Latar HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
6 Jonggring Saloka
Tempat tinggal para bangsa dewa. Berikut ini kutipannya: 7
Seperti tak tampak tempat berpijak di sana. Hanya hamparan kabut atau mungkin lebih mirip awan putih karena lebih pekat daripada
kabut. Lunak dan menyejukkan bila diraba. Tapi, di bawahnya seperti terdapat sebuah daratan keras yang melayang di atas langit,
sehingga semua orang dan bangunan bisa dengan kokoh berdiri di atas negeri awan itu. Pitoyo, 2010: 266
8 Di hamparan awan luas itu terdapat ribuan kubah-kubah bangunan
yang dibuat dengan elok dan detail ornament ukiran yang luar biasa indah. Terdapat kumpulan bangunan besar di sana sebagai
pusat kerajaan di awan itu. Dengan bangunan-bangunan berbentuk kumpulan kubah-kubah besar menjulang tinggi. Inilah yang disebut
sebagai kerajaan kahyangan. Kerajaan bernama Jonggring Saloka, tempat sebagian besar para dewa hidup dan bersemayam. Pitoyo,
2010: 267
7 Ayodya
Tempat Arjuna dan Karna secara tidak sengaja bertemu karena keduanya sama-sama mengemban tugas untuk mengambil prasasti
yang ada di tempat itu. Berikut kutipannya: 9
Sebuah negeri yang kini terasing berada di selatan dunia wayang. Dulu sekali negeri ini sempat menjadi sebuah daratan yang
terpisahkan dari daratan utama dunia wayang. Dulu sekali pernah menjadi sebuah negeri yang melegenda di masa kejayaan seorang
raja besar bernama Prabu rama. Adalah negeri bernama Ayodya. Negeri yang dulu pernah elok dan maju peradabannya itu kini
terasa sepi ditinggal oleh para penduduknya. Pitoyo, 2010: 302
8 Kerajaan Wirata
Tempat Pandawa mengasingkan diri selama tiga belas tahun akibat kelicikan dari Sengkuni. Berikut kutipannya:
10 Beberapa warsa berselang, di sebuah pendapa istana yang tidak
begitu luas terlihat perhelatan sederhana diadakan di sebuah keratin raja negeri pesisir di wilayah utara dunia wayang. Adalah negeri
Wirata, negeri yang sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah nelayan pencari ikan. Perhelatan sederhana di mana tampak
kerabat istana duduk menghadap sebuah pertunjukkan tari. Pitoyo, 2010: 337
9 Hutan Bajubarat
Tempat di mana Arjuna dan Karna sama-sama mendapat tugas untuk membangunkan Kresna yang sedang mengubah dirinya menjadi
Brahalasewu. Berikut kutipannya: 11
Hutan itu begitu lebat. Sungguh hutan yang tidak biasa. Berada di wilayah perbatasan utara negeri Dwarawati. Hutanyang begitu
luas yang tak pernah dijamah oleh bangsa manusia. Didalam hutan ini pula terdapat gua tegak, semacam sumur raksasa yang bernama
jalatunda, salah satu jalan utama menuju negeri dasar bumi. Daerah utara hutan ini berbatasan dengan negeri Amarta. Itulah mengapa
sisa-sisa bangsa raksasa liar dan bangsa tak kasat mata yang tersingkir dari bekas Hutan Wanamarta itu, berbondong kini
menghuni hutan angker Bajubarat ini. Pitoyo, 2010: 354
2. Latar sosial
Peneliti menemukan enam latar sosial yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini. Latar sosial tersebut yaitu
kebiasaan melarung bayi di sungai, pemakaian sebutan panjenengan, kebiasaan menyabung ayam, pemakaian sebutan penggede, pemakaian
sebutan ngger, dan pemakaian kata ndak. 1
Kebiasaan melarung bayi di sungai. Dalam dunia wayang, ada kebiasaan bila seorang perempuan belum
menikah melahirkan bayi, bayi tersebut akan dilarung di sungai. Berikut ini kutipannya:
1 Di dunia wayang, terutama di daerah-daerah tepi aliran sungai, ada
kebiasaan, bila saja ada perempuan belum menikah melahirkan bayi, maka diam-diam, setelah sang bayi lahir, si bayi akan
didandani, disiapkan bekal, ditaruh di atas perahu sederhana, dan dilarung di sungai. Kebiasaan ini sebenarnya tidak dimaksudkan
untuk benar-benar membuang jabang bayi. Sebab, pada
kenyataannya, biasanya si bayi dilarung menjelang tempat-tempat yang banyak orang melakukan kegiatan, sehingga dengan segera
ditemukan oleh orang lain, dan dipelihara layaknya seorang anak. Pitoyo, 2010: 21
2 Pemakaian kata sapaan panjenengan
Di dunia wayang ada kebiasaan memanggil orang yang dihormati dengan kata sapaan panjenengan. Berikut ini beberapa kutipannya:
2 “Sembah hamba kepada Anda, Prabu Raja,” demikian Kunti
membuka sapa kepada Pandu, setelah berhenti kira-kira tiga tombak di depan Pandu. “Sungguh suatu kehormatan hamba dan
negeri Mandura bila Prabu raja berkenan menerima kerelaan saya menjadi permaisuri panjenengan
.” Kunti, walaupun dalam berkata- kata bernada halus seperti layaknya seorang putrid, tapi selalu
tegas dalam mengambil kalimat. Pitoyo, 2010: 57 3
“Sulit bagi saya untuk menerima Raden lebih lama lagi untuk tinggal di sini bila panjenengan menepis harapan putrid saya satu-
satunya,” lanjut Manikara. Pitoyo, 2010: 221 4
“Salah Saya tak pernah merasa memusuhi panjenengan dan sedulur Kurawa” “Setelah tiga belas warsa terusir?” tanya Karna.
“Kami tetap tidak membenci. Kami hanya merasa panjenengan semua adalah saudara-saudara semua yang belum mengerti arti
menjadi seorang kesatria utama.” Karna tampak diam. Wajahnya terlihat berpikir. Dia hanya memandang Arjuna, dan siaga ketika
Arjuna melompat mendekat. Pitoyo, 2010: 358
3 Kebiasaan menyabung ayam
Di dunia wayang, ada kebiasaan adu jago dengan cara menyabung ayam. Berikut kutipannya:
5 Tapi, tidak seperti biasanya di dunia wayang, di mana kegiatan adu
jago dilakukan dengan cara menyabung ayam antara dua kelompok. Kelompok satu menyiapkan ayam jago yang menjadi
andalannya, sementara kelompok lainnya juga menyiapkan ayam sejenis. Kemudian, keduanya ditarungkan. Sang pemenang akan
mendapat hadiah yang disepakati bersama. Biasanya, hal ini dilakukan dengan taruhan. Pitoyo, 2010: 75
4 Pemakaian sebutan penggede
Di dunia wayang, kata penggede digunakan oleh rakyat kecil untuk sebutan bagi para kerabat kerajaan ataupun petinggi-petinggi istana.
Berikut kutipannya: 6
“Lha, anaknya penggede kok ya ditelantarkan,” potong si perempuan itu, yang tak lain adalah istri Radeya, yang banyak
dipanggil oleh tetangga-tetangganya dengan sebutan Nyi Radha. Pitoyo, 2010: 34
5 Pemakaian sebutan ngger
Panggilan ngger mengesankan bahwa si anak memiliki derajat lebih tinggi atau memiliki kedudukan yang istimewa bagi yang
memanggil. Berikut kutipannya: 7
“Aku juga tidak tahu, Nyi. Sudahlah, terima saja anak ini apa adanya. Mungkin ini sudah menjadi jalan hidup kita, Nyi, tidak
diberi anak kandung, tapi dititipi anak ini. Kita harus terima dia apa adanya. Mungkin itu sudah menjadi takdir kita.” Sejenak,
Radeya mengambil napas, kemudian melanjutkan, “Biarkan baju perak dan anting-anting itu selalu dipakai Ngger
Karna.” Pitoyo, 2010: 34
8 “Sarapan dulu, Ngger…” terdengar Adirata berucap.
9 “Kapan kamu pulang, Ngger?” Terdengar Adirata mencoba
berteriak kepada Karna yang saat itu sudah menghela kudanya melangkah ke utara. Tapi, teriakan Adirata seperti hanya sampai
tenggorokan. Suaranya seperrti tertahan oleh keprihatinan yang dalam. Adirata tersadar ketika melihat Karna sudah terlalu jauh.
Tiba-tiba suasana berubah menjadi gelap. Mendung begitu tebal di atas sana. Pitoyo, 2010: 94
6 Pemakaian kata ndak
Kata ndak dalam bahasa Jawa mempunyai arti “tidak”. Berikut
kutipannya: 10
Sementara, sang kesatria sesumbar tak lain adalah putra mahkota Kerajaan Mandura bernama Raden Basudewa. “Ayo Mulailah hai
Pemuda Sudah puluhan kesatria kukalahkan hari ini, tambah satu lagi tidaklah mengapa, paling juga ndak
lama” Pitoyo, 2010: 40 11
“Kantong Bolong?” “Ya Sebab, aku ndak pernah bawa apa-apa ke mana-mana,
hehehe. Yang selalu ku bawa adalah hati dan pikiranku, hehehe…,” jawab Petruk. Pitoyo, 2010: 50
12 “Bocah haram Ya si Gorawangsa itu bapakmu” Suara
Basudewa terdengar semakin meninggi. Ugrasena yang dengan waspada berdiri di sebelah Basudewa, memegang dada Basudewa,
berusaha mene nangkannya. “Ndak mungkin aku punya anak jelek
seperti kamu. Orang bodoh saja langsung tahu. Ndak mungkin kamu anakku” teriak Basudewa. Pitoyo, 2010: 79
3. Latar waktu
Latar waktu yang peneliti analisa dalam penelitian ini adalah waktu saat terjadinya perang Bharatayuda. Latar waktu ini bermula dari
dimulainya perang Bharatayuda hingga terbunuhnya Karna dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. Berikut ini kutipannya:
1 Dan, perang besar itu akhirnya harus terjadi.perang besar antara
dua saudara. Mereka menamai perang itu Bharatayuda. Perang antara Pandawa dan Kurawa. Tawaran Pandawa, sebagai saudara
yang lebih berhak atas tahta Hastinapura, berupa separuh wilayah Hastinapura kepada Kurawa, justru dibalas dengan tantangan
perang dari Duryudana, sebagai sulung Kurawa. Perang besar yang mereka sepakati terjadi di wilayan Kurusetra.
Sebuah padang tandus luas yang membentang memanjang utara selatan, diapit oleh perbatasan negeri Hastinapura sebelah timur,
dan negeri Amarta di sisi barat. Matahari baru saja terbit di hari pertama perang besar itu. Dari
pihak Pandawa di sisi utara, terlihat sekali gelar perang yang mereka terapkan adalah gelar perang bernama Sapit Urang. Sebuah
gelar perang yang disebut demikian sebab memang terlihat seperti seekor udang besar yang merayap, di tengah tanah tandus
Kurusetra itu.terbentuk atas barisan puluhan ribu prajurit di pihak Pandawa. Puluhan prajurit yang terdiri dari berbagai negeri.
Pitoyo, 2010: 394
2 Sementara itu di hari berikutnya, hari ketujuh puluh Sembilan
perang itu, Karna sang panglima Kurawa dan Arjuna, sang panglima pihak Pandawa, masih juga terlalu jauh untuk
berhadapan. Tapi, mereka berangsur saling mendekat. Benturan
yang pertama kali terjadi di situ adalah pasukan pengawal kedua pihak pimpinan perang itu. Dan, hari itu sungguh luar biasa
Diguyur hujan yang belum juga berhenti, terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan pengawal. Ratusan prajurit yang
mengawal kereta Karna dipimpin oleh Adimanggala, Patih Awangga. Sedangkan kereta Arjuna dikawal ratusan prajurit yang
dipimpin oleh Jayasemedi, patih dari negeri Plangkawati, wilayah negeri mendiang Abimanyu. Pitoyo, 2010: 416
3 Sepasang ular berkepala naga ini melompat dan bermaksud
menyambar Arjuna. Namun, sigap Arjuna menghunus keris Pulanggeni dan membabat putus kedua kepala ular berbentuk naga
itu Bersamaan dengan kuda-kuda kereta Awangga yang terkejut akan adanya ular yang meloncat, seketika itu kereta Awangga
tersentak, membuat Salya sempat hampir terjerembab ke belakang.
Dan Karna…Sebenarnya, dia telah benar-benar mati sejak tadi. Kereta yang tersentak membuatnya jatuh terlempar ke belakang
Tubuhnya terjerembab ke tanah basah Petir menyambar di atas sana semakin menggila dan hujan semakin deras saja.
Rupanya, suara yang muncul mirip suara Karna adalah suara pusaka Kyai Jalak yang berusaha mengecoh Arjuna. Dan, kedua
ular itu adalah peliharaan Batara Surya, yang ternyata selama ini mengawal Karna dari sejak bayi hingga ajal. Kedua ular bernama
Ardawalika dan Nagakembang. Pitoyo, 2010: 422