Nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah : Arjuna-Karna Karya Pitoyo Amrih (suatu tinjauan sosiologi sastra) dan relevansinya dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI.

(1)

viii ABSTRAK

Firmansyah, Guntur. 2015. “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji nilai-nilai moral novel Pertempuran 2 Pemanah:

Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. Tujuan penelitian ini untuk memaparkan

tokoh, penokohan, alur, dan latar; nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel; dan implementasi hasil penelitian dalam pembelajaran di SMA.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan tokoh, penokohan, alur, latar, nilai-nilai moral, dan juga untuk memaparkan implementasi hasil penelitian dengan pembelajaran sastra di SMA.

Dari analisis data, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah Arjuna dan Karna, sedangkan tokoh tambahan adalah Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Durna, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, dan Kusir Adirata. Peneliti menganalisis penokohan pada tokoh utama, yaitu Arjuna dan Karna. Tokoh Arjuna mempunyai sifat tidak bisa menolak perempuan yang ingin menjadi istrinya, suka menolong orang lain yang sedang kesusahan, jujur, dan rendah hati. Karna mempunyai sifat ambisius, tidak suka berbasa-basi, dan angkuh.

Cerita dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih beralur maju. Hal ini terlihat dalam susunan alurnya, yaitu adanya paparan, rangsangan, tegangan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian. Ada tiga latar dalam novel ini, yaitu latar fisik, latar sosial, dan latar waktu.

Nilai-nilai moral dalam novel ini terkandung dalam diri tokoh-tokohnya. Nilai-nilai moral tersebut, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistis kritis.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra untuk SMA. Dalam penelitian ini diberikan contoh rencana pelaksanaan pembelajaannya. Guru bahasa dan sastra Indonesia diharapkan lebih kreatif dalam memilih metode dan bahan pembelajaran.


(2)

ix ABSTRACT

Firmansyah, Guntur. 2015. “The Moral Values Contained in Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna (A Review of Sociological Literature) and Its Implementation in Learning Literature for Grade XI of Senior High School”. Undergraduate

Thesis. Yogyakarta: PBSID, FKIP, Sanata Dharma University.

This research reviews the moral values embedded in Pitoyo Amrih’s novel

entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. The aim of this research is to present the characters, characterization, plot, and setting; the moral values contained in the novel; and the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School.

This research applies sociological approach to literature. Meanwhile, the method used is descriptive analysis method. Descriptive analysis method is used to present the characters, characterization, plot, setting, and moral values, as well as the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School.

From the analysis, it can be concluded that the major characters in this novel are Arjuna and Karna, whereas the minor characters are Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Duma, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, and Kusir

Adirata. The plot of Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah:

Arjuna-Karna is advancing. It can be seen in the composition of the plot i.e. the occurrence of exposure, stimulation, tension, conflict, complication, resolution, and completion. There are three settings in this novel namely physical setting, social setting, and temporal setting.

The moral values of this novel are embedded in the characters. Those moral values are honesty, authentic values, responsibility, moral autonomy, moral courage, humbleness, as well as being realistic and critical.

The findings of this research can be learning materials for high school literature. The example of the lesson plan is also presented in this research. The teachers of Indonesian Language and Literature are expected to be more creative in selecting the method and the learning materials.


(3)

NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH (SUATU TINJAUAN

SOSIOLOGI SASTRA) DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh: Guntur Firmansyah

08 1224 062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH (SUATU TINJAUAN

SOSIOLOGI SASTRA) DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh Guntur Firmansyah

08 1224 062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

SKRIPSI

NILAI―

NILAIPIORAL DALAⅣ I NOVEL PRTEMPじ

こ&4Ⅳ 2PEMう4ハИ謄 ∠RJしいИttИ

tt KARYA PITOYO APIIRIⅡ

(SUATU TINJAUAN

SOSIOLOGISASTRA)DAN RELEVANSINYA DALA■

lI PEⅣ

IBELAJARAN SASTRA DISⅣ

IA KELAS XI

Pada tanggal: 13 Mei 2015

Pemb;pbing II

S.J。,NI.HⅧm. Pada tanggal:26 Mei 2015 Pembimbing


(6)

SKRIPSI

NILAI…NILAI PIIORAL DALAⅣ

I NOVEL PERrEMP6R∠

νら4ハ/1「 ∠RJしいИ

ttRAИ

KARYA PITOYO AⅣ

IRIⅡ

(SUATU TINJAUAN

SOSIOLOGISASTRA)DAN RELEVANSINYA DALAⅣ

I

PEⅣ

IBELAJARAN SASTRA DISMA KELAS XI

E)ipersiapkan dan disusun oleh

Guntur Firllllallsyah 081224062

Telah dipe■ ahankan di dcpan Panitia Pengtti pada tangga1 31 Juli 2015

dan dinyatakan tclah lllementllli syarat

SUSUNAN PANITIA PENGUJI

Ketua Sekretaris Anggota Anggota Anggota

Nallla Lcnょ ap

Dr.Yuliana Sctiyaningsih,NI.Pd.

Dr.R.Kuttana Rahttdi,M.Hum. Drs.B.Rallmanto,M.Hum.

Drs.J.Prapta Dihtta,S.J。,M.Hum.

Drs.P.Httyanto,NI.Pd.

karta,31 Juli 2015

Keguruan dan Ilmu Pendidikan itas Sanata Dharma


(7)

iv MOTO

“No matter how deep the night, it always turns to day, eventually.” ( Brook )

“It’s over when you give up” ( Brook )

“I don’t care what the society says. I’ve regretted doing anything. I will survive and do what I want to.”

( Roronoa Zoro )

“There is no such thing as impossible in this world.” ( Marshall D. Teach )

“Then stand up right away! And don’t act like you’re about to die! It’s not like

you! Even if there are billows of smoke, we can still see the sky. We can still see

the ocean!” ( Usopp )


(8)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya yang tidak seberapa ini untuk orang-orang yang selalu

memberikan kepercayaan dan harapannya kepadaku.

Kedua orang tuaku, Bapak Sugijanta dan Ibu Sartinah. Hanya ini yang bisa kupersembahkan untuk saat ini dan aku berjanji ini barulah sebuah

awal.


(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang disebutkan di dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya penulisan karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Juli 2015 Penulis,

Guntur Firmansyah 08 1224 062


(10)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Guntur Firmansyah

Nomor Induk Mahasiswa : 08 1224 062

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan karya ilmiah kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang berjudul:

NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH ( SUATU TINJAUAN

SOSIOLOGI SASTRA) DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 31 Juli 2015 Yang menyatakan,


(11)

viii ABSTRAK

Firmansyah, Guntur. 2015. “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji nilai-nilai moral novel Pertempuran 2 Pemanah:

Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. Tujuan penelitian ini untuk memaparkan

tokoh, penokohan, alur, dan latar; nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel; dan implementasi hasil penelitian dalam pembelajaran di SMA.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan tokoh, penokohan, alur, latar, nilai-nilai moral, dan juga untuk memaparkan implementasi hasil penelitian dengan pembelajaran sastra di SMA.

Dari analisis data, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah Arjuna dan Karna, sedangkan tokoh tambahan adalah Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Durna, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, dan Kusir Adirata. Peneliti menganalisis penokohan pada tokoh utama, yaitu Arjuna dan Karna. Tokoh Arjuna mempunyai sifat tidak bisa menolak perempuan yang ingin menjadi istrinya, suka menolong orang lain yang sedang kesusahan, jujur, dan rendah hati. Karna mempunyai sifat ambisius, tidak suka berbasa-basi, dan angkuh.

Cerita dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih beralur maju. Hal ini terlihat dalam susunan alurnya, yaitu adanya paparan, rangsangan, tegangan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian. Ada tiga latar dalam novel ini, yaitu latar fisik, latar sosial, dan latar waktu.

Nilai-nilai moral dalam novel ini terkandung dalam diri tokoh-tokohnya. Nilai-nilai moral tersebut, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistis kritis.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra untuk SMA. Dalam penelitian ini diberikan contoh rencana pelaksanaan pembelajaannya. Guru bahasa dan sastra Indonesia diharapkan lebih kreatif dalam memilih metode dan bahan pembelajaran.


(12)

ix ABSTRACT

Firmansyah, Guntur. 2015. “The Moral Values Contained in Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna (A Review of Sociological Literature) and Its Implementation in Learning Literature for Grade XI of Senior High School”. Undergraduate

Thesis. Yogyakarta: PBSID, FKIP, Sanata Dharma University.

This research reviews the moral values embedded in Pitoyo Amrih’s novel

entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. The aim of this research is to present the characters, characterization, plot, and setting; the moral values contained in the novel; and the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School.

This research applies sociological approach to literature. Meanwhile, the method used is descriptive analysis method. Descriptive analysis method is used to present the characters, characterization, plot, setting, and moral values, as well as the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School.

From the analysis, it can be concluded that the major characters in this novel are Arjuna and Karna, whereas the minor characters are Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Duma, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, and Kusir

Adirata. The plot of Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah:

Arjuna-Karna is advancing. It can be seen in the composition of the plot i.e. the occurrence of exposure, stimulation, tension, conflict, complication, resolution, and completion. There are three settings in this novel namely physical setting, social setting, and temporal setting.

The moral values of this novel are embedded in the characters. Those moral values are honesty, authentic values, responsibility, moral autonomy, moral courage, humbleness, as well as being realistic and critical.

The findings of this research can be learning materials for high school literature. The example of the lesson plan is also presented in this research. The teachers of Indonesian Language and Literature are expected to be more creative in selecting the method and the learning materials.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”, penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, yaitu:

1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univeritas Sanata Dharma.

2. Ibu Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, selama ini menjadi Pembimbing Akdemik yang baik.

3. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi I yang sabar dan selalu mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi.

4. Romo Drs. J. Prapta Diharja, S.J., M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi II yang terus memberikan semangat dan dukungan kepada penulis untuk meyelesaikan skripsi.

5. Robertus Marsidiq, selaku staf Sekretariat Program Studi PBSI yang turut membantu kelancaran skripsi ini.

6. Segenap dosen PBSI yang selama ini telah membagi ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma. 7. Bapak dan ibu penulis (Bapak Sugijanta dan Ibu Sartinah) yang selalu sabar

dan senantiasa memanjatkan doa bagi penulis.

8. Kakak penulis, Tyas Subhekti, dan adik penulis, Tri Wahyuni, terima kasih atas dukungan dan doanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(14)

xi

9. Fransiska Ida, Petrus Kanisius, Maria Evi, Vicky Aprilia, dan Eka Nopin selaku teman-teman yang bersama-sama berjuang untuk menyelesaikan skripsi, terima kasih atas dukungan dan doanya; serta Chyntia Radeani, terima kasih atas masukan, dukungan, dan bantuannya kepada penulis.

10. Teman-teman PBSI yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas kerjasamanya selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.

11. Teman-teman UKPM natas yang turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung telah membantu. Semoga kebaikan dan doa yang dipanjatkan untuk penulis mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Walaupun demikian, besar harapan penulis bahwa penelitian ini berguna dan menjadi inspirasi bagi peneliti selanjutnya.

Yogyakarta, 31 Juli 2015

Penulis,


(15)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Batasan Istilah ... 6

F. Sumber Data ... 8

G. Sistematika Penyajian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI ... 9

A. Kajian Pustaka ... 9

B. Landasan Teori ... 10

1. Sosiologi Sastra ... 10

2. Tokoh ... 12

3. Penokohan ... 13

4. Alur ... 19

5. Latar ... 22

6. Nilai-Nilai Moral ... 24

6.1 Konsep Nilai Moral ... 24

6.2 Nilai Moral dalam Karya Sastra ... 25

6.3 Bentuk Penyampaian Pesan Moral dalam Karya Sastra ... 26

6.4 Bentuk Nilai Moral yang Kuat ... 27


(16)

xiii

6.4.2 Nilai Otentik ... 28

6.4.3 Kesediaan untuk Bertanggung jawab ... 28

6.4.4 Kemandirian Moral ... 28

6.4.5 Keberanian Moral ... 29

6.4.6 Kerendahan Hati ... 29

6.4.7 Realistis dan Kritis ... 30

7. Implementasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA ... 31

7.1.Kurikulum ... 31

7.1.1 Pengertian Kurikulum ... 31

7.1.2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ... 31

7.1.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar KTSP .. 32

7.1.4 Perencanaan Pembelajaran KTSP ... 33

7.2.Pembelajaran Sastra di Tingkat SMA ... 36

7.2.1 Pelajaran Sastra ... 36

7.2.2 Tujuan Pengajaran Sastra ... 37

7.2.3 Pemilihan Bahan Pengajaran Sastra ... 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 44

A. Pendekatan ... 44

B. Metode Penelitian ... 45

C. Teknik Pengumpulan Data ... 45

D. Teknik Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Tokoh ... 47

B. Penokohan ... 54

1. Arjuna ... 54

2. Karna ... 56

C. Alur ... 58

1. Paparan ... 58

2. Rangsangan ... 59

3. Tegangan ... 60

4. Tikaian ... 61

5. Rumitan ... 62

6. Klimaks ... 62

7. Leraian ... 63

8. Selesaian ... 63

D. Latar ... 64

1. Latar Fisik ... 64

2. Latar Sosial ... 67

3. Latar Waktu ... 70

E. Nilai-Nilai Moral ... 71

1. Kejujuran ... 71


(17)

xiv

3. Kesediaan untuk Bertanggungjawab ... 84

4. Kemandirian Moral ... 87

5. Keberanian Moral ... 91

6. Kerendahan Hati ... 94

7. Realistis dan Kritis ... 99

BAB V RELEVANSI HASIL ANALISIS NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI .... 108

A. Pemilihan Bahan Pembelajaran ... 109

1. Aspek Bahasa ... 109

2. Aspek Psikologis ... 111

3. Aspek Latar Belakang Budaya ... 111

B. Relevansi Novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI ... 113

BAB VI PENUTUP ... 132

A. Kesimpulan ... 132

B. Implikasi ... 135

C. Saran ... 136

DAFTAR PUSTAKA ... 137

BIOGRAFI PENULIS ... 139


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjalanan zaman selalu diikuti dengan perkembangan sarana dan prasarana yang semakin maju. Perkembangan zaman yang demikian pesatnya seakan menggiring kita pada kehidupan yang lebih baik dengan kemajuan teknologi. Namun, dalam perkembangan zaman itu, ada hal yang sering kali dilupakan masyarakat, bahkan mungkin berangsur-angsur akan hilang dari diri kita, yaitu nilai-nilai moral.

Masalah moral bisa menjadi masalah yang akan menggelisahkan apabila tidak segera kita atasi. Dengan rutinitas yang harus dilakukan dengan serba cepat, pekerjaan yang harus diselesaikan dengan sempurna, dan hal-hal lainnya yang memfokuskan kita pada diri sendiri seringkali membuat kita lupa bahwa kita adalah mahluk sosial. Kita adalah bagian masyarakat. Kita perlu berinteraksi dengan masyarakat. Dalam interaksi itu, kita harus menggunakan norma-norma moral. Hal inilah yang saat ini mulai berangsur-angsur hilang dalam kehidupan bermasyarakat.

Meskipun demikian, sebenarnya ada berbagai macam hal yang memberikan pelajaran moral bagi kita dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya yaitu karya sastra dalam bentuk cerita fiksi. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut


(19)

dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi (Nurgiyantoro, 2010: 2). Menurut Nurgiyantoro (2010: 3), fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan.

Karya sastra mempunyai pengaruh dan peranan dalam kehidupan masyarakat. Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia (Nurgiyantoro, 2010: 321). Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Artinya sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad. Sastra mempunyai fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat, yaitu: (1) sastra berfungsi sebagai perombak atau pembaharu, (2) karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan jalan menghibur (Endraswara, 2013: 81).

Terkait dengan hubungannya dengan masyarakat, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengenai karya sastra, yaitu: (1) karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat; (2) karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat; (3) medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan (Ratna, 2013: 333). Karya sastra mengangkat berbagai


(20)

permasalahan sosial dalam masyarakat, menganalisis, dan memberikan pelajaran kembali kepada masyarakat.

Salah satu karya sastra fiksi yang dikenal oleh masyarakat adalah novel. Novel adalah karya fiksi yang berbentuk prosa naratif atau biasa juga disebut teks naratif (Nurgiyantoro, 2010: 8). Berbeda dengan cerpen, formalitas bentuk cerita novel jauh lebih panjang. Sejumlah cerita yang panjang, katakanlah berjumlah ratusan halaman jelas tak dapat disebut sebagai cerpen, melainkan lebih tepat sebagai novel. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih sebagai subjek penelitian.

Novel ini mengambil kisah dari cerita wayang yang diadaptasi dari kisah legendaris Mahabharata. Kisah dunia wayang dapat membuat kita selalu bercermin dan mawas diri. Seperti juga kehidupan manusia, dalam kisah kehidupan wayang selalu saja ada pertemuan antara kebaikan dan keburukan, kebijakan dan ketamakan. Kisah tentang keteladanan, kemarahan, kesendirian, kecongkakan, kejujuran, integritas, pengorbanan, kebijaksanaan, kebimbangan, dendam, dan kekecewaan tersaji dan terangkum dalam sebuah novel. Novel ini mengangkat kisah pertempuran 2 pemanah, Arjuna-Karna, yang kaya dengan drama, air mata, hingga kebajikan dan perjuangan atas pilihan hidup.

Menurut peneliti, kisah yang disajikan dalam novel Pertempuran 2

Pemanah Arjuna-Karna ini sangat menarik. Peneliti menggunakan novel ini


(21)

novel ini adalah hasil adaptasi dari kisah Mahabharata, hal yang diceritakan dalam novel ini disesuaikan dengan kebudayaan yang ada di Indonesia, sehingga novel ini termasuk salah satu karya yang patut kita banggakan. Kedua, sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian lain yang menggunakan novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini sebagai subjek penelitian. Ketiga, novel ini penuh dengan nilai keteladan, nilai-nilai kemoralan, dan nilai-nilai-nilai-nilai sosial dalam masyarakat.

Berbagai nilai ini sesuai dan dapat mendukung penelitian yang peneliti lakukan. Peneliti adalah calon pendidik. Oleh karena itu, peneliti berusaha mengimplementasikan penelitian ini dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA kelas X. Dengan berberapa latar belakang di atas, peneliti mencoba untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah deskripsi tokoh, penokohan, alur, dan latar dalam novel

Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih?

2. Nilai-nilai moral apa saja yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah

Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih?

3. Bagaimana relevansi nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2

Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih terhadap pembelajaran Sastra


(22)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan tokoh, penokohan, alur, dan latar dalam novel

Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih.

2. Mendeskripsikan nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah:

Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih.

3. Mendeskripsikan relevansi nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2

Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih terhadap pembelajaran

Sastra di SMA kelas XI. D. Manfaat Penelitian

Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Bagi guru Bahasa Indonesia

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi guru Bahasa Indonesia untuk menganalisa karya sastra, khususnya nilai-nilai moral di dalam karya sastra.

2. Bagi pembaca karya sastra

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah apresiasi pembaca karya sastra terhadap karya sastra itu sendiri.

3. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu acuan bagi peneliti lain untuk penelitian berikutnya.


(23)

E. Batasan Istilah 1. Nilai

Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Depdiknas, 2008: 963).

2. Moral

Moral adalah ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak; budi pekerti; susila (Depdiknas, 2008: 929).

3. Tokoh

Pelaku atau aktor dalam sebuah cerita sejauh ia oleh pembaca dianggap sebagai tokoh kongkret, individual (Hartoko, 1986: 144).

4. Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 165).

5. Alur

Alur sama dengan plot. Secara komplementer barkaitan dengan cerita. Cerita sama dengan urutan peristiwa secara kronologis semata-mata (Hartoko, 1986: 10).

6. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial


(24)

tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2010: 216).

7. Novel

Novel merupakan suatu bentuk karya sastra prosa yang menyajikan tokoh-tokoh dengan watak masing-masing dan berbeda dari tokoh satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menyuguhkan alur cerita yang menarik untuk dibaca oleh pembaca terutama tentang gambaran kehidupan masyarakat.

8. Sosiologi sastra

Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Memperhatikan baik pengarang, proses penulisan, maupun pembaca (sosiologi komunikasi sastra) serta teks sendiri (penafsiran teks secara sosiologis) (Rahmanto, 1988: 129).

9. Relevansi

Relevansi adalah hubungan atau kaitan (Depdiknas, 2008: 37). 10.Pembelajaran

Pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau mahkluk hidup belajar (Depdiknas, 2008: 23).


(25)

F. Sumber Data

Judul : Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna Pengarang : Pitoyo Amrih

Penerbit : DIVA Press

Tahun : 2010

Kota Terbit : Yogyakarta Jumlah halaman : 426 halaman G. Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab kedua adalah kajian pustaka dan kajian teori yang berisi: sosiologi sastra, tokoh, penokohan, alur, latar, nilai-nilai moral, dan implementasi dalam pembelajaran sastra di SMA. Bab ketiga adalah metodologi penelitian yang berisi pendekatan, metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab keempat adalah hasil penelitian dan pembahasan. Bab kelima adalah relevansi hasil penelitian dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI. Bab keenam adalah Penutup.


(26)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI

A. Kajian Pustaka

Pertempuran 2 Pemanah : Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih yang

terdiri dari 426 halaman ini diterbitkan oleh DIVA Press Yogyakarta pada tahun 2010 dalam bentuk novel. Sampai saat ini, penulis belum menemukan penelitian lain yang meneliti novel ini; sedangkan untuk penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, penulis menemukan 2 penelitian yang relevan, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Angela Rahma Purwitasari (2005) dan Sri Windarti Susiani (2006).

Penelitian pertama dilakukan oleh Angela Rahma Purwitasari (2005) dengan skripsinya yang berjudul “Tokoh, Tema, Nilai Moral Cerita Rakyat si Pahit Lidah serta Strategi Pembelajarannya di Sekolah Dasar.” Hasil dari

penelitian itu menunjukkan bahwa si Pahit Lidah merupakan tokoh sentral atau tokoh utama dalam cerita. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita

si Pahit Lidah adalah nilai moral hubungan manusia dengan tuhan, nilai moral

hubungan manusia dengan sesama, dan nilai moral hubungan manusia dengan diri sendiri.

Penelitian kedua yang dilakukan oleh Sri Windarti Susiani (2006) berjudul “Analisis Struktural dan Nilai-Nilai Moral Novel Ramayana Karya Sunardi D.M dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI.” Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, alur, latar, tema, dan


(27)

nilai-nilai moral dalam novel Ramayana karya Sunardi D.M serta implementasinya dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI.

Berdasarkan hasil analisis tokoh, Sri Windarti Susiani mendeskripsikan 17 tokoh dalam penelitiannya. Sedangkan untuk hasil penelitian mengenai analisis nilai-nilai moral dalam novel yang ditelitinya, Sri Windarti Susiani menemukan ada 9 nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut yaitu: mawas diri, cinta, taat, setia, sabar, rela berkorban, bela negara, hormat kepada orang tua, dan menjaga kesucian diri.

B. Landasan Teori

Berikut ini adalah teori yang digunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini. Teori yang digunakan adalah: (1) sosiologi sastra, (2) tokoh, (3) penokohan, (4) alur, (5) latar, (6) nilai-nilai moral, dan (7) relevansi dalam pembelajaran sastra di SMA.

1. Sosiologi Sastra

Dalam pandangan Wolf (via Endraswara, 2013: 77), sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah satra dan sosiologi (Ratna, 2013: 338).

Ratna (2013: 339) mengemukakan bahwa secara definitif, penelitian sosiologi sastra menggunakan te0ri-teori sastra dan sosiologi.


(28)

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra sudah menjadi suatu disiplin yang baru, yang dengan sendirinya sudah dievaluasi sepanjang periode perkembangannya, maka sosiologi sastra pun mencoba menciptakan teori-teori yang secara khas lahir melalui kombinasi sastra dan sosiologi.

Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenson dan Swingewood via Endraswara, 2013: 78). Menurut Endraswara (2013: 78), sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. Dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi (Endraswara, 2013: 78).

Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Sapardi, 1978: 2). Sapardi (1978: 2) mengemukakan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan.

Peneliti menggunakan pendekatan yang kedua dalam penelitian ini, yaitu pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Penelitian ini menganalisis teks sastra untuk mengetahui


(29)

strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada dalam teks sastra tersebut.

2. Tokoh

Tokoh adalah salah satu unsur intrinsik yang ada dalam karya sastra. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?”, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2010: 165). Menurut Sudjiman (1988: 16), tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.

Abrams (via Nurgiyantoro, 2010: 165) mengemukakan bahwa tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan menjadi beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Dilihat dari segi peranannya atau tingkat pentingnya tokoh, Nurgiyantoro (2010: 176-177) mengklasifikasi tokoh sebagai berikut:


(30)

a. Tokoh utama

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.

b. Tokoh tambahan

Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

Menurut Sudjiman (1988: 18), kriterium yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Sudjiman menambahkan, judul cerita seringkali juga mengungkapkan siapa yang dimaksudkan sebagai tokoh protagonis. 3. Penokohan

Karena tokoh-tokoh itu rekaan pengarang, hanya pengaranglah yang mengenal mereka. Maka tokoh-tokoh perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca (Sudjiman, 1988: 23). Menurut Sudjiman (1988: 23), yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanyayang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan.


(31)

Watak, perwatakan , dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 165). Citra tokoh itu disusun dengan memperpadukan berbagai faktor, yakni apa yang difokalisasinya, bagaimana ia memfokalisasi, oleh siapa dan bagaimana ia sendiri difokalisasi, kelakuannya sebagai pelaku dalam deretan peristiwa, ruang dan waktu (suasana) serta pertentangan tematis di dalam karya itu yang secara tidak langsung merupakan bingkai acuan bagi tokoh (Hartoko, 1986: 144). Hartoko menambahkan, tokoh yang bersangkutan dapat “dihidupkan” berdasarkan sejumlah konvensi yang diketahui oleh pembaca.

Menurut Jones (via Nurgiyantoro, 2010: 165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang yang ditampilkan dalam suatu cerita. Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan ”perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 166).

Dalam sebuah cerita, secara umum pelukisan tokoh dilakukan dengan cara deskriptif langsung (teknik analitis, telling) dan tidak langsung (teknik dramatik, showing) yang kesemuanya itu mesti lewat kata-kata.


(32)

a. Metode langsung (teknik analitis, telling)

Menurut Nurgiyantoro (2010: 195), teknik analitis adalah pelukisan tokoh yang dilakukan dengan memberi deskripsi kedirian tokoh yang berupa sifat, watak, tingkah laku atau ciri fisiknya secara langsung. Bahkan sering dijumpai dalam suatu karya fiksi, belum lagi kita pembaca akrab berkenalan dengan tokoh-tokoh cerita itu, informasi kedirian tokoh itu justru telah lebih dulu kita terima secara lengkap (Nurgiyantoro, 2010: 195).

Ada kalanya pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya, kadang-kadang dengan menyisipkan kilatan (allusion) atau komentar pernyataan setuju tidaknya akan sifat-sifat tokoh itu (Sudjiman, 1988: 24). Menurut Sudjiman (1988: 24), pengarang dapat memaparkan saja watak tokohnya, tetapi dapat juga menambahkan komentar tentang watak tersebut. Metode inilah yang disebut dengan metode analitis atau metode langsung.

b. Metode tidak langsung (teknik dramatik, showing)

Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh (Sudjiman, 1988: 26). Sudjiman menambahkan, cakapan atau lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh dapat menyiratkan sifat wataknya.


(33)

Watak tokoh ditunjukkan dengan kedirian tokoh itu sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2010: 198). Menurut Nurgiyantoro (2010: 198), dalam karya fiksi yang baik, kata-kata, tingkah laku, dan kejadian-kejadian yang diceritakan tidak hanya sekedar menunjukkan perkembangan plot saja, melainkan juga sekaligus menunjukkan sifat kedirian masing-masing tokoh pelakunya.

Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Menurut Nurgiyantoro (2010: 201-211), teknik-teknik yang digunakan dalam penggambaran tokoh secara dramatik yaitu: teknik cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik.

 Teknik cakapan

Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010: 201). Tidak semua percakapan, memang, mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak, tidak mudah untuk menafsirkannya demikian. Namun, percakapan yang baik, yang efektif, yang lebih fungsional, adalah yang menunjukkan perkembangan plot sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.


(34)

 Teknik tingkah laku

Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan kediriannya (Nurgiyantoro, 2010: 203).

 Teknik pikiran dan perasaan

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang sering dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua (Nurgiyantoro, 2010: 204).

 Teknik arus kesadaran

Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Abrams (via Nurgiyantoro, 2010: 206) mengemukakan bahwa arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak.

Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologue, monolog batin (Nurgiyantoro, 2010: 206). Menurut Nurgiyantoro (2010: 206), monolog batin, percakapan yang hanya terjadi dalam


(35)

diri sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya ‘aku’, berusaha menangkap kehidupan batin, pikiran, perasaan, emosi, tanggapan, kenangan, nafsu, dan sebagainya.

 Teknik reaksi tokoh

Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan sebagainya yang berupa ‘rangsang’ dari luar diri tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010: 207). Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

 Teknik reaksi tokoh lain

Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010: 209). Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca.

 Teknik pelukisan latar

Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Keadaan latar tertentu, memang, dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca. Misalnya, suasana rumah yang bersih, teratur, rapi, tak ada barang


(36)

yang bersifat mengaganggu pandangan, akan menimbulkan kesan bahwa pemilik rumah itu sebagai orang yang cinta kebersihan, linkungan, teliti, teratur, dan sebagainya yang sejenis (Nurgiyantoro, 2010: 209-210).

 Teknik pelukisan fisik

Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu (Nurgiyantoro, 2010: 210). Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana, dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu.

Menurut Nurgiyantoro (2010: 210), pelukisan keadan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.

4. Alur

Menurut Stanton (2007: 26), secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Alur cerita seringkali disebut kerangka cerita atau plot. Plot merupakan bagian yang penting dari cerita rekaan (Waluyo, 1994: 145). Boulton (via Waluyo, 1994: 145) mengemukakan bahwa plot juga berarti seleksi peristiwa yang disusun


(37)

dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang. Dalam rangkaian kejadian itu terdapat hubungan sebab akibat yang bersifat logis, artinya pembaca merasa bahwa secara rasional kejadian atau urutan kejadian itu memang mungkin terjadi (tidak dibuat-buat) (Waluyo, 1994: 145).

Lukman Ali (via Waluyo, 1994: 145) menyatakan bahwa plot adalah sambung sinambung peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat yang tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah mengapa hal itu terjadi. Plot adalah alur cerita yang dibuat oleh pembaca yang berupa deretan peristiwa secara kronologis, saling berkaitan, dan bersifat kausalitas sesuai dengan apa yang dialami oleh pelaku cerita (Dick Hartoko via Waluyo, 1994: 145).

Menurut Sudjiman (1988: 30), struktur umum alur cerita terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) alur awal, (2) alur tengah, dan (3) alur akhir. Alur awal terdiri atas paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), dan gawatan (rising action). Alur tengah cerita terdiri atas tikaian (conflict), rumitan (complication), dan klimaks. Akhir alur cerita terdiri atas leraian (falling action) dan selesaian (denouement). Struktur umum ini disimpulkan dari pengamatan terhadap cerita rekaan yang dihasilkan sejak berabad-abad yang lalu, sehingga merupakan prinsip dasar dari penyusunan cerita rekaan (Sudjiman, 1988: 31).


(38)

Paparan biasanya merupakan fungsi utama awal suatu cerita (Sudjiman, 1988: 32). Tentu saja bukan informasi selengkapnya yang diberikan, melainkan keterangan sekadarnya untuk memudahkan pembaca mengikuti kisahan selanjutnya. Sudjiman menambahkan, lain daripada itu situasi yang digambarkan pada awal harus membuka kemungkinan cerita itu berkembang.

Rangsangan yaitu peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan (Sudjiman, 1988: 32). Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator. Menurut Sudjiman (1988: 33), rangsangan dapat pula ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras.

Tegangan ialah ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi (Sudjiman, 1988: 33). Sudjiman (1988: 34) mengemukakan bahwa dalam menumbuhkan tegangan ini, pengarang sering menciptakan beberapa regangan, yaitu proses penambahan ketegangan emosional, dan beberapa susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan emosional.

Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan (Sudjiman, 1988: 34). Menurut Sudjiman (1988: 35), tikaian merupakan pertentangan antara dirinya dengan kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, ataupun pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu.

Rumitan adalah perkembangan dari gejala mulai tikaian menuju ke klimaks cerita (Sudjiman, 1988: 35). Dalam cerita rekaan rumitan sangat


(39)

penting. Menurut Sudjiman (1988: 35), tanpa rumitan yang memadai tikaian akan lamban. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks.

Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya (Sudjiman, 1988: 35). Dari titik tinggi ini penyelesaian cerita biasanya sudah dapat dibayangkan.

Bagian struktur alur sesudah klimaks meliputi leraian yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian (Sudjiman, 1988: 35). Peleraian (falling action) artinya konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang (Waluyo, 1994: 148).

Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita (Sudjiman, 1988: 36). Selesaian boleh jadi mengandung penyelesaian masalah yang melegakan, boleh juga mengandung penyelesaian yang menyedihkan. Boleh jadi juga pokok masalah tetap menggantung tanpa pemecahan. 5. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton, 2007: 35). Menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 2010: 216), latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas.


(40)

Sudjiman (1988: 44) mengemukakan bahwa secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. Hudson (via Sudjiman, 1988: 44) membedakan latar sosial dan latar fisik/ material.

Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa (Sudjiman, 1988: 44). Menurut Sudjiman (1988: 45), novel sejarah yang baik dapat memberikan gambaran yang hidup kepada pembaca tentang kehidupan, kegemilangan, dan penderitaan sekelompok orang pada masa tertentu dalam sejarah, serta adat kebiasaan, nada, dan nafsu zamannya.

Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya (Sudjiman, 1988: 44). Menurut Nurgiyantoro (2010: 218), latar tempat, berhubung secara jelas menyaran pada lokasi tertentu, dapat disebut sebagai latar fisik. Nurgiyantoro mengemukakan bahwa penunjukkan latar fisik dalam karya fiksi dapat dengan cara yang bermacam-macam, tergantung selera dan kreativitas pengarang. Ada pengarang yang melukiskannya secara rinci, sebaliknya ada pula yang sekedar menunjukkannya dalam bagian cerita.


(41)

6. Nilai-nilai Moral

6.1 Konsep Nilai Moral

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang hidup dalam suatu masyarakat. Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: akhlak, budi pekerti, susila (Depdiknas, 2008). Manusia harus mengerti tentang nilai-nilai etis, yaitu nilai-nilai yang menentukan benar salahnya tindakan manusia (Amir, 1991: 87).

Kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat (Bertens, 2007: 4). Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain bulutangkis atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia (Suseno, 1989: 19); sedangkan menurut Hadiwardoyo (1994: 13), moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral.

Norma-norma moral adalah tolok-tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai (Suseno, 1989: 19).


(42)

Hadiwardoyo (1994: 13) mengemukakan bahwa moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Akan tetapi sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula.

Orang yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu yang lama dapat mencapai keunggulan moral yang biasa disebut keutamaan. Keutamaan adalah kemampuan yang dicapai seseorang untuk bersikap batin maupun berbuat secara benar (Hadiwardoyo, 1994: 21).

6.2 Nilai Moral dalam Karya Sastra

Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya sastra merupakan unsur isi (Nurgiyantoro, 2010: 320). Nurgiyantoro menambahkan, moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Kenny (via Nurgiyantoro, 2010: 320) mengatakan bahwa moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada


(43)

pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 321). Sedangkan menurut Kenny (via Nurgiyantoro, 2010: 321), moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.

6.3 Bentuk Penyampaian Pesan Moral dalam Karya Sastra

Dari sisi tertentu karya sastra, fiksi dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk mendialog, menawar, dan menyampaikan sesuatu (Nurgiyantoro, 2010: 335). Nurgiyantoro menambahkan, sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral, atau amanat.

Nurgiyantoro (2010: 335) mengemukakan bahwa secara umum bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung. Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian atau penjelasan. Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit.

Bentuk penyampaian moral tidak langsung yaitu pesan hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain (Nurgiyantoro, 2010: 339). Nurgiyantoro (2010: 340) menambahkan, yang ditampilkan dalam cerita adalah


(44)

peristiwa-peristiwa, konflik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu.

6.4 Bentuk Nilai Moral yang Kuat

Kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar (Suseno, 1989: 141). Menurut Suseno (1989: 142--150), sikap dan tindakan yang menunjukkan nilai moral yang kuat yaitu: (1) kejujuran, (2) nilai-nilai otentik, (3) kesediaan untuk bertanggungjawab, (4) kemandirian moral, (5) keberanian moral, (6) kerendahan hati, dan (7) realistis dan kritis. 6.4.1 Kejujuran

Kejujuran berhubungan dengan ketulusan hati dan kelurusan hati. Suseno (1989: 142--143) mengemukakan bahwa bersikap terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan dan sering beracun. Bersikap jujur kepada orang lain berarti dua sikap yaitu bersikap terbuka dan bersifat fair. Bersikap terbuka adalah kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri (kita berhak atas batin kita). Yang dimaksud terbuka bukan berarti pertanyaan orang lain berhak mengetahui perasaan dan pikiran kita, sehingga tidak pernah menyembunyikan dengan apa yang kita perlihatkan. Yang kedua bersifat fair (wajar), yaitu memperlakukan menurut


(45)

standar-standar yang dipergunakan orang lain terhadap dirinya.

6.4.2 Nilai-nilai otentik

Otentik berarti kita menjadi diri sendiri. Otentik berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati, menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya (Suseno, 1989: 143).

6.4.3 Kesediaan untuk bertanggung jawab

Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri.

Bertanggung jawab berarti: (1) kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan, dengan sebaik mungkin, (2) mengatasi segala etika peraturan, (3) wawasan orang yang bertanggung jawab tidak terbatas, tidak hanya terbatas pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, tetapi juga bertanggung jawab di mana saja diperlukan, dan (4) kesediaan unruk diminta, dan untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan, atas pelaksanaan tugas dan kewajiban (Suseno, 1989: 145--146).

6.4.4 Kemandirian moral

Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam


(46)

lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya (Suseno, 1989: 147). Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat “dibeli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

6.4.5 Keberanian moral

Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan (Suseno, 1989: 147). Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibikin malu, dicela, ditentang atau diancam oleh yang banyak, oleh orang-orang yang kuat dan mempunyai kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya kita segani.

6.4.6 Kerendahan hati

Kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia untuk


(47)

memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Kita sadar bahwa kita tidak tahu segala-galanya dan bahwa penilaian moral kita masih sering digelapkan oleh pengaruh-pengaruh emosi-emosi dan ketakutan-ketakutan yang masih ada dalam diri kita.

Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya (Suseno, 1989: 149). Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain. Kita tidak merasa kalah kalau pendapat kita tidak menang. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dank arena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

6.4.7 Realistis dan kritis

Kita wajib membuka mata lebar-lebar terhadap realitas. Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Tetapi sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar.


(48)

Sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis (Suseno, 1989: 150). Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang lebih bahagia.

7 Relevansi dalam Pembelajaran Sastra di SMA 7.1 Kurikulum

7.1.1 Pengertian Kurikulum

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untu mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajarn, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran.

7.1.2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (BNSP, 2006: 5). Di dalam mendiknas (2006: 5), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan


(49)

(KTSP) jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BNSP. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.

7.1.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar KTSP

Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap tingkat dan/atau semester.

Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

1) Mendengarkan 2) Berbicara


(50)

3) Membaca 4) Menulis.

Dalam penelitian ini, peneliti akan merelevansikan hasil penelitian pada pembelajaran sastra untuk SMA kelas XI semester 1. Uraian tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang SMA kelas XI semester 1 adalah sebagai berikut:

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Membaca

7. Memahami berbagai hikayat, novel

Indonesia/novel terjemahan

7.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat

7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan

7.1.4 Perencanan Pembelajaran KTSP a. Silabus

Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran. Komponen silabus terdiri atas:

 Identitas mata pelajaran;

 Identitas sekolah, meliputi nama satuan pendidikan dan kelas;

 Standar kompetensi;  Kompetensi dasar;


(51)

 Materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi;

 Pembelajaran, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik danpeserta didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan;

 Penilaian, merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukanpencapaian hasil belajar peserta didik;

 Alokasi waktu sesuai dengan jumlah jam pelajaran dalam struktur kurikulum untuk satu semester atau satu tahun;

 Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak, dan elektronik, alam sekitar atau sumber belajar lain yang relevan.

b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai kompetensi dasar (KD). Komponen RPP terdiri atas:


(52)

 Identitas sekolah, yaitu nama satuan pendidikan;  Identitas mata pelajaran atau tema/subtema;  Kelas/semester;

 Materi pokok;

 Alokasi waktu, ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai;  Tujuan pembelajaran, yang dirumuskan berdasarkan

KD dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan;

 Kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi;

 Materi pembelajaran;  Metode pembelajaran;  Media pembelajaran;  Sumber belajar;

 Langkah-langkah pembelajaran, dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup;


(53)

7.2 Pembelajaran Sastra di Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) 7.2.1 Pengajaran Sastra

Sebagai seorang guru sastra, kita harus mempunyai semangat sehubungan dengan pengajarannya. Kita harus mempunyai kencintaan pribadi terhadap sastra. Kita perlu gemar membaca karya-karya sastra. Kita pun harus yakin bahwa pengajaran sastra itu bermanfaat bagi murid-murid. Karena itu kita akan selalu mempersiapkan pengajaran dengan baik. Semangat dan kecintaan kepada karya sastra dan kepada tugas dalam mengajar itu akan berpengaruh kepada murid.

Mengajarkan sastra bukan hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi mengajarkan sikap terhadap nilai-nilai (Rusyana, 1982: 10). Karena itu, maka sikap guru besar peranannya dalam mencapai tujuan pengajaran. Rusyana (1982: 10) mengemukakan bahwa guru sastra dituntut pula agar ia dapat memberikan pengaruh yang tepat terhadap kelasnya pada waktu ia melaksanakan pengajaran. Pengajaran sastra merupakan usaha untuk menumbuhkan standar penilaian.

Apabila karya-karya sastra dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata, maka tentu saja pengajaran sastra tidak


(54)

akan ada gunanya lagi untuk diadakan. Sebagai seorang guru, kita harus dapat menunjukkan bahwa sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam masyarakat (Rahmanto, 1988: 15).

7.2.2 Tujuan Pengajaran Sastra

Pengajaran sastra mempunyai peranan dalam mencapai berbagai aspek dari tujuan pendidikan susila, social, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan (Rusyana, 1982: 6). Rusyana (1982: 6-9) mengemukakan bahwa tujuan pengajaran sastra itu ada dua, yaitu (1) tujuan untuk memperoleh pengalaman sastra dan (2) tujuan untuk memperoleh pengetahuan sastra.

Tujuan untuk memperoleh pengalaman sastra itu dapat dibagi menjadi dua bagian, seperti yang dikemukakan di bawah ini.

 Apresiasi sastra

Dalam hasil karya sastra itu terkandung pengalaman manusia yang indah dan mendalam. Pengenalan yang semakin mendalam terhadap pengalaman hidup yang


(55)

terkandung dalam sastra, serta hasrat dan jawaban kita terhadapnya, disebut apresiasi sastra (Rusyana, 1982: 7).

Menurut Rusyana (1982: 7), dalam pengajaran apresiasi sastra, guru harus memberikan kesempatan agar murid memperkembangkan apresiasinya sendiri. Tugas guru adalah membantu murid, dengan menyajikan lingkungan yang memadai, misalnya berupa bahan bacaan sastra dan dorongan agar murid senang membaca. Murid didorong untuk berkenalan dengan karya sastra, mengadakan kontak dengan jalan membacanya, dan kemudian menikmatinya.

 Ekspresi sastra

Tujuan pengajaran sastra yang lain adalah untuk memperoleh pengalaman dalam ekspresi sastra. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan daya mencipta pada anak.

Dalam pengajaran sastra, kita juga harus memberikan perhatian pada kegiatan ekspresi ini. Kegiatan ekspresi dalam pengajaran sastra dapat dilakukan dalam bercerita, bercakap, mengarang, berdeklamasi, membaca indah, dan memerankan teks drama (Rusyana, 1982: 8).


(56)

Tujuan untuk memperoleh pengetahuan sastra berjalinan erat dengan tujuan memperoleh pengalaman sastra. Bertolak dari pengalaman murid tentang sastra, kemudian diberikan pengetahuan, sehingga murid akan beroleh wawasan tentang pengalamannya itu (Rusyana, 1982: 9). Misalnya pengetahuan tentang lagu sastra, irama sastra, dan bentuk sastra diberikan setelah murid beroleh pengalaman membaca hasil sastra. Pengalaman yang mereka miliki itu kemudian diperjelas dengan pengetahuan tentang hal itu (Rusyana, 1982: 9).

7.2.3 Pemilihan Bahan Pengajaran Sastra

Bahan pengajaran yang disampaikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswa pada suatu tahapan pengajaran tertentu. Sesuai dengan tingkatan para siswa, karya sastra yang akan disajikan hendaknya juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukarannya dan criteria-kriteria tertentu lainnya (Rahmanto, 1988: 26).

Kemampuan untuk dapat memilih bahan pengajaran sastra ditentukan oleh berbagai macam faktor, antara lain: berapa banyak karya sastra yang tersedia di perpustakaan sekolah, kurikulum yang harus diikuti, persyaratan bahan yang harus diberikan agar dapat menempuh tes hasil belajar akhir tahun, serta masih banyak faktor lain yang harus


(57)

dipikirkan oleh guru pengajar sastra di sekolah menengah (Rahmanto, 1988: 27). Malahan, kadang bahan yang ditentukan dari atasan lewat kurikulum kurang sesuai dengan lingkungan siswa.

Agar dapat memilih bahan pengajaran sastra secara tepat, beberapa aspek perlu dipertimbangkan. Rahmanto (1988: 27-33) mengemukakan tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pengajaran sastra, yaitu: (1) sudut bahasa, (2) kematangan jiwa (psikologi), dan (3) latar belakang kebudayaan para siswa.

 Bahasa

Aspek kebahasan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tapi juga faktor-faktor lain seperti: cara penulisan yang dipakai pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Agar pengajaran sastra dapat lebih berhasil, guru kiranya perlu mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran sastra yang bahasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswanya (Rahmanto, 1988: 27).

Rahmanto (1988: 28) mengemukakan bahwa dalam usaha meneliti ketepatan teks yang terpilih, guru


(58)

hendaknya tidak hanya memperhitungkan kosa kata dan tata bahasa, tetapi perlu mempertimbangkan situasi dan pengertian isi wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. Di samping itu, perlu juga diperhatikan cara penulis menuangkan ide-idenya dan hubungan antar kalimat dalam wacana itu sehingga pembaca dapat memahami kata-kata kiasan yang digunakan.

 Psikologi

Dalam memilih bahan pengajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis ini hendaknya diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keenggana anak didik dalam banyak hal (Rahmanto, 1988: 29). Tahap perkembangan psikologis ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap: daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi.

Karya sastra yang terpilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan tahap psikologis pada umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja, tidak semua siswa dalam satu kelas mempunyai tahapan psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan karya


(59)

sastra yang setidak-tidaknya secara psikologis dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas itu (Rahmanto, 1988: 31).

 Latar belakang budaya

Latar belakang karya sastra ini hampir meliputi semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya, seperti: geogradi, sejarah, topografi, iklim, mitologi, legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olahraga, hiburan, moral, etika, dan sebagainya. Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau dengan orang-orang di sekitar mereka (Rahmanto, 1988: 31).

Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati oleh para siswanya sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan kemampuan pembayangan yang dilakukan oleh para siswanya. Meski demikian, guru hendaknya selalu ingat bahwa pendidikan secara keseluruhan bukan hanya menyangkut situasi dan masalah lokal saja. Dalam hal ini, sastra merupakan salah


(60)

satu bidang yang menawarkan kemungkinan cara-cara terbaik bagi setiap orang yang ada dalam suatu bagian dunia untuk mengenal bagian dunia orang lain (Rahmanto, 1988: 32).


(61)

44 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat (Ratna, 2004: 61). Dasar filosofis pendekatan sosiologi adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Sebagai sumber estetika dan etika karya sastra hanya bisa menyarankan. Oleh karena itulah, model pendekatannya adalah pemahaman dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat (Ratna, 2004: 60).

Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Sapardi, 1978: 2). Sapardi (1978: 2) mengemukakan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan.


(62)

B. Metode Penelitian

Metode adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat (Ratna, 2004: 34). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Ratna (2004: 53) mengemukakan bahwa metode dekriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Berdasarkan metode tersebut, peneliti akan menggali nilai-nilai moral yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. C. Teknik Pengumpulan Data

Sudaryanto (1993: 26) mengemukakan bahwa teknik merupakan penjabaran dari metode dalam sebuah penelitian, yang disesuaikan dengan alat dan sifat. Pengumpulan data pada penelitiaan ini diawali peneliti dengan membaca novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna secara teliti kemudian mencatat hal-hal yang berkaitan dengan tokoh, penokohan, dan alur dalam novel tersebut, serta mengidentifikasi masalah yang akan dikupas, yaitu nilai-nilai moral.

Berdasarkan teknik yang digunakan, penelitian ini menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis ini terdiri dari buku-buku kesusastraan yang menguraikan tentang sosiologi sastra, unsur-unsur intrinsik karya sastra, dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam karya sastra. Dalam hal ini data yang diambil adalah data-data yang berkaitan dengan sasaran yang diinginkan oleh penulis.


(63)

D. Teknik Analisis Data

Setelah data diperoleh, penulis akan menganalisa data tersebut secara kepustakaan. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengambil langkah-langkah dalam penelitian ini. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menentukan buku yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian, yaitu novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna.

2. Mengumpulkan bahan dari berbagai sumber.

3. Mengidentifikasi tokoh dan penokohan dari novel tersebut.

4. Menganalisa nilai-nilai moral yang ada dalam novel Pertempuran 2

Pemanah: Arjuna-Karna.

5. Menarik kesimpulan.

6. Merelevansikan hasil penelitian ke dalam pembelajaran sastra di SMA


(64)

47 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tokoh

Peneliti mengidentifikasi ada empat puluh tujuh nama tokoh dalam novel

Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini.

1. Prabu Pandu.

Raja negeri Hastinapura; suami Dewi Kunti; ayah para Pandawa. 2. Dewi Kunti.

Putri Prabu Basukunti; adik Raden Basudewa; istri Prabu Pandu; ibu para Pandawa.

3. Raden Yudistira.

Putra sulung Prabu Pandu dan Dewi Kunti; ketika muda bernama Raden Samiaji; suami dari Dewi Drupadi; setelah menjadi Raja negeri Amarta bergelar Prabu Yudhistira.

4. Raden Bima.

Putra kedua Prabu Pandu dan Dewi Kunti; ketika muda bernama Raden Bratasena; setelah menjadi raja negeri Jodipati bergelar Raden Bima; ayah Raden Gatotkaca.

5. Raden Arjuna.

Putra ketiga Prabu Pandu dan Dewi Kunti; ketika muda bernama Raden Permadi; setelah menjadi Raja negeri Madukara bergelar Raden Arjuna. 6. Raden Nakula.


(65)

7. Raden Sadewa.

Putra Prabu pandu dan Dewi Madrim; saudara kembar Raden Nakula. 8. Raden Gatotkaca.

Putra Raden Bima dan Dewi Arimbi; Raja negeri Pringgodani. 9. Raden Kresna.

Putra kedua Raden Basudewa; ketika muda bernama Raden Narayana; kakak dari dewi Rara Ireng; bergelar Prabu kresna sejak memerintah negeri Dwarawati.

10.Adipati Karna .

Putra Batara Surya dan Dewi Kunti; sejak kecil diasuh oleh kusir Adirata; suami dari Dewi Surtikanti; menjadi raja negeri Awangga.

11.Raden Duryudana.

Putra sulung Prabu Drestarata dan Dewi Gendari; menobatkan diri menjadi raja negeri Hastinapura.

12.Raden Dursasana.

Putra Prabu Drestarata dan Dewi Gendari; adik Raden Duryudana. 13.Raden Bhisma .

Sesepuh kerajaan Hastinapura; kakek dari Pandawa dan Kurawa. 14.Resi Durna.

Resi yang berasal dari negeri Hargajembangan; guru dari Pandawa dan Kurawa.


(1)

Berdasarkan hasil penelitian ini, novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih dapat dijadikan bahan pembelajaran di SMA. Nilai-nilai moral yang ditemukan dalam penelitian ini, semoga dapat memperkuat teori yang telah digunakan oleh peneliti.

C. Saran

Berdasarkan penelitian di atas, peneliti berharap novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan pembelajaran bagi guru bahasa dan sastra Indonesia. Sebagai bahan pembelajaran, novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna sarat akan nilai-nilai moral.

Masih banyak permasalahan-permasalahan menarik dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini. Peneliti berharap agar peneliti selanjutnya dapat mengangkat permasalahan yang berbeda dari sudut pandang yang lain sebagai obyek penelitian.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Amrih, Pitoyo. 2010. Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. Yogyakarta: DIVA Press.

Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).

Hadiwardoyo, Purwa. 1994. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:

Kanisius.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. Sapardi, Djoko Damono. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta Pusat: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Bahasa. Pengantar Panel Wahana Kebahasaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta Pusat: Dunia Pustaka


(3)

Suseno, Franz Magnis. 1989. Etika dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Susiani, Sri Windarti. 2006. “Analisis Struktural dan Nilai-Nilai Moral Novel Ramayana Karya Sunardi D.M dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sanat Dharma. Purwitasari, Angela Rahma. 2005. “Tokoh, Tema, Nilai Moral Cerita Rakyat si Pahit Lidah serta Strategi Pembelajarannya di Sekolah Dasar”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press.


(4)

BIOGRAFI PENULIS

Guntur Firmansyah lahir di Kulon Progo pada tanggal 28 Juni 1990. Memulai pendidikan formal di SD N Kalimenur dan diselesaikannya pada tahun 2002. Setelah lulus, ia melanjutkan di SLTP N 1 Wates dan pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan di SMA N 1 Pengasih. Pada tahun 2008, ia melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia.


(5)

Lampiran

Sinopsis Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna

Pengarang : Pitoyo Amrih

Penerbit : DIVA Press

Tahun : 2010

Kota Terbit : Yogyakarta

Jumlah halaman : 426 halaman

Novel ini mengambil kisah dari cerita wayang yang diadaptasi dari kisah legendaris Mahabharata. Kisah dunia wayang dapat membuat kita selalu bercermin dan mawas diri. Seperti juga kehidupan manusia, dalam kisah kehidupan wayang selalu saja ada pertemuan antara kebaikan dan keburukan, kebijakan dan ketamakan. Kisah tentang keteladanan, kemarahan, kesendirian, kecongkakan, kejujuran, integritas, pengorbanan, kebijaksanaan, kebimbangan, dendam, dan kekecewaan tersaji dan terangkum dalam sebuah novel.

Novel ini berkisah tentang dua pemanah hebat dalam pewayangan, Arjuna dan Karna. Dua orang yang sebenarnya adalah saudara kandung seibu.

Arjuna adalah anak dari Dewi Kunti dan Pandu, memiliki ketampanan luar biasa, kesatria sejati, dan tidak bisa menolak wanita! Arjuna suka melanglang buana


(6)

kemanapun, mencari ilmu dan kesaktian. Namun, di manapun dia berada, Arjuna selalu mempunyai istri baru.

Karna adalah anak dari Dewi Kunti dan Dewa Surya. Sejak kecil sudah dibuang karena peranakan manusia dan dewa adalah aib bagi bangsa dewa. Karena keturunan dewa, Karna dianugerahi kemampuan luar biasa sejak lahir maka dari itu, nasib yang menggiringnya dibesarkan oleh seorang kusir menjadikan ia seseorang yang mendendam. Mengapa aku dan hidupku seperti ini? mungkin pertanyaan ini yang selalu menggelantung di hati Karna. Dan Karna adalah seorang yang begitu setia pada satu wanita, istrinya Cuma satu sampai mati, Dewi Surtikanti.

Novel ini mengangkat kisah pertempuran 2 pemanah, Arjuna dan Karna, yang kaya dengan drama, air mata, hingga kebajikan dan perjuangan atas pilihan hidup.


Dokumen yang terkait

Nilai moral dalam novel surga cinta vanesa karya miftahul asror malik dan relevansinya dengan pembelajaran sastra di SMA

3 34 0

NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL MAHAMIMPI ANAK NEGERI KARYA SUYATNA PAMUNGKAS: TINJAUAN SOSIOLOGI Nilai Pendidikan dalam Novel Mahamimpi Anak Negeri Karya Suyatna Pamungkas: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA.

1 3 18

PENDAHULUAN Nilai Pendidikan dalam Novel Mahamimpi Anak Negeri Karya Suyatna Pamungkas: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA.

0 5 7

NILAI MORAL DALAM NOVEL RINDU KARYA TERE LIYE: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN IMPLEMENTASINYA DALAM Nilai Moral dalam Novel Rindu Karya Tere Liye: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

1 17 16

PATRIOTISME DALAM NOVEL THE DARKNESS OF GATOTKACA KARYA PITOYO AMRIH: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Patriotisme Dalam Novel The Darkness Of Gatotkaca Karya Pitoyo Amrih: Kajian Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Pembelajaran Sastra Di SMP.

0 4 19

PATRIOTISME DALAM NOVEL THE DARKNESS OF GATOTKACA KARYA PITOYO AMRIH: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Patriotisme Dalam Novel The Darkness Of Gatotkaca Karya Pitoyo Amrih: Kajian Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Pembelajaran Sastra Di SMP.

0 3 12

NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL IBUK KARYA IWAN SETYAWAN (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA).

1 39 19

NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PENARI KECIL KARYA SARI SAFITRI MOHAN: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Moral Dalam Novel Penari Kecil Karya Sari Safitri Mohan: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Di SMA Muhammadiyah

0 3 16

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 3 12

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 2 11