Upacara Segaki-e Penguburan Dalam Masyarakat Batak Toba

tiga ranting daun cemara di bambu yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan di tahun yang akan datang.

e. Upacara Higan 悲願

Upacara higan dilakukan untuk menolong arwah melewati dunia yang pnuh kekacauan menuju dunia pencerahan. Upacara higan 彼岸 sendiri merupakan upacara penyambutan siang dan malam yang panjang waktunya sama yaitu pada saat matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa, yang dilakukan pada pertengahan musim semi dan gugur. Pada saat ini, orang-orang membersihkan dan mengunjungi makam-makam keluarga mereka, juga mengadakan upacara dengan mengundang pendeta untuk membacakan kitab sutra di depan butsudan 仏壇 . Sesajen berupa sake 酒 dan makanan dihidangkan , dupa dinyalakan di depan butsudan.

f. Upacara Segaki-e

Upacara segaki-e dilakukan antara tanggal 1-15 Juli dan juga menjadi bagian dari upacara obon, namun juga dapat dilakukan pada saat peringatan terjadinya kecelakaan ataupun bencana alam. Upacara ini juga merupakan upacara yang dilakukan untuk arwah leluhur, yaitu muen-botoke yang membahayakan manusia. Upacara Buddha ini dilakukan secara pribadi di altar rumah atau di kuil. Universitas Sumatera Utara Upacara ini dilakukan pada malam hari tanpa lampu atau alunan musik. Kitab sutra yang dibacakan oleh pendeta juga dilakukan dengan suara yang rendah agar tidak mengganggu muen-botoke. Pada saat kitab sutra dibacakan para muen-botoke datang dan mengelilingi altar Situmorang, 2005.

2.2 Penguburan Dalam Masyarakat Batak Toba

2.2.1 Sejarah

Kultur Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba itu sendiri juga merupakan pangakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, alam dibagi atas tiga banua, yaitu : banua ginjang atas merupakan banua kuasa kemuliaan Mulajadi Nabolon, yang dihuni oleh roh-roh suci. Banua tonga tengah merupakan alam raya yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Banua toru bawah merupakan alam bawah yang penuh penderitaan yang dihuni oleh roh-roh jahat. Bagi masyarakat Batak Toba Mulajadi Na Bolon adalah Allah Pencipta alam dan segala isinya. Di samping itu, masyarsakat Batak Toba juga takut dan percaya kepada roh-roh orang yang sudah meninggal yang dipercayai dapat menimbulkan mara bahaya, penyakit dan penderitaan lainnya bila manusia tidak terhadap adat istiadat yang berlaku pada masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba juga percaya bahwa adat diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon. Hal ini sesuai dengan adanya umpasa umpama pada orang Batak yang Universitas Sumatera Utara berbunyi “adat do ugari sinihatahon ni Mulajadi, siradatan manipat ari salaon disihulubalang ari”. Artinya adat adalah hukum yang diberikan Mulajadi Na Bolon setiap hari harus dipelihara. Mulajadi yang dimaksud bukanlah Mulajadi Na Bolon yang dikenal orang Batak sebagai Debata pencipta alam semesta. Mulajadi yang dimaksud adalah Mulajadi yang dianggap menciptakan adat istiadat dalam masyarakat Batak Toba, yang dalam hal ini adalah nenek moyang orang Batak. Agama leluhur mengajarkan bahwa manusia memiliki tubuh dan roh tondi. Kehidupan seseorang sangat ditentukan oleh kondisi rohnya. Selama sang roh berdiam dalam tubuh, maka orang tersebut akan hidup. Apabila roh berada dalam keadaan lemah, maka orang itu akan menjadi sakit, demikian juga bila roh itu pergi meninggalkan tubuhnya dalam waktu terbatas. Kematian akan terjadi apabila roh orang itu meninggalkan tubuhnya untuk selama-lamanya. Karena itu, orang Batak sangat mementingkan urusan pemeliharaan kondisi rohnya. Kondisi roh yang nyaman dan hangat merupakan syarat penting untuk menjalani kehidupan yang berbahagia. Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian merupakan titik perpindahan kehidupan seseorang dari kehidupan di alam fisik dunia, menuju pada kehidupan di alam kematian atau di alam roh. Kematian merupakan pintu gerbang untuk memasuki kehidupan di alam roh. Seluruh roh, arwah begu dari orang yang telah mati berada di alam roh. Dalam alam itu mereka hidup dengan membentuk suatu komunitas masyarakat roh, yang juga tersusun dalam struktur kekerabatan yang bersifat patrilinial berdasarkan marga dan prinsip Dalihan Natolu. Karena itu apabila Universitas Sumatera Utara seseorang meninggal sering diakatakan: “na dialap Ompung na do I” Dia dijemput oleh roh leluhur atau roh Kakeknya. Persekutuan masyarakat Batak disusun berdasarkan asas Dalihan Natolu. Persekutuan ini menjalin ikatan antara seluruh anggota keluarga yang masih hidup, baik dari pihak hulahula, boru maupun dongan sabutuha. Selain itu, persekutuan orang Batak juga mencakup ikatan antara seluruh kerabatnya yang masih hidup di dunia, dengan seluruh roh-roh dari anggota keluarganya yang telah mati. Upacara adat yang berhubungan dengan kematian pada hakekatnya merupakan peneguhan ikatan antara seluruh orang Batak yang hidup, dengan seluruh roh-roh keluarga atau leluhurnya yang telah mati. Keyakinan masyarakat Batak akan adanya hubungan antara orang yang hidup dengan roh orang mati, tercermin di dalam berbagai upacara adat yang dilakukan terhadap orang-orang yang akan dan telah mati, seperti: manulangi menyulangi orang yang akan mati, hamatean kematian, mangongkal holi menggali tulang belulang, dan pesta pendirian tugu serta pesta tahunan di tugu-tugu marga. Keyakinan ini merupakan dasar utama bagi diselenggarakannya upacara adat. Upacara-upacara di atas pada hakekatnya merupakan upacara agama hasipelebeguon yang masih tetap dilakukan oleh kebanyakan orang-orang Kristen dalam masyarakat Batak sekarang. Sebagian dari mereka melakukannnya mungkin saja mengerti akan makna dari upacara tersebut. Namun sebagian besar mungkin tidak memiliki pengertian akan latar belakang dan tujuan upacara adat Gultom, 1992. Universitas Sumatera Utara Dalam kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah di luar jangkauan manusia, karena keterbatasan, kemampuan dan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir kehidupannya Harianja, Bulman, 2006. Batas akhir kehidupan manusia ini mati dapat terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi, kecelakaan dan sebab-sebab lain yang tidak dapat diketahui secara pasti.

2.2.2 Sistem Penguburan Dalam Masyarakat Batak Toba

Pada masyarakat Batak Toba dikenal 8 tingkat kematian. Kita dapat mengklasifikasikan tingkat kematiaan dari yang terendah, antara lain : 1. Mate Tarposo Mati dalam kandungan atau saat masih bayi. 2. Mate Poso Mati kanak-kanak dan sebelum kawin. 3. Mate Pupur Mati tua tanpa pernah kawin. 4. Mate Punu Mati sesudah kawin, tidak punya anak. 5. Mate Mangkar Mati setelah ada anak yang kawin, tetapi belum punya cucu. 6. Mate Sarimatua Mati sudah punya cucu, tetapi masih ada anaknya yang belum kawin. Universitas Sumatera Utara 7. Mate Saurmatua Mati setelah semua anak kawin dan mempunyai cucu. 8. Mate Mauli Bulung Mati setelah cucunya sudah punya cucu lagi dan status sosialnya baik serta tak ada seorang pun dari keturunannya meninggal mendahuluinya. Mulai dari Mate Tarposo hingga Mate Punu dapat dikatakan tidak dilakukan acara adat yang berarti, karena hal itu dianggap hidupnya belumlah sempurna. Acara adat dilakukan dan akan semakin besar serta memakan waktu lama dimulai dari jenis Mate Mangkar hingga kepada Mate Mauli Bulung. Setiap anggota kerabat yang meninggal sangat dihormati apalagi setelah berada di posisi Sarimatua, Saumatua dan Mauli Bulung. Saurmatua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik darianak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkapsempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sarimatua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan. Kematian seseorang dengan status mauli bulung menurut adat Batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Tidak ada lagi isak tangis. Mereka boleh bersyukur dan bersuka cita, berpesta tetapi bukan hura-hura, memukul gondang Universitas Sumatera Utara ogung sabangunan, musik tiup dan menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Dapat diprediksi, umur yang mauli Bulung sudah sangat panjang, barangkali 90 tahun keatas. Mereka yang memperoleh predikat mauli bulung sekarang ini sangat langka. Dalam tradisi adat Batak, mayat orang yang sudah Mauli Bulung di peti mayat dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan tidak dilipat. Masyarakat Batak Toba percaya apabila ada Orangtua yang menderita penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan Manulangi memberi makan. Sebelum diadakan acara manulangi ini,maka pada keturunannya beserta sanak famili lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan seperti menentukan hari pelaksanaan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak babi untuk kemudian dimasak sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama- sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta orang yang dituakan di kampung tersebut. Acara panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua tersebut oleh anak sulungnya, dengan harapan bahwa Orangtuanya dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh Universitas Sumatera Utara umur yang panjang, murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan agar Orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua keturunannya diberi nasehat-nasehat. Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan dari Orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari berikutnya pihak hula- hula pergi menjenguk Orangtua tadi dengan membawa dengke ikan dan sehelai ulos kain adat batak yang disebut ulos mangalohon ulos naganjang memberikan kain adat. Ketika hula-hula menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah mereka memberikan ulos naganjang kepada Orangtua itu dengan meletakkannya di atas pundak bahu Orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan makanan ini adalah supaya Orangtua tersebut cepat sembuh, berumur panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan sejahtera di hari-hari mendatang. Setelah pemberian ikan dan ulos itu maka pihak boru berdoa dan menyuguhkan daging lengkap kepada pihak hula-hula. Pada waktu yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya Orangtua yang saur matua itu meninggal dunia, maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan diselimuti dengan kain batak ulos. Selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya Universitas Sumatera Utara mengarah ke jabu bona rumah suhut. Pada saat yang bersamaan, pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua itu. Pihak famili mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat, parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum mangarapot. Sesudah acara mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha yang terdiri dari teman semarga, teman sahuta atau teman satu kampung serta sanak saudara yang ada di rantau. Pihak Suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan mempersiapkan beberapa ekor ternak kerbau atau babi atau yang lainnya sebagai makanan pesta atau untuk borotan Harianja, Bulman. Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari pihak Suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan Orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu laki-laki dari yang pertama sulung dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan. Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak Boru lainnya pergi mengundang Pargonsi pemain musik gondang dengan memberikan napuran tiar sirih yang diletakkan di atas sebuah piring beserta Universitas Sumatera Utara dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saur matua. Pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan. Setelah keperluan upacara dipersiapkan barulah upacara kematian saur matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas beberapa bagian yaitu: 1. Upacara di jabu di dalam rumah . Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari sekitar jam 10.00 Wib oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur Dalihan Na Tolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur Dalihan Na Tolu sedang berlangsung diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis. Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di Jabu soding sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Setelah dijamu makan oleh pihak Suhut, maka para Pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk Universitas Sumatera Utara istirahat. Dan pada malam hari tiba, Pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memberitahukan danmengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama. Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja pangulani huria. Semua unsur Dalihan Na Tolu berdiri di tempatnya masing masing. Pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan. Pada saat Gondang kedua berbunyi, maka semua menari. Gondang Liat-liat gondang ketiga, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja. Gondang Simba-simba gondang kelima maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.Gondang yang terakhir, hasuhuton meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali Hutasuhut, 1990. Jika Universitas Sumatera Utara upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam- malam hari tersebut diisi dengan manortor menari oleh semua unsur Dalihan Na Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan Dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah Dongan sabutuha saja. Kemudian dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti dengan ulos sibolang. Posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung, ulos sampe, ulus panggabei. Yang pertama sekali memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos sibolang kepada yang ditinggalkan janda atau duda. Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang sedalam dalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas kepala. Universitas Sumatera Utara Setelah ulos tujung diberikan, kemudian Tulang Paman dari yang meninggal memberikan ulos saput sejenis ulos ragihotang atau ragidup, yang diletakkan pada mayat dengan digerbangkan diherbangkan diatas badannya Maksud dari pemberian ulos ini adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab antara Tulang dengan Bere kemenakannya. Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada Suhut, maka sekarang giliran pihak Suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak Boru. pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang. Aktivitas selanjutnya adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak Suhut, Dongan sabutuha, Boru dan Ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah Orangtua yang saur matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan sore hari. Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan sepiring nasi beserta lauknya kepada Orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Acara ini berlangsung sampai selesai pagi hari . 2.Upacara di Jabu menuju Maralaman halaman rumah. Acara ini dimulai kira-kira pukul 10.00 pagi, tepat ketika hari penguburan akan dilakukan. Acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi jubah. Setelah acara gereja selesai, maka pengurus gereja menyuruh pihak boru Universitas Sumatera Utara untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup tetapi belum dipaku dan diangkat secara hati-hati. Peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib Kristen yang bertuliskan nama Orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur Dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya. 3. Upacara Maralaman di halaman rumah. Upacara ini dilakukan sebelum acara penguburan dilaksanakan. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang saur matua meninggal, maka harus diberangkatkan dari antaran bidang halaman ke kuburan yang disebut Partuatna. Semua orang yang hadir mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah. Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing. Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata Tuhan agar kiranya Yang Maha Kuasa Universitas Sumatera Utara berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhir dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu Pargonsi memainkan sitolu gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari. Setelah sitolu gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat dan sejahtera. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Selanjutnya, pengurus gereja meminta gondang marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. Pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Na Tolu satu persatu memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada Pargonsi, gondang hasahatan tu sitiotio. Semua unsur Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali. Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat, yang selanjutnya juga diikuti oleh pihak dongan sabutuha, pihak boru, hula-hula secara bergantian. kepada Pargonsi.. Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Universitas Sumatera Utara Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menutup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya. Peti mayat diangkat oleh Hasuhutan dibantu dengan Boru dan Dongan sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka. 4. Upacara setelah pemakaman. Apabila semua pihak keluarga, termasuk unsur Dalihan Na Tolu tiba kembali di rumah duka, maka jamuan makan bersama boleh dihidangkan. Setiap bagian jambar akan diberikan sesuai dengan kedudukan masing-masing di dalam unsur Dalihan Na Tolu. Setelah pembagian jambar ini selesai maka kepada setiap hulahula yang memberikan ulos akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso” yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya juga menurut kedudukan masing-masing. Jika yang meninggal saur matua adalah seorang Ibu, maka diadakan mangungkap hombung buha hombung, yang dilakukan oleh hula-hula dari Ibu yang Universitas Sumatera Utara meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona anak dari ito atau abang adik yang meninggal. Buha Hombung artinya membuka simpanan dari Ibu yang meninggal. Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “Borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, Hula-hula datang untuk mangapuli memberikan penghiburan kepada keluarga dari Orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyediakan keperluan acara adalah pihak boru. Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas diapu oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Penghormatan terhadap seorang leluhur yang berada di alam baka dapat kita lihat melalui bentuk kuburan yang ada. Bagi orang Batak Toba, kuburan terdiri dari tiga jenis : 1. Kuburan umum tempat pemakaman satu kampung Huta. 2.Tambak berupa tanah yang ditinggikan di atas kuburan seorang yang mati dalam peringkat SarimatuaSaurmatua. Tanah yang ditinggikan tersebut terdapat rumput manis, diletakkan secara terbalik, bertingkat tiga, lima, tujuh Simanjuntak, 2000. Di atas tanah yang ditinggikan itu ditanam pohon HariaraBeringin atau Bintatar sebagai pertanda. Dengan berbagai variasi yang berkembang kemudian, Tambak digunakan sebagai kuburanpusara bagi keluarga atau marga dan biasanya Universitas Sumatera Utara dibangun di kampung asal. Tugu sebagai monumen, pembangunannya berkembang secara besar-besaran setelah 3. Tugu sebagai monumen, pembangunannya berkembang secara besar- besaran setelah Tugu Raja Sisingamangaraja XII dibuat. Tugu biasanya dibangun untuk persatuan marga di bona pasogit kampung asal dan di dalamnya terdapat tulang- belulang leluhur. Hamoraon, hasangapon, dan hagabeon kekayaan, kemuliaan dan keberhasilan merupakan hal-hal yang sangat diidam-idamkan orang Batak. Ketaatan melaksanakan berbagai upcara adat merupakan cara yang harus ditempuh untuk menjamin tercapainya tujuan yang dimaksud. Dengan melakukan pemujaan kepada roh dari para leluhurnya, maka roh-roh tersebut akan memberkati segala yang dikerjakannya. Kemegahan tugu merupkan sarana untuk menunjukkan ketinggian gengsi sosial social prestige terhadap marga-marga lainnya. Cara tersebut ditempuh sebagai salah satu jalan untuk memperoleh pengakuan dari marga lain akan kehebatan atau kemuliaan marganya. Mereka sangat ingin menunjukkan bahwa dari keturunan marganya telah banyak yang memiliki pendidikan sangat tinggi, kekayaan yang banyak, jabatan tinggi, dan berbagai kehebatan lainnya. Bagi orang yang berada di perantauan, keikutsertaan mereka ke dalam acara pesta tugu itu, juga merupakan kesempatan Universitas Sumatera Utara untuk memamerkan kehebatan dan keberhasilan mereka di perantauan, kepada kerabat marga mereka yang berada di bona pasogit kampong halaman. Semangat melakukan “pameran gengsi sosial” ini telah menimbulkan perlombaan di tengah- tengah orang Batak untuk melaksanakan pesta pembuatan tugu marganya dengan sehebat mungkin Tambunan, 1982. Semangat ini dipacu oleh penyakit buruk orang Batak yang lazim dikenal dengan akronim HOTEL hosom, teal, elat dan late atau istilah yang baru AIDS angkuh, iri,dengki dan sombong. Tugu leluhur dibangun tinggi menjulang dengan berbagai macam model sesuai dengan keinginan hati masing-masing marga. Pembangunan ini dilakukan dengan mengumpulkan dana tumpak dari seluruh keturunan marga, melalui “punguan marga” perkumpulan marga yang ada di berbagai kota maupun yang ada di desa, baik mereka yang ada di bona pasogit, maupun bagi mereka yang ada di perantauan. Dalam tugu itu mereka mempersiapkan tempat bagi tulang belulang saringsaring leluhur marganya. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, kemegahan dan besarnya biaya dari pesta tugu merupakan tanda dari banyaknya pasu-pasu atau berkat yang diterima oleh keturunan suatu marga dari roh leluhurnya. Seluruh berkat itu melambangkan kehebatan dan kebesaran dari sahala roh tersebut, sehingga sudah sepantasnya kepada roh tersebut diberikan tempat terhormat baginya, sebagai ungkapan terima kasih dari seluruh keturunannya pinomparna. Pada peresmian Tugu, dipanjatkan beberapa tonggo doa kepada Debata Mulajadi Nabolon, agar mendatangkan roh leluhur itu ke Tugunya, contohnya: Universitas Sumatera Utara “Ditonggo asa diparo Mulajadi Nabolon, tondi ni ompu tu tuguna binahen saring- saring ni amanta on tu Tambak na guminjang tu ginjang ma parhorasan ba, tu ginjang ma panggabean patumpahon ni Ompunta martua Debata dohot tumpahon ni tondi ni angka raja di loloan”. artinya: “Dengan diletakkkannya tulang belulang Bapak ini ke kuburan atau Tugu yang tinggi kiranya meningkatlah kemakmuran, keberhasilan dan kesejahteraan,yang dikerjakan oleh Debata yang berbahagia, dan disokong oleh roh-roh para raja yang hadir disini”. Pembangunan Tugu merupakan simbol baru dari pemujaan kepada roh leluhur yang dilakukan oleh orang Batak sekarang. Ketinggian Tugu mencerminkan tingginya harapan orang Batak akan berkat yang hendak dilimpahkan oleh roh bapa leluhurnya. Ketinggian tugu berarti juga besarnya harapan orang Batak agar generasi penerusnya pomparan memiliki “kehebatan” yang jauh lebih besar dari mereka. Inilah falsafah hidup orang Batak. Pengharapan untuk mendapatkan lebih banyak berkat dari leluhur inilah yang menyebabkan masih banyak dijumpai orang-orang yang meletakkan sirih ataupun makanan di bagian tertentu dari tugu itu. Peletakan itu diiringi dengan permohonan doa yang disampaikannya kepada roh leluhurnya. Banyak juga yang datang khusus untuk berdoa meminta berkat di depan tugu leluhur. Pesta Tugu juga merupakan sarana untuk meneguhkan kembali ikatan rohani atau persekutuan antara seluruh keturunan marga, menguatkankan rasa solidaritas marga. Perjumpaan antara sesama marga di Bona pasogit diharapkan akan mempererat ikatan yang sudah mulai longgar. Pesta itu merupakan tempat bagi orang Universitas Sumatera Utara yang sudah hidup berjauhan selama ini untuk saling mengenal antara satu keturunan dengan keturunan lainnya. Ikatan dan rasa solidaritas marga pada orang Batak terkenal sangat kuat dan kekuatan ikatan itu sangat terlihat di dalam pertemuan teman semarga di daerah perantauan Pasaribu, 1988. Di samping itu, pesta Tugu bukan hanya menguatkan ikatan rohani di antara sesama marga, tetapi juga meneguhkan kembali ikatan persekutuan antara seluruh keturunan marga itu, dengan para roh leluhur marga mereka. Persekutuan masyarakat Batak dengan roh-roh leluhurnya yang telah mati, kemudian diteguhkan kembali dalam diri generasi yang hidup jauh di masa belakang. Peneguhan itu dilaksanakan dalam rangkaian acara adat yang ada di dalamnya. Pada saat seseorang terlibat dalam rangkaian acara adat itu, ikatan itu diteguhkan kembali. Ikatan inilah yang kemudian akan menimbulkan rasa solidaritas yang tinggi diantara sesama keturunan satu marga, dan memberikan kebanggaan terhadap marga yang mereka miliki. Universitas Sumatera Utara BAB III PERBANDINGAN KONSEP PEMIKIRAN RITUAL PENGUBURAN TULANG PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

3.1. Proses Penguburan Tulang Pada Masyarakat Jepang