Batik Sebagai Pakaian Jawa Custom

commit to user Sehingga secara etimologis batik berarti melemparkan titik-titik yang banyak dan berkali-kali pada kain. Sehingga lama kelamaan bentuk titik-titik itu berhimpitan menjadi bentuk garis. Dalam kasusasteraan jawa kuno dan jawa pertengahan kain batik dengan proses tangan tulis, semula dibahasakan sebagai serat titik. Atau bisa juga diartikan sebagai suatu cara pembuatan ragam hias permukaan kain yang berprinsip penolakan atau riset, dimana bagian yang dikehendaki tidak terkena tinta atau warna di tutup dengan lilin atau dengan memakai alat canting atau cap. Kata batik dalam bahasa Jawa berasal dari kata ”tik” yang mempunyai arti berhubungan dengan suatu pekerjaan halus, lembut dan kecil berhubungan dengan keindahan. Merupakan hasil penggambaran corak diatas kain dengan menggunakan canting dan bahan malam Joko Dwi Handoyo, 2008: 3. Jadi dapat disimpulkan bahwa batik adalah suatu seni tradisional asli Indonesia dalam menghias kain dan bahan lain dengan motif hiasan dan bahan pewarna khusus yang awalnya berupa titik kecil hingga membentuk suatu pola.

b. Batik Sebagai Pakaian Jawa Custom

Pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan. Pakaian merupakan ekspresi dari identitas seseorang. Pakaian juga berperan besar dalam menentukan citra seseorang. Sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, kita menaruh harapan besar bahwa pakaian dapat menggambarkan dengan jelas identitas kita. Henk Schulte Nordholt dalam Sri Margana dan M. Nursam, 2010 : 117 Menurut Kees van Dijk yang dikutip Henk Schulte Nordholt 2010 : 39, “Dress is one of the most obvious of a whole range of markers of outward appearances, by which people set themselves apart from others and, in turn,are identified as a particular group.” Pakaian sebagai kebutuhan dasar manusia sudah dikenal masyarakat sejak zaman dahulu. Dengan begitu, pakaian mempunyai sejarah yang panjang. Pada mulanya, pakaian dipakai sebagai alat untuk melindungi tubuh dari pengaruh cuaca, gigitan serangga, dan lainnya yang kemudian berkembang kearah etika dan estetika Dwi Ratna Nurhajarini dalam Sri Margana dan M. Nursam, 2010: 117. Walaupun begitu, studi tentang pakaian kurang mendapat perhatian dalam commit to user khasanah tulisan sejarah. Hal ini, mungkin karena pakaian dianggap sebagai kebutuhan rutin oleh masyarakat. Tulisan-tulisan tentang pakaian kebanyakan menyoroti pakaian tradisional atau yang memusatkan perhatian pada makna dan fungsi pakaian dalam peristiwa-peristiwa khusus seperti peristiwa ritual. Jarang ada tulisan yang membahas pakaian yang terkait dengan tindakan sosial. Dalam melukiskan tradisi, unsur-unsur asing sering ditinggalkan meskipun menjadi bagian dari pengalaman. Tekanan pada kesempatan khusus, seperti ritual, mengaburkan gaya pakaian yang biasa dipakai orang. Menurut Lurie yang dikutib Henk Schulte Nordholt, 1997: 1 “Clothes are an expression of a person’s identity, because ‘to choose clothes, either in a store or at home, is to define and describe ourselves” Berpakaian sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis untuk melindungi tubuh dari panas, dingin, dan gigitan serangga. Akan tetapi, terkait dengan adat istiadat, pandangan hidup, peristiwa, kedudukan atau status dan juga identitas. Pakaian merupakan salah satu penampilan lahiriah yang paling jelas yang membedakan penduduk dari yang lainnya Dwi Ratna Nurhajarini dalam Sri Margana dan M. Nursam, 2010: 117 Menurut Wilson yang dikutib Henk Schulte Nordholt, 1997: 1 menyatakan bahwa “Dress can be seen as ‘an extention of the body, yet not quit of it […which] not only links the body to the social world but also […] separates the two” Pakaian berperan besar dalam menentukan citra seseorang. lebih dari itu, pakaian adalah cermin dari identitas, status, hierarki, gender, memiliki nilai simbolik dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik dan religius. Pakaian dapat dilihat sebagai perpanjangan tubuh, padahal sebenarnya ia bukan bagian dari tubuh. Pakaian tidak hanya menghubungkan tubuh dengan dunia luar tetapi sekaligus memisahkan keduanya. Akan tetapi, melalui pakaian juga proses diskriminasi dan hegemoni berlangsung. Sejak masa kolonial, Belanda dengan sengaja memolitisi pakaian. Hal ini dilakukan untuk commit to user membedakan antara yang kulit putih dan pribumi serta pribumi satu dengan yang lain. Dalam buku Notes and Queries an anthropology, 1929: 205 yang juga disadur henk Schulte Nordholt, 1997: 1 mengatakan “All variations in clothing should be noticed, whether according to the season of the year, for festivals, for indoor or outdoor wear, for everyday occupations, for keeping of the rain. What clothing is worn at night?” Pakaian merupakan bagian penting dari penampilan luar setiap orang, begitu juga kaum perempuan. Dari fungsi utama yakni menutup tubuh, pakaian berkembang kearah etika dan estetika, sehingga kemudian muncul dress code untuk acara-acara tertentu. Menurut Kuper yang dikutip oleh Henk Schulte Nordholt dalam buku Recalling the Indies 1997: 2 “Given the critical importance of clothing as an expression of an individual’s social identities, origins, commitments, and allegiances, it is no wonder that persons should view their clothing almost as an extension of themselves. In sum, it now becomes intelligible why a person’s relationship to his clothing is at once different from and more intimate than his relationship to all other material objects.” Secara umum pakaian yang dikenakan oleh kaum perempuan di Yogyakarta pada awal abad ke 20 dapat dikelompokkan dalam tiga model : 1 Kain panjang, sarung dan kebaya 2 Pakaian ala Shanghai 3 Pakaian ala Barat Rok dan Blus atau baju terusan Tatkala kain batik sarung dan kain panjang menjadi pakaian bagi semua kaum perempuan, para perempuan Eropa dan Cina memakai kain yang bercorak batik yakni batik cina dan batik Belanda yang terkenal halus buatannya. Ragam hias dan corak batik seperti buketan, motif burung Hong, burung Punik dan lainnya menjadi trend dalam gaya pakaian kaum perempuan Eropa atau Cina. Kala itu beberapa perempuan Eropa dan Cina muncul sebagai pengusaha batik yang cukup terkenal, sebut salah satu di antara mereka adalah Elizabeth Van Zuilen. commit to user Menurut Cohn, 1996b, Masyarakat Indonesia selalu merupakan sistem- sistem yang relatif terbuka. Pengaruh-pengaruh dari luar dan dari penafsiran- penafsiran setempat mereka merupakan bagian dan bidang bagi kebudayaan- kebudayaan setempat. Agama dan kelas adalah konsep pengorganisasian masyarakat. Demikian pula halnya dengan raja dan gubernur jenderal. Hal itu terjadi jika hanya ras yang menjadi konsep pengorganisasian organizing Concept dan menggantikan kepentingan kelas, sedangkan agama tetap merupakan lencana bagi loyalitas politik. Para pemegang kekuasaan mencoba untuk menyusun batasan-batasan [enduduk Residence, hak, pakaian, hokum, dan sejenisnya. Para penguasa menginginkan sebuah masyarakat yang terkotak- kotak tetapi dibedakan berdasarkan ras Apartheid. Jean Gelman Taylor dalam Recaling the Indies, 2004 : 23 Gaya-gaya berpakaian yang dapat dipilih oleh masyarakat demikian beragam. Pada saat ini warga Negara yang sama di Indonesia dapat memilih pakaian daerah untuk upacara-upacara pernikahan. Pada pertemuan-pertemuan keagamaan mereka memakai pakaian yang menonjolkan latar belakang kemuslimannya. Memakai kemeja batik modern pada acara resepsi, mengenakan setelan gaya barat untuk menjalankan negosiasi-negosiasi bisnis yang penting. Pakaian pria yang menonjol saat ini adalah setelan safari dan kemeja batik longgar yang dikenakan dengan celana panjang. Kedua gaya pakaian Indonesia yang mengambil bentuk pakaian barat ini berfungsi sebagai pakaian resmi dan kemeja batik harus berlengan panjang. c Jenis Batik Ditinjau dari tekniknya, batik dibedakan menjadi 2 Yayasan Harapan Kita; 1997: 17, yaitu : a Batik tulis Batik Tradisional Teknik ini sering disebut teknik batik tradisional dan batiknya disebut batik klasik. Batik tulis adalah teknik batik yang dihasilkan dengan cara menggunakan canting tulis sebagai alat bantu dalam melekatkan cairan malam pada kain. Canting ini terbuat dari tembaga ringan yang dapat menampung cairan malam, yang dipasangkan pada buluh bambu yang ramping dan diujungnya commit to user terdapat cucuk atau pipa dengan bentuk yang berlubang. Canting ini adalah alat pokok dalam membatik yang berfungsi untuk menggambar atau melukiskan cairan malam pada kain dalam membuat corak dan mampu melukiskan ragam hias paling sulit setingkat dengan kemampuan pembatik. b Batik cap Teknik ini diproses dengan menggunakan canting cap. Canting cap adalah sebuah alat dari rangka kuningan berbingkai yang ditatah dengan pola batik yang digunakan untuk mencap malam pada kain. Batik pring Desa Sidomukti tergolong ke dalam jenis batik tulis atau batik tradisional. Hal ini dikarenakan batik ini merupakan batik yang dalam menggunakan canting dan penggambaran polanya juga masih dengan cara manual tanpa menggunakan cap seperti pada batik printing. Menilik daerah serta pengaruh pertumbuhan batik yang berlainan maka pada zaman penjajahan Belanda dikelompokan menjadi 2 kelompok Didik Riyanto, 1997: 52, yaitu : a Batik Vorstenlanden Solo, Yogya Dengan ciri-ciri ragam hias bersifat simbolis, berlatarkan kebudayaan Hindu-Jawa dan Warnanya adalah Sogancoklat, Indigobiru, hitam, kremputih. b Batik Pesisir Pekalongan, Cirebon, Indramayu, Madura Garut, Lasem, Jambi meskipun tidak berada di pesisir tetapi ragam hias dan warnanya hampir sama. Dengan ciri-ciri ragam hiasnya bersifat naturalis dan pengaruh berbagai kebudayaan asing terlihat kuat dan warna beraneka ragam. Meskipun ragam hias itu banyak sekali, tetapi bisa digolongkan menjadi 2 golongan : 1 Golongan geometris Yaitu banyak terjadi pengulanganrepeat. a Garis miring b Garis silang atau parang c Anyaman 2 Golongan non geometris Yaitu tidakjarang terjadi pengulangan kalau banyak pengulangan antar sisinya tidak sama, seperti : commit to user a Semen b Boketan c Lung-lungan Dahulu sebelum kemerdekaan RI, orang tidak boleh sembarangan mengenakan ragam hias batik. Misal motif parang rusak barong, sawatlard dan kawung hanya boleh dikenakan oleh para Raja dan keluarga dekatnya saja. Pemakaian kain batik ada peraturan tertentu mengingat : 1 Kedudukan sosial si pemakai 2 Pada kesempatan atau peristiewa apa batik tersebut dikenakan. Setelah kemerdekaan aturan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Semua ragam hias batik tersebut sudah menjadi milik masyarakat. Pada tahun tujuh puluhan, batik abstrak mulai dikenalkan kepada masyarakat dan mendapat hati tersendiri sampai sekarang.

d. Motif Batik