Proses Penguburan Tulang Pada Masyarakat Jepang

BAB III PERBANDINGAN KONSEP PEMIKIRAN RITUAL PENGUBURAN TULANG PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

3.1. Proses Penguburan Tulang Pada Masyarakat Jepang

Tahap akhir dari prosesi upacara kematian adalah upacara yang disebut sousai (葬祭) yaitu upacara pemakaman. Masyarakat Jepang mengenal 2 sistem penguburan, antara lain : d osou 土葬 dan k asou 火葬. Dosou merupakan proses penguburan jenazah dengan cara menggali lubang di permukaan tanah dan kemudian jenazah tersebut dimasukkan serta dikubur di dalamnya. Sedangkan kasou adalah sistem penguburan dengan cara kremasi atau dibakar. Pada zaman sekarang hampir 90 di negara Jepang melakukan sistem penguburan dengan cara kremasi. Salah satu alasannya adalah karena faktor lahan yang sudah semakin sempit di Jepang, tidak memungkinkan untuk dilakukannya penguburan dengan cara dosou. Dilihat dari sejarahnya, dosou memang lebih dulu ada daripada kasou. Kasou 火葬 sendiri menurut sejarah agama di Jepang berada di wilayah dimana sekte Jodoshinshu berkembang. Kasou atau upacara kremasi ini awalnya diterima di Jepang berkat masuknya agama Buddha di Jepang. Dalam shokunihongi yang merupakan salah satu dari enam kumpulan catatan sejarah Jepang yang dikumpulkan oleh keluarga kaisar pada zaman Nara dan Heian, Universitas Sumatera Utara bukti mengenai adanya upacara kremasi di Jepang telah ditemukan pada seorang mantan pendeta Buddha pada zaman Asuka yang bernama Dosho 629-700. Sesuai dengan kata-kata yang ditinggalkan beliau setelah meninggal, Ia meminta upacara kematiannya dilakukan dengan cara kremasi. Kemudian kira-kira pada zaman Heian, upacara kremasi atau kasou secara umum mulai populer di kalangan rakyat dan di setiap daerah dilengkapi dengan tempat pembakaran jenazah krematorium. Upacara kremasi dalam upacara kematian diadakan setelah pelepasan peti jenazah ini dihadiri oleh keluarga almarhum, kerabat dekat, dan juga orang-orang yang mempunyai hubungan akrab dengan almarhum. Pada saat menuju tempat kremasi krematorium, ada benda-benda yang tidak boleh lupa untuk dibawa karena sangat dibutuhkan di sana. Misalnya, ihai, potret wajah almarhum dan surat ijin untuk melakukan kremasi. Ihai adalah papan kayu berwarna putih di bagian depannya bertuliskan kaimyo nama yang diberikan Pendeta Buddha kepada orang yang meninggal dan di bagian belakangnya ada nama asli almarhum semasa hidupnya beserta tahun kematiannya yang ditulis dalam ukuran kecil. Pada upacara tsuya maupun pada saat upacara pemakaman ihai diletakkan di saidan sampai pada akhir masa perkabungan Yang disebut imi ake (忌明け)dan biasanya perusahaan pemakaman sogisha sudah mempersiapkan ihai beserta kaimyo atas permintaan keluarga almarhum Yang menuliskan kaimyo, hari, tanggal dan tahun kematian almarhum adalah Soryo (総量)atau pendeta agama Buddha. Ihai itu nantinya akan dibawa Moshu Universitas Sumatera Utara (喪主)atau peminpin perkabungan ketika mengiringi almarhum menuju tempat kremasi. Sedangkan potret wajah almarhum akan dibawa oleh wakil keluarga inti almarhum anak atau pasangan yang ditinggalkan. Sebelum melakukan proses kremasi, para pelayat melakukan ritual chouzu 手水 yaitu proses menyucikan tangan dan mulut , lalu berbaris di depan peti jenazah dan memberikan penghormatan kepada penanggung jawab upacara. Pengurus upacara menyiapkan sesajen, sedangkan kannushi akan membacakan doa dan para pelayat akan memberikan penghormatan terakhir pada jenazah. Dalam proses upacara ini pun kannushi 神主 akan mempersembahkan tamagushi 玉串 yang diikuti oleh para pelayat. Selanjutnya, sesajen dipindahkan dan peti mati dimasukkan ke dalam kamado oven pembakaran. Hal ini dilakukan oleh petugas dari perusahaan pemakaman. Sebelumnya, karena meja kecil dan peralatan penting seperti : makko dupa yang berbentuk butiran dari daun sikimi yang dikeringkan, koro wadah pembakaran dupa, shokudai tempat lilin serta bunga sudah dipersiapkan untuk persembahan. Sementara moshu 喪主 dan izoku 遺族 atau keluarga inti almarhum tinggal meletakkan ihai dan foto di meja tersebut bersama dengan benda-benda tadi. Upacara yang mereka lakukan dengan menggunakan peralatan tadi disebut dengan osame no shiki 納めの式. Universitas Sumatera Utara Setelah osame no shiki 納めの式 selesai, para keluarga, sanak saudara dan teman-teman almarhum mengatupkan kedua telapak tangan berdoa, dan kemudian menuju ruang istirahat. Selama menunggu proses pembakaran jenazah di dalam kamado yang akan memakan waktu kurang lebih satu jam para keluarga beserta dengan teman-teman almarhum menunggu di ruang istirahat sambil makan kue dan minum teh. Apabila upacara kremasi telah selesai, petugas di ruang kremasi segera meminta keluarga almarhum untuk melakukan hashi watashi 箸渡し. Hashi watashi itu sendiri adalah prosesi pengambilan tulang-belulang almarhum yang tersisa. dengan memakai hashi atau sumpit yang terbuat dari kayu dan bambu, yang kemudian akan dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan kotsutsubo. Ritual hashi watashi ini bertujuan agar arwah almarhum bisa menyebrangi sanzu no kawa sungai sanzu dengan selamat. Urutan orang-orang yang memindahkan tulang- belulang dengan sumpit hashi watashi dilakukan oleh orang-orang yang urutannya sama dengan urutan ketika pembakaran dupa dilakukan mulai dari moshu 喪主, dilanjutkan dengan anak dan seterusnya. Kotsutsubo 骨壷 yang berisi tulang- belulang dan abu jenazah almarhum kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu berwarna putih dan dibungkus dengan kain putih. Kotak kayu tersebut lalu dibawa pulang ke rumah oleh moshu 喪主. Universitas Sumatera Utara Setelah 49 hari, kotsutsubo dimakamkan di tempat pemakaman keluarga. Proses pemakaman tulang-belulang hasil dari kremasi ini disebut dengan maikotsu 埋骨. Mai 埋 = mengubur ; kotsu(骨) = tulang. Sedangkan abu sisa pembakaran disemayamkan di seluruh tempat pemujaan kecil di daerah pemakaman keluarga. Setelah proses pemakaman, keluarga membuat Ihai untuk keluarga yang telah meninggal tersebut. Sesampainya di rumah, ihai, potret almarhum dan tulang- belulang almarhum beserta dengan benda-benda lain bunga, tempat lilin, tempat pembakaran dupa, serta kue dan buah-buahan diletakkan di altar Butsudan atau Kamidana. Semuanya itu ditujukan sebagai persembahan bagi almarhum, dan ke Ihailah diarahkan persembahan keluarga Situmorang, 2005.

3.1.1 Roh Dan Penguburan Tulang

Dalam bahasa Jepang, roh, jiwa dan arwah disebut Reikon. Sebutan untuk Reikon (零魂)itu sendiri berubah menurut keberadaannya. Pada waktu seseorang itu masih hidup, rohnya disebut tamashi (魂). Ketika sudah meninggal tetapi belum memasuki ke-33 tahun, roh itu disebut Rei. Namun setelah memasuki ke-33 tahunnya roh itu disebut Hotoke menurut konsep agama Buddha atau Kami menurut konsep agama Shinto. Roh ada dalam diri seseorang sejak manusia itu lahir dan akan meninggalkan tubuh manusia pasa saat manusia itu meninggal Tsuboi Yobumi dalam Situmorang, Universitas Sumatera Utara 2006. Roh tersebut mempunyai proses perjalanan seperti arah jarum jam terbalik. Dalam proses tersebut terjadi perubahan-perubahan. Perubahan tersebut merupakan proses dari kekotoran menuju kesucian dengan bantuan acara-acara persembahan yang dilakukan keluarga roh tersebut yang masih hidup. Konsep kekotoran ada dalam kepercayaan Shinto. Sesuatu yang kotor tidak disukai Tuhan, maka prinsip itu dipegang teguh oleh masyarakat Jepang yang menyangkut pandangan mereka terhadap darah dan mayat. Dalam kelahiran anak selain sang Ibu, yang termasuk kotor adalah juga bayinya. Bayi itu dianggap tercemar oleh darah Ibunya. Untuk menghilangkannya, kepada sang bayi dilakukan beberapa acara penyucian. Dengan demikian roh yang tadinya berada dalam kondisi kekotoran keadaan labil perlahan-lahan berubah menjadi stabil, apabila orang itu memasuki kehidupan perkawinan setelah sebelumnya melakukan upacara-upacara kedewasaan. Tetapi ketika seseorang meninggal, maka rohnya kembali berada dalam kekotoran. Perhatian sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesucian dari roh almarhum itu sendiri. Menurut pandangan masyarakat Jepang, tempat tinggal roh reikon adalah di gunung. Pada zaman dahulu, apabila ada orang meninggal, maka mayatnya akan diantar ke gunung. Namun apabila mayat dimakamkan di gunung, akan jauh mengantarkan persembahan-persembahan. Oleh karena itu muncul adanya ide untuk membuat Ryobosei sistem kuburan ganda yaitu satu kuburan sebagai tempat mayat dan satu kuburan sebagai tempat persembahan. Kuburan itu biasanya dibuat dekat dengan tempat tinggal keluarga.Dalam sistem kuburan ganda ini, jenazah almarhum Universitas Sumatera Utara tetap berada di kuburan pertama, sedangkan rohnya yang telah disucikan dari kematian akan disemayamkan di kuburan keluarga Dananjaja, 1997. Berbeda dengan zaman sekarang, sistem penguburan dilakukan dengan cara kremasi. Walau dinilai lebih praktis, namun penguburan dengan cara ini tidaklah meninggalkan konsep kepercayaan masyarakat Jepang akan roh. Tulang-belulang sisa pembakaran akan dimakamkan di pemakaman keluarga, sedangkan abu jenazah akan disemayamkan di altar Butsudan 仏壇 atau Kamidana 神棚. Masyarakat Jepang percaya bahwa roh seseorang yang sudah meninggal akan tinggal di suatu tempat transisi selama 49 hari dan akhirnya akan ditempatkan di dunia roh, yang akan menjadi Butsu atau Hotoke 仏. Apabila seseorang sudah meninggal selama lebih dari 33 tahun, maka rohnya dianggap menjadi Dewa dan sanggup memberikan berkah kepada keturunannya. Inilah yang disebut dengan Sosen leluhur. Sedangkan konsep Kami mengacu pada pengertian Dewa dalam konsep Shinto yaitu tentang roh nenek moyang yang sudah mempunyai kuasa untuk memberikan berkat-berkat kepada keturunannya. Dalam masyarakat Jepang, keluarga tidak hanya terdiri dari orang yang masih hidup. Orang yang sudah mati juga dianggap sebagai keluarga. Antara keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal terjalin hubungan yang sangat erat. Setiap anggota keluarga bertanggung jawab atas kesejahteraan dan harus mempertahankan kesatuan hubungan tersebut. Hubungan ini bersifat fungsional, dimana antara orang Universitas Sumatera Utara yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal memiliki suatu hubungan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Anggota keluarga yang telah meninggal dilambangkan sebagai suatu karakter yang dapat memberkati dan menjaga anggota keluarga yang masih hidup. Karena roh orang yang suah meninggal pun merupakan anggota keluarga, maka seluruh anggota keluarga yang masih hidup dipimpin oleh kepala keluarga Kacho yang wajib melakukan pemujaan-pemujaan terhadap roh-roh anggota keluarga yang telah meninggal tersebut. Keluarga melakukan ritual-ritual yang menyangkut daur jidup setiap anggotanya dari mulai lahir sampai meninggal. Ritualupacara yang dilakukan setelah kematian merupakan pemujaan atau penyembahan terhadap leluhur. Ritual-ritual ini bertujuan untuk menghapus kekotoran menuju kesucian. Roh yang masih dalam kekotoran itu membutuhkan persembahan- persembahan dari keluarganya untuk membantu keluar dari kekotoran tersebut. Kemalangan akan menimpa keluarga yang ditinggalkan apabila roh almarhum murka karena masih tetap dalam keadaan tercemar dan mengalami kesukaran untuk berhubungan dengan roh-roh yang lebih suci Danadjaja, 1997. Di satu sisi, masyarakat Jepang percaya apabila tidak ada pemberian persembahan terhadap roh tersebut, maka roh tersebut akan tetap berada dalam Kukai dunia kesusahan dan akan menjadi roh gentayangan Muen botoke atau Gaki setan kelaparan. Terlihat adanya hubungan fungsional anatara Genkai dunia nyata dengan Yukai dunia roh. Dalam hal ini adalah antara anggota keluarga yang masih hidup dengan roh orang Universitas Sumatera Utara mati tersebut. Dengan adanya keyakinan ini, maka hubungan batin suatu keluarga dengan anggota keluarganya yang telah meninggal akan tetap terpelihara dan tidak terputus secara tiba-tiba. Pemujaan terhadap arwah leluhur merupakan suatu bentuk penagbdian seseorang terhadap leluhurnya. Pemujaan leluhur menjadi satu wujud ucapan syukur dan terima kasih atas semua berkat yang diterimanya. Pemujaan leluhur juga merupakan suatu bentuk permohonan akan keselamatan, perlindungan bagi anggota keluarga yang masih hiddup dalam kehidupan mereka sehari-hari agar terhindar dari gangguan dan malapetaka. Oleh karena itu sanagat penting bagi orang Jepang terjaminnya kelanjtan kesinambungan pemujaan leluhur antara generasi ke generasi selanjutnya.

3.2. Proses Penguburan Tulang Pada Masyarakat Batak Toba