86
D. Pembahasan 1. Pengalaman Pernikahan
a. Awal Pernikahan 1 Pernikahan tidak semanis masa pacaran
Masa-masa sebelum kasus dialami berbeda oleh setiap pasangan. TN dan SA memiliki pengalaman yang sama, yaitu
menikah pada usia yang masih sangat muda, TN ketika 19 tahun karena hamil di luar nikah dan SA di usia 17 tahun karena mentaati
aturan lingkungan desanya. TN yang terlalu muda selalu patuh tanpa perlawanan pada suaminya. Sementara itu, SA belum siap menikah
dan masih ingin bermain bersama teman sebayanya. Pernikahan muda ini sesuai dengan yang diungkapkan Papalia 2007 bahwa
pasangan yang menikah di usia kurang dari dua puluhan memungkinkan untuk memiliki kepuasan pernikahan yang rendah.
Waite dalam Santrock 2012 menyebutkan bahwa pernikahan yang terjadi di masa remaja memiliki kemungkinan besar bercerai
dibandingkan pernikahan ketika dewasa. Usia 17 dan 19 tahun termasuk dalam tahap perkembangan remaja akhir dengan tugas
perkembangan adalah penemuan jati diri, bukan menjalin relasi intim Erikson dalam Santrock, 2002.
TN dan SA menganggap masa pacaran sangat menyenangkan karena sering bersama dan berjalan-jalan. Berjalan-jalan sebagai
aktivitas bersama adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
87
kepuasan pernikahan Ayub, 2010; Spanier Lewis dalam Wardani, 2013. Ketika menikah, kegiatan tersebut tidak dilakukan sehingga
TN dan SA kecewa dan menyesal menikah. Penyesalan juga dikarenakan perilaku buruk suami, seperti mabuk, sering pulang
malam, dan berselingkuh. Penilaian buruk terhadap perilaku pasangan mempengaruhi ketidakpuasan pernikahan APA dalam
Wismanto, 2004; Ayub, 2010; Spanier Lewis dalam Wardani, 2013. Perilaku minum alkohol suami disebutkan dalam Dethier dkk
2011 mengakibatkan
kepuasan pernikahan
yang rendah
dibandingkan dengan pasangan yang sehat.
2 Keinginan bercerai karena perselingkuhan suami
Suami TN dan SA pernah berselingkuh ketika awal pernikahan. Papalia 2014 menyebutkan bahwa kebahagiaan
pernikahan berkaitan secara negatif dengan perilaku berselingkuh. Gottman dalam Santrock, 2012 menuturkan bahwa lebih dari 90
pernikahan yang memiliki sejarah pernikahan yang positif, cenderung memiliki masa depan pernikahan yang positif. Biarpun
TN dan SA ingin bercerai karena perselingkuhan tersebut, TN dan SA mengurungkan niatnya karena memprioritaskan kondisi anak
untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga. Walaupun alasan anak sebagai penghalang perceraian berkaitan dengan kurangnya
kebahagiaan dalam pernikahan dibandingkan pasangan yang bertahan karena penghargaan, seperti cinta dan lain-lain Prevetiti
88
Amato dalam Papalia, 2014. Perselingkuhan suami tidak terjadi pada SH. Menurut SH, pernikahan lebih menyenangkan daripada
pacaran.
b. Proses Peradilan Suami 1 Perasaan tidak berdaya dan sakit hati
Ketika masa peradilan, ketiga informan tidak berdaya. TN tidak berdaya karena ingin menemani suami pada proses peradilan,
namun tidak diizinkan oleh pengacara demi keselamatan TN. SH yang selalu hadir pada proses peradilan merasa tidak berdaya karena
segala usahanya sia-sia untuk melepaskan suami dari hukuman penjara. Perasaan tidak berdaya ini sejalan dengan penelitian
Braman 2002 tentang perasaan tidak berdaya pasangan narapidana. Berbeda dengan SA yang tidak berdaya dan tidak ingin menemani
suami karena merasa hukuman kurungan pantas diberikan pada suami.
Ketiga informan merasa sakit hati. TN dan SA sakit hati karena kasus suami adalah kasus perselingkuhan. SH sakit hati
karena kasus suami menunjukkan ketidakjujuran suami mengenai mantan pacar. Hilin 2013 mengemukakan bahwa keterbukaan
suami pada istri mengenai kesulitannya meningkatkan kepuasan pernikahan istri.
Proses peradilan memerlukan banyak biaya, seperti biaya pengacara dan keperluan administrasi. Ketiga informan tidak
89
menanggung biaya secara keseluruhan. Biaya peradilan suami TN ditanggung oleh pemerintahan daerah tempat tinggal TN. Suami SH
dipenuhi biayanya oleh ayah SH, teman-teman sekerja suami, dan penjualan barang-barang milik SH dan suami. Biaya peradilan suami
SA juga ditanggung oleh mertua. Penanggungan biaya di LAPAS ini berbalik dengan kesulitan pembiayaan suami di LAPAS yang
mungkin dialami pasangan narapidana Girshick, 2005. SH tidak terbebani dengan pembiayaan suami ketika berkunjung, berbeda
dengan TN yang terbebani pengeluaran untuk berkunjung. TN mengungkapkan bahwa suaminya tidak mengerti usaha TN yang
bekerja mencari uang. Suami TN sering menuntut untuk mendapatkan yang diinginkannya. Tuntutan ini sejalan dengan yang
dipaparkan Girshick 2005 bahwa suami mungkin tidak simpati pada istri yang tertekan untuk memenuhi kebutuhan.
2 Kepedulian dan perasaan kesepian
TN dan SH merasa kesepian ketika masa proses peradilan. Kebiasaan bersama hilang karena hidup terpisah dengan suami yang
tinggal di LAPAS. Kesepian adalah perasaan yang dirasakan oleh istri narapidana Lowenstein, 1984. SA tidak mengalami kesepian
karena terbiasa tidak hidup bersama sejak awal menikah. Kesepian membuat TN dan SH peduli pada suami. Walaupun
TN tidak menemani suami dalam proses persidangan, TN memantau perkembangan sidang melalui berita acara. Kepeduliaan SH
90
ditunjukkan dengan kehadirannya dalam setiap proses peradilan untuk mendampingi suami, sekalipun sedih dan malu.
3 Pandangan positif terhadap kasus
Ketiga informan melihat kasus suami dari sisi positif. TN menganggap kasus adalah cara agar dirinya dekat pada Tuhan, SH
menganggap kasus adalah cobaan untuk mendewasakan diri, dan SA berharap sesuatu yang baik terjadi setelah hal yang kasus. Pandangan
positif dalam melihat suatu hal adalah salah satu faktor kepuasan pernikahan APA dalam Wismanto, 2004; Ayub, 2010; Spanier
Lewis dalam Wardani, 2013.
c. Dua Tahun Setelah Suami Menjadi Narapidana 1 Perasaan ragu menentukan kelanjutan pernikahan
TN dan SA ragu menentukan kelanjutan pernikahannya bersama suami. Keraguan TN disebabkan karena ketakutan suami
yang mungkin tetap berperilaku buruknya dan tidak membebaskan TN dalam berpenampilan dan bersosialisasi dengan lingkungan. SA
ragu karena mengkhawatirkan keadaan psikologis anak dengan status tanpa ayah dan tidak rela membagi anak jika bercerai. Anak
pertama SA tidak ingin bersama ayahnya, sedangkan anak kedua yang tidak dapat menggerakkan bagian kanan tubuhnya mungkin
ditelantarkan oleh suami.
91
2 Keinginan untuk mempertahankan pernikahan
Keraguan informan didukung keinginan untuk tetap bersama. Ketiga informan mengakui bahwa kondisi anak adalah alasan untuk
tetap bertahan sebagai bentuk tanggung jawab mempertahankan keutuhan
rumah tangga.
Keluarga mendukung
untuk mempertahankan pernikahan, seperti SA yang didukung adik-
adiknya bertahan demi anak-anak. Mertua juga berperan dalam mempertahankan pernikahan. Salah satu faktor yang mempengaruhi
kepuasan pernikahan adalah hubungan dengan mertua Ayub, 2010. Hubungan baik yang dijalin dengan mertua membuat informan segan
menceraikan suami. Keinginan bersama juga didukung harapan suami yang menjadi lebih baik. TN berharap suami setia, SH
berharap suami membiayai kehidupan selanjutnya dan tinggal di luar Yogyakarta, dan SA berharap suami mandiri dari orang tuanya.
3 Usaha untuk menjalin hubungan dengan suami
Keinginan untuk bersama tersebut didukung dengan usaha menjalin hubungan dengan suami. Usaha ini dilakukan oleh TN dan
SH yang masih menjalin komunikasi dengan suaminya. TN sering mendapatkan surat dari suami untuk berkomunikasi. Surat oleh
narapidana adalah salah satu cara untuk pasangan kembali jatuh cinta karena surat mengesankan penulis lebih romantis Comfort
dkk, 2005. Menurut penuturan TN, suami terkesan lebih romantis di surat dengan memanggil sayang untuk TN. Sedangkan SH