Nilai-Nilai Moral HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dan mendapat semua hadiah yang mungkin akan diberikan padanya. 2 Sejenak, Arjuna diam, kemudian berkata, “Walaupun saya jauh dari Hastinapura, tapi rupanya Eyang Durna tetap saja membimbing saya. selalu saja beliau memberi petunjuk pameling kepada saya. saya ke sini juga atas petunjuknya, untuk belajar dan memahami tentang sebuah ilmu kepemimpinan yang tertulis dalam sebuah prasasti yang pernah dibuat Prabu Rama Wijaya dulu.” Pameling adalah nama sebuah ajian luar biasa dan hanya bisa diamalkan oleh orang yang tinggi olah kanuragan maupun olah kautamaannya. Pitoyo, 2010: 307 Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Arjuna ketika dalam menjalankan tugasnya di Ayodya, dia bertemu dengan Karna. Di depan Karna, Arjuna mengatakan bahwa tujuannya datang ke Ayodya adalah untuk mengambil dan mempelajari prasasti buatan Prabu Rama Wijaya. Dia bahkan mengatakan gambaran sebuah ilmu yang ada dalam prasasti tersebut kepada Karna. Meskipun Arjuna tahu, Karna selalu melihatnya sebagai pesaing dalam olah kanuragan dan tentunya ingin mengalahkannya pula. Namun, Arjuna tetap mengatakan hal yang sejujurnya mengenai prasasti itu. 2 Karna 3 “Siapa yang memberi tahu sampean tentang Kangmas Kresna di hutan ini, Kang?” tanya Arjuna. “Entahlah, akhir-akhir ini kabarnya Paman Sengkuni banyak menjalin hubungan dengan makhluk tak kasat mata. Dan aku dengar, seorang utusan Batari Durga datang ke Hastinapura, meminta salah satu Kurawa ke sini untuk segera membangunkan raksasa tidur jelmaan Kangmas Kresna…,” jawab Karna sambil tetap sibuk membabat para siluman kesana-kemari untuk menerobos dari dahan ke dahan menuju selatan. Pitoyo, 2010: 361 Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Karna ketika dalam menjalankan tugasnya di Ayodya, dia bertemu dengan Arjuna. Karna mengatakan kepada Arjuna latar belakangnya ada di situ dan rencana yang dilakukan oleh Sengkuni. Meskipun Karna sendiri tahu, Arjuna adalah musuh dari Duryudana. Lebih dari itu, Arjuna adalah orang yang dari dulu Karna anggap sebagai saingannya. 3 Dewi Kunti 4 “Saya lebih suka berdiri. Anakku,” jawab Kunti singkat. Sorot matanya memandang tajam ke arah Karna yang tampak dahinya berkernyit-kernyit berpikir, setelah ada sapaan janggal keluar dari mulut Kunti. “Kamu anakku, lahir bahkan sebelum aku diboyong menjadi permaisuri di Hastinapura.” Walaupun Karna hanya diam berdiri memandang tajam ke arah Kunti, tampak sekali perubahan raut mukanya. Perlahan, dia menarik napas panjang seolah menahan gemuruh yang tiba-tiba memenuhi perasaannya. Juga terdengar gemeretak perlahan di genggaman kedua tangannya. Pitoyo, 2010: 374 Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Dewi Kunti ketika dia mengatakan pada Karna bahwa Karna adalah anaknya. Hal yang seharusnya Dewi Kunti katakan dari dulu kepada Karna. Namun, ada sesuatu hal di balik kejujuran dari Dewi Kunti ini. Dia tidak ingin Karna nanti bertarung melawan Arjuna. 4 Durna 5 Seorang anak muda yang sangat tampan. Begitu belia. Sorot matanya tajam, hidung mancung, bermahkota seorang kesatria. Ketampanan yang seolah menciptakan aura tersendiri bagi siapapun yang melihatnya. Setiap perempuan dipastikan akan jatuh hati, walau hanya sekilas memandang parasnya. Dialah ketiga Pandawa, Raden Permadi. “Seluruh hidupku kenyang oleh kembara merambah penjuru dunia wayang, terkadang berguru, terkadang diangkat sebagai guru, selama itu tak ada seorang kesatria pun mampu memanah sepertimu, hai Permadi,” ucap Durna. Pitoyo, 2010: 140 Nilai kejujuran ditunjukkan Durna saat dia melatih Arjuna memanah. Menurut Durna, kemampuan Arjuna dalam hal memanah sangat luar biasa. Durna mengatakan hal itu bukan tanpa alasan. Seluruh hidupnya dia gunakan untuk berkelana ke seluruh penjuru dunia wayang. Dari pengalamannya itulah, Durna dapat mengemukakan pendapatnya tentang kemampuan memanah Arjuna. 5 Duryudana 6 “Ah, kamu kan keponakan mendiang Kakang Pandu yang tinggal di Gajahoya?” kata Prabu Drupada ketika kemudian tiba giliran Kurawa memperkenalkan diri. “Betul, baginda Prabu.” “Siapa namamu, Nak?” “Nama saya Duryudana.” “Hehehe.., baik-baik, silakan kalau kamu berniat juga melamar putriku. Biarlah nanti Drupadi yang akan memilih sendiri sesuai dengan selera hatinya.” “Maaf, Baginda Prabu, saya ke sini mewakili adik saya. dialah yang akan melamar Nimas Dewi Drupadi, Baginda Prabu.” “Saya sudah ditunangkan dengan putrid Mandraka. Awal musim yang akan datang, rencananya kami akan menikah.” Saat itu, Duryudana memang sudah direncanakan akan menikah dengan putri kedua Raja Mandraka, Prabu Salya, bernama Dewi Banowati. Pitoyo, 2010: 169 Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Duryudana kepada Prabu Drupada saat peristiwa Gladi Drupadi. Ketika Duryudana dipersilakan kalau mau melamar Drupadi, dia mengatakan bahwa tujuannya ke sana hanya mewakili adiknya, Dursasana. Bahkan Duryudana juga mengatakan bahwa dia sudah ditunangkan dengan putri mandraka dan sebentar lagi akan menikah. 6 Rama Bargawa 7 “Nama saya Bargawa, Raden,” kata sang resi membuka kalimat. Karna hanya diam, tetap pada posisinya bersila. “Hutan ini adalah tempat tinggal saya. sejak sampean masuk hutan ini beberapa hari yang lalu, tanpa sepengetahuan Raden, saya selalu mengamati gerak- gerik sampean.” Pitoyo, 2010: 150 Dalam perjalanan melatih kemampuan memanahnya, Karna bertemu dengan Rama Bargawa. Dari Rama Bargawalah, Karna bisa mengetahui fungsi yang sebenarnya dari baju perak yang selalu dia pakai. Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Rama Bargawa saat sedang berbincang dengan Karna. Dia mengatakan bahwa selama ini dia selalu mengamati gerak-gerik Karna, bahkan tanpa sepengetahuan dari Karna sendiri. 7 Kusir Adirata 8 “Anting-anting yang dikenakan juga bagus, bersinar perak diterpa sinar matahari,” lanjut Kunti. “Tentunya kamu sangat mencintai anakmu, Adirata, sampai memberi hadiah anting- anting yang sepertinya mahal itu.” Sejenak, Adirata berhenti dan menelan ludah, sambil kemudian menghela napas panjang, seperti berusaha mengumpulkan keberanian untuk berkata. “Karna adalah anak angkat saya, Kanjeng Ratu,” kata Adirata setengah berbisik. Baru kali ini Adirata berkata hal sesungguhnya tentang Karna kepada orang lain. Sehingga kini, selain dia sendiri dan istrinya, Rada, Kunti menjadi orang ketiga yang mengetahui bahwa Karna sebenarnya bukan anak kandung Adirata. “Ketika bayi, Karna saya temukan di atas perahu kecil, hanyut di sungai.” Pitoyo, 2010: 177 Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Adirata saat berbicara dengan Dewi Kunti. Dengan berterus terang, Adirata mengatakan bahwa Karna sebenarnya bukanlah anak kandungnya. Karna hanyalah anak angkat yang saat kecil Adirata temukan di atas perahu kecil di sungai. Meskipun Adirata juga sadar, dengan kejujuran yang dia ucapkan, mungkin suatu saat dia akan kehilangan Karna. Sebab, bisa saja Karna kemudian akan hidup bersama dengan orangtua kandungnya. 2. Nilai-nilai otentik. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati, menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya Suseno, 1989:143. Nilai-nilai otentik dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Karna, Arjuna, Dewi Kunti, Duryudana, dan Rama Bargawa. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1 Karna 9 “Lho, Anda seorang kesatria. Anda masih muda. Saya yakin orang tua kandung Anda bukan orang sembarangan. Mengapa sampean masih menganggap diri sampean sendiri bukan seorang kesatria pilihan?” “Saya harus buktikan kalau saya bisa…” “Sampean seorang pemanah hebat. Apa yang ingin dibuktikan lagi, Raden?” Kembali Karna menghela napas panjang sambil mengunyah- kunyah gulungan daun kangkung yang diberikan Bargawa kepadanya. “Izinkan saya untuk sementara waktu tinggal di hutan ini, Resi. Saya tak tahu lagi harus ke mana melangkahkan kaki.” Pitoyo, 2010: 151 Rama Bargawa bisa melihat bahwa Karna sebenarnya adalah seorang kesatria dan bukan keturunan dari orang sembarangan. Dari penjelasan Rama Bargawa, Karna sedikit demi sedikit mulai tahu tentanng jati dirinya. Namun, Karna tidak mau begitu saja menerima hal itu. Karna ingin membuktikan sendiri bahwa dia memang benar-benar seorang kesatria. Karna ingin membuktikan jika dia bisa menjadi seorang kesatria pilihan dengan usahanya sendiri. 10 “Bacalah Pelajarilah apa yang ada di sini, hai Permadi” kata Karna tiba- tiba. “Mungkin hanya kamu yang paham apa yang tertulis di sini. Saya beri kesempatan sampai matahari terbit besok.” Kalimat Karna memang terdengar angkuh dengan nada meninggi, tapi memang terasa ada yang berubah dari Karna. Pitoyo, 2010: 310 Nilai otentik ditunjukkan oleh Karna ketika dalam tugasnya mengambil prasasti di Ayodya, dia bertemu dengan Arjuna. Sebagai seorang kesatria, Karna dapat melihat hal-hal yang seharusnya dan tidak seharusnya. Menurut Karna, isi prasasti itu lebih berguna bagi Arjuna daripada Duryudana. Arjuna melihat isi prasasti itu sebagai suatu ilmu yang patut untuk dipelajari. Berbeda dengan Duryudana, yang hanya melihat prasasti itu sebagai simbol kekuasaan. Oleh karena itu, Karna mengijinkan Arjuna untuk membaca isi prasasti tersebut. 11 Karna pun melepaskan begitu saja gandewa panahnya ke tanah, kemudian memeluk Surtikanti. Wajah Karna terlihat berusaha untuk tetap angkuh dan menjaga wibawa. Tapi, matanya berkaca dan memerah. “Seorang putri yang dihormati telah dilecehkan di depan mataku, tapi aku tidak melakukan apa-apa, Yayi,” kata Karna setengah berbisik. Nada suaranya bergetar. “Dan, para Pandawa terusir dari istananya sendiri dengan cara yang jauh dari sifat kesatria, sementara aku hanya bisa diam, Yayi,” lanjutnya. Pitoyo, 2010: 337 Nilai otentik ditunjukkan Karna ketika dia sedang berbicara dengan istrinya. Karna menceritakan tentang peristiwa yang dialami oleh Pandawa dan pelecehan yang dilakukan kepada Drupadi. Meskipun Pandawa, terutama Arjuna, adalah musuhnya, Karna tahu bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Kurawa kepada Pandawa dan Drupadi itu tidak benar. Meski Karna hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, jiwa kesatrianya berontak melihat peristiwa itu. Itulah sebabnya mengapa Karna menjadi marah kepada dirinya sendiri. 12 “Maafkan saya, Sibu,” kata Karna lirih. “Sedari kecil, saya selalu bermimpi bercita-cita ingin menjadi seorang kesatria utama. Salah satu watak kesatria utama adalah selalu memegang teguh nilai kebenaran dirinya, melaksanakan janji dan sumpahnya. Izinkan saya menjadi kesatria utama, Sibu. Izinkan saya menepati janji pada diri saya sendiri, janji untuk selalu membela kehormatan orang yang selama ini menghargai saya sebagai seorang kesatria, Kangmas Prabu Duryudana.” Pitoyo, 2010: 377 Nilai otentik ditunjukkan oleh Karna dalam perbincangannya dengan Kunti. Kunti ingin agar Karna berpihak kepada Pandawa. Sebab, Karna dan Pandawa sama-sama adalah anaknya. Kunti tidak ingin anak-anaknya saling membunuh. Namun, Karna sudah terlanjur mengucap janji dan sumpah setia kepada Duryudana. Nilai kebenaran dalam diri kesatrianya mengharuskan dia untuk melaksanakan janji dan sumpahnya itu. Karna tetap memegang teguh watak kesatrianya dan secara halus menolak permintaan Kunti. 2 Arjuna 13 “Haruskah sekarang, Kangmas?” kembali, Sumbadra bertanya dengan kalimat yang sama. “Aku sudah memiliki tempat tinggal untuk setiap saat pulang, Yayi. Aku juga memiliki istri cantik yang selalu kurindu. Aku khawatir rasa nyaman yang terlau lama akan melenakan kewajibaban seorang kesatria yang tetap harus belajar, Yayi. Sekarang adalah saat yang tepat. Ada kakang Semar dan para senapati Madukara yang akan selalu menjaga Yayi. Kangmas Prabu Kresna juga pasti akan selalu berkunjung. Aku berjanji untuk sesekali pul ang, Yayi.” Pitoyo, 2010: 215 Nilai otentik ditunjukkan oleh Arjuna dalam perbincangannya dengan istrinya, Sumbadra. Menurut Arjuna, seorang kesatria mempunyai kewajiban untuk selalu belajar dalam hidupnya. Kesatria harus selalu mengasah olah kanuragan dan keutamaan. Karena itulah, meski kini Arjuna sudah menjadi raja di Madukara, dia tetap berkeinginan untuk pergi mencari ilmu. 14 “Bagaimana saya bisa membidikkan anak panah, sementara di sana ada Eyang Bhisma dan Guru Pendeta Durna yang saya hormati. ” Arjuna memotong bicara Kresna setengah berteriak. Tangisnya semakin menjadi. “Saya tidak tahu mana yang lebih baik saat perang ini usai, menang atau kalah, keduanya sama buruk bagi saya, Kangmas. Saya ingin pulang, Kangmas, saya ingin pulang. Biarkan say a pergi dari Kurusetra ini, Kangmas,” tangis Arjuna. Pitoyo, 2010: 401 Nilai otentik ditunjukkan oleh Arjuna dalam percakapannya dengan Kresna. Dalam perang Bharatayuda, Arjuna harus berperang melawan Kurawa, yang masih saudara sedarah dengannya. Arjuna juga harus melawan Bhisma dan Durna yang merupakan orang-orang yang sangat dia hormati. Sebagai seorang kesatria, dia harus bisa melawan mereka. Jika harus melawan mereka, hati nurani Arjuna berontak. Inilah sifat asli dari diri Arjuna. Hati nuraninya tidak sanggup jika harus berperang melawan keluarganya sendiri. 3 Dewi Kunti 15 “Besok pagi, kita bawa Angger Karna ke tempat dia dilahirkan, Nimas. Sudah disiapkan sebuah perahu kecil untuk membawanya menyusuri sungai.” “Dia akan dibuang ke sungai?” tiba-tiba, Kunti berdiri dan memotong bicara Druwasa. Berkata lantang dengan nada agak gemetar menahan emosi meluap. Matanya seperti berkaca- kaca, tapi sekuat tenaga dia tahan air mata itu keluar. Karna di dekapannya juga tampak terpengaruh oleh suara Kunti. Ia bergerak-gerak merasa tak nyaman dalam gendongan Kunti yang berdiri. Pitoyo, 2010: 21 Nilai otentik ditunjukkan Dewi Kunti saat Karna hendak dilarung di sungai. Sekuat apapun hati Kunti, dia tetaplah mempunyai naluri seorang ibu. Naluri yang selalu ingin melindungi anaknya. Naluri yang membuatnya akan selalu khawatir jika dia merasa anaknya sedang dalam bahaya. 16 Karna terkejut. Serta-merta ia berusaha melawan dengan paksa, melepas pelukan Kunti, membuat Kunti jatuh terduduk pada posisi bersimpuh. Dan, Karna memilih melompat keluar pendapa. Diterpa gerimis hujan yang sepertinya semakin lebat saja, setengah berteriak Karna berkata, “Entah bagaimana saya harus memanggil panjenengan. Panggilan sibu terasa asing bagi mulut saya untuk menyapa panjenengan. Orang tua macam apa yang telah menelantarkan anaknya? Sekian lama tahu dan melihat anaknya tidak jauh dari jangkauan, tak sedikitpun memberikan isyarat dan ungkapan kasih seorang ibu. Katakan, Raden Ayu, Sibu, apa yang panjenengan harapkan dari saya saat ini? Saya baru tahu ada seorang ibu yang begitu mengharap pamrih pada anak kandungnya sendiri. Bahkan, pengakuan yang akhirnya terucap juga karena pamrih…” Isak tangis Kunti terdengar semakin tak terbendung lagi. Seiring dengan gerimis yang terasa semakin lebat saja. “Maafkan aku, Ngger. Aku tidak ingin anak-anakku saling membunuh. Maafkan aku, Ngger. Maafkan bapakmu. Apapun akan aku lakukan, asalkan kamu melepas keberpihakanmu kepada Kurawa. ” Pitoyo, 2010: 375 Akhirnya, Dewi Kunti berterus terang pada Karna bahwa Karna adalah anaknya. Meskipun demikian, ada sesuatu yang terselubung dibalik kejujuran Dewi Kunti. Nilai otentik ditunjukkan oleh Dewi Kunti di sini. Sebagai seorang ibu, dia tidak ingin jika anak-anaknya, Arjuna dan Karna, saling membunuh. 4 Duryudana 17 Pandawa, anak-anak Pandu, tentu saja diundang dalam perhelatan itu. Adalah rencana dan keinginan Dewi Kunti, sang ibu, yang ingin menyandingkan anak tertuanya, Samiaji, dengan Dewi Drupadi. Untuk menyambung lagi tali kekerabatan Hastinapura dengan negeri Cempalareja. Ketika dulu Pandu masih hidup, bisa dikatakan cukup sering berkunjung dan bertemu dengan Prabu Drupada. Tapi, semenjak meninggalnya Pandu, sudah tidak pernah lagi ada sambungrasa di antara istana Hastinapura dan istana Cempalareja. Apalagi, sejak Duryudana menobatkan dirinya sendiri memimpin istana Hastinapura, hubungan baik dengan negeri-negeri tetangga seperti Cempalareja ini seakan dilupakan. Yang ada dibenak Duryudana untuk berhubungan dengan negeri lain adalah upaya penaklukan, bukan upaya untuk bersahabat sebagai dua Negara yang bermartabat. Pitoyo, 2010: 166 Nilai otentik Duryudana ditunjukkan dalam kutipan di atas. Bagi Duryudana, hubungan antar negeri harus dilakukan dengan cara penaklukan. Negeri-negeri lain harus berada di bawah kekuasaan negeri Hastinapura, negeri yang dia pimpin. Dari situ bisa kita lihat jika Duryudana ingin menjdai seorang penguasa dengan kekuasaan mutlak. 5 Rama Bargawa 18 Orang-orang desa di hutan jati itu bercerita bahwa Karna tinggal berguru kepada Bargawa hampir tiga warsa lamanya, sebelum dia kembali pulang ke istana Hastinapura. Selama itu pula, Bargawa seperti merasakan sesuatu pada diri Karna. Bargawa yakin dengan sasmita yang dimilikinya, bisa merasakan bahwa Karna adalah seorang keturunan bangsa dewa. Tapi, hal ini tak pernah diceritakannya pada Karna. Bargawa hanya berharap suatu hari nanti, Karna bisa mengetahui siapa sejatinya dirinya pada saat yang tepat. Sehingga, bisa menambah rasa legawa dan ketenangan hatinya, bukan malah menjadikannya semakin membenci orang tuanya. Pitoyo, 2010: 153 Nilai otentik Rama Bargawa ditunjukkan dalam kutipan di atas. Dengan kekuatan batin yang dia punya, Rama Bargawa dapat melihat bahwa Karna bukanlah keturunan orang sembarangan. Dia tahu jika Karna adalah keturunan bangsa dewa. Hanya saja, Karna belum tahu mengenai masalah ini. Meskipun demikian, Rama Bargawa tetap yakin jika suatu saat nanti Karna dapat mengetahui tentang dirinya yang sebenarnya. Rama Bargawa juga berharap agar hati Karna bisa menjadi tenang tanpa membenci orang tua kandungnya nanti. Dari keyakinan itulah, nanti di cerita berikutnya, Rama Bargawa memberikan beberapa senjata pusaka kepada Karna. 3. Kesediaan untuk bertanggungjawab. Bertanggungjawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Nilai kesediaan untuk bertanggungjawab dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Yudhistira, Karna, dan Kresna. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1 Yudhistira 19 Tampak kemudian, menyeruak masuk ke dalam ruangan itu, si wajah tampan Permadi. “Ada apa dengan Kangmas Bratasena?” tanyanya. “Apa yang membuatnya begitu marah?” Sejenak semua diam. Samiaji yang kemudian membuka kata, “Besok saya harus pergi dari istana ini, Dimas.” “Lho…?” Permadi tampak tertegun dan berusaha menebak apa yang terjadi. “Kangmas Samiaji terlanjur mengucap janji, Kangmas.” Sadewa yang melanjutkan berkata. “Rupanya, tipu muslihat Paman Sengkuni telah melenakan kita. Kangmas Samiaji mempertaruhkan hak atas istana Hastinapura…dan kalah. Kangmas Samiaji harus pergi,” lanjut Sadewa. Pitoyo, 2010: 187 Yudhistira di ajak bermain dadu oleh Sengkuni dengan taruhan siapapun yang kalah harus pergi dari Hastinapura dan harus mau tinggal di hutan Wanamarta. Nilai kesediaan bertanggungjawab ditunjukkan oleh Yudhistira ketika dia kalah dalam permainan dadu. Sebenarnya taruhan itu hanya main-main. Tetapi bagi Yudhistira, seorang kesatria harus bertanggungjawab atas apa yang dia katakan. Seorang kesatria harus bersedia melaksanakan konsekuensi dari perkataannya sendiri. 20 Perlahan, dilepaskannya pelukan itu, kemudian Bhisma berkata, “Pulanglah ke Amarta, Nakmas. Istana ini sudah terlalu kotor oleh perilaku setan. Kakimu terlalu bersih untuk masuk ke istana ini. Biarlah Eyang bersihkan dulu.” “Besok pagi, kami akan pergi dari Hastinapura, Eyang. Tapi, selama tiga belas warsa, saya juga belum akan kembali ke Amarta..” “Lho?” Bhisma terkejut. “Saya sudah berjanji kepada mereka. Biarlah saya kembali mengembara, mungkin ini jalan hidup saya. Saya pernah mengalami hal-hal buruk, Eyang, dan itu tidaklah selalu berakibat buruk.” Pitoyo, 2010: 327 Karena kelicikan Sengkuni dalam permainan dadu yang kedua kalinya, Yudhistira kalah taruhan lagi. Dalam perjanjian sebelumnya, siapapun yang kalah harus mengasingkan diri selama tiga belas tahun. Nilai tanggung jawab ditunjukkan oleh Yudhistira yang bersedia menerima konsekuensi dari taruhan itu dan melaksanakan hukuman sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. 2 Karna 21 “Mungkin aku punya rencana agar Rama Prabu Salya bisa berubah pikiran terhadap sampean, Kang.” “Maksud panjenengan?” tanya Karna. Mungkin hanya kepada Duryudana sajalah Karna bisa berkata lembut dan sopan. “Ada seorang raja raksasa di utara, di Awangga. Aku dengar ia akan menyerang Mandraka untuk mendapatkan Nimas Surtikanti.” Sejenak berhenti, Duryudana menghela napas, kemudian mel anjutkan, “Bawalah prajurit pilihan Hastina. Seranglah Awangga sebelum mereka sempat berangkat.” “Baiklah, Kang…” tanpa bertanya lagi, Karna langsung membalikkan badan dan bergegas menuruti ide Duryudana ini. Pitoyo, 2010: 224 Sejak merasa berhutang budi kepada Duryudana, Karna bersumpah akan setia mengabdikan diri padanya. Sebagai seorang kesatria, Karna akan selalu melaksanakan sumpah yang telah dia ucapkan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban Karna yang secara tegas langsung menerima perintah dari Duryudana tanpa harus berpikir dua kali. Nilai kesediaan bertanggungjawab ditunjukkan oleh Karna yang selalu melaksanakan setiap tugas yang diberikan kepadanya. 3 Kresna 22 Kresna menoleh kepada Arjuna dan kembali berkata, “Tak ada yang harus kita lakukan sebagai bagian dari sesuatu yang mungkin ada, kecuali kewajiban kita untuk selalu mengabdikan diri kita kepada Sang Wajib Ada, Sang Pencipta. Dan, apapun yang kita lakukan selama hal itu adalah sebuah perjuangan, maka pastilah tak pernah sia-sia ketika dalam hati dan pikiran kita selalu kita persembahkan jiwa dan raga kita, hidup dan mati kita untuk Sang Pencipta Semesta Alam…” Pitoyo, 2010: 405 Ketika Arjuna mulai merasa ragu dalam Perang Bharatayuda, Kresna mengingatkan Arjuna. Nilai otentik Kresna ditunjukkan di sini. Menurut Kresna, sebagai ciptaan Pencipta, manusia memiliki kewajiban untuk mengabdikan diri kepada Pencipta. Semua hal yang dilakukan manusia di dunia, suatu saat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Oleh karena itu, setiap manusia harus bertanggung jawab atas kewajibannya kepada Sang Pencipta. 4. Kemandirian Moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya Suseno, 1989: 147. Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Nilai kemandirian moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Yudhistira, Karna, Kresna, dan Hanoman. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1 Yudhistira 23 Dan, permainan dadu itu berakhir, ketika Duryudana melempar, dan menghasilkan jumlah yang lebih besar Para Kurawa itu semakin tak terkendali. Bersorak-sorai, menari, bahkan berulang kali Dursasana berteriak mengejek kea rah Nakula dan Sadewa yang tampak semakin pucat. Dursasana memang suka sekali jahil terhadap Nakula dan Sadewa. “Besok, saya berangkat ke Wanamarta, Paman,” kata Samiaji. Wajahnya tampak tetap datar. Sementara, Sengkuni hanya tersenyum lebar. Sadewa yang kemudian memberanikan diri lantang berkata, “Bukankah taruhannya hanya main-main?” Pitoyo, 2010: 183 Dalam permainan dadu itu, Yudhistira kalah. Sebagai konsekuensi taruhan, dia akan meninggalkan Hastinapura dan tinggal di Wanamarta. Sadewa yang merasa bahwa taruhan tadi hanya main-main tidak rela jika Yudhistira harus ke Wanamarta. Namun, Yudhistira punya pandangan sendiri. Bagi dirinya, seorang kesatria harus melaksanakan apapun yang telah dia katakan. 2 Karna 24 “Bacalah Pelajarilah apa yang ada di sini, hai Permadi” kata Karna tiba- tiba. “Mungkin hanya kamu yang paham apa yang tertulis di sini. Saya beri kesempatan sampai matahari terbit besok.” Kalimat Karna memang terdengar angkuh dengan nada meninggi, tapi memang terasa ada yang berubah dari Karna. Memang dia terkenal begitu loyal pada negeri Hastinapura, terutama sikap setianya pada Duryudana yang telah mengubah jalan hidupnya menjadi seorang kesatria yang disegani. Tapi, di balik pergunjingan tentangnya yang berada di bawah baying- bayang Duryudana yang memang dikenal memiliki watak yang buruk, diam-diam Karna juga memiliki watak utama seorang kesatria. Pitoyo, 2010: 310 Di balik kebenciannya kepada Arjuna, Karna juga memiliki sikap kesatria. Hal ini terlihat saat menjalankan tugas dari Duryudana untuk mengambil prasasti di Ayodya. Prasasti itu justru diberikan kepada Arjuna yang saat itu juga mendapat tugas untuk mengambil prasasti. Nilai kemandirian moral ditunjukkan oleh Karna di sini. Karna memiliki penilaian sendiri setelah melihat tujuan Arjuna atas prasasti tersebut. Tujuan yang sangat berlainan dengan yang dimiliki oleh Duryudana. Oleh karena itu, Karna mengambil sikap sendiri dari penilaiannya itu dan bertindak sesuai dengannya. 25 Suasana menjadi begitu sunyi, hanya terdengar dengkuran halus sang raksasa Brahalasewu, seirama dengan semburan api ke udara dari lubang hidung si raksasa. Karna menoleh kea rah Arjuna. Kedua kesatria itu tampak beradu pandang. Wajah Arjuna tampak datar, tapi sorot matanya tajam. Sedangkan sorot mata Karna yang dipicing seperti berusaha menduga-duga apakah kesatria di hadapannya seorang kawan atau lawan. “Kamu tahu cara membangunkannya?” tanya Karna kemudian. “Entahlah, kang, mungkin dengan cara menusukkan keris ini,” jawab Arjuna sambil mengangkat keris Pulanggeni di gegaman tangan kanannya. “Cobalah,” kata Karna. Pitoyo, 2010: 362 Meski mendapat tugas dari Sengkuni untuk berusaha menjadi yang pertama membangunkan Kresna, Karna menyuruh Arjuna untuk membangunkannya lebih dulu. Nilai kemandirian moral ditunjukkan oleh Karna di sini. Karna mempunyai penilaian sendiri atas apa yang dilihatnya dan bertindak sesuai dengannya. Hal ini dapat dilihat ketika Karna akhirnya memutuskan agar Arjuna yang membangunkan Kresna lebih dulu. 3 Kresna 26 Konon dalam pembicaraan Kresna dan Durga, sang batari memperingatkan dengan keras Batara Wisnu yang ada dalam raga Kresna. Tak banyak yang tahu bahwa Kresna, selama lebih dari dua puluh warsa, raganya menyatu dan menjadi tubuh bagi jalan kematian salah satu bangsa dewa bernama Batara Wisnu. Dewa yang mengembankan dirinya dengan tugas menebar kebajikan dan kedamaian di dunia wayang. Sang Batari Durga memperingatkan Wisnu atas sikapnya yang seharusnya tidak memihak di dunia wayang, dalam hal ini membantu Pandawa atas sengketa negeri Hastinapura. Peringatan yang membuat Kresna masygul dan marah. Mengubah dirinya menjadi Brahalasewu, dan tidur Seperti sebuah bahasa yang memprotes atas peringatan yang diberikan kepadanya. Kresna curiga bahwa apa yang dilakukan Durga adalah karena kesepakatan yang menjadi bagian dari muslihat Kurawa. Pitoyo, 2010: 355-356 Di dunia wayang, para dewa tidak boleh ikut campur dalam permasalahan manusia. Aturan inilah yang diingatkan oleh Batari Durga kepada Kresna. Kresna sendiri sebenarnya adalah tubuh bagi jalan kematian Batara Wisnu. Sebagai dewa yang bertugas menebar kebajikan di dunia wayang, Wisnu, yang saat itu menyatu dalam raga Kresna, merasa jika ada yang tidak benar dalam sengketa antara Pandawa dan Kurawa. Dia juga curiga jika Batari Durga membuat kesepakatan dengan kurawa. Oleh karena itu, Kresna mengambil sikap membantu Pandawa. Meski ada aturan tersebut, Kresna tetap melaksanakan hal yang diyakininya sebagai kebenaran. 4 Hanoman 27 Kembali Hanoman membalikkan badan, menghadap Gatotkaca. Dengan suara berat setengah berbisik melanjutkan kata- katanya, “Dua warsa yang lalu, Raden Arjuna telah berjasa membinasakan pembuat onar di negeri kahyangan. Dia diberi hadiah bangsa dewa, diangkat menjadi pangeran di Kaendran, disandingkan dengan Dewi Supraba, bahkan telah punya anak. Tapi, Raden Arjuna masih juga menjalin hubungan dengan Dewi Dresnala yang juga dikenalnya selama berada di Jonggring Saloka. Bayi yang dikandung Kanjeng Dewi Dresnala itu akan bisa menjadi murka para dewa bila sampai ketahuan. ” “Bukankah Eyang telah berlaku salah menutup-nutupi sebuah aib?” kata Gatotkaca kemudian. Sejenak, Hanoman menghela napas panjang. “Salah dan benar terkadang hanya dipisahkan oleh sesuatu yang tak pernah ada, Raden.” “Maksud Eyang?” “Hamba bisa saja berbuat salah ketika semua orang menganggap hamba seorang pahlawan. Hamba suatu ketika pasti ada benarnya, walaupun semua orang menghujat.” Pitoyo, 2010: 285 Arjuna melarikan Dewi Dresnala, yang saat itu sedang mengandung, dari Jonggring Saloka. Arjuna kemudian meminta tolong kepada Hanoman agar Dewi Dresnala diijinkan untuk melahirkan di padepokannya. Gatotkaca yang baru saja mendengar cerita itu, menganggap bahwa kehamilan Dewi Dresnala adalah sebuah aib. Karena Hanoman menyembunyikan aib, menurut Gatotkaca hal itu salah. Namun, Hanoman memiliki pemikiran sendiri. Ada suatu hal yang membuatnya melakukan itu. Hal yang menurut keyakinan Hanoman adalah hal yang benar dan harus dia lakukan. 5. Keberanian Moral. Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan Suseno, 1989: 147. Nilai keberanian moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Gatotkaca, Arjuna, Karna, dan Dewi Kunti. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1 Gatotkaca 28 Semula, Arjuna memang berencana mengajak Gatotkaca untuk sekedar melaporkan serangan Imaimantaka ini kepada Batara Guru dan meminta petunjuk dari Batara Guru akan apa yang dilakukan. Tapi, dalam perjalanan mereka di langit menuju Jonggring Saloka, dengan jelas mereka menyaksikan rombongan pasukan gandarwa mengendarai burung rajawali raksasa menuju ke arah mereka. Membuat Arjuna sempat bimbang, tak tahu harus berbuat apa. Tanpa ragu dan tanpa berkata-kata, gatotkaca sudah mendahului terbang berbalik arah dan langsung menggempur pasukan Imaimantaka. Gatotkaca memang tak pernah gentar terhadap hal-hal seperti itu. Pitoyo, 2010: 258 Meskipun rencana awalnya hanya melaporkan rencana penyerangan itu, Gatotkaca tidak tinggal diam melihat musuh menuju ke arahnya. Sebagai seorang kesatria, Gatotkaca bertekad untuk melaksanakan hal yang diyakini sebagai kewajibannya, yaitu menggempur pasukan Imaimantaka sebelum mereka sampai pada tempat yang dituju. Nilai keberanian ditunjukkan oleh Gatotkaca yang tanpa ragu langsung menggempur pasukan Imaimantaka meski jumlah mereka sangat banyak. 2 Arjuna 29 Hanoman sudah mulai membalikkan badan berlalu, ketika kemudian dia menghentikan langkah dan berkata, “Paman panjenengan itu orang yang unik, Raden. Dia diberi anugerah sejak lahir wajah yang begitu tampan, menggetarkan hati setiap perempuan yang melihatnya.” Sejenak berhenti, menghela napas kemudian melanjutkan, “Putri mana pun akan rela menjadi istrinya, bila dia meminta. Sayangnya…” kembali, Hanoman sejenak menghentikan katanya. Tampak kemudian, dia menundukkan kepala sambil berkata, “Sayangnya, Raden Arjuna sering terlena dengan keinginan-keinginannya. Istrinya begitu banyak, siapa pun yang diperistrinya akan rela seperti mendapat anugerah.” Pitoyo, 2010: 284 Menurut Arjuna, mengabulkan permintaan dari orang lain adalah sikap dan kewajiban seorang kesatria. Termasuk mengabulkan permintaan seorang perempuan yang ingin menjadi istrinya. Nilai keberanian moral ditunjukkan oleh Arjuna dalam kutipan percakapan antara Hanoman dan Gatotkaca di atas. Arjuna tetap menjalankan sikap yang telah diyakininya sebagai kewajiban meski banyak orang yang menentang sikapnya itu, termasuk Hanoman. 3 Karna 30 “Mengapa, Ngger? Bukankah kamu ingin Hastinapura menang saat perang nanti…?” kata Indra kemudian. “Terimalah, Ngger. Senjata ini memang sudah disiapkan untuk digunakan saat Bharatayuda.” Sejenak, Batara Indra berhenti, kemudian meneruskan, “Kanjeng Batara Guru hanya meminta satu hal.” “Apa itu, Pukulun…?” “Beliau ingin kamu melepas baju dalammu yang selama ini kamu pakai sejak kecil.” Pitoyo, 2010: 387 Nilai keberanian moral ditunjukkan oleh Karna dalam kutipan di atas. Dengan berani dan tanpa ragu, Karna melepas baju perak yang selama ini selalu melindunginya. Hal ini dikarenakan Batara Guru meminta baju tersebut. Karna sadar bahwa dengan dilepasnya baju itu, pertahanannya saat melawan Arjuna dalam perang nanti akan berkurang. Namun, sebagai seorang kesatria, bagi Karna kewajiban tetaplah yang utama. 4 Dewi Kunti 31 “Jika Raden Ayu berharap saya akan berpaling dan memihak Pandawa setelah mendengar cerita menis panjenengan, maka sia- sia saja panjenengan datang kemari. Monggo…, silakan pulang. Bagaimanapun juga, saya akan memasang badan untuk membela Kangmas Prabu Duryudana.” Kalimat Karna terdengar mulai meninggi. Sejenak mengambil napas dan melanjutkan, “Dan, maaf bila saya sama sekali tidak percaya pengakuan panjenengan …” “Tapi, kamu benar-benar anakku, Ngger.” Kunti memotong bicara Karna. Kali ini, getaran kalimat Kunti mulai terasa. Kunti yang selalu berusaha tegar pada hal-hal yang menguras emosi, kali ini kalimatnya terdengar rapuh gemetar. Air mata tipis terlihat mengalir membasahi pipi. “Maafkan aku yang telah menelantarkan kamu, Ngger. Ketika itu, aku masih terlalu muda untuk berani memikul beban…mengandung bayi…, melahirkannya, mengasuhnya.., semuanya begitu gelap waktu itu, Ngger…, maafkan ibumu, Nak…” Pitoyo, 2010: 374 Ketika Kunti mengaku bahwa Karna adalah anaknya, Karna tidak percaya kepadanya. Nilai keberanian Kunti ditunjukkan dalam kutipan tersebut. Kunti sadar jika Karna tidak akan percaya begitu saja pada pengakuannya. Bahkan Kunti tahu, Karna kemungkinan besar akan marah kepadanya atas perbuatan yang telah dilakukan Kunti kepada Karna, menelantarkannya. Sebuah pengakuan tentang hal yang sangat sensitif. Pengakuan yang membutuhkan keberanian yang besar untuk mengakuinya. 6. Kerendahan hati. Kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Nilai kerendahan hati dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Arjuna, Yudhistira, Dewi Kunti, Durna, dan Bambang Ekalaya. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1 Arjuna 32 “Luar biasa, Anakku Kamulah anak muda yang paling berbakat yang pernah aku didik. Suatu hari nanti, ilmu memanahmu tidak akan ada yang menandingi di dunia wayang ini.” Terdengar suara serak parau melengking dari mulut seorang tua peyot. “Benarkah Guru? Benarkah saya yang pandai memanah di bumi wayang ini, Guru Durna?” tanya si anak muda tetap tertunduk, sambil kembali menyiapkan anak panah berikutnya, dan membidik melatih kebolehannya memanah dengan sasaran ribuan kaki di depan, seekor tupai yang berlarian kesana-kemari dikelilingi beberapa binatang yang mati berserakan tertembus anak panah. Pitoyo, 2010: 139 Nilai kerendahan hati ditunjukkan Arjuna ketika gurunya, Durna, memuji kemampuan memanahnya. Arjuna merasa bahwa kemampuan yang dimilikinya belum seberapa. Dia sadar bahwa masih banyak orang di luar sana yang bisa melakukan itu dan bahkan bisa lebih daripada itu. Dia merasa masih banyak hal yang perlu dipelajari. 33 “Gatotkaca juga berhak atas hadiah itu, Pukulun..,” kata Arjuna kemudian. “Tidak perlu, Ngger. Gatotkaca sudah cukup beruntung dengan apa yang telah dimilikinya sekarang, kesaktian dari bangsa dewa,” jawab Indra dengan sorot mata tetap datar. Sebentar, Arjuna tampak bimbang. Menatap Batara Indra dengan pandangan berpikir. Kemudian, dia memberi hormat kepada Batara Indra sambil berkata, “Sungguh sebuah kehormatan bagi hamba yang bisa memiliki kesempatan untuk hidup dan belajar tentang sesuatu di kahyangan ini…” Pitoyo, 2010: 264 Nilai kerendahan hati ditunjukkan oleh Arjuna dalam kutipan di atas. Sebelumnya Arjuna berpendapat bahwa Gatotkaca juga berhak mendapat hadiah atas apa yang telah dia lakukan. Namun, setelah Arjuna memperhatikan maksud yang dikatakan oleh Batara Indra, Arjuna akhirnya mau menerima pemberiannya dengan rendah hati. 34 “Prasasti itu akan saya bawa ke Hastinapura sesuai pesan Dimas Prabu Duryudana,” kata Karna singkat. “Bawalah,” kata Arjuna singkat. Tersirat mimik terkejut di raut wajah Karna. Rupanya, tujuan mereka berdua sama. Tapi, Arjuna begitu mudah merelakan prasasti itu untuk dia bawa. “Apakah kamu sudah membaca apa isi prasasti itu?” tanya Karna. “Belum, saya baru tiba di sini dan mendapati Kakang berdiri di sana.” “Tidakkah kamu ingin lebih dahulu membaca isi prasasti itu?” “Prasasti itu menjadi milik kakang yang sudah di sini lebih dahulu, ..terserah kakang apakah mengijinkan saya untuk ikut belajar apa isi wejangan Prabu Rama.” Pitoyo, 2010: 307 Nilai kerendahan hati ditunjukkan oleh Arjuna dalam kutipan di atas. Arjuna mendapat tugas dari Durna untuk belajar dari ilmu yang tertulis di prasasti Ayodya tersebut. Meskipun demikian, Arjuna melihat jika Karna telah lebih dulu sampai di tempat itu. Sehingga dengan rendah hati Arjuna merelakan prasasti itu dibawa oleh Karna. Bahkan menurut Arjuna, Karnalah yang lebih berhak atas prasasti itu. Arjuna tidak akan mempelajari isi dari prasasti itu tanpa izin dari Karna. 2 Yudhistira 35 “Istana ini menjadi hakmu, Dimas,” kata Kresna menghentikan langk ahnya dan menoleh kea rah Samiaji. “Saya yakin dengan berjalannya waktu, kita membuka lahan di sekitar istana, lambat laun banyak orang akan berdatangan ke sini. Akan kamu namai apa istana dan negeri ini, Dimas?” Samiaji tampak memandang lurus ke arah Kresna, seperti berpikir. Kemudian, dengan mantap dia menjawab, “Daerah ini tetap akan saya namai seperti nama hutan ini. Bila suatu saat menjadi sebuah negeri, biarlah tetap bernama negeri Amarta. Dan, bila saudara-saudaraku berkenan agar saya memimpin negeri ini, saya ingin menyandang gelar Prabu yudhistira, sebagai hormat saya kepada orang yang telah membangun istana ini.” Pitoyo, 2010: 211 Nilai kerendahan hati ditunjukkan oleh Yudhistira dalam kutipan di atas. Dengan penuh kerendahan hati, Yudhistira menerima istana yang diberikan kepadanya. Dia juga meminta persetujuan dari orang-orang yang ada di situ tentang nama gelar yang akan dia sandang saat menjadi pemimpin negeri Amarta. Meskipun semua orang yang ada di situ tahu, semua itu adalah hak yang dimiliki oleh Yudhistira. 3 Dewi Kunti 36 “Sembah hamba kepada Anda, Prabu Raja,” demikian Kunti membuka sapa kepada Pandu, setelah berhenti kira-kira tiga tombak di depan Pandu. “Sungguh sebuah kehormatan hamba dan negeri Mandura bila Prabu Raja berkenan menerima kerelaan saya menjadi permaisuri panjenengan .” Kunti, walaupun dalam berkata-kata bernada halus seperti layaknya seorang putri, tapi selalu tegas dalam mengambil kalimat. Bicara tanpa basa-basi dan jauh dari sifat kegenitan seorang perempuan putri raja. Pitoyo, 2010: 57 Nilai kerendahan hati Kunti ditunjukkan dalam kutipan di atas. Dalam cerita sebelumnya, diceritakan bahwa Raja Mandura, Prabu Basukunti, mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi putrinya, Dewi Kunti. Pandulah yang memenangkan sayembara itu. Kunti yang tahu bahwa Pandu adalah calon suaminya kemudian menyapa dan menyatakan kesediaannya menjadi istri Pandu. Kunti menyanjung Pandu dan merendah meskipun dia sebenarnya adalah seorang putri raja. 4 Durna 37 Sejenak, Durna tersenyum, sekilas melihat ke arah Bhisma. Seakan bersiap membuka sebuah perkataan, tapi didahului oleh Bhisma yang berkata, “Bapa Resi Durna ini memang tidak begitu dikenal di negeri kita, Hastinapura ini. Beliau baru beberapa warsa tinggal di Sokalima, sebuah bukit selatan Hastina,” kata Bhisma. “Tapi sejatinya, beliau datang dari jauh, dari sebuah negeri di wilayahkeras Atasangin sisi utara, sebuah negeri yang disebut Hargajembangan. Di sana, beliau terkenal dengan kesaktian dan kebijaksanaannya. Beliau juga sudah mengembara ke seluruh dunia wayang. Di Hargajembangan, beliau sangat terkenal, seorang kesatria tanpa tanding di sana dengan julukan Bambang Kumbayana,“ jelas Bhisma. “Sudahlah, Kakang Bhisma, tidak perlu terlalu memujiku,” kata Durna merendah, memotong kalimat Bhisma. Suara Durna ini sangat parau, tidak begitu enak didengar. Pitoyo, 2010: 112 Tidak lama setelah Bhisma menyambut kedatangan Durna, Citraksi dan Citraksa datang. Bhisma kemudian memperkenalkan Durna kepada mereka. Bhisma juga menceritakan tentang kisah Durna yang merupakan kesatria tanpa tanding di tempat asalnya. Nilai kerendahan hati Durna ditunjukkan dalam kutipan di atas. Durna yang merasa terlalu dipuji kemudian merendah meskipun sebenarnya pujian yang dikatakan Bhisma itu benar-benar adanya. 5 Bambang Ekalaya 38 “Guru, begitu hebat nama Guru, begitu kesaktian Guru terdengar di seantero dunia wayang. Semua orang mengagumimu, semua kesatria ingin berguru kepada Yang Mulia Guru.” Sang pemahat berhenti sejenak menelan ludah. Bibirnya terlihat sangat kering, hampir tiga hari dia sama sekali belum minum barang seteguk. “Hamba tahu bahwa hamba tidak punya cukup kekuasaan untuk dapat berguru kepada Yang Mulia Guru. Hamba juga sadar bahwa bekal dan kekayaan hamba tak akan cukup untuk mengganti apa yang akan guru ajarkan kepada hamba.” Sang pemahat kemudian berhenti. Wajahnya tertunduk sayu, bibirnya terlihat bergetar. “Tapi, izinkan hamba untuk berguru kepada ruh guru, biarkan hamba mengabdi dengan keteguhan hati berkhayal terhadap sosok Anda, Guru.” Pitoyo, 2010: 126 Setelah keinginannya menjadi seorang murid ditolak oleh Durna, Bambang Ekalaya membuat patung yang sangat mirip dengan Durna. Setiap hari Bambang Ekalaya berlatih memanah di hadapan patung itu dan kadang-kadang mengajak patung itu berbicara. Bambang Ekalaya selalu memuji patung yang dia anggap sebagai Durna itu dan merendah di depannya. nilai kerendahan hati Bambang Ekalaya ditunjukkan dalam kutipan tersebut. Meskipun Bambang Ekalaya sebenarnya adalah seorang raja di negeri Paranggelung, di hadapan patung Durna yang dia anggap sebagai guru, dia merasa bukan siapa-siapa. 7. Realistis dan kritis. Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Tetapi sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis Suseno, 1989: 150 Nilai realistis dan kritis dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Bhisma, Yudhistira, Karna, Arjuna, Dewi Kunti, Durna, Kresna, Duryudana, Rama Bargawa, dan Bambang Ekalaya. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1 Bhisma 39 “Sepertinya, mereka tidak seburuk yang diceritakan panjenengan…” Durna berkata kepada Bhisma, setelah Citraksa dan Citraksi berlalu. “Betul,Dimas. Mereka berdualah yang kebetulan bisa mulai belajar sopan santun sejak di sini, tapi Kurawa yang lain, perilaku mereka sangatlah memprihatinkan,” kata Bhisma. “Apakah nanti aku harus membimbing Pandawa dan Kurawa bersama-sama, Kang? Sepertinya saying sekali kalau Pandawa harus berbaur dengan para Kurawa.” “Aku berusaha untuk tidak membeda-bedakan cucu-cucuku, Dimas.” Pitoyo, 2010: 113 Nilai realistis dan kritis ditunjukkan oleh Bhisma dalam membimbing cucu-cucunya. Bhisma sadar jika apa yang disayangkan oleh Durna itu benar adanya. Dia tahu bahwa Kurawa mempunyai perilaku buruk yang sangat berbeda jauh dengan pandawa. Akan tetapi, Bhisma juga sadar bahwa sebagai seorang kesatria, dia harus bersikap adil, termasuk pada cucu- cucunya. 2 Yudhistira 40 “Bagi saya, keris adalah sebuah kekhawatiran,” jawab Samiaji dengan nada datar. Sebagian orang tampak seperti terkejut mendengar jawaban Samiaji. Sebagian lagi seperti mengernyitkan dahi, mencoba berpikir dan mengurai makna jawaban yang disampaikan Samiaji. Pitoyo, 2010: 120 Sikap realistis dan kritis ditunjukkan oleh Yudhistira saat ditanya oleh Durna tentang manfaat keris baginya. Yudhistira menjawab berdasarkan realita yang dia lihat selama ini, menganalisanya secara kritis dan memaparkan hasil dari pikirannya kepada Durna. 41 “Bisa jadi apa yang terjadi pada kita saat ini adalah sebuah hadiah,” jawab Yudhistira sambil makan umbi-umbian yang menjadi bekal mereka. “Maksud Kakang?” tanya Drupadi. Sejenak, Yudhistira diam, kemudian mengambil napas dan berkata perlahan setengah berbisik, “Suatu ketika mendiang Rama Pandu pernah bercerita kepada saya, bahwa ada beberapa kemungkinan terhadap apa yang menimpa kita. Yang pertama, apa yang terjadi ini adalah sebuah ujian, tapi ujian ini belum tentu sebuah kesusahan. Sang pencipta bisa memberi kita cobaan dengan kelimpahan harta.” Pitoyo, 2010: 329 Di saat yang lain berpikir bahwa yang mereka alami adalah suatu cobaan, Yudhistira mempunyai pemikiran yang lain. Nilai realistis dan kritis Yudhistira dapat dilihat dalam kutipan di atas. Dia selalu belajar dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya, ditambah lagi dengan ajaran dari guru dan mendiang ayahnya dulu. Semua hal itu membuat Yudhistira dapat melihat sesuatu hal dari sudut pandang yang berbeda dari yang lainnya. 3 Karna 42 “Maafkan ibumu, Ngger.” Kembali Kunti mengucap maaf sambil kedua tangannya memegang sisi kiri dan kanan wajah Karna. Karna menghela napas panjang sambil berkata, “Mungkin tidak mudah bagi saya untuk memaafkan Sibu, tapi itu tak kan pernah mengurangi rasa hormat saya kepada panjenengan sebagai ibu saya.” kembali Karna meraih tangan kanan Kunti dan mencium punggung telapak tangan Kunti untuk ketiga kalinya. “Maafkan saya mohon diri, Sibu. Saya harus menyendiri. Biar nanti disiapkan tempat untuk panjenengan bisa beristirahat di istana Awangga.” Pitoyo, 2010: 377 Nilai realistis dan kritis ditunjukkan Karna dalam percakapannya dengan Kunti. Karna masih belum bisa menerima jika Kunti adalah Ibunya. Karna merasa marah dan masih tidak terima atas perbuatan Kunti yang telah membuangnya dulu. Meskipun demikian, Karna sadar bahwa Kunti benar-benar ibu kandungnya. Sebagai seorang kesatria, menghormati seorang ibu merupakan suatu kewajiban. 4 Dewi Kunti 43 “Saya tidak menyesali kehamilan ini, Bapa Resi,” kata Kunti kemudian. Aneh. Tampak sebelumnya Kunti begitu lama menangis, tapi kali ini, dengan mata yang terlihat masih sembab, kata-kata yang terdenngar dari mulutnya itu terasa begitu tegar, seperti tidak terjadi apa-apa. Kalimatnya datar, kemudian lanj utnya, “Saya hanya khawatir, Rama Basukunti sudah terlalu sepuh untuk hal-hal seperti ini. Saya khawatir kehamilan saya ini akan menjadi pergunjingan dan bis amengurangi kewibawaan Rama Prabu Basukunti. Saya tidak takut orang akan mencemooh saya. Saya akan merasa sangat iba bila saja Rama Prabu Basukunti akan menjadi rapuh karena goyah wibawanya di hadapan orang senegeri karena masalah ini.” Tidak terdengar sedikitpun nada suara Kunti yang mengisyaratkan bahwa dia baru saja menangis. Pitoyo, 2010: 13 Nilai realistis dan kritis Dewi Kunti ditunjukkan saat dia menyikapi masalah kehamilannya di luar nikah. Dewi Kunti tidak terlalu merisaukan nasib dirinya kelak akibat kehamilannya itu. Dewi Kunti sadar jika anak yang dikandungnya itu kelak akan menjadi seorang kesatria yang gagah perkasa dan sakti. Sebab, ayah dari anak yang dikandungnya adalah salah satu bangsa dewa, Batara Surya. Yang menjadi kekhawatiran Dewi Kunti justru adalah ayahnya sendiri, Prabu Basukunti. 5 Durna 44 “Apa, Ngger?” tanya Durna kemudian mencoba meminta Duryudana agar tidak hanya mengemukakan pendapatnya kepada Karna, sang prajurit pengawal, tapi juga disampaikan kepadanya. “Beliau sependapat seperti hamba, Kanjeng Resi.” Tiba-tiba, justru Karna yang angkat bicara. Semua orang terkejut. Tidak biasanya seorang prajurit kepala berani berbicara di tengah para kerabat raja. “Keris adalah sebuah senjata yang harus dimengerti dan dipahami seorang kesatria,” lanjut Karna. “Hee” Tiba-tiba, Durna memotong bicara dengan nada tinggi. “Siapa kamu berani bicara di sini?” lanjut Durna. “Kamu boleh dekat dan dipercaya Ngger Duryudana, tapi kamu lancang kalau berani duduk di situ dan angkat bicara Dari kemarin aku coba tetap diam melihat kelakuanmu, prajurit yang sok menjadi kestria turuna raja Sekarang, menyingkirlah dari sana, kembali ke tempatmu seharusnya sebagai seorang prajurit” Pitoyo, 2010: 123 Ketika mengajarkan ilmu olah kanuragan, Durna bertanya tentang apa itu manfaat keris kepada Duryudana. Karna, yang saat itu berada di samping Duryudana, justru yang menjawab pertanyaan dari Durna. Nilai realistis dan kritis ditunjukkan Durna di sini. Sebagai seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar Pandawa dan Kurawa, Durna tidak tinggal diam atas hal yang dilakukan oleh Karna. Sebelumnya Durna membiarkan Karna berada di samping Duryudana sebab itu adalah keinginan dari Duryudana. Namun, tetap saja Karna hanyalah seorang prajurit. Jika seorang prajurit lancing angkat bicara saat putra- putra raja sedang belajar, menurut Durna itu hal yang tidak benar. 6 Kresna 45 “Kereta perang Madukara dan Awangga sama-sama hebat karena dibuat oleh orang yang sama.” Terdengar kata Karna sedikit melunak. Madukara adalah wilayah kerajaan yang dipimpin oleh Raden Arjuna. “Siapakah yang akan menjadi sais perang Madukara, Kangmas…?” Sejenak, Kresna ragu untuk menjawab. “Saya yang akan menjadi kereta sais kereta itu, Dimas,” jawab Kresna kemudian. “Kakang Kresna sendiri…?” “Betul…” “Ke manakah sais yang biasa bertugas?” “Bharatayuda adalah perang yang menentukan, Dimas. Saya hanya tidak ingin kakang demang sais kereta itu terbebani selama hidupnya bila saja dia melakukan kesalahan.” Pitoyo, 2010: 384 Nilai realistis dan kritis Kresna ditunjukkan saat dia menyikapi masalah sais kereta bagi kereta perang Madukara. Menurut Kresna, perang Bharatayuda adalah perang yang sangat menentukan. Melakukan kesalahan yang sedikit saja akan sangat fatal akibatnya. Tentu saja, orang yang melakukan kesalahan dalam perang itu akan merasa sangat bersalah nantinya. Kresna tidak ingin hal itu dialami oleh sais kereta yang sebenarnya, sehingga Kresnalah nanti yang akan menjadi sais kereta perang Arjuna. 7 Duryudana 46 “Adi Karna, sampean yang maju ke depan, ikut adu memanah” demikian kata Duryudana tiba-tiba. Semua Kurawa yang hadir terkejut. Termasuk Sengkuni, juga Karna sendiri Duryudana terkadang memang sangat memperhatikan Karna. Satu hal yang membuat Duryudana penasaran adalah bagaimana anak seorang kusir bisa begitu sakti. Dulu, Duryudana sering mendapati Karna sering mengintip Permadi berlatih memanah. Karna, tentu saja tidak bisa ikut berlatih olah kanuragan bersama Guru Durna, karena dia hanyalah anak seorang kusir punggawa istana. Tapi, Karna memang luar biasa Hanya dengan mengintip dan mencuri-curi kesempatan memperhatikan Arjuna berlatih, dia mampu menirukan apa yang dilakukan Arjuna. Dan, sejak Karna menghilang selama lebih dari dua warsa, walaupun belum pernah diperlihatkan sampai seberapa tinggi kesaktiannya kini, tapi Duryudana seperti bisa merasakan bahwa Karna sekarang sudah semakin jauh lebih sakti disbanding ketika terakhir kali mencuri ilmu dari Durna dan diusir dari Hastinapura. Pitoyo, 2010: 173 Nilai realistis dan kritis Duryudana ditunjukkan dalam kutipan di atas. Duryudana dapat melihat potensi yang dimiliki Karna dalam hal memanah. Hal yang sangat mengherankan sebab Karna hanyalah seorang anak kusir istana. Hal itulah yang membuat Duryudana yakin jika Karna bukanlah orang sembarangan. Berawal dari itulah, Karna menjadi orang kepercayaan Duryudana. Seperti dalam kutipan di atas, Duryudana menunjuk Karna sebagai wakil dari Kurawa saat adu memanah dalam sayembara Drupadi. 8 Rama Bargawa 47 “Siapa kamu, Orang tua?” Tanya Karna setengah menghardik. “Sabar, sabar, Raden…” “Aku bukan kesatria Aku hanya pemuda desa. Jangan panggil aku Raden” belum juga orang berbusana resi itu melanjutkan kata-katanya, Karna sudah memotong bicaranya dengan nada tinggi. “Siapa bilang kamu bukanlah seorang kesatria?” Tanya resi itu. “Kalau kamu pemuda desa biasa, bagaimana bapakmu mampu membelikan anting- anting mahal itu?” lanjutnya. Pitoyo, 2010: 147 Nilai realistis dan kritis Rama Bargawa ditunjukkan dalam kutipan di atas. Saat Karna menganggap bahwa dia bukanlah seorang kesatria, Rama Bargawa justru mengatakan hal yang sebaliknya. Dari pengalaman dan kesaktian yang dia miliki, Rama Bargawa tahu bahwa Karna adalah seorang kesatria. Hal itu bisa terlihat dari anting-anting dan baju yang Karna pakai. Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Karna selama ini. Dari pernyataan Rama Bargawa inilah, Karna sedikit-sedikit akan mulai tahu tentang jati dirinya. 9 Bambang Ekalaya 48 Ekalaya menarik napas panjang, “Belum, Yayi, belum. Tahukah kamu seperti apa makhluk penghuni Atasangin di utara sana? Bohong kalau mereka tidak berani menginjakkan kaki ke Paranggelung karena takut denganku. Mereka tidak mampu memanjat tebing ke sini juga hanya sekedar dongeng pelipur lara, karena pada kenyataannya, banyak dari mereka yang mampu t erbang menapak langit.” Sejenak berhenti, perlahan melepaskan tangan Anggraeni yang melingkar di lengannya, dan dengan wajah serius menatap istrinya itu. “Mereka belum tertarik ke sini karena kebanyakan dari makhluk itu lebih suka ke timur, mendengar bumi wayang sisi timur yang makmur dan maju. Di sana, alam juga lebih bersahabat dan nyaman untuk ditinggali. Tapi saya yakin, suatu saat nanti, ada juga dari mereka yang memilih untuk menjajah ke barat atau ke selatan. Dan, bila itu terjadi, negeri kita pasti musnah, Yayi. Tak ada seorang pun kesatria di sini yang mampu melawan mereka.” Pitoyo, 2010: 130 Saat itu, negeri Paranggelung berada dalam ancaman dari serangan bangsa raksasa. Sebagai raja di negeri Paranggelung, Bambang Ekalaya merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan negerinya. Oleh karena itu, Ekalaya hendak berguru kepada Durna agar dapat melindungi negerinya kelak bila bangsa raksasa menyerang. Meski istrinya, Dewi Anggraeni, menganggap bahwa kesaktian Ekalaya sudah cukup, Bambang Ekalaya berpikiran yang sebaliknya. Nilai realistis dan kritis Bambang Ekalaya ditunjukkan dalam kutipan di atas. Bambang Ekalaya sadar bahwa alasan bangsa raksasa belum menyerang negerinya bukan karena takut pada kesaktiannya. Ada hal-hal lain yang membuat mereka belum menyerang negerinya. Bambang Ekalaya juga yakin jika suatu saat mereka akan menyerang negeri Paranggelung. Oleh karena itu, sebelum mereka datang menyerang, Bambang Ekalaya harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan olah kanuragannya. 108

BAB V RELEVANSI HASIL ANALISIS NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH:

ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan kelonggaran pada guru untuk memilih sendiri novel yang akan digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra. Namun kebebasan itu harus tetap mengacu pada kurikulum dan tingkat kemampuan siswa. Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini dapat digunakan sebagai alternatif materi pembelajaran sastra di SMA. Hal ini dikarenakan, siswa-siswa SMA sudah mulai tertarik untuk membaca novel. Selain itu, novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini juga memenuhi tiga aspek penting dalam memilih bahan ajar sastra. Tiga aspek tersebut, yaitu 1 dari sudut pandang bahasa, 2 segi kematangan jiwa psikologi, dan sudut latar belakang kebudayaan para siswa Moody via Rahmanto, 1988: 27. Dalam Bab lima ini, peneliti akan memaparkan kesesuaian novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA kelas XI ditinjau dari tiga aspek tersebut. Peneliti juga akan memaparkan relevansi novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI.

A. Pemilihan Bahan Pembelajaran

1. Aspek Bahasa Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna sangat cocok digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA karena bahasa yang digunakan sederhana dan dapat dipahami siswa. Berikut ini beberapa contoh kutipannya: 1 “Apakah karena saya sudah duduk menjadi adipati di sini sehingga Bapa Prabu Salya mau menerima saya sebagai menantu?” kata Karna dengan nada ketus kepada Turanggapati. Pitoyo, 2010: 240 2 Saya ingin menjajal kesaktian semua prajurit itu, kalau perlu para senapatinya, mungkin para kesatrianya. Tidak hanya kesatria negeri hastinapura ini, kalau perlu kesatria negeri wayang. Saya ingin tahu seberapa kesaktian mereka” lanjut Karna masih dengan nada tinggi. Pitoyo, 2010: 93 3 Menjelang siang, kedua kereta perang itu pun bertemu Ketika jarak semakin dekat, di tengah kerumunan dua kubu prajurit berhadapan, tiba- tiba Kresna mengarahkan kuda kereta perang Madukara itu, memacu kencang menuju ke timur. Pitoyo, 2010: 418 Pitoyo Amrih juga menggunakan kosa kata dunia wayang yang berlatar belakang bahasa Jawa. Kosa kata tersebut, yaitu panjenengan, penggede, ngger, dan ndak. Berikut ini kutipannya: 1 “Sungguh suatu kehormatan hamba dan negeri Mandura bila Prabu raja berkenan menerima kerelaan saya menjadi permaisuri panjenengan .” Pitoyo, 2010: 57 2 “Sulit bagi saya untuk menerima Raden lebih lama lagi untuk tinggal di sini bila panjenengan menepis harapan putri saya satu- satunya,” lanjut Manikara. Pitoyo, 2010: 221 3 “Salah Saya tak pernah merasa memusuhi panjenengan dan sedulur Kurawa” “Setelah tiga belas warsa terusir?” tanya Karna. “Kami tetap tidak membenci. Kami hanya merasa panjenengan semua adalah saudara- saudara semua yang belum mengerti arti menjadi seorang k esatria utama.” Pitoyo, 2010: 358 4 “Lha, anaknya penggede kok ya ditelantarkan,” potong si perempuan itu, yang tak lain adalah istri Radeya, yang banyak dipanggil oleh tetangga- tetangganya dengan sebutan Nyi Radha. Pitoyo, 2010: 34 5 “Biarkan baju perak dan anting-anting itu selalu dipakai Ngger Karna.” Pitoyo, 2010: 34 6 “Kapan kamu pulang, Ngger?” Terdengar Adirata mencoba berteriak kepada Karna yang saat itu sudah menghela kudanya melangkah ke utara. Pitoyo, 2010: 94 7 “Ayo Mulailah hai Pemuda Sudah puluhan kesatria kukalahkan hari ini, tambah satu lagi tidaklah mengapa, paling juga ndak lama” Pitoyo, 2010: 40 8 “Ya Sebab, aku ndak pernah bawa apa-apa ke mana-mana, hehehe. Yang selalu ku bawa adalah hati dan pikiranku, hehehe…,” jawab Petruk. Pitoyo, 2010: 50 9 “Ndak mungkin aku punya anak jelek seperti kamu. Orang bodoh saja langsung tahu. Ndak mungkin kamu anakku” teriak Basudewa. Pitoyo, 2010: 79 Kata Panjenengan digunakan untuk memanggil orang yang lebih tua dan dihormati. Kata penggede digunakan oleh rakyat kecil untuk sebutan bagi para kerabat kerajaan ataupun petinggi-petinggi istana. Panggilan ngger mengesankan bahwa si anak memiliki derajat lebih tinggi atau memiliki kedudukan yang istimewa bagi yang memanggil. Kata ndak dalam bahasa Jawa mempunyai arti “tidak”. Meskipun dalam novel ini terdapat istilah-istilah dalam bahasa Jawa, istilah-istilah tersebut pada umumnya sering didengar oleh siswa-siswa yang berlatar belakang budaya Jawa. Istilah-istilah tersebut juga tidak akan

Dokumen yang terkait

Nilai moral dalam novel surga cinta vanesa karya miftahul asror malik dan relevansinya dengan pembelajaran sastra di SMA

3 34 0

NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL MAHAMIMPI ANAK NEGERI KARYA SUYATNA PAMUNGKAS: TINJAUAN SOSIOLOGI Nilai Pendidikan dalam Novel Mahamimpi Anak Negeri Karya Suyatna Pamungkas: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA.

1 3 18

PENDAHULUAN Nilai Pendidikan dalam Novel Mahamimpi Anak Negeri Karya Suyatna Pamungkas: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA.

0 5 7

NILAI MORAL DALAM NOVEL RINDU KARYA TERE LIYE: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN IMPLEMENTASINYA DALAM Nilai Moral dalam Novel Rindu Karya Tere Liye: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

1 17 16

PATRIOTISME DALAM NOVEL THE DARKNESS OF GATOTKACA KARYA PITOYO AMRIH: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Patriotisme Dalam Novel The Darkness Of Gatotkaca Karya Pitoyo Amrih: Kajian Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Pembelajaran Sastra Di SMP.

0 4 19

PATRIOTISME DALAM NOVEL THE DARKNESS OF GATOTKACA KARYA PITOYO AMRIH: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Patriotisme Dalam Novel The Darkness Of Gatotkaca Karya Pitoyo Amrih: Kajian Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Pembelajaran Sastra Di SMP.

0 3 12

NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL IBUK KARYA IWAN SETYAWAN (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA).

1 39 19

NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PENARI KECIL KARYA SARI SAFITRI MOHAN: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Moral Dalam Novel Penari Kecil Karya Sari Safitri Mohan: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Di SMA Muhammadiyah

0 3 16

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 3 12

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 2 11