Nilai-Nilai Moral HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
dan mendapat semua hadiah yang mungkin akan diberikan padanya.
2 Sejenak, Arjuna diam, kemudian berkata, “Walaupun saya jauh
dari Hastinapura, tapi rupanya Eyang Durna tetap saja membimbing saya. selalu saja beliau memberi petunjuk pameling
kepada saya. saya ke sini juga atas petunjuknya, untuk belajar dan memahami tentang sebuah ilmu kepemimpinan yang tertulis
dalam sebuah prasasti yang pernah dibuat Prabu Rama Wijaya
dulu.” Pameling adalah nama sebuah ajian luar biasa dan hanya bisa diamalkan oleh orang yang tinggi olah kanuragan maupun
olah kautamaannya. Pitoyo, 2010: 307
Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Arjuna ketika dalam
menjalankan tugasnya di Ayodya, dia bertemu dengan Karna. Di depan Karna, Arjuna mengatakan bahwa tujuannya datang ke
Ayodya adalah untuk mengambil dan mempelajari prasasti buatan Prabu Rama Wijaya. Dia bahkan mengatakan gambaran
sebuah ilmu yang ada dalam prasasti tersebut kepada Karna. Meskipun Arjuna tahu, Karna selalu melihatnya sebagai pesaing
dalam olah kanuragan dan tentunya ingin mengalahkannya pula. Namun, Arjuna tetap mengatakan hal yang sejujurnya mengenai
prasasti itu.
2 Karna
3 “Siapa yang memberi tahu sampean tentang Kangmas Kresna di
hutan ini, Kang?” tanya Arjuna. “Entahlah, akhir-akhir ini kabarnya Paman Sengkuni banyak
menjalin hubungan dengan makhluk tak kasat mata. Dan aku dengar, seorang utusan Batari Durga datang ke Hastinapura,
meminta salah satu Kurawa ke sini untuk segera membangunkan
raksasa tidur jelmaan Kangmas Kresna…,” jawab Karna sambil tetap sibuk membabat para siluman kesana-kemari untuk
menerobos dari dahan ke dahan menuju selatan. Pitoyo, 2010: 361
Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Karna ketika dalam menjalankan tugasnya di Ayodya, dia bertemu dengan Arjuna.
Karna mengatakan kepada Arjuna latar belakangnya ada di situ dan rencana yang dilakukan oleh Sengkuni. Meskipun Karna
sendiri tahu, Arjuna adalah musuh dari Duryudana. Lebih dari itu, Arjuna adalah orang yang dari dulu Karna anggap sebagai
saingannya.
3 Dewi Kunti
4 “Saya lebih suka berdiri. Anakku,” jawab Kunti singkat. Sorot
matanya memandang tajam ke arah Karna yang tampak dahinya berkernyit-kernyit berpikir, setelah ada sapaan janggal keluar
dari mulut Kunti. “Kamu anakku, lahir bahkan sebelum aku diboyong menjadi permaisuri di Hastinapura.”
Walaupun Karna hanya diam berdiri memandang tajam ke arah Kunti, tampak sekali perubahan raut mukanya. Perlahan, dia
menarik napas panjang seolah menahan gemuruh yang tiba-tiba memenuhi perasaannya. Juga terdengar gemeretak perlahan di
genggaman kedua tangannya. Pitoyo, 2010: 374
Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Dewi Kunti ketika dia mengatakan pada Karna bahwa Karna adalah anaknya. Hal yang
seharusnya Dewi Kunti katakan dari dulu kepada Karna. Namun, ada sesuatu hal di balik kejujuran dari Dewi Kunti ini. Dia tidak
ingin Karna nanti bertarung melawan Arjuna.
4 Durna
5 Seorang anak muda yang sangat tampan. Begitu belia. Sorot
matanya tajam, hidung mancung, bermahkota seorang kesatria. Ketampanan yang seolah menciptakan aura tersendiri bagi
siapapun yang melihatnya. Setiap perempuan dipastikan akan
jatuh hati, walau hanya sekilas memandang parasnya. Dialah ketiga Pandawa, Raden Permadi.
“Seluruh hidupku kenyang oleh kembara merambah penjuru dunia wayang, terkadang berguru, terkadang diangkat sebagai
guru, selama itu tak ada seorang kesatria pun mampu memanah
sepertimu, hai Permadi,” ucap Durna. Pitoyo, 2010: 140 Nilai kejujuran ditunjukkan Durna saat dia melatih Arjuna
memanah. Menurut Durna, kemampuan Arjuna dalam hal memanah sangat luar biasa. Durna mengatakan hal itu bukan
tanpa alasan. Seluruh hidupnya dia gunakan untuk berkelana ke seluruh penjuru dunia wayang. Dari pengalamannya itulah,
Durna dapat mengemukakan pendapatnya tentang kemampuan memanah Arjuna.
5 Duryudana
6 “Ah, kamu kan keponakan mendiang Kakang Pandu yang tinggal
di Gajahoya?” kata Prabu Drupada ketika kemudian tiba giliran Kurawa memperkenalkan diri.
“Betul, baginda Prabu.” “Siapa namamu, Nak?”
“Nama saya Duryudana.” “Hehehe.., baik-baik, silakan kalau kamu berniat juga melamar
putriku. Biarlah nanti Drupadi yang akan memilih sendiri sesuai dengan selera hatinya.”
“Maaf, Baginda Prabu, saya ke sini mewakili adik saya. dialah yang akan melamar Nimas Dewi Drupadi, Baginda Prabu.”
“Saya sudah ditunangkan dengan putrid Mandraka. Awal musim yang akan datang, rencananya kami akan menikah.” Saat itu,
Duryudana memang sudah direncanakan akan menikah dengan putri kedua Raja Mandraka, Prabu Salya, bernama Dewi
Banowati. Pitoyo, 2010: 169
Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Duryudana kepada Prabu Drupada saat peristiwa Gladi Drupadi. Ketika Duryudana
dipersilakan kalau mau melamar Drupadi, dia mengatakan bahwa tujuannya ke sana hanya mewakili adiknya, Dursasana. Bahkan
Duryudana juga mengatakan bahwa dia sudah ditunangkan dengan putri mandraka dan sebentar lagi akan menikah.
6 Rama Bargawa
7 “Nama saya Bargawa, Raden,” kata sang resi membuka kalimat.
Karna hanya diam, tetap pada posisinya bersila. “Hutan ini adalah tempat tinggal saya. sejak sampean masuk hutan ini
beberapa hari yang lalu, tanpa sepengetahuan Raden, saya selalu mengamati gerak-
gerik sampean.” Pitoyo, 2010: 150 Dalam perjalanan melatih kemampuan memanahnya, Karna
bertemu dengan Rama Bargawa. Dari Rama Bargawalah, Karna bisa mengetahui fungsi yang sebenarnya dari baju perak yang
selalu dia pakai. Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Rama Bargawa saat sedang berbincang dengan Karna. Dia mengatakan bahwa
selama ini dia selalu mengamati gerak-gerik Karna, bahkan tanpa sepengetahuan dari Karna sendiri.
7 Kusir Adirata
8 “Anting-anting yang dikenakan juga bagus, bersinar perak
diterpa sinar matahari,” lanjut Kunti. “Tentunya kamu sangat mencintai anakmu, Adirata, sampai memberi hadiah anting-
anting yang sepertinya mahal itu.” Sejenak, Adirata berhenti dan menelan ludah, sambil kemudian
menghela napas panjang, seperti berusaha mengumpulkan keberanian untuk berkata.
“Karna adalah anak angkat saya, Kanjeng Ratu,” kata Adirata setengah berbisik. Baru kali ini Adirata berkata hal sesungguhnya
tentang Karna kepada orang lain. Sehingga kini, selain dia sendiri dan istrinya, Rada, Kunti menjadi orang ketiga yang mengetahui
bahwa Karna sebenarnya bukan anak kandung Adirata. “Ketika bayi, Karna saya temukan di atas perahu kecil, hanyut di
sungai.” Pitoyo, 2010: 177
Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Adirata saat berbicara dengan Dewi Kunti. Dengan berterus terang, Adirata mengatakan
bahwa Karna sebenarnya bukanlah anak kandungnya. Karna hanyalah anak angkat yang saat kecil Adirata temukan di atas
perahu kecil di sungai. Meskipun Adirata juga sadar, dengan kejujuran yang dia ucapkan, mungkin suatu saat dia akan
kehilangan Karna. Sebab, bisa saja Karna kemudian akan hidup bersama dengan orangtua kandungnya.
2. Nilai-nilai otentik.
Manusia otentik adalah manusia yang menghayati, menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya
Suseno, 1989:143. Nilai-nilai otentik dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Karna, Arjuna, Dewi
Kunti, Duryudana, dan Rama Bargawa. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya:
1 Karna
9 “Lho, Anda seorang kesatria. Anda masih muda. Saya yakin
orang tua kandung Anda bukan orang sembarangan. Mengapa sampean masih menganggap diri sampean sendiri bukan seorang
kesatria pilihan?” “Saya harus buktikan kalau saya bisa…”
“Sampean seorang pemanah hebat. Apa yang ingin dibuktikan lagi, Raden?”
Kembali Karna menghela napas panjang sambil mengunyah- kunyah gulungan daun kangkung yang diberikan Bargawa
kepadanya. “Izinkan saya untuk sementara waktu tinggal di hutan ini, Resi. Saya tak tahu lagi harus ke mana melangkahkan kaki.”
Pitoyo, 2010: 151
Rama Bargawa bisa melihat bahwa Karna sebenarnya adalah seorang kesatria dan bukan keturunan dari orang
sembarangan. Dari penjelasan Rama Bargawa, Karna sedikit demi sedikit mulai tahu tentanng jati dirinya. Namun, Karna
tidak mau begitu saja menerima hal itu. Karna ingin membuktikan sendiri bahwa dia memang benar-benar seorang
kesatria. Karna ingin membuktikan jika dia bisa menjadi seorang kesatria pilihan dengan usahanya sendiri.
10 “Bacalah Pelajarilah apa yang ada di sini, hai Permadi” kata
Karna tiba- tiba. “Mungkin hanya kamu yang paham apa yang
tertulis di sini. Saya beri kesempatan sampai matahari terbit besok.” Kalimat Karna memang terdengar angkuh dengan nada
meninggi, tapi memang terasa ada yang berubah dari Karna. Pitoyo, 2010: 310
Nilai otentik ditunjukkan oleh Karna ketika dalam tugasnya mengambil prasasti di Ayodya, dia bertemu dengan Arjuna.
Sebagai seorang kesatria, Karna dapat melihat hal-hal yang seharusnya dan tidak seharusnya. Menurut Karna, isi prasasti itu
lebih berguna bagi Arjuna daripada Duryudana. Arjuna melihat isi prasasti itu sebagai suatu ilmu yang patut untuk dipelajari.
Berbeda dengan Duryudana, yang hanya melihat prasasti itu sebagai simbol kekuasaan. Oleh karena itu, Karna mengijinkan
Arjuna untuk membaca isi prasasti tersebut.
11 Karna pun melepaskan begitu saja gandewa panahnya ke tanah,
kemudian memeluk Surtikanti. Wajah Karna terlihat berusaha
untuk tetap angkuh dan menjaga wibawa. Tapi, matanya berkaca dan memerah. “Seorang putri yang dihormati telah
dilecehkan di depan mataku, tapi aku tidak melakukan apa-apa, Yayi,” kata Karna setengah berbisik. Nada suaranya bergetar.
“Dan, para Pandawa terusir dari istananya sendiri dengan cara yang jauh dari sifat kesatria, sementara aku hanya bisa diam,
Yayi,” lanjutnya. Pitoyo, 2010: 337 Nilai otentik ditunjukkan Karna ketika dia sedang berbicara
dengan istrinya. Karna menceritakan tentang peristiwa yang dialami oleh Pandawa dan pelecehan yang dilakukan kepada
Drupadi. Meskipun
Pandawa, terutama
Arjuna, adalah
musuhnya, Karna tahu bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Kurawa kepada Pandawa dan Drupadi itu tidak
benar. Meski Karna hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, jiwa kesatrianya berontak melihat peristiwa itu. Itulah sebabnya
mengapa Karna menjadi marah kepada dirinya sendiri.
12 “Maafkan saya, Sibu,” kata Karna lirih. “Sedari kecil, saya
selalu bermimpi bercita-cita ingin menjadi seorang kesatria utama. Salah satu watak kesatria utama adalah selalu
memegang teguh nilai kebenaran dirinya, melaksanakan janji dan sumpahnya. Izinkan saya menjadi kesatria utama, Sibu.
Izinkan saya menepati janji pada diri saya sendiri, janji untuk selalu membela kehormatan orang yang selama ini menghargai
saya sebagai seorang kesatria, Kangmas Prabu Duryudana.” Pitoyo, 2010: 377
Nilai otentik
ditunjukkan oleh
Karna dalam
perbincangannya dengan Kunti. Kunti ingin agar Karna berpihak kepada Pandawa. Sebab, Karna dan Pandawa sama-sama adalah
anaknya. Kunti tidak ingin anak-anaknya saling membunuh.
Namun, Karna sudah terlanjur mengucap janji dan sumpah setia kepada Duryudana. Nilai kebenaran dalam diri kesatrianya
mengharuskan dia untuk melaksanakan janji dan sumpahnya itu. Karna tetap memegang teguh watak kesatrianya dan secara halus
menolak permintaan Kunti. 2
Arjuna 13
“Haruskah sekarang, Kangmas?” kembali, Sumbadra bertanya dengan kalimat yang sama.
“Aku sudah memiliki tempat tinggal untuk setiap saat pulang, Yayi. Aku juga memiliki istri cantik yang selalu kurindu. Aku
khawatir rasa nyaman yang terlau lama akan melenakan kewajibaban seorang kesatria yang tetap harus belajar, Yayi.
Sekarang adalah saat yang tepat. Ada kakang Semar dan para senapati Madukara yang akan selalu menjaga Yayi. Kangmas
Prabu Kresna juga pasti akan selalu berkunjung. Aku berjanji untuk sesekali pul
ang, Yayi.” Pitoyo, 2010: 215 Nilai
otentik ditunjukkan
oleh Arjuna
dalam perbincangannya dengan istrinya, Sumbadra. Menurut Arjuna,
seorang kesatria mempunyai kewajiban untuk selalu belajar dalam hidupnya. Kesatria harus selalu mengasah olah kanuragan
dan keutamaan. Karena itulah, meski kini Arjuna sudah menjadi raja di Madukara, dia tetap berkeinginan untuk pergi mencari
ilmu.
14 “Bagaimana saya bisa membidikkan anak panah, sementara di
sana ada Eyang Bhisma dan Guru Pendeta Durna yang saya hormati.
” Arjuna memotong bicara Kresna setengah berteriak. Tangisnya semakin menjadi. “Saya tidak tahu mana yang lebih
baik saat perang ini usai, menang atau kalah, keduanya sama buruk bagi saya, Kangmas. Saya ingin pulang, Kangmas, saya
ingin pulang. Biarkan say
a pergi dari Kurusetra ini, Kangmas,” tangis Arjuna. Pitoyo, 2010: 401
Nilai otentik ditunjukkan oleh Arjuna dalam percakapannya dengan Kresna. Dalam perang Bharatayuda, Arjuna harus
berperang melawan Kurawa, yang masih saudara sedarah dengannya. Arjuna juga harus melawan Bhisma dan Durna yang
merupakan orang-orang yang sangat dia hormati. Sebagai seorang kesatria, dia harus bisa melawan mereka. Jika harus
melawan mereka, hati nurani Arjuna berontak. Inilah sifat asli dari diri Arjuna. Hati nuraninya tidak sanggup jika harus
berperang melawan keluarganya sendiri. 3
Dewi Kunti 15
“Besok pagi, kita bawa Angger Karna ke tempat dia dilahirkan, Nimas. Sudah disiapkan sebuah perahu kecil untuk
membawanya menyusuri sungai.” “Dia akan dibuang ke sungai?” tiba-tiba, Kunti berdiri dan
memotong bicara Druwasa. Berkata lantang dengan nada agak gemetar menahan emosi meluap. Matanya seperti berkaca-
kaca, tapi sekuat tenaga dia tahan air mata itu keluar. Karna di dekapannya juga tampak terpengaruh oleh suara Kunti. Ia
bergerak-gerak merasa tak nyaman dalam gendongan Kunti yang berdiri. Pitoyo, 2010: 21
Nilai otentik ditunjukkan Dewi Kunti saat Karna hendak dilarung di sungai. Sekuat apapun hati Kunti, dia tetaplah
mempunyai naluri seorang ibu. Naluri yang selalu ingin melindungi anaknya. Naluri yang membuatnya akan selalu
khawatir jika dia merasa anaknya sedang dalam bahaya. 16
Karna terkejut. Serta-merta ia berusaha melawan dengan paksa, melepas pelukan Kunti, membuat Kunti jatuh terduduk pada
posisi bersimpuh. Dan, Karna memilih melompat keluar pendapa. Diterpa gerimis hujan yang sepertinya semakin lebat
saja, setengah berteriak Karna berkata, “Entah bagaimana saya harus memanggil panjenengan. Panggilan sibu terasa asing
bagi mulut saya untuk menyapa panjenengan. Orang tua macam apa yang telah menelantarkan anaknya? Sekian lama
tahu dan melihat anaknya tidak jauh dari jangkauan, tak sedikitpun memberikan isyarat dan ungkapan kasih seorang
ibu. Katakan, Raden Ayu, Sibu, apa yang panjenengan harapkan dari saya saat ini? Saya baru tahu ada seorang ibu
yang begitu mengharap pamrih pada anak kandungnya sendiri. Bahkan, pengakuan yang akhirnya terucap juga karena
pamrih…” Isak tangis Kunti terdengar semakin tak terbendung lagi.
Seiring dengan gerimis yang terasa semakin lebat saja.
“Maafkan aku, Ngger. Aku tidak ingin anak-anakku saling membunuh. Maafkan aku, Ngger. Maafkan bapakmu. Apapun
akan aku lakukan, asalkan kamu melepas keberpihakanmu kepada Kurawa.
” Pitoyo, 2010: 375 Akhirnya, Dewi Kunti berterus terang pada Karna bahwa
Karna adalah anaknya. Meskipun demikian, ada sesuatu yang terselubung dibalik kejujuran Dewi Kunti. Nilai otentik
ditunjukkan oleh Dewi Kunti di sini. Sebagai seorang ibu, dia tidak ingin jika anak-anaknya, Arjuna dan Karna, saling
membunuh. 4
Duryudana 17
Pandawa, anak-anak Pandu, tentu saja diundang dalam perhelatan itu. Adalah rencana dan keinginan Dewi Kunti, sang
ibu, yang ingin menyandingkan anak tertuanya, Samiaji, dengan Dewi Drupadi. Untuk menyambung lagi tali
kekerabatan Hastinapura dengan negeri Cempalareja. Ketika dulu Pandu masih hidup, bisa dikatakan cukup sering
berkunjung dan bertemu dengan Prabu Drupada. Tapi, semenjak meninggalnya Pandu, sudah tidak pernah lagi ada
sambungrasa di antara istana Hastinapura dan istana Cempalareja. Apalagi, sejak Duryudana menobatkan dirinya
sendiri memimpin istana Hastinapura, hubungan baik dengan negeri-negeri tetangga seperti Cempalareja ini seakan
dilupakan. Yang ada dibenak Duryudana untuk berhubungan dengan negeri lain adalah upaya penaklukan, bukan upaya
untuk bersahabat sebagai dua Negara yang bermartabat. Pitoyo, 2010: 166
Nilai otentik Duryudana ditunjukkan dalam kutipan di atas. Bagi Duryudana, hubungan antar negeri harus dilakukan
dengan cara penaklukan. Negeri-negeri lain harus berada di bawah kekuasaan negeri Hastinapura, negeri yang dia pimpin.
Dari situ bisa kita lihat jika Duryudana ingin menjdai seorang penguasa dengan kekuasaan mutlak.
5 Rama Bargawa
18 Orang-orang desa di hutan jati itu bercerita bahwa Karna
tinggal berguru kepada Bargawa hampir tiga warsa lamanya, sebelum dia kembali pulang ke istana Hastinapura. Selama itu
pula, Bargawa seperti merasakan sesuatu pada diri Karna. Bargawa yakin dengan sasmita yang dimilikinya, bisa
merasakan bahwa Karna adalah seorang keturunan bangsa dewa. Tapi, hal ini tak pernah diceritakannya pada Karna.
Bargawa hanya berharap suatu hari nanti, Karna bisa mengetahui siapa sejatinya dirinya pada saat yang tepat.
Sehingga, bisa menambah rasa legawa dan ketenangan hatinya, bukan malah menjadikannya semakin membenci orang tuanya.
Pitoyo, 2010: 153
Nilai otentik Rama Bargawa ditunjukkan dalam kutipan di atas. Dengan kekuatan batin yang dia punya, Rama Bargawa
dapat melihat bahwa Karna bukanlah keturunan orang sembarangan. Dia tahu jika Karna adalah keturunan bangsa
dewa. Hanya saja, Karna belum tahu mengenai masalah ini. Meskipun demikian, Rama Bargawa tetap yakin jika suatu saat
nanti Karna dapat mengetahui tentang dirinya yang sebenarnya.
Rama Bargawa juga berharap agar hati Karna bisa menjadi tenang tanpa membenci orang tua kandungnya nanti. Dari
keyakinan itulah, nanti di cerita berikutnya, Rama Bargawa memberikan beberapa senjata pusaka kepada Karna.
3. Kesediaan untuk bertanggungjawab.
Bertanggungjawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas
itu sendiri. Nilai kesediaan untuk bertanggungjawab dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh
Yudhistira, Karna, dan Kresna. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya:
1 Yudhistira
19 Tampak kemudian, menyeruak masuk ke dalam ruangan itu, si
wajah tampan Permadi. “Ada apa dengan Kangmas Bratasena?” tanyanya. “Apa yang membuatnya begitu marah?”
Sejenak semua diam. Samiaji yang kemudian membuka kata, “Besok saya harus pergi dari istana ini, Dimas.”
“Lho…?” Permadi tampak tertegun dan berusaha menebak apa yang terjadi.
“Kangmas Samiaji terlanjur mengucap janji, Kangmas.” Sadewa yang melanjutkan berkata. “Rupanya, tipu muslihat Paman
Sengkuni telah
melenakan kita.
Kangmas Samiaji
mempertaruhkan hak atas istana Hastinapura…dan kalah. Kangmas Samiaji harus pergi,” lanjut Sadewa. Pitoyo, 2010:
187
Yudhistira di ajak bermain dadu oleh Sengkuni dengan taruhan siapapun yang kalah harus pergi dari Hastinapura dan
harus mau tinggal di hutan Wanamarta. Nilai kesediaan bertanggungjawab ditunjukkan oleh Yudhistira ketika dia kalah
dalam permainan dadu. Sebenarnya taruhan itu hanya main-main. Tetapi bagi Yudhistira, seorang kesatria harus bertanggungjawab
atas apa yang dia katakan. Seorang kesatria harus bersedia melaksanakan konsekuensi dari perkataannya sendiri.
20 Perlahan, dilepaskannya pelukan itu, kemudian Bhisma
berkata, “Pulanglah ke Amarta, Nakmas. Istana ini sudah terlalu kotor oleh perilaku setan. Kakimu terlalu bersih untuk masuk ke
istana ini. Biarlah Eyang bersihkan dulu.” “Besok pagi, kami akan pergi dari Hastinapura, Eyang. Tapi,
selama tiga belas warsa, saya juga belum akan kembali ke Amarta..”
“Lho?” Bhisma terkejut. “Saya sudah berjanji kepada mereka. Biarlah saya kembali
mengembara, mungkin ini jalan hidup saya. Saya pernah mengalami hal-hal buruk, Eyang, dan itu tidaklah selalu
berakibat buruk.” Pitoyo, 2010: 327 Karena kelicikan Sengkuni dalam permainan dadu yang
kedua kalinya, Yudhistira kalah taruhan lagi. Dalam perjanjian sebelumnya, siapapun yang kalah harus mengasingkan diri
selama tiga belas tahun. Nilai tanggung jawab ditunjukkan oleh Yudhistira yang bersedia menerima konsekuensi dari taruhan itu
dan melaksanakan hukuman sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
2 Karna
21 “Mungkin aku punya rencana agar Rama Prabu Salya bisa
berubah pikiran terhadap sampean, Kang.” “Maksud panjenengan?” tanya Karna. Mungkin hanya kepada
Duryudana sajalah Karna bisa berkata lembut dan sopan. “Ada seorang raja raksasa di utara, di Awangga. Aku dengar ia
akan menyerang Mandraka untuk mendapatkan Nimas
Surtikanti.” Sejenak berhenti, Duryudana menghela napas, kemudian mel
anjutkan, “Bawalah prajurit pilihan Hastina. Seranglah Awangga sebelum mereka sempat berangkat.”
“Baiklah, Kang…” tanpa bertanya lagi, Karna langsung membalikkan badan dan bergegas menuruti ide Duryudana ini.
Pitoyo, 2010: 224
Sejak merasa berhutang budi kepada Duryudana, Karna bersumpah akan setia mengabdikan diri padanya. Sebagai
seorang kesatria, Karna akan selalu melaksanakan sumpah yang telah dia ucapkan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban Karna yang
secara tegas langsung menerima perintah dari Duryudana tanpa harus berpikir dua kali. Nilai kesediaan bertanggungjawab
ditunjukkan oleh Karna yang selalu melaksanakan setiap tugas yang diberikan kepadanya.
3 Kresna
22 Kresna menoleh kepada Arjuna dan kembali berkata, “Tak ada
yang harus kita lakukan sebagai bagian dari sesuatu yang mungkin ada, kecuali kewajiban kita untuk selalu mengabdikan
diri kita kepada Sang Wajib Ada, Sang Pencipta. Dan, apapun yang kita lakukan selama hal itu adalah sebuah perjuangan,
maka pastilah tak pernah sia-sia ketika dalam hati dan pikiran kita selalu kita persembahkan jiwa dan raga kita, hidup dan
mati kita untuk Sang Pencipta Semesta Alam…” Pitoyo, 2010: 405
Ketika Arjuna mulai merasa ragu dalam Perang Bharatayuda, Kresna mengingatkan Arjuna. Nilai otentik
Kresna ditunjukkan di sini. Menurut Kresna, sebagai ciptaan Pencipta, manusia memiliki kewajiban untuk mengabdikan diri
kepada Pencipta. Semua hal yang dilakukan manusia di dunia,
suatu saat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Oleh karena itu, setiap manusia harus bertanggung
jawab atas kewajibannya kepada Sang Pencipta.
4. Kemandirian Moral.
Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan
selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya Suseno, 1989: 147. Kemandirian moral adalah kekuatan batin
untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya.
Nilai kemandirian moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Yudhistira, Karna, Kresna, dan
Hanoman. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1
Yudhistira 23
Dan, permainan dadu itu berakhir, ketika Duryudana melempar, dan menghasilkan jumlah yang lebih besar Para
Kurawa itu semakin tak terkendali. Bersorak-sorai, menari, bahkan berulang kali Dursasana berteriak mengejek kea rah
Nakula dan Sadewa yang tampak semakin pucat. Dursasana memang suka sekali jahil terhadap Nakula dan Sadewa.
“Besok, saya berangkat ke Wanamarta, Paman,” kata Samiaji. Wajahnya tampak tetap datar. Sementara, Sengkuni hanya
tersenyum lebar. Sadewa yang kemudian memberanikan diri lantang berkata,
“Bukankah taruhannya hanya main-main?” Pitoyo, 2010: 183 Dalam permainan dadu itu, Yudhistira kalah. Sebagai
konsekuensi taruhan, dia akan meninggalkan Hastinapura dan tinggal di Wanamarta. Sadewa yang merasa bahwa taruhan tadi
hanya main-main tidak rela jika Yudhistira harus ke Wanamarta. Namun, Yudhistira punya pandangan sendiri. Bagi dirinya,
seorang kesatria harus melaksanakan apapun yang telah dia katakan.
2 Karna
24 “Bacalah Pelajarilah apa yang ada di sini, hai Permadi” kata
Karna tiba- tiba. “Mungkin hanya kamu yang paham apa yang
tertulis di sini. Saya beri kesempatan sampai matahari terbit besok.” Kalimat Karna memang terdengar angkuh dengan nada
meninggi, tapi memang terasa ada yang berubah dari Karna. Memang dia terkenal begitu loyal pada negeri Hastinapura,
terutama sikap setianya pada Duryudana yang telah mengubah jalan hidupnya menjadi seorang kesatria yang disegani. Tapi, di
balik pergunjingan tentangnya yang berada di bawah baying- bayang Duryudana yang memang dikenal memiliki watak yang
buruk, diam-diam Karna juga memiliki watak utama seorang kesatria. Pitoyo, 2010: 310
Di balik kebenciannya kepada Arjuna, Karna juga memiliki sikap kesatria. Hal ini terlihat saat menjalankan tugas dari
Duryudana untuk mengambil prasasti di Ayodya. Prasasti itu justru diberikan kepada Arjuna yang saat itu juga mendapat tugas
untuk mengambil prasasti. Nilai kemandirian moral ditunjukkan oleh Karna di sini. Karna memiliki penilaian sendiri setelah
melihat tujuan Arjuna atas prasasti tersebut. Tujuan yang sangat berlainan dengan yang dimiliki oleh Duryudana. Oleh karena itu,
Karna mengambil sikap sendiri dari penilaiannya itu dan bertindak sesuai dengannya.
25 Suasana menjadi begitu sunyi, hanya terdengar dengkuran
halus sang raksasa Brahalasewu, seirama dengan semburan api ke udara dari lubang hidung si raksasa.
Karna menoleh kea rah Arjuna. Kedua kesatria itu tampak beradu pandang. Wajah Arjuna tampak datar, tapi sorot matanya tajam.
Sedangkan sorot mata Karna yang dipicing seperti berusaha menduga-duga apakah kesatria di hadapannya seorang kawan
atau lawan.
“Kamu tahu cara membangunkannya?” tanya Karna kemudian. “Entahlah, kang, mungkin dengan cara menusukkan keris ini,”
jawab Arjuna sambil mengangkat keris Pulanggeni di gegaman tangan kanannya. “Cobalah,” kata Karna. Pitoyo, 2010: 362
Meski mendapat tugas dari Sengkuni untuk berusaha menjadi yang pertama membangunkan Kresna, Karna menyuruh
Arjuna untuk membangunkannya lebih dulu. Nilai kemandirian moral ditunjukkan oleh Karna di sini. Karna mempunyai
penilaian sendiri atas apa yang dilihatnya dan bertindak sesuai dengannya. Hal ini dapat dilihat ketika Karna akhirnya
memutuskan agar Arjuna yang membangunkan Kresna lebih dulu.
3 Kresna
26 Konon dalam pembicaraan Kresna dan Durga, sang batari
memperingatkan dengan keras Batara Wisnu yang ada dalam raga Kresna. Tak banyak yang tahu bahwa Kresna, selama
lebih dari dua puluh warsa, raganya menyatu dan menjadi tubuh bagi jalan kematian salah satu bangsa dewa bernama
Batara Wisnu. Dewa yang mengembankan dirinya dengan tugas menebar kebajikan dan kedamaian di dunia wayang.
Sang Batari Durga memperingatkan Wisnu atas sikapnya yang seharusnya tidak memihak di dunia wayang, dalam hal ini
membantu Pandawa atas sengketa negeri Hastinapura. Peringatan yang membuat Kresna masygul dan marah.
Mengubah dirinya menjadi Brahalasewu, dan tidur Seperti sebuah bahasa yang memprotes atas peringatan yang diberikan
kepadanya. Kresna curiga bahwa apa yang dilakukan Durga adalah karena kesepakatan yang menjadi bagian dari muslihat
Kurawa. Pitoyo, 2010: 355-356
Di dunia wayang, para dewa tidak boleh ikut campur dalam permasalahan manusia. Aturan inilah yang diingatkan oleh
Batari Durga kepada Kresna. Kresna sendiri sebenarnya adalah tubuh bagi jalan kematian Batara Wisnu. Sebagai dewa yang
bertugas menebar kebajikan di dunia wayang, Wisnu, yang saat itu menyatu dalam raga Kresna, merasa jika ada yang tidak
benar dalam sengketa antara Pandawa dan Kurawa. Dia juga curiga jika Batari Durga membuat kesepakatan dengan kurawa.
Oleh karena itu, Kresna mengambil sikap membantu Pandawa. Meski ada aturan tersebut, Kresna tetap melaksanakan hal yang
diyakininya sebagai kebenaran. 4
Hanoman 27
Kembali Hanoman membalikkan badan, menghadap Gatotkaca. Dengan suara berat setengah berbisik melanjutkan
kata- katanya, “Dua warsa yang lalu, Raden Arjuna telah berjasa
membinasakan pembuat onar di negeri kahyangan. Dia diberi hadiah bangsa dewa, diangkat menjadi pangeran di Kaendran,
disandingkan dengan Dewi Supraba, bahkan telah punya anak. Tapi, Raden Arjuna masih juga menjalin hubungan dengan Dewi
Dresnala yang juga dikenalnya selama berada di Jonggring Saloka. Bayi yang dikandung Kanjeng Dewi Dresnala itu akan
bisa menjadi murka para dewa bila sampai ketahuan.
” “Bukankah Eyang telah berlaku salah menutup-nutupi sebuah
aib?” kata Gatotkaca kemudian. Sejenak, Hanoman menghela napas panjang. “Salah dan benar
terkadang hanya dipisahkan oleh sesuatu yang tak pernah ada, Raden.”
“Maksud Eyang?” “Hamba bisa saja berbuat salah ketika semua orang menganggap
hamba seorang pahlawan. Hamba suatu ketika pasti ada
benarnya, walaupun semua orang menghujat.” Pitoyo, 2010: 285
Arjuna melarikan Dewi Dresnala, yang saat itu sedang mengandung, dari Jonggring Saloka. Arjuna kemudian meminta
tolong kepada Hanoman agar Dewi Dresnala diijinkan untuk melahirkan di padepokannya. Gatotkaca yang baru saja
mendengar cerita itu, menganggap bahwa kehamilan Dewi Dresnala adalah sebuah aib. Karena Hanoman menyembunyikan
aib, menurut Gatotkaca hal itu salah. Namun, Hanoman memiliki pemikiran sendiri. Ada suatu hal yang membuatnya melakukan
itu. Hal yang menurut keyakinan Hanoman adalah hal yang benar dan harus dia lakukan.
5. Keberanian Moral.
Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula
apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan Suseno, 1989: 147.
Nilai keberanian moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Gatotkaca, Arjuna, Karna, dan
Dewi Kunti. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1
Gatotkaca 28
Semula, Arjuna memang berencana mengajak Gatotkaca untuk sekedar melaporkan serangan Imaimantaka ini kepada Batara
Guru dan meminta petunjuk dari Batara Guru akan apa yang dilakukan. Tapi, dalam perjalanan mereka di langit menuju
Jonggring Saloka, dengan jelas mereka menyaksikan rombongan pasukan gandarwa mengendarai burung rajawali raksasa menuju
ke arah mereka. Membuat Arjuna sempat bimbang, tak tahu harus berbuat apa. Tanpa ragu dan tanpa berkata-kata, gatotkaca
sudah mendahului terbang berbalik arah dan langsung menggempur pasukan Imaimantaka. Gatotkaca memang tak
pernah gentar terhadap hal-hal seperti itu. Pitoyo, 2010: 258
Meskipun rencana awalnya hanya melaporkan rencana penyerangan itu, Gatotkaca tidak tinggal diam melihat musuh
menuju ke arahnya. Sebagai seorang kesatria, Gatotkaca bertekad untuk melaksanakan hal yang diyakini sebagai kewajibannya,
yaitu menggempur pasukan Imaimantaka sebelum mereka sampai pada tempat yang dituju. Nilai keberanian ditunjukkan
oleh Gatotkaca yang tanpa ragu langsung menggempur pasukan Imaimantaka meski jumlah mereka sangat banyak.
2 Arjuna
29 Hanoman sudah mulai membalikkan badan berlalu, ketika
kemudian dia menghentikan langkah dan berkata, “Paman panjenengan itu orang yang unik, Raden. Dia diberi anugerah
sejak lahir wajah yang begitu tampan, menggetarkan hati setiap
perempuan yang melihatnya.” Sejenak berhenti, menghela napas kemudian melanjutkan, “Putri mana pun akan rela menjadi
istrinya, bila dia meminta. Sayangnya…” kembali, Hanoman sejenak menghentikan katanya. Tampak kemudian, dia
menundukkan kepala sambil berkata, “Sayangnya, Raden Arjuna sering terlena dengan keinginan-keinginannya. Istrinya begitu
banyak, siapa pun yang diperistrinya akan rela seperti mendapat
anugerah.” Pitoyo, 2010: 284 Menurut Arjuna, mengabulkan permintaan dari orang lain
adalah sikap dan kewajiban seorang kesatria. Termasuk mengabulkan permintaan seorang perempuan yang ingin menjadi
istrinya. Nilai keberanian moral ditunjukkan oleh Arjuna dalam kutipan percakapan antara Hanoman dan Gatotkaca di atas.
Arjuna tetap menjalankan sikap yang telah diyakininya sebagai kewajiban meski banyak orang yang menentang sikapnya itu,
termasuk Hanoman.
3 Karna
30 “Mengapa, Ngger? Bukankah kamu ingin Hastinapura menang
saat perang nanti…?” kata Indra kemudian. “Terimalah, Ngger. Senjata ini memang sudah disiapkan untuk digunakan saat
Bharatayuda.” Sejenak, Batara Indra berhenti, kemudian meneruskan, “Kanjeng Batara Guru hanya meminta satu hal.”
“Apa itu, Pukulun…?” “Beliau ingin kamu melepas baju dalammu yang selama ini kamu
pakai sejak kecil.” Pitoyo, 2010: 387 Nilai keberanian moral ditunjukkan oleh Karna dalam
kutipan di atas. Dengan berani dan tanpa ragu, Karna melepas baju perak yang selama ini selalu melindunginya. Hal ini
dikarenakan Batara Guru meminta baju tersebut. Karna sadar bahwa dengan dilepasnya baju itu, pertahanannya saat melawan
Arjuna dalam perang nanti akan berkurang. Namun, sebagai seorang kesatria, bagi Karna kewajiban tetaplah yang utama.
4 Dewi Kunti
31 “Jika Raden Ayu berharap saya akan berpaling dan memihak
Pandawa setelah mendengar cerita menis panjenengan, maka sia- sia saja panjenengan
datang kemari. Monggo…, silakan pulang. Bagaimanapun juga, saya akan memasang badan untuk membela
Kangmas Prabu Duryudana.” Kalimat Karna terdengar mulai meninggi. Sejenak mengambil napas dan melanjutkan, “Dan,
maaf bila saya sama sekali tidak percaya pengakuan panjenengan
…”
“Tapi, kamu benar-benar anakku, Ngger.” Kunti memotong bicara Karna. Kali ini, getaran kalimat Kunti mulai terasa. Kunti
yang selalu berusaha tegar pada hal-hal yang menguras emosi, kali ini kalimatnya terdengar rapuh gemetar. Air mata tipis
terlihat mengalir membasahi pipi. “Maafkan aku yang telah menelantarkan kamu, Ngger. Ketika itu, aku masih terlalu muda
untuk berani
memikul beban…mengandung
bayi…, melahirkannya, mengasuhnya.., semuanya begitu gelap waktu
itu, Ngger…, maafkan ibumu, Nak…” Pitoyo, 2010: 374 Ketika Kunti mengaku bahwa Karna adalah anaknya, Karna
tidak percaya kepadanya. Nilai keberanian Kunti ditunjukkan dalam kutipan tersebut. Kunti sadar jika Karna tidak akan
percaya begitu saja pada pengakuannya. Bahkan Kunti tahu, Karna kemungkinan besar akan marah kepadanya atas perbuatan
yang telah dilakukan Kunti kepada Karna, menelantarkannya. Sebuah pengakuan tentang hal yang sangat sensitif. Pengakuan
yang membutuhkan keberanian yang besar untuk mengakuinya.
6. Kerendahan hati.
Kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk
memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan,
bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Nilai kerendahan hati dalam novel Pertempuran 2 Pemanah:
Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Arjuna, Yudhistira, Dewi Kunti,
Durna, dan Bambang Ekalaya. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya:
1 Arjuna
32 “Luar biasa, Anakku Kamulah anak muda yang paling
berbakat yang pernah aku didik. Suatu hari nanti, ilmu memanahmu tidak akan ada yang menandingi di dunia wayang
ini.” Terdengar suara serak parau melengking dari mulut seorang tua peyot.
“Benarkah Guru? Benarkah saya yang pandai memanah di bumi wayang ini, Guru Durna?” tanya si anak muda tetap tertunduk,
sambil kembali menyiapkan anak panah berikutnya, dan membidik melatih kebolehannya memanah dengan sasaran
ribuan kaki di depan, seekor tupai yang berlarian kesana-kemari dikelilingi beberapa binatang yang mati berserakan tertembus
anak panah. Pitoyo, 2010: 139
Nilai kerendahan hati ditunjukkan Arjuna ketika gurunya, Durna, memuji kemampuan memanahnya. Arjuna merasa bahwa
kemampuan yang dimilikinya belum seberapa. Dia sadar bahwa masih banyak orang di luar sana yang bisa melakukan itu dan
bahkan bisa lebih daripada itu. Dia merasa masih banyak hal yang perlu dipelajari.
33 “Gatotkaca juga berhak atas hadiah itu, Pukulun..,” kata Arjuna
kemudian. “Tidak perlu, Ngger. Gatotkaca sudah cukup beruntung dengan
apa yang telah dimilikinya sekarang, kesaktian dari bangsa dewa,” jawab Indra dengan sorot mata tetap datar.
Sebentar, Arjuna tampak bimbang. Menatap Batara Indra dengan pandangan berpikir. Kemudian, dia memberi hormat kepada
Batara Indra sambil berkata, “Sungguh sebuah kehormatan bagi hamba yang bisa memiliki kesempatan untuk hidup dan belajar
tentang sesuatu di kahyangan ini…” Pitoyo, 2010: 264 Nilai kerendahan hati ditunjukkan oleh Arjuna dalam
kutipan di atas. Sebelumnya Arjuna berpendapat bahwa
Gatotkaca juga berhak mendapat hadiah atas apa yang telah dia lakukan. Namun, setelah Arjuna memperhatikan maksud yang
dikatakan oleh Batara Indra, Arjuna akhirnya mau menerima pemberiannya dengan rendah hati.
34 “Prasasti itu akan saya bawa ke Hastinapura sesuai pesan
Dimas Prabu Duryudana,” kata Karna singkat. “Bawalah,” kata Arjuna singkat.
Tersirat mimik terkejut di raut wajah Karna. Rupanya, tujuan mereka berdua sama. Tapi, Arjuna begitu mudah merelakan
prasasti itu untuk dia bawa. “Apakah kamu sudah membaca apa isi prasasti itu?” tanya Karna.
“Belum, saya baru tiba di sini dan mendapati Kakang berdiri di sana.”
“Tidakkah kamu ingin lebih dahulu membaca isi prasasti itu?” “Prasasti itu menjadi milik kakang yang sudah di sini lebih
dahulu, ..terserah kakang apakah mengijinkan saya untuk ikut belajar apa isi wejangan Prabu Rama.” Pitoyo, 2010: 307
Nilai kerendahan hati ditunjukkan oleh Arjuna dalam kutipan di atas. Arjuna mendapat tugas dari Durna untuk belajar
dari ilmu yang tertulis di prasasti Ayodya tersebut. Meskipun demikian, Arjuna melihat jika Karna telah lebih dulu sampai di
tempat itu. Sehingga dengan rendah hati Arjuna merelakan prasasti itu dibawa oleh Karna. Bahkan menurut Arjuna,
Karnalah yang lebih berhak atas prasasti itu. Arjuna tidak akan mempelajari isi dari prasasti itu tanpa izin dari Karna.
2 Yudhistira
35 “Istana ini menjadi hakmu, Dimas,” kata Kresna menghentikan
langk ahnya dan menoleh kea rah Samiaji. “Saya yakin dengan
berjalannya waktu, kita membuka lahan di sekitar istana, lambat
laun banyak orang akan berdatangan ke sini. Akan kamu namai apa istana dan negeri ini, Dimas?”
Samiaji tampak memandang lurus ke arah Kresna, seperti berpikir. Kemudian, dengan mantap dia menjawab, “Daerah ini
tetap akan saya namai seperti nama hutan ini. Bila suatu saat menjadi sebuah negeri, biarlah tetap bernama negeri Amarta.
Dan, bila saudara-saudaraku berkenan agar saya memimpin negeri ini, saya ingin menyandang gelar Prabu yudhistira,
sebagai hormat saya kepada orang yang telah membangun istana
ini.” Pitoyo, 2010: 211 Nilai kerendahan hati ditunjukkan oleh Yudhistira dalam
kutipan di atas. Dengan penuh kerendahan hati, Yudhistira menerima istana yang diberikan kepadanya. Dia juga meminta
persetujuan dari orang-orang yang ada di situ tentang nama gelar yang akan dia sandang saat menjadi pemimpin negeri Amarta.
Meskipun semua orang yang ada di situ tahu, semua itu adalah hak yang dimiliki oleh Yudhistira.
3 Dewi Kunti
36 “Sembah hamba kepada Anda, Prabu Raja,” demikian Kunti
membuka sapa kepada Pandu, setelah berhenti kira-kira tiga tombak di depan Pandu. “Sungguh sebuah kehormatan hamba
dan negeri Mandura bila Prabu Raja berkenan menerima kerelaan saya menjadi permaisuri panjenengan
.” Kunti, walaupun dalam berkata-kata bernada halus seperti layaknya seorang putri, tapi
selalu tegas dalam mengambil kalimat. Bicara tanpa basa-basi dan jauh dari sifat kegenitan seorang perempuan putri raja.
Pitoyo, 2010: 57
Nilai kerendahan hati Kunti ditunjukkan dalam kutipan di atas. Dalam cerita sebelumnya, diceritakan bahwa Raja Mandura,
Prabu Basukunti, mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi putrinya, Dewi Kunti. Pandulah yang memenangkan
sayembara itu. Kunti yang tahu bahwa Pandu adalah calon suaminya kemudian menyapa dan menyatakan kesediaannya
menjadi istri Pandu. Kunti menyanjung Pandu dan merendah meskipun dia sebenarnya adalah seorang putri raja.
4 Durna
37 Sejenak, Durna tersenyum, sekilas melihat ke arah Bhisma.
Seakan bersiap membuka sebuah perkataan, tapi didahului oleh Bhisma yang berkata, “Bapa Resi Durna ini memang tidak begitu
dikenal di negeri kita, Hastinapura ini. Beliau baru beberapa warsa tinggal di Sokalima, sebuah bukit selatan Hastina,” kata
Bhisma. “Tapi sejatinya, beliau datang dari jauh, dari sebuah negeri di wilayahkeras Atasangin sisi utara, sebuah negeri yang
disebut Hargajembangan. Di sana, beliau terkenal dengan kesaktian dan kebijaksanaannya. Beliau juga sudah mengembara
ke seluruh dunia wayang. Di Hargajembangan, beliau sangat terkenal, seorang kesatria tanpa tanding di sana dengan julukan
Bambang Kumbayana,“ jelas Bhisma. “Sudahlah, Kakang Bhisma, tidak perlu terlalu memujiku,” kata
Durna merendah, memotong kalimat Bhisma. Suara Durna ini sangat parau, tidak begitu enak didengar. Pitoyo, 2010: 112
Tidak lama setelah Bhisma menyambut kedatangan Durna, Citraksi dan Citraksa datang. Bhisma kemudian memperkenalkan
Durna kepada mereka. Bhisma juga menceritakan tentang kisah Durna yang merupakan kesatria tanpa tanding di tempat asalnya.
Nilai kerendahan hati Durna ditunjukkan dalam kutipan di atas. Durna yang merasa terlalu dipuji kemudian merendah meskipun
sebenarnya pujian yang dikatakan Bhisma itu benar-benar adanya.
5 Bambang Ekalaya
38 “Guru, begitu hebat nama Guru, begitu kesaktian Guru
terdengar di
seantero dunia
wayang. Semua
orang mengagumimu, semua kesatria ingin berguru kepada Yang Mulia
Guru.” Sang pemahat berhenti sejenak menelan ludah. Bibirnya terlihat sangat kering, hampir tiga hari dia sama sekali belum
minum barang seteguk. “Hamba tahu bahwa hamba tidak punya cukup kekuasaan untuk dapat berguru kepada Yang Mulia Guru.
Hamba juga sadar bahwa bekal dan kekayaan hamba tak akan cukup untuk mengganti apa yang akan guru ajarkan kepada
hamba.” Sang pemahat kemudian berhenti. Wajahnya tertunduk sayu, bibirnya terlihat bergetar. “Tapi, izinkan hamba untuk
berguru kepada ruh guru, biarkan hamba mengabdi dengan keteguhan hati berkhayal terhadap sosok Anda, Guru.” Pitoyo,
2010: 126
Setelah keinginannya menjadi seorang murid ditolak oleh Durna, Bambang Ekalaya membuat patung yang sangat mirip
dengan Durna. Setiap hari Bambang Ekalaya berlatih memanah di hadapan patung itu dan kadang-kadang mengajak patung itu
berbicara. Bambang Ekalaya selalu memuji patung yang dia anggap sebagai Durna itu dan merendah di depannya. nilai
kerendahan hati Bambang Ekalaya ditunjukkan dalam kutipan tersebut. Meskipun Bambang Ekalaya sebenarnya adalah seorang
raja di negeri Paranggelung, di hadapan patung Durna yang dia anggap sebagai guru, dia merasa bukan siapa-siapa.
7. Realistis dan kritis.
Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Tetapi sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita
mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat sesuaikan
dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis Suseno, 1989: 150
Nilai realistis dan kritis dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Bhisma, Yudhistira, Karna,
Arjuna, Dewi Kunti, Durna, Kresna, Duryudana, Rama Bargawa, dan Bambang Ekalaya. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya:
1 Bhisma
39 “Sepertinya, mereka tidak seburuk yang diceritakan
panjenengan…” Durna berkata kepada Bhisma, setelah Citraksa dan Citraksi berlalu.
“Betul,Dimas. Mereka berdualah yang kebetulan bisa mulai belajar sopan santun sejak di sini, tapi Kurawa yang lain,
perilaku mereka sangatlah memprihatinkan,” kata Bhisma. “Apakah nanti aku harus membimbing Pandawa dan Kurawa
bersama-sama, Kang? Sepertinya saying sekali kalau Pandawa harus berbaur dengan para Kurawa.”
“Aku berusaha untuk tidak membeda-bedakan cucu-cucuku, Dimas.” Pitoyo, 2010: 113
Nilai realistis dan kritis ditunjukkan oleh Bhisma dalam membimbing cucu-cucunya. Bhisma sadar jika apa yang
disayangkan oleh Durna itu benar adanya. Dia tahu bahwa Kurawa mempunyai perilaku buruk yang sangat berbeda jauh
dengan pandawa. Akan tetapi, Bhisma juga sadar bahwa sebagai seorang kesatria, dia harus bersikap adil, termasuk pada cucu-
cucunya.
2 Yudhistira
40 “Bagi saya, keris adalah sebuah kekhawatiran,” jawab Samiaji
dengan nada datar. Sebagian orang tampak seperti terkejut mendengar
jawaban Samiaji.
Sebagian lagi
seperti
mengernyitkan dahi, mencoba berpikir dan mengurai makna jawaban yang disampaikan Samiaji. Pitoyo, 2010: 120
Sikap realistis dan kritis ditunjukkan oleh Yudhistira saat ditanya oleh Durna tentang manfaat keris baginya. Yudhistira
menjawab berdasarkan realita yang dia lihat selama ini, menganalisanya secara kritis dan memaparkan hasil dari
pikirannya kepada Durna. 41
“Bisa jadi apa yang terjadi pada kita saat ini adalah sebuah hadiah,” jawab Yudhistira sambil makan umbi-umbian yang
menjadi bekal mereka. “Maksud Kakang?” tanya Drupadi.
Sejenak, Yudhistira diam, kemudian mengambil napas dan berkata perlahan setengah berbisik, “Suatu ketika mendiang
Rama Pandu pernah bercerita kepada saya, bahwa ada beberapa kemungkinan terhadap apa yang menimpa kita. Yang pertama,
apa yang terjadi ini adalah sebuah ujian, tapi ujian ini belum tentu sebuah kesusahan. Sang pencipta bisa memberi kita cobaan
dengan kelimpahan harta.” Pitoyo, 2010: 329 Di saat yang lain berpikir bahwa yang mereka alami adalah
suatu cobaan, Yudhistira mempunyai pemikiran yang lain. Nilai realistis dan kritis Yudhistira dapat dilihat dalam kutipan di atas.
Dia selalu belajar dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya, ditambah lagi dengan ajaran dari guru dan mendiang ayahnya
dulu. Semua hal itu membuat Yudhistira dapat melihat sesuatu hal dari sudut pandang yang berbeda dari yang lainnya.
3 Karna
42 “Maafkan ibumu, Ngger.” Kembali Kunti mengucap maaf
sambil kedua tangannya memegang sisi kiri dan kanan wajah Karna.
Karna menghela napas panjang sambil berkata, “Mungkin tidak mudah bagi saya untuk memaafkan Sibu, tapi itu tak kan pernah
mengurangi rasa hormat saya kepada panjenengan sebagai ibu
saya.” kembali Karna meraih tangan kanan Kunti dan mencium punggung telapak tangan Kunti untuk ketiga kalinya. “Maafkan
saya mohon diri, Sibu. Saya harus menyendiri. Biar nanti disiapkan tempat untuk panjenengan bisa beristirahat di istana
Awangga.” Pitoyo, 2010: 377 Nilai realistis dan kritis ditunjukkan Karna dalam
percakapannya dengan Kunti. Karna masih belum bisa menerima jika Kunti adalah Ibunya. Karna merasa marah dan masih tidak
terima atas perbuatan Kunti yang telah membuangnya dulu. Meskipun demikian, Karna sadar bahwa Kunti benar-benar ibu
kandungnya. Sebagai seorang kesatria, menghormati seorang ibu merupakan suatu kewajiban.
4 Dewi Kunti
43 “Saya tidak menyesali kehamilan ini, Bapa Resi,” kata Kunti
kemudian. Aneh. Tampak sebelumnya Kunti begitu lama menangis, tapi kali ini, dengan mata yang terlihat masih sembab,
kata-kata yang terdenngar dari mulutnya itu terasa begitu tegar, seperti tidak terjadi apa-apa. Kalimatnya datar, kemudian
lanj
utnya, “Saya hanya khawatir, Rama Basukunti sudah terlalu sepuh untuk hal-hal seperti ini. Saya khawatir kehamilan saya
ini akan menjadi pergunjingan dan bis amengurangi kewibawaan Rama Prabu Basukunti. Saya tidak takut orang
akan mencemooh saya. Saya akan merasa sangat iba bila saja Rama Prabu Basukunti akan menjadi rapuh karena goyah
wibawanya di hadapan orang senegeri karena masalah ini.” Tidak
terdengar sedikitpun
nada suara
Kunti yang
mengisyaratkan bahwa dia baru saja menangis. Pitoyo, 2010: 13
Nilai realistis dan kritis Dewi Kunti ditunjukkan saat dia menyikapi masalah kehamilannya di luar nikah. Dewi Kunti
tidak terlalu
merisaukan nasib
dirinya kelak
akibat kehamilannya itu. Dewi Kunti sadar jika anak yang
dikandungnya itu kelak akan menjadi seorang kesatria yang gagah perkasa dan sakti. Sebab, ayah dari anak yang
dikandungnya adalah salah satu bangsa dewa, Batara Surya. Yang menjadi kekhawatiran Dewi Kunti justru adalah ayahnya
sendiri, Prabu Basukunti.
5 Durna
44 “Apa, Ngger?” tanya Durna kemudian mencoba meminta
Duryudana agar tidak hanya mengemukakan pendapatnya kepada Karna, sang prajurit pengawal, tapi juga disampaikan
kepadanya. “Beliau sependapat seperti hamba, Kanjeng Resi.” Tiba-tiba,
justru Karna yang angkat bicara. Semua orang terkejut. Tidak biasanya seorang prajurit kepala berani berbicara di tengah para
kerabat raja. “Keris adalah sebuah senjata yang harus dimengerti dan dipahami seorang kesatria,” lanjut Karna.
“Hee” Tiba-tiba, Durna memotong bicara dengan nada tinggi. “Siapa kamu berani bicara di sini?” lanjut Durna. “Kamu boleh
dekat dan dipercaya Ngger Duryudana, tapi kamu lancang kalau berani duduk di situ dan angkat bicara Dari kemarin aku coba
tetap diam melihat kelakuanmu, prajurit yang sok menjadi kestria turuna raja Sekarang, menyingkirlah dari sana, kembali
ke tempatmu seharusnya sebagai seorang prajurit” Pitoyo, 2010: 123
Ketika mengajarkan ilmu olah kanuragan, Durna bertanya tentang apa itu manfaat keris kepada Duryudana. Karna, yang
saat itu berada di samping Duryudana, justru yang menjawab pertanyaan dari Durna. Nilai realistis dan kritis ditunjukkan
Durna di sini. Sebagai seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar Pandawa dan Kurawa, Durna tidak tinggal diam atas
hal yang dilakukan oleh Karna. Sebelumnya Durna membiarkan Karna berada di samping Duryudana sebab itu adalah keinginan
dari Duryudana. Namun, tetap saja Karna hanyalah seorang prajurit. Jika seorang prajurit lancing angkat bicara saat putra-
putra raja sedang belajar, menurut Durna itu hal yang tidak benar.
6 Kresna
45 “Kereta perang Madukara dan Awangga sama-sama hebat
karena dibuat oleh orang yang sama.” Terdengar kata Karna sedikit melunak. Madukara adalah wilayah kerajaan yang
dipimpin oleh Raden Arjuna. “Siapakah yang akan menjadi sais
perang Madukara, Kangmas…?” Sejenak, Kresna ragu untuk menjawab. “Saya yang akan
menjadi kereta sais kereta itu, Dimas,” jawab Kresna kemudian. “Kakang Kresna sendiri…?”
“Betul…” “Ke manakah sais yang biasa bertugas?”
“Bharatayuda adalah perang yang menentukan, Dimas. Saya hanya tidak ingin kakang demang sais kereta itu terbebani
selama hidupnya bila saja dia melakukan kesalahan.” Pitoyo, 2010: 384
Nilai realistis dan kritis Kresna ditunjukkan saat dia menyikapi masalah sais kereta bagi kereta perang Madukara.
Menurut Kresna, perang Bharatayuda adalah perang yang sangat menentukan. Melakukan kesalahan yang sedikit saja akan sangat
fatal akibatnya. Tentu saja, orang yang melakukan kesalahan dalam perang itu akan merasa sangat bersalah nantinya. Kresna
tidak ingin hal itu dialami oleh sais kereta yang sebenarnya,
sehingga Kresnalah nanti yang akan menjadi sais kereta perang Arjuna.
7 Duryudana
46 “Adi Karna, sampean yang maju ke depan, ikut adu memanah”
demikian kata Duryudana tiba-tiba. Semua Kurawa yang hadir terkejut. Termasuk Sengkuni, juga Karna sendiri
Duryudana terkadang memang sangat memperhatikan Karna. Satu hal yang membuat Duryudana penasaran adalah bagaimana
anak seorang kusir bisa begitu sakti. Dulu, Duryudana sering mendapati Karna sering mengintip Permadi berlatih memanah.
Karna, tentu saja tidak bisa ikut berlatih olah kanuragan bersama Guru Durna, karena dia hanyalah anak seorang kusir punggawa
istana. Tapi, Karna memang luar biasa Hanya dengan mengintip dan mencuri-curi kesempatan memperhatikan Arjuna
berlatih, dia mampu menirukan apa yang dilakukan Arjuna. Dan, sejak Karna menghilang selama lebih dari dua warsa,
walaupun belum pernah diperlihatkan sampai seberapa tinggi kesaktiannya kini, tapi Duryudana seperti bisa merasakan bahwa
Karna sekarang sudah semakin jauh lebih sakti disbanding ketika terakhir kali mencuri ilmu dari Durna dan diusir dari
Hastinapura. Pitoyo, 2010: 173
Nilai realistis dan kritis Duryudana ditunjukkan dalam kutipan di atas. Duryudana dapat melihat potensi yang dimiliki
Karna dalam hal memanah. Hal yang sangat mengherankan sebab Karna hanyalah seorang anak kusir istana. Hal itulah yang
membuat Duryudana yakin jika Karna bukanlah orang sembarangan. Berawal dari itulah, Karna menjadi orang
kepercayaan Duryudana. Seperti dalam kutipan di atas, Duryudana menunjuk Karna sebagai wakil dari Kurawa saat adu
memanah dalam sayembara Drupadi.
8 Rama Bargawa
47 “Siapa kamu, Orang tua?” Tanya Karna setengah menghardik.
“Sabar, sabar, Raden…” “Aku bukan kesatria Aku hanya pemuda desa. Jangan panggil
aku Raden” belum juga orang berbusana resi itu melanjutkan kata-katanya, Karna sudah memotong bicaranya dengan nada
tinggi.
“Siapa bilang kamu bukanlah seorang kesatria?” Tanya resi itu. “Kalau kamu pemuda desa biasa, bagaimana bapakmu mampu
membelikan anting- anting mahal itu?” lanjutnya. Pitoyo, 2010:
147 Nilai realistis dan kritis Rama Bargawa ditunjukkan dalam
kutipan di atas. Saat Karna menganggap bahwa dia bukanlah seorang kesatria, Rama Bargawa justru mengatakan hal yang
sebaliknya. Dari pengalaman dan kesaktian yang dia miliki, Rama Bargawa tahu bahwa Karna adalah seorang kesatria. Hal
itu bisa terlihat dari anting-anting dan baju yang Karna pakai. Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Karna selama ini. Dari
pernyataan Rama Bargawa inilah, Karna sedikit-sedikit akan mulai tahu tentang jati dirinya.
9 Bambang Ekalaya
48 Ekalaya menarik napas panjang, “Belum, Yayi, belum. Tahukah
kamu seperti apa makhluk penghuni Atasangin di utara sana? Bohong kalau mereka tidak berani menginjakkan kaki ke
Paranggelung karena takut denganku. Mereka tidak mampu memanjat tebing ke sini juga hanya sekedar dongeng pelipur
lara, karena pada kenyataannya, banyak dari mereka yang mampu t
erbang menapak langit.” Sejenak berhenti, perlahan melepaskan tangan Anggraeni yang melingkar di lengannya, dan
dengan wajah serius menatap istrinya itu. “Mereka belum tertarik ke sini karena kebanyakan dari makhluk itu lebih suka
ke timur, mendengar bumi wayang sisi timur yang makmur dan maju. Di sana, alam juga lebih bersahabat dan nyaman untuk
ditinggali. Tapi saya yakin, suatu saat nanti, ada juga dari mereka yang memilih untuk menjajah ke barat atau ke selatan.
Dan, bila itu terjadi, negeri kita pasti musnah, Yayi. Tak ada seorang pun kesatria di sini yang mampu melawan mereka.”
Pitoyo, 2010: 130
Saat itu, negeri Paranggelung berada dalam ancaman dari serangan bangsa raksasa. Sebagai raja di negeri Paranggelung,
Bambang Ekalaya merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan negerinya. Oleh karena itu, Ekalaya hendak
berguru kepada Durna agar dapat melindungi negerinya kelak bila bangsa raksasa menyerang. Meski istrinya, Dewi
Anggraeni, menganggap bahwa kesaktian Ekalaya sudah cukup, Bambang Ekalaya berpikiran yang sebaliknya.
Nilai realistis dan kritis Bambang Ekalaya ditunjukkan dalam kutipan di atas. Bambang Ekalaya sadar bahwa alasan
bangsa raksasa belum menyerang negerinya bukan karena takut pada kesaktiannya. Ada hal-hal lain yang membuat mereka
belum menyerang negerinya. Bambang Ekalaya juga yakin jika suatu saat mereka akan menyerang negeri Paranggelung. Oleh
karena itu, sebelum mereka datang menyerang, Bambang Ekalaya harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan olah
kanuragannya.
108