Patofisiologi Dismenore Primer Dismenore Primer

2.3.2.3 Usia Menarche

Usia menarche dipengaruhi oleh kesehatan secara umum, faktor genetik, sosioekonomi, dan status gizinya. Umumnya menarche terjadi pada usia 12 – 13 tahun dan bisa jadi lebih cepat dengan meningkatnya status gizi dan kesehatan yang rendah Cakir et al, 2007. Menarche pada usia 11 tahun atau lebih muda memiliki risiko lebih tinggi dismenore primer dibandingkan dengan wanita yang menarche di atas usia 11 tahun Zukri et al, 2009. Menarche pada usia yang sangat muda dapat disebabkan oleh adanya riwayat keluarga yang memang pubertas lebih awal, obesitas, tumor pada kelenjar adrenal, dan pengeluaran estrogen yang berlebihan Mc Veigh et al, 2008 dalam Hand, 2010. Umumnya, menarche di usia muda mengarah kepada siklus ovulatorik yang lebih awal dan lebih awal pula mengalami gejala dismenore Xiaoshu, 2010. Widjanarko 2006 dalam Novia dan Puspitasari 2008 menyatakan bahwa alat reproduksi wanita harus berfungsi sebagaimana mestinya. Namun, jika menarche terjadi pada usia yang lebih awal dari normal, di mana alat reproduksi masih belum siap untuk mengalami perubahan dan juga masih terjadi penyempitan pada leher rahim, maka akan timbul rasa sakit ketika menstruasi. Xiaoshu 2010 menyatakan bahwa menarche di usia muda, interval menstruasi yang pendek, serta aliran menstruasi yang banyakberat diketahui bahwa terjadi karena ada pengaruh hormon esterogen. Shin 2005 dalam Xiaoshu 2010 menemukan hubungan antara esterogen dengan nyeri keram saat menstruasi sebagai konsekuensi dari sintetis prostaglandin yang distimulasi oleh estrogen yang meningkat. Peningkatan kadar esterogen mungkin juga dapat meningkatkan terjadinya keramnyeri menstruasi.

2.3.2.4 Lama Menstruasi

Lama menstruasi merupakan salah satu faktor risiko dismenore primer. Shanon 2006 dalam Novia dan Puspitasari 2008 mengatakan semakin lama menstruasi terjadi, maka semakin sering uterus berkontraksi, akibatnya semakin banyak pula prostaglandin yang dikeluarkan. Sesuai dengan patologi dismenore, kadar prostaglandin yang berlebihan dapat menimbulkan nyeri. Selain itu, kontraksi uterus yang terus menerus juga menyebabkan supply darah ke uterus berhenti sementara dan terjadi dismenore. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada penelitian Frenita diperoleh nilai p=0,046 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara lama menstruasi dengan kejadian dismenore. Rasio prevalens siswi dengan lama menstruasi ≥ 7 hari dan 7 hari adalah 1,158 0,746 – 0,999. Yang berarti siswi dengan lama menstruasi ≥ 7 hari kemungkinan berisiko mengalami dismenore 1,2 kali lebih besar daripada siswi dengan lama menstruasi 7 hari Frenita, 2013. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Loto et al 2008 pada 409 mahasiswi tingkat pertama di Nigerian University setelah melakukan analisis chi- square ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara lama menstruasi yang lebih dari normal dengan dismenore dengan p-value 0,001. Variabel yang signifikan kemudian di analisis kembali oleh Loto et al dengan menggunakan regresi logistik. Hasil analisis menghasilkan p-value 0,001, yang berarti bahwa lama menstruasi berhubungan secara bermakna dengan dismenore.

2.3.2.5 Riwayat Keluarga

Wanita yang memiliki riwayat keluarga seperti ibu yang dismenore cenderung 5.37 kali lebih berisiko dismenore primer dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki riwayat keluarga Zukri et al, 2009. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Novia dan Puspitasari 2008 menemukan bahwa responden yang mempunyai riwayat keluarga atau keturunan dismenore primer mempunyai risiko 0,191 kali untuk terkena dismenore primer dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat keluarga atau keturunan dismenore primer. Dismenore primer sebagian besar dialami oleh wanita yang memiliki riwayat keluarga atau keturunan yang dismenore primer pula. Dua dari tiga wanita yang menderita dismenore primer mempunyai riwayat dismenore primer pada keluarganya. Sebelumnya mereka sudah diingatkan oleh ibunya bahwa kemungkinan besar akan menderita dismenore primer juga seperti ibunya Novia dan Puspitasari, 2008.

2.3.2.6 Aktivitas Fisik

Menurut Abbaspour 2005, wanita yang teratur berolahraga didapatkan penurunan insidensi dismenore. Hal ini mungkin disebabkan efek hormonal yang berhubungan dengan olahraga pada permukaan uterus, atau peningkatan kadar endorfin yang bersirkulasi. Diduga olahraga bekerja sebagai analgesik nonspesifik yang bekerja jangka pendek dalam mengurangi nyeri. Tetapi menurut Abbaspour 2005, kombinasi dari faktor organik, psikologikal, dan sosiokultural juga berperan.

2.3.2.7 Stress

Stress dan tekanan memiliki peran yang besar dalam etiologi dismenore. Faktor psikososial dalam hal ini adalah stress yang merupakan penyebab langsung yang dapat menyebabkan terjadinya dismenore primer Tambayong, 2000. Menurut Hudson 2007, dismenore dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk kebiasaan dan faktor psikologis. Stress merupakan salah satu faktor psikologis manusia di mana faktor ini dapat menyebabkan aliran darah tidak lancar sehingga terjadi defisiensi oksigen di uterus iskemia dan meningkatkan produksi dan merangsang prostaglandin PGs di uterus. Stress telah terbukti menyebabkan perubahan hormonal melalui sumbu hipotalamik pituitari-ovarium HPO yang menyebabkan perubahan dalam hormon ovarium yang mungkin membuat wanita lebih rentan terhadap gangguan menstruasi Nepomnaschy et al, 2004 dalam Gollenberg, 2010. Melalui aktivasi sumbu HPO, dapat mengubah kadar hormon ovarium atau menstimulasi sistem saraf simpatik yang menyebabkan perubahan kadar neurotransmitter dan proses otak lainnya Freeman et al, 2001 dalam Gollenberg, 2010. Tiga mekanisme potensial yang berhubungan dengan kadar stress ialah neurotransmitter epinefrin, norepinefrin, dan serotonin. Gollenberg 2010 menemukan bahwa perubahan kadar norepinefrin dan epinefrin berhubungan dengan kegelisihan dan suasana hati. Gollenberg 2010 menyimpulkan bahwa psikologikal stres mengarah kepada meningkatnya sensitivitas yang dapat meningkatkan keparahan gejala menstruasi.