Tiba-tiba Arjuna seperti tersadar. Dia menoleh ke belakang seperti mencari-cari seseorang di antara kerumunan orang di
sana. Terutama pada kerumunan orang-orang yang mendekati mayat Niwatakawaca di tengah taman itu. “Maafkan saya, Eyang
Pukul un,” kata Arjuna, “Sebenarnya yang banyak berperan
dalam melumpuhkan prajurit Imaimantaka adalah Gatotkaca, putra Kangmas Bima.” Pitoyo, 2010: 263
6 Arjuna adalah orang yang rendah hati. Berikut ini kutipannya:
6 “Gatotkaca juga berhak atas hadiah itu, Pukulun..,” kata Arjuna
kemudian. “Tidak perlu, Ngger. Gatotkaca sudah cukup beruntung dengan apa
yang telah dimilikinya sekarang, kesaktian dari bangsa dewa,” jawab Indra dengan sorot mata tetap datar.
Sebentar, Arjuna tampak bimbang. Menatap Batara Indra dengan pandangan berpikir. Kemudian, dia memberi hormat kepada Batara
Indra sambil berkata, “Sungguh sebuah kehormatan bagi hamba yang bisa memiliki kesempatan untuk hidup dan belajar tentang
sesuatu di kahyangan ini …” Pitoyo, 2010: 264
2. Karna
1 Secara fisik Karna berwajah tampan dan selalu memakai rompi dan
anting-anting berwarna perak. Berikut ini kutipannya: 7
Hanya beberapa dari seratus Kurawa yang datang ke Cempalareja. Duryudana, Dursasana sang pelamar, Patih Sengkuni, belasan
Kurawa, serta sekitar dua puluh senapati pilihan Hastinapura yang dipimpin oleh seorang senapati yang begitu gemilang karirnya di
keprajuritan Hastinapura. Sang senapati dengan wajah tampan. Selalu memakai rompi berwarna perak di kedua telinganya.
Berperawakan sedang, berwajah wibawa dengan sorot mata tajam. Sang senapati dipanggil dengan nama Karna. Pitoyo, 2010: 167
2 Sejak kecil Karna mempunyai ketertarikan dalam hal panah-memanah.
Berikut ini kutipannya: 8
“Daaa…da-da-da….” Tiba-tiba, si kecil Karna berteriak kegirangan, mulutnya tertawa lebar dan berjalan cepat ke arah
Pardi. Tak ada upaya Pardi untuk menghindar. Dia membiarkan saja Karna merebut gandewa panah yang dibawanya. Si kecil
Karna menjatuhkan dirinya terduduk dan mulai asyik membolak- balikkan busur panah yang begitu besar bagi tubuh kecilnya itu.
Berulang kali Karna mencoba mengangkat gandewa itu, tapi terlalu
besar baginya. Baik Pardi, Nyi Radha, dan Radeya, tampak tak pernah lepas perhatiannya pada setiap gerak-gerik bocah Karna itu.
Pitoyo, 2010: 38
3 Karna adalah orang yang ambisius. Berikut ini kutipannya:
9 Karna menghela napas panjang. Dengan tangan di pinggang, dia
melanjutkan, “Saya ingin suatu saat bisa menjadi kesatria, bahkan bisa menjadi seorang raja. Saya yakin, saya bisa. Paman Pardi yang
katanya prajurit terlatih bisa saya kalahkan. Saya ingin menjajal kesaktian semua prajurit itu, kalau perlu para senapatinya, mungkin
para kesatrianya. Tidak hanya kesatria negeri hastinapura ini, kalau perlu kesatria negeri wayang. Saya ingin tahu seberapa kesaktian
mereka” lanjut Karna masih dengan nada tinggi. Pitoyo, 2010: 93
4 Karna mempunyai sifat tidak suka berbasa-basi. Berikut ini
kutipannya: 10
“Mereka adalah anak-anak Prabu Destarata, Ngger,” kata Bhisma seperti mengerti akan wajah penasaran karna. “Mungkin kamu
pernah mendengar kakak mendiang Raja Pandu yang memiliki putra seratus jumlahnya dan tinggal di Desa Gajahoya. Anak-
anak ini sekarang tinggal di keratin. Mereka mungkin anak-anak yang masih harus banyak belajar tentang tata karma dan sopan
santun. Tapi, mereka tetap kerabat istana yang harus dihormati. Aku yakin kamu bisa mengerti.
” Sejenak, Bhisma menghela napas, ke
mudian melanjutkan, “Mulai mala mini, kamu aku angkat menjadi prajurit kepala. Pilih dua puluh prajurit pengawal
yang kamu anggap bisa bekerja dan patuh padamu. Tugasmu adalah menjaga Kesatrian Kurupraja ini, walaupun masih ada di
dalam lingkungan keraton. Tempat ini perlu dijaga secara
khusus…” “Siapa yang harus saya lindungi, Raden?” Karna memotong saja
bicara Bhisma. Pitoyo, 2010: 118
5 Karna bersifat Angkuh. Berikut ini kutipannya:
11 “Saya membawa pesan dari Baginda Salya, Kanjeng Adipati…”
kata Turanggapati. Karna pun berdiri dari singgasananya dan melangkah mendekati
Turanggapati, menerima dengan angkuh pesan itu dan membacanya. Sebuah kalimat dari bahasa Jawa Kuno yang berisi
pesan bahwa lamaran Karna telah diterima.
“Apakah karena saya sudah duduk menjadi adipati di sini sehingga Bapa Prabu Salya mau menerima saya sebagai
menantu?” kata Karna dengan nada ketus kepada Turanggapati. Sang kesatria Mandraka itu hanya diam sambil tetap memandang
sorot mata Karna. “Pulanglah, Turanggapati, kabarkan bahwa saya ingin perhelatan diadakan di Awangga dan saya ingin Bapa
Prabu sendiri yang datang ke sini mengantarkan Nimas
Surtikanti,” jawab Karna sambil kemudian melangkah masuk ke bagian dalam istananya. Pitoyo, 2010: 240
C. Alur
Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini beralur maju. Hal ini ditandai dengan adanya susunan peristiwa secara kronologis. Hal ini terlihat
dalam susunan alurnya, yaitu adanya paparan, rangsangan, tegangan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian.
1. Paparan.
Terjadi ketika Adipati Karna disuruh menemani Duryudana dalam latihan olah kanuragan dan olah keutamaan yang diberikan oleh Resi
Durna. Adipati Karna diangkat menjadi kepala prajurit pengawal dan mendapat kepercayaan dari Duryudana sehingga dia selalu diajak
Duryudana kemanapun dia pergi. Di latihan itu, Karna mulai merasa kagum dan iri kepada kemampuan Arjuna dalam memanah. Berikut ini
kutipannya: 1
“Bagimu apa, Ngger Duryudana?” tanya Durna kemudian. Duryudana hanya diam. Memalingkan muka kea rah Karna di sebelahnya,
kemudian seperti bergumam. Pitoyo, 2010: 123 2
“Apa, Ngger?” tanya Durna kemudian mencoba meminta Duryudana agar tidak hanya mengemukakan pendapatnya kepada Karna, sang
prajurit pengawal, tapi juga disampaikan kepadanya. Pitoyo, 2010: 123
3 “Beliau sependapat seperti hamba, Kanjeng Resi.” Tiba-tiba, justru
Karna yang angkat bicara. Semua orang terkejut. Tidak biasanya seorang prajurit kepala berani berbicara di tengah para kerabat raja.
“Keris adalah sebuah senjata yang harus dimengerti dan dipahami seorang kesatria,” lanjut Karna. Pitoyo, 2010: 123
Setelah itu Karna diusir oleh Resi Durna karena kelancangannya. Karna kemudian berniat pergi sementara dari Hastinapura untuk berlatih
meningkatkan ilmu kanuragan. Berikut ini kutipannya: 4
Seketika itu, Karna berdiri sambil berkata kepada Duryudana, “Maafkan saya, Kanjeng Raden, rupanya saya tidak begitu dibutuhkan
di sini.” Kemudian, ia melangkah ke arah luar, menuju gerbang luar istana. Sigap, Duryudana berdiri dan berlari, lalu menggapai lengan
Karna. Sejenak, Karna hentikan langkah. “Biarlah saya pergi dulu dari mengawal panjenengan, Kanjeng Raden. Saya juga harus selalu
meningkatkan ilmu kanuragan. Saya berharap juga bisa belajar dari Eyang Begawan Durna. Tapi rupanya, dia terlalu sombong untuk
menerima saya ikut serta. Tak ada gunanya saya mengawal panjenengan, kalau saya tidak selalu belajar. Saya berjanji suatu saat
akan kembali dan mengawal keselamatan Anda, untuk mewujudkan keinginan panjenengan
.” Pitoyo, 2010: 124 2.
Rangsangan. Terjadi ketika Arjuna berlatih memanah bersama gurunya, Resi
Durna, dan semakin meningkat kemampuannya dalam memanah. Berikut ini kutipannya:
5 “Luar biasa, Anakku Kamulah anak muda yang paling berbakat yang
pernah aku didik. Suatu hari nanti, ilmu memanahmu tidak aka nada yang bisa menandingi di dunia wayang ini.” Terdengar suara serak
parau melengking dari mulut seorang tua peyot. Pitoyo, 2010: 139 6
“Benarkah Guru? Benarkah saya yang pandai memanah di bumi wayang ini, Guru Durna?” tanya si anak muda tetap tertunduk, sambil
kembali menyiapkan anak panah berikutnya, dan membidik melatih kebolehannya memanah dengan sasaran ribuan kaki di depan, seekor
tupai yang berlarian kesana-kemari dikelilingi beberapa binatang yang mati berserakan tertembus anak panah. Pitoyo, 2010: 139
7 “Seluruh hidupku kenyang oleh kembara merambah penjuru dunia
wayang, terkadang berguru, terkadang diangkat sebagai guru, selama itu tak ada seorang kesatria pun mampu memanah sepertimu, wahai
Permadi.” ucap Durna. Pitoyo, 2010: 139
Bersamaan dengan itu, Karna juga belajar olah kanuragan dan memanah dari gurunya, Rama Bargawa. Berikut ini kutipannya:
8 Setelah itu, Rama Bargawa sering dijumpai para pengembara, dan
petani perambah hutan di daerah hutan jati di perbatasan utara Hastinapura. Dan, benar juga, di sanalah saat ini Karna bertemu
dengannya. Karna kemudian bisa mulai merasakan ketenangan dalam batinnya yang selama ini selalu memendam kekecewaan-kekecewaan
yang sulit diurai penyebabnya. Karna yang kemudian menimba ilmu olah kanuragan dan ilmu keutamaan dari sang Resi Bargawa. Pitoyo,
2010: 152-153
9 Dari Bargawalah rahasia ilmu memanah yang melegenda milik
Harjunasasra yang tak ada tandingannya pada zaman dulu, bisa dipelajari oleh Karna. Dari Bargawa pulalah, Karna bisa kembali
menumbuhkan rasa percaya dirinya. Perasaan yang kemudian memberi ketetapan hati, sehingga tanpa ragu kembali, pulang ke negeri
Hastinapura, menemui Duryudana yang dulu pernah dekat dengannya, dan kembali menjadi prajurit pengawal. Pitoyo, 2010: 153
3. Tegangan.
Terjadi ketika Karna diutus oleh Duryudana untuk menumpas Prabu Karnamandra, raja raksasa dari negeri Awangga. Di saat Karna
kewalahan menerima serangan dari pasukan Karnamandra, Arjuna datang dan menolongnya. Berikut ini kutipannya:
10 Sraaaapp Sekedipan mata kemudian, panah sakti bernama
Sarotama itu telah melesat menerjang dada sang raksasa. “Arrghh” adalah Karnamandra rupanya Dadanya tertembus panah sakti Arjuna.
Dia pun lena Sekejap kemudian, prasshh Tak ampun lagi Kesempatan itu tak disia-siakan Karna yang rupanya masih lolos dari
kematian. Raja Awangga yang terkejut dan kesakitan terkena panah Arjuna itu langsung tertebas kepalanya oleh pedang Karna. Pitoyo,
2010: 239
11 Keduanya sama-sama terkejut ketika mereka ternyata saling
mengenal “Hai Permadi Saya tak butuh bantuanmu,” teriak Karna lantang dengan nada tinggi, sambil mengacungkan pedang ke arah
Arjuna. Karna memanggil Arjuna dengan nama mudanya. Dan, Karna juga memanggil Arjuna tanpa panggilan raden dan sebagainya karena
merasa telah setara sejak diangkat saudara oleh Duryudana Sungguh sikap arogan Sekian lama tak bertemu, Karna memilih untuk tetap
menjaga wibawa di depan Arjuna Pitoyo, 2010: 239