Bacillus megaterium, Streptococcus lactis, dan Staphylococcus epidermidis.
Bakteri S. epidermidis merupakan bakteri yang berkontribusi dalam menyebabkan bau badan. Hasil sekresi oleh sebaceous dan kelenjar keringat
serta plak kulit dari stratum korneum diuraikan oleh bakteri di kulit atau teroksidasi akan menghasilkan bau tak sedap yang mudah menguap. Bau
badan tersebut terdiri dari asam lemak, aldehid, keton, senyawa yang mengandung nitrogen, dan senyawa sulfur Yamazaki, Hoshino, dan
Kusuhara, 2010. Minimum inhibitory concentration MIC dari ekstrak etanol rimpang lengkuas terhadap bakteri S. epidermidis adalah 0,325 mgml dan
minimum bactericidal concentration MBC sebesar 1,3 mgml Oonmetta-
aree, dkk., 2005.
B. Bakteri S. epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan salah satu spesies bakteri dari
genus Staphylococcus yang sering ditemukan dalam berbagai kasus. S. epidermidis
merupakan bakteri gram positif, non-motile, bersifat anaerob fakultatif sehingga dapat tumbuh secara aerob ataupun fermentasi. S. epidermidis
merupakan flora normal pada kulit dan mukosa. Bakteri ini sebenarnya jarang menyebabkan infeksi patogenik tetapi dewasa ini diketahui bahwa S. epidermidis
merupakan salah satu bakteri pathogen pada infeksi nosocomial. Bayi baru lahir, lansia, serta pasien yang menggunakan kateter berisiko terkena infeksi tersebut
Zhang dkk., 2003.
C. Sabun Cair
1. Definisi
Sabun adalah sediaan yang merupakan suatu campuran yang mengandung berbagai macam surfaktan yang digunakan bersama dengan air
untuk mencuci dan membersihkan kotoran yang biasanya berupa lemak Ertel, 2006. Sabun cair mudah ditempatkan dalam botol pengemas sederhana dan
formulasinya mengandung antara lain surfaktan seperti lauryl sulphates, humektan seperti gliserin, foam booster seperti cocoamides, dan fragrance
untuk menambah aroma yang menyenangkan dari sabun cair Tadros, 2005.
2. Mekanisme pembersihan sabun cair
Tegangan antar muka antara kotoran dan permukaan kulit diturunkan oleh surfaktan dalam sabun cair. Surfaktan terdiri atas bagian polar dan non
polar. Bagian polar berinteraksi dengan air, sedangkan bagian non polar berinteraksi dengan kotoran yang biasanya berupa lemak. Surfaktan tersebut
akan membentuk misel dengan kotoran yang berada di bagian dalam. Bagian luar misel yang bersifat polar akan berinteraksi dengan air sehingga saat
pembilasan akan terbawa oleh air dengan membawa kotoran Tadros, 2005.
3. Bahan – bahan dalam sabun cair
a. Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa yang pada konsentrasi rendah
memiliki sifat teradsorpsi pada permukaan ataupun antarmuka dari suatu sistem yang mampu menurunkan energi bebas permukaan maupun energi
bebas antarmuka Rosen, 2004. Terdapat dua macam surfaktan yang
digunakan yaitu, surfaktan primer yang berfungsi sebagai detergen yang biasanya merupakan surfaktan anionik karena sifat pembusaanya baik dan
relatif tidak iritatif jika dibandingkan dengan surfaktan kationik. Yang kedua adalah surfaktan sekunder yang berfungsi sebagai foam booster
yang memperbaiki detergensi dan pembusaan yang biasanya merupakan surfaktan amfoter karena dapat memperbanyak dan menstabilkan busa
juga dapat melembutkan kulit Rieger, 2000. b. Humektan
Senyawa yang dapat meningkatkan kelembaban di kulit setelah pemakaian sabun perlu ditambahkan. Penggunaan gliserin dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu gliserin dapat berfungsi sebagai thickening agent serta clarifying agent agen penjernih
Barel, Paye, dan Maibach, 2001. c. Fragrance
Fragrance merupakan bahan tambahan yang penting dalam
formulasi sabun cair. Namun agar dapat diterima oleh konsumen, perlu diperhatikan bahwa penambahan fragrance tidak boleh menyebabkan
perubahan stabilitas pada produk akhir Barel, Paye, dan Maibach, 2009. d. Pengatur keasaman
Bahan tambahan ini berfungsi untuk menyesuaikan pH sabun cair agar tidak jauh dari pH kulit yaitu 4,5-7. Bahan yang biasa digunakan
adalah asam sitrat, asam laktat, atau asam fosfat Fonseca, 2005.
4. Sifat fisik sabun cair
a. Viskositas Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir,
semakin tinggi viskositas semakin besar tahanannya Martin, Swabrick, dan Cammarata, 1993. Viskositas ditunjukkan dengan persamaan :
η : Viskositas σ
: Gaya geser shearing stress γ
: Kecepatan geser shearing rate Peningkatan gaya geser akan berbanding lurus dengan
peningkatan viskositas. Hal ini berlaku untuk senyawa yang termasik tipe Newtonian. Martin, Swabrick, dan Cammarata, 1993. Pada tipe non-
Newtonian, viskositas tidak berbanding lurus dengan kecepatan gaya geser. Yang termasuk tipe non-Newtonian antara lain plastis,
pseudoplastis, dan dilatan Lieberman, Rieger, dan Banker, 1996. Tipe pseudoplastis menunjukkan penurunan viskositas seiring
meningkatnya kecepatan gaya geser. Dalam suatu larutan, molekul dengan berat molekul besar serta struktur panjang akan salaing terpilin dan
terperangkap bersama-sama dengan solven yang tidak bergerak. Gaya geser menyebabkan molekul terbebas dan menyusun diri secara terarah
kemudian mengalir. Dengan demikian molekul akan memiliki sedikit tahanan untuk mengalir dan viskositas akan menurun Aulton, 1988.
b. pH Menurut Walters dan Roberts 2008 pH kulit manusia ialah
sekitar 4,5-6,5. pH yang terlalu asam dapat mengiritasi kulit, sedangkan apabila terlalu basa, dapat menyebabkan kulit kering. Dari hal tersebut
maka sediaan yang berkaitan dengan kulit manusia perlu disesuaikan dengan pH kulit tersebut.
c. Ketahanan busa Busa adalah dispersi koloid gas di dalam cairan. Adanya
perbedaan densitas antara gelembung gas dan medium, sistem akan dengan cepat memisah menjadi dua lapisan dan gelembung gas akan naik
ke atas. Adanya surfaktan akan mengurangi tegangan antarmuka sehingga dispersi gas dalam cairan akan terjadi dengan mudah Tadros, 2005.
Ketahanan busa adalah kemampuan busa untuk mempertahankan parameter utamanya ukuran gelembung, kandungan cairan, dan volume
total busa dalam keadaan konstan selama waktu tertentu Exerowa,1998. Untuk melihat ketahanan busa dilakukan dengan cara membusakan sabun
cair dengan konsentrasi 1 selama 2 menit, dengan kecepatan konstan. Busa yang terjadi diukur lalu didiamkan 5 menit kemudian diukur
kembali. Persen selisih busa antara menit ke-0 dan ke-5 menunjukkan ketahanan busa. Semakin kecil selisih tinggi busa menunjukkan ketahanan
busa yang semakin baik.
D. Cocoamidopropyl betaine
Gambar 2. Struktur cocoamidopropyl betaine Cirelli, Ojeda, Castro, dan Salgot, 2009
Cocoamidopropyl betaine gambar 2 adalah surfaktan dengan sifat
pembusa, pembasah, dan pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik. Surfaktan ini juga dapat melindungi kulit dari iritasi. Barel,
Paye, dan Maibach, 2001. Menurut Rieger dan Rhein 1997 busa yang dihasilkan relatif stabil baik pada soft water dan hard water, serta kompatibel
dengan surfaktan anionik, kationik, maupun nonionik. Dari sebab itu, cocoamidopropyl betaine
sering digunakan dalam berbagai formulasi sediaan kosmetik. Cocoamidopropyl betaine jika dikombinasikan dengan alkil sulfat atau
alkil eter sulfat akan menghasilkan sediaan dengan viskositas yang relatif tinggi Butler, 2000.
E. Gliserin