletakkan dalam posisi terbujur, dengan posisi kepala menghadap Utara. wajah almarhum ditutup dengan kain putih, kedua lengan diletakkan di atas dada. Sebelum disemayamkan, jenazah terlebih dahulu dimandikan, setelah itu didandani, dan dikenakan pakaian favoritnya semasa almarhum hidup, misalnya kimono. Hal yang sama juga dilakukan pada masyarakat Batak Toba, namun terdapat sedikit perbedaan. Pada saat jenazah disemayamkan, posisi jenazah juga diletakkan dalam keadaan yang baik dengan menghadap pintu keluar, namun tidak dibalut dengan kain putih. Proses pemandian jenazah tidak dilakukan, namun almarhum tetap didandani untuk mempercantik sosok tubuhnya. Pada almarhum juga dikenakan pakain yang rapi. Biasanya pada laki-laki dikenakan jas dan pada perempuan dikenakan kebaya. Saat jenazah disemayamkan di rumah duka, masyarakat Jepang melakukan tsuya berjaga sepanjang malam atau hantsuya 半通夜 atau berjaga setengah malam tujuannya untuk menghabiskan waktu terakhir kalinya bersama almarhum sambil mendoakannya, dengan dibimbing oleh seorang Pendeta. Sama halnya yang dilakukan masyarakat Batak Toba, keluarga juga menghabiskan waktu semalaman Universitas Sumatera Utara untuk mengenang almarhum sambil mendoakannya, juga dipimpin oleh seorang Pendeta Kristen. Saat menghadiri ritual kematian ini masyarakat Jepang dan Batak Toba menggunakan pakain berwarna hitam sebagai tanda berkabung. Dalam masyarakat Jepang dan Batak Toba mengenal proses pemakaman yang ke-dua. Proses pemakaman tulang –belulang dalam masyarakat Jepang dikenal dengan istilah maikotsu (埋骨).maikotsu dilakukan setelah 49 hari dilakukan kremasi. Sisa tulang hasil kremasi ini akan dimakamkan di pemakaman keluarga. Biasanya dalam pemakaman keluarga ini terdapat beberapa tulang-belulang anggota keluarga Proses pemakaman yang ke-dua dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah mangongkal holi. Mangongkal holi ini dilakukan pada seseorang yang meninggal sarimatua ataupun saurmatua. Prosesnya dilakukan beberapa tahun setelah pemakaman yang pertama. Tulang-belulang yang digali akan dimakamkan kembali di tempat yang lebih permanen yang disebut dengan Tugu. Sama halnya dengan masyarakat Jepang, didalam Tugu ini juga tersimpan beberapa tulang- belulang aggota keluarga dari beberapa generasi. Masyarakat Jepang dan Batak Toba percaya bahwa dalam memasuki saat peralihan dari tingkat tahapan sosial yang baru merupakan masa yang krisis, sehingga mereka mengadakan ritual atau upacara sesuai dengan kepercayaannya dengan tujuan agar kiranya hal-hal yang dianggap mengganggu atau mengancam ketentraman, kesejahteraan serta kelangsungan hidup mereka tidak terjadi di tengah-tengah mereka. Dalam kepercayaan masyarakat Jepang roh reikon berada dalam diri Universitas Sumatera Utara seseorang sejak lahir dan akan meninggalkan tubuhnya pada waktu meninggal Tsuboi Yobumi dalam situmorang, 2006. Sedangkan bagi masyarakat Batak, khususnya Batak Toba roh tondi berada dalam diri seseorang sudah ada sejak Ia masih berada dalam rahim Ibunya. Apabila tondi itu pergi, maka seseorang dinyatakan telah meninggal Gultom, 1992. Masyarakat Jepang dan Batak Toba memiliki kepercayaan bahwa antara orang yang telah meninggal dan yang masih hidup memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Adanya hubungan fungsional antara roh nenek moyang yang disembah dengan keluarga yang memuja dapat diartikan sebagai hubungan yang mendatangkan manfaat bagi kedua belah pihak. Roh nenek moyang yang disembah diyakini mampu melindungi mereka dari segala marabahaya dan memberkati keluarga mereka yang masih hidup. Dengan menghormati leluhur nenek moyang mereka, maka rohnya akan merasa tenang di dunia yang baru, yaitu dunia arwah. Keadaan roh yang tidak stabil atau kotor dalam masyarakat Jepang apabila berhubungan dengan darah dan mayat. Oleh karean itu, dibutuhkan penyucian- penyucian dan upacara-upacara persembahan . sedangkan dalam masyarakat Batak, khususnya Batak Toba, penyucian roh dilakukan pada saat seseorang mengalami sakit atau melakukan pelanggaran-pelanggaran moral yang bertentangan dengan Mulajadi Na Bolon dan Sumangot-Sumangot ni Ompu. Pada saat inilah roh dianggap kotor, tidak kuat, dan tidak stabil sehingga perlu dilakukan penyucian. Universitas Sumatera Utara Pemujaan terhadap roh atau arwah leluhur merupakan rangkaian religius keluarga yang terpenting dalam masyarakat Jepang. Karena pusat dari sistem kepercayaan masyarakat Jepang adalah keluarga. Mereka menganggap bahwa anggota keluarga mencakup anggota keluarga yang masih hidup dan yang telah meninggal. Maka anggota keluarga dipimpin kepala keluarga Kacho wajib melakukan pemujaan-pemujaan terhadap roh-roh orang mati yang tetap dianggap sebagai anggota keluarga. Sama halnya dengan masyarakat Batak Toba, yang menganggap mereka yang telah meninggal adalah tetap menjadi bagian anggota keluarga mereka. Salah satu perbedaan yang mencolok dalam masyarakat Batak Toba, bahwa tidak kepada semua arwah nenek moyang dilakukan penyembahan. Seseorang yang memiliki sahala yang pantas disembah. Dalam hal ini, seseorang yang meninggal saurmatua dianggap telah memiliki sahala. Titik tertinggi atau status tertinggi yang dicapai roh lewat pemujaan-pemujaan yang diberikan keturunannya. Hotoke Kami bagi masyarakat Jepang dan Sombaon bagi masyarakat Batak menunjukkan pengharapan yang kuat akan kehidupan yang lebuh baik di masa yang akan datang, Keturunan mendapat berkat kehidupan yang lebih baik di amsa yang akan datang dan roh leluhur juga mendapat berkat berada dalam kedudukan yang lebih terhormat. Untuk meningkatkan status roh seseorang supaya menjadi tingkat yang lebih tinggi, upacara-upacara penyembahan yang dilakukan oleh keluarga Jepang yang masih hidup adalah : Zotou membuat stupa, Shakei penyembahan gambar orang meninggal, Dokukei pembacaan kitab sutra bagi orang yang telah meninggal. Universitas Sumatera Utara Sedangkan untuk bagi masyarakat Batak Toba sendiri, upacara kematian penguburan jenazah, manuan Ompu-ompu menanam Ompu-ompu menandakan almarhum sudah bercucu, mangongkal holi penggalian tulang-belulang ke Tambak, pembuatan Tugu marga. Semua proses upacara kematian dalam masyarakatJepang dan Batak Toba dari mulai upacara pemakaman yang pertama sampai pada proses pemakaman yang ke-dua yang dilakukan terhadap anggota keluarga yang telah meninggal adalah salah satu wujud penghargaan dan rasa cinta terhadap anggota keluarga mereka yang telah tiada. Karena pada dasarnya, walaupun telah tiada namun hubungan batin antara keluarga dengan orang yang telah meninggal tetap ada Tambunan, 1982. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN