1
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah.
A. Latar Belakang Masalah
Belajar adalah tugas utama seorang siswa baik di sekolah, di rumah , dan dimanapun berada. Dengan belajar siswa dapat meraih cita-cita yang diinginkan.
Namun, pada masa sekarang para siswa cenderung meremehkan tugas belajarnya karena banyak kegiatan lain yang lebih menarik daripada belajar seperti, bermain
dan berkumpul bersama teman-teman. Menurut pengamatan peneliti melalui berita di surat kabar maupun televisi, para siswa sering ditemui berada di luar
sekolah ketika jam pelajaran. Mereka bermain internet facebook, twitter di warnet, bermain game, dan duduk berbincang-bincang dengan teman-temannya.
Perilaku membolos hampir terjadi di seluruh sekolah. Maka dengan hal itu menjadi keprihatinan kita bersama karena siswa adalah generasi muda yang akan
membawa negara Indonesia ini untuk menjadi lebih maju. Membolos sama halnya dengan membohongi diri sendiri maupun
keluarga. Membohongi diri sendiri berarti membohongi statusnya sebagai pelajar. Siswa tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelajar sebagaimana mestinya,
membohongi statusnya sebagai pelajar yang seharusnya belajar di sekolah. Membohongi keluarga artinya membohongi orang tua di rumah. Orang tua tidak
mengetahui bahwa anaknya tidak belajar di sekolah karena anak berangkat sekolah di pagi hari namun pada kenyataannya anak tidak sampai di sekolah.
SMA N 1 Kokap adalah SMA satu-satunya di kecamatan Kokap, Kulon Progo. Sekolah ini terletak di pegunungan Menoreh dekat sungai kecil yang
mengalir deras. Sekolah ini mempunyai siswa berjumlah 110 siswa, padahal daya tampung setiap kelasnya 32 anak untuk 3 kali paralel. Jadi yang dibutuhkan
sekitar 228 siswa setiap tahun pelajaran. Hal ini karena di daerah Kokap banyak lulusan SMP yang tidak melanjutkan SMA. Mereka lebih senang menjadi tenaga
kerja di luar negeri kemudian pulang ke kampung halaman dengan membawa uang untuk modal menikah. Keadaan orang tua atau wali siswa SMA N 1 Kokap
dikategorikan golongan menengah ke bawah. Pada umumnya orang tua mereka sebagai penderes pembuat gula jawa, petani, buruh, pekerja bangunan. Banyak
orang tua kurang memberikan motivasi belajar untuk anaknya karena orang tua tidak memiliki wawasan mengenai pentingnya pendidikan.
Menurut pengamatan peneliti, para siswa di SMA N 1 Kokap mempunyai kebiasaan membolos khususnya dalam pelajaran bahasa Inggris karena peneliti
sering bertemu para siswa SMA N 1 Kokap bermain play station di salah satu kios di pasar Kokap, berbincang-bincang bersama teman di pasar, pacaran, bermain ke
rumah teman ketika jam pelajaran bahasa Inggris. Mata pelajaran bahasa Inggris adalah salah satu mata pelajaran yang penting. Dikatakan penting karena pelajaran
Bahasa Inggris ini termasuk mata Ujian Nasional UN yang menjadi salah satu syarat kelulusan. Namun, pada kenyataannya para siswa sering meremehkan
pelajaran bahasa Inggris.
Membolos dengan meninggalkan jam belajar di sekolah dalam waktu sehari penuh dan meninggalkan jam pelajaran tertentu dapat mengakibatkan siswa
ketinggalan materi pelajaran hari itu, catatan kurang lengkap, tidak dapat mengikuti ulangan hari itu. Akhirnya para siswa tidak mempunyai bahan belajar
yang lengkap sehingga pada ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester pun siswa tidak dapat mengerjakan soal ulangan dan akhirnya mendapat
nilai yang tidak tuntas bahkan tidak lulus. Peneliti mewawancarai seorang siswa kelas XI SMA N 1 Kokap yang
memiliki frekuensi membolos tinggi 20 kali selama 1 semester pada mata pelajaran bahasa Inggris berdasarkan presensi siswa menurut guru bahasa Inggris
pada tanggal 28 Agustus 2012. Peneliti mewawancarai tenta ng alasan siswa membolos. Siswa membolos dapat dipengaruhi oleh keadaan d iri sendiri dan luar
dirinya sendiri. Alasan membolos dari keadaan diri sendiri adalah malas untuk belajar, tidak mengerjakan PR, bangun kesiangan, tidak mampu mengikuti
pelajaran tersebut, takut dengan guru mata pelajaran. Sedangkan alasan membolos dari pengaruh luar dirinya sendiri misalnya diajak teman untuk bermain Play
Station, berkumpul bersama teman-teman di pinggir jalan, pacaran. Hal- hal seperti tersebut menjadi alasan para siswa untuk membolos.
Peneliti juga mewawancarai guru Bimbingan dan Konseling SMA N 1 Kokap pada 29 Agustus 2012 tentang berapa persentase siswa SMA N 1 Kokap
yang sering membolos pada mata pelajaran bahasa Inggris. Menurut guru Bimbingan dan Konseling SMA N 1 Kokap bahwa lebih dari 50 siswa pernah
membolos bahkan ada siswa yang membolos lebih dari 20 kali jam pertemuan
selama satu semester khususnya dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Padahal untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, selama satu semester waktu efektif 40 jam
pertemuan. Akibatnya para siswa yang sering membolos mempunyai prestasi belajar yang rendah yang memiliki nilai rata-rata 60 dalam pelajaran bahasa
Inggris. Peneliti juga mewawancarai guru mata pelajaran bahasa Inggris SMA N 1
Kokap pada tanggal 5 September 2012 tentang perolehan nilai- nilai prestasi belajar siswa yang sering membolos. Menurut guru mata pelajaran bahasa Inggris
siswa yang sering membolos mendapatkan nilai rata-rata harian bahkan nilai akhir semester atau nilai rapor yang tidak tuntas; siswa tidak mencapai KKM Kriteria
Ketuntasan Minimal dari nilai 70. Siswa yang sering membolos hanya mencapai nilai 60. Hal itu terjadi karena siswa sering membolos tidak mempunyai bahan
untuk belajar dan tidak menguasai materi- materi pelajaran.
Terdorong dari permasalahan di atas, maka peneliti akan melakukan suatu usaha pemecahan masalah tersebut. Usaha yang dilakukan adalah pemberian
suatu program konseling untuk mengurangi frekuensi membolos dan meningkatkan prestasi belajar bahasa Inggris. Program ini berupa terapi Token
Economy. Menurut Corey 2009:222, metode Token Economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru yang diperkuat oleh token tanda seperti
kepingan logam, stiker, kartu yang nantinya ditukar dengan benda atau barang yang diingini. Token Economy efektif untuk pengurangan frekuensi membolos
dan peningkatan prestasi belajara bahasa Inggris karena menurut Corey
2009:222, penggunaan token sebagai penguat tingkah laku yang baru dalam program terapi Token Economy memiliki beberapa keuntungan diantaranya yaitu :
token tidak kehilangan nilai insentifnya, token bisa mengurangi penundaan yang ada diantara tingkah laku yang layak dengan ganjarannya, token bisa digunakan
sebagai pengukur yang konkret bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, token adalah bentuk perkuatan positif, individu memiliki
kesempatan untuk
memutuskan bagaimana menggunaka n token yang
diperolehnya. Peneliti berharap dengan adanya token yang menjadi penghargaan disetiap perilaku yang dicapai akan menciptakan kebiasaan baru untuk dapat
mengurangi frekuensi membolos dan meningkatkan prestasi belajar bahasa Inggris.
Prosedur pelaksanaan program terapi Token Economy yaitu siswa menerima token setelah menunjukkan perilaku yang diinginkan. Token itu
dikumpulkan dan akhirnya dipertukarkan dengan suatu hadiah yang diinginkan. Maka program ini cocok untuk mengurangi frekuensi membolos dan
meningkatkan prestasi pelajaran bahasa Inggris.
Menurut Djiwandono 2006:316, program Token Economy menggunakan sistem token reinforcement yaitu penguat sekunder seperti mata uang yang dapat
ditukarkan untuk membeli kepuasaan primer, dapat membantu menyelesaikan masalah ini dengan membiarkan semua siswa mendapatkan token untuk pekerjaan
akademik dan tingkah laku positif di kelas. Token berupa angka, chek, kartu, mainan yang berbentuk uang, atau apa saja yang mudah diidentifikasi sebagai
milik siswa. Secara periodik siswa menukar token yang telah mereka dapat untuk beberapa hadiah yang mereka inginkan.
Menurut O’Leary dan Drabmant dalam Djiwandono 2006:316 dari
kutipan salah satu tokoh psikologi di Amerika, program Token Economy telah sukses untuk memberikan semangat belajar, dan mengarah pada prestasi
akademik yang lebih besar dalam berbagai kelas. Contoh yang baik dari program token dapat ditemukan dalam penelitian Rollin, Mc Candless, Thomson, dan
Brassel dalam Djiwandono 1989 yaitu enam belas guru dilatih dalam lokakarya dengan menggunakan teknik memuji, mengabaikan tingkah laku yang tidak
diinginkan dan token reinforcement. Pada tahun berikutnya, mereka melaksanakan prosedur ini di tingkat SD kelas satu, dua, tiga, enam dan tingkat
SMP kelas delapan. Prestasi siswa dalam semua kelas ini dibandingkan dengan prestasi dari siswa yang sama dalam 14 kelas yang dibandingkan. Selama setahun
semua guru menggunakan teknik memuji dan mengabaikan tingkah laku yang tidak diinginkan untuk memperkuat tingkah laku yang tepat. Siswa diberikan
token untuk tingkah laku positif, dalam hal ini adalah kartu hadiah. Selama minggu ketiga pertama, reinforcement diberikan sebagian besar untuk mengikuti
aturan-aturan yang diadakan. Sesudah minggu ketiga, reinforcement diubah untuk prestasi akademik. Kartu hadiah pertama diberikan terus menerus secara terbuka
dan diramalkan kemudian mereka membagi-bagikan dan tidak diramalkan. Selama bulan ketiga dan keempat, hadiah dapat ditukar dengan token yang diubah
dari gula-gula dan mainan ke kegiatan dan perbekalan sekolah. Bulan keempat, siswa diberi waktu dalam suatu kegiatan kelas yang disupervisi oleh para
professional. Mainan, buku komik, permainan, diberikan pada waktu kegiatan kelas di SD. Permainan, majalah, radio, dan tape, tersedia pada waktu kegiatan
kelas di SMP. Dalam waktu satu tahun jumlah kartu hadiah yang dibutuhkan untuk mendapatkan hadiah bertambah. Hasilnya dari 16 kelas dan 14 kelas yang
dibandingkan diobservasi selama satu tahun dan sejumlah perbedaan penting dicatat. Pertama, guru memperkuat siswa kira-kira dua kali lebih sering dan
menghukum siswa kurang daripada kelas yang dibandingkan. Kedua, siswa dalam kelas secara dramatis menunjukkan tingkah laku yang kurang mengganggu.
Ketiga, siswa dalam menjalankan program juga menghabiskan waktu yang lebih lama dalam mengerjakan tugas sekolahan mereka. Hal yang paling menyenangkan
dari program ini adalah penemuan keempat, yaitu siswa yang dalam mengjalankan program token menunjukkan perbaikan yang besar dalam prestasi dan kecerdasan
siswa. Hasil mereka dalam tes The California Test Of Mental Maturity dan The California Reading Achievement Test, dua kali besarnya dari didapat oleh siswa-
siswa yang dibandingkan.
Menurut www.eko13
wordpress.com yang diakses 28 Agustus 2012, Susanto
mengembangkan program token untuk memantau siswa belajar secara mandiri yaitu membaca materi pelajaran secara mandiri tanpa diawasi oleh guru.
Penelitian ini dilakukan untuk siswa SD. Variasi lain dalam penelitian ini adalah membiarkan siswa untuk mendapatkan token di kelas berupa stiker bergambar
kartun. Token yang dikumpulkan dapat ditukarkan dengan hadiah yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Rencana ini sangat sukses ketika orang tua bersedia
untuk bekerjasama. Catatan atau laporan tertulis selalu dikirim ke rumah setiap
hari atau dua kali seminggu. Catatan ini menunjukkan jumlah stiker yang didapat pada awal periode, kemudian pada jumlah tertentu stiker dapat ditukar dengan
hadiah yang menyenangkan dari kedua orang tua yaitu memperoleh mainan khusus atau rekreasi ke suatu tempat. Sistem token ini berhasil pada siswa SD
yang semula membaca materi pelajaran ketika ada guru saja menjadi lebih mandiri, siswa membaca materi pelajaran walaupun tidak ada guru yang
mendampinginya.
Dari berbagai penelitian terbukti bahwa penghargaan yang diberikan secara berulang akan mengubah perilaku yang diharapkan menjadi kebiasaan yang
baik. Penghargaan juga dapat meningkatkan kepuasan dan kesenangan. Rasa puas dan rasa senang merupakan bagian penting untuk menunjang suasana belajar yang
lebih efektif khususnya untuk mengikuti pelajaran bahasa Inggris. Diharapkan dengan penggunaan program Token Economy, siswa dapat mengurangi frekuensi
membolos dan meningkatkan prestasi belajar bahasa Inggris. Jadi peneliti disini mengambil seorang siswa yang memiliki frekuensi
membolos tinggi dan mempunyai prestasi bahasa Inggris rendah untuk terlibat dalam program Token Economy. Program ini mempunyai bukti kemajuan yang
dibuat, dalam jumlah token yang dapat dihitung setiap hari. Program yang dimaksud adalah program token economy untuk seorang siswa yang memiliki
frekuensi membolos tinggi dan prestasi mata pelajaran Bahasa Inggris yang rendah agar terjadi perubahan perilaku rajin mengikuti dan mendapatkan prestasi
yang baik dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Kegiatan yang dimaksud adalah
siswa tidak membolos dalam pelajaran bahasa Inggris, mengikuti kegiatan belajar mengajar dikelas seperti membaca materi pelajaran bahasa Inggris, mengerjakan
PR bahasa Inggris, mengerjakan tugas individu pelajaran bahasa Inggris, mengerjakan tugas kelompok bahasa Inggris, dan berani bertanya kepada guru
mata pelajaran bahasa Inggris apabila mengalami kesulitan dan kebingungan dalam memahami maupun mengerjakan soal atau materi pelajaran bahasa Inggris.
Siswa akan mendapatkan token yang berupa stiker bola Chelsea. Kemudian token tersebut dikumpulkan dan di akhir semester ditukarkan dengan hadiah yang
diinginkan. Melalui program ini siswa tersebut diharapkan menjadi rajin mengikuti pelajaran bahasa Inggris dan mencapai nilai standar KKM 70 dalam
mata pelajaran bahasa Inggris. Untuk membantu mengatasi masalah membolos di SMA N 1 Kokap tahun ajaran
20122013 maka peneliti akan mengadakan penelitian tentang Pengurangan Frekuensi Membolos Melalui Program Token Economy Untuk Siswa SMA N 1
Kokap Kulon Progo Yogyakarta Tahun Ajaran 20122013.
B. Rumusan Masalah