Jaringan Kerjasama Permasalahan Pengusaha Mikro Konveksi .1 Sumberdaya Manusia

51 akan dibahas mengenai investasi para pengusaha secara kuantitatif. Berdasarkan data-data hasil wawancara maka keuntungan para pengusaha yang menjadi responden dapat dilihat pada Tabel 16. Pada Tabel 16 terlihat bahwa untuk hasil pemasaran setiap minggu, pengusaha mendapatkan keuntungan dengan jumlah yang beragam dalam rentang Rp 390.000 – Rp 2.660.000 dengan catatan bahwa pemasaran produk berjalan lancar. Pada kenyataannya pemasaran produk tidak stabil atau mengalami fluktuasi sebagaimana telah dibahas dalam sub bab pemasaran. Rata-rata persentase keuntungan terhadap total biaya produksi untuk tiap pengusaha yang menjadi responden adalah 148,31 9 = 16,48 persen. Tabel 16 Perhitungan Pendapatan tiap Minggu 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 N o Kasus Hasil Penjualan Rp Total Bea Produksi Rp Keuntungan Rp Keuntungan Total Bea Produksi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3 Pengusaha 4 Pengusaha 5 Pengusaha 6 Pengusaha 7 Pengusaha 8 Pengusaha 9 8.820.000 12.600.000 12.300.000 25.000.000 8.400.000 25.200.000 5.100.000 4.200.000 22.250.000 7.014.000 11.400.000 10.980.000 22.340.000 6.000.000 24.000.000 4.710.000 3.340.000 20.400.000 1.806.000 1.200.000 1.320.000 2.660.000 2.400.000 1.200.000 390.000 860.000 1.850.000 25,75 10,53 12,02 11,91 40,00 5,00 8,28 25,75 9,07 Total 123.870.000 110.184.000 13.686.000 148,31

6.1.6 Jaringan Kerjasama

Jaringan kerja sama pengusaha mikro konveksi yang sudah berlangsung selama ini meliputi jaringan bahan baku, jaringan permodalan, jaringan pemasaran hanya melanjutkan jaringan yang sudah terbentuk sebelumnya. Umumnya jaringan tersebut sudah terbentuk pada saat permulaan usaha. Konveksi celana panjang pernah mempunyai jaringan bahan baku di tingkat lokal pada saat pabrik tekstil PT Texmaco Jaya Pemalang masih beroperasi dengan menjalin hubungan dengan pemilik DO di sekitar lokasi pabrik. Keuntungan dengan adanya jaringan tersebut adalah mendapatkan harga 52 yang lebih miring, juga dapat menghemat biaya transportasi karena jaraknya relatif dekat 16 km dari lokasi usaha dan sarana transportasi cukup memadai. Setelah PT Texmaco Jaya bangkrut. pengusaha konveksi celana panjang mencari jaringan bahan baku dari Jakarta, Bandung dan sebagian dari pasar Tegalgubug Cirebon. Di wilayah kabupaten Pemalang terdapat pasar kain yang cukup terkenal yaitu pasar Petarukan. Berdasarkan penuturan pengusaha konveksi. pedagang kain pasar Petarukan juga membeli kain dagangannya kulakan dari pasar Tegalgubug Cirebon. sehingga harga kain di pasar Petarukan sudah lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga di pasar Tegalgubug. Alasan itulah yang menyebabkan para pengusaha lebih memilih membeli kain dari pasar Tegalgubug Cirebon. Pengusaha konveksi celana kolor hanya membeli bahan baku dari pasar Tegalgubug karena di pasar lokal Petarukan tidak dijual jenis kain untuk celana kolor. Sampai sejauh ini para pengusaha belum menemukan tempat pembelian bahan baku celana kolor selain pasar Tegalgubug. Jaringan kerja sama pemasaran produk celana kolor tidak banyak berkembang karena selama ini pedagang Purbalingga, Tegal, Purwokerto datang ke dusun Serdadi kelurahan Purwoharjo untuk membeli produk mereka. Ada satu orang saja yang menjual produknya ke luar kota dengan diantar ke tempat pedagang langganannya dengan pembayaran tunai ke Semarang. Selebihnya mengirim produk mereka melalui jasa paket. Untuk pemasaran celana kolor yang dikirim melalui paket, pembayarannya dilakukan secara mundur 1-2 bulan. Ongkos kirim ditanggung pengusaha sendiri dimasukkan dalam biaya produksi. Penambahan jaringan pemasaran sulit untuk dilaksanakan, seperti yang pernah dicoba oleh salah seorang pengusaha untuk menawarkan produknya ke toko-toko pakaian. Toko-toko mau menerima asalkan bisa dibayar mundur dengan cek atau giro, mereka tidak bisa melayani pembayaran tunai. Jadi untuk menambah jaringan pemasaran diperlukan tambahan modal agar selama produk belum dibayar, masih tetap dapat membeli bahan baku dan upah tenaga kerja. Produk celana panjang pemasarannya mengikuti sistem perdagangan yang sudah ada yaitu konsinyasi. Umumya menggunakan pola tiga DO delivery order dibayar satu DO. Artinya barang baru dibayar setelah dua pengiriman berikutnya. Menurut salah satu pengusaha celana panjang untuk pemasaran produk celana 53 panjang, pembayaran mundur satu bulan sudah dianggap tunai. Pola ini sangat merugikan para pengusaha konveksi. Apabila pengusaha konveksi menginginkan pembayaran tunai maka harganya akan dipotong 10 persen. Perluasan jaringan pemasaran masih mungkin dilakukan dengan sangat selektif. Salah seorang responden mengatakan bahwa sebelum menjalin jaringan pemasaran yang baru harus betul-betul meneliti track record si calon mitra untuk menghindari penipuan. Bentuk penipuan yang pernah dialami para pengusaha adalah cek kosong, pembayaran tidak lancar dan mitra yang pindah tempat usaha tanpa pemberitahuan dengan masih mempunyai tanggungan hutang pembayaran produk. Kasus terakhir pernah dialami salah seorang responden pada tahun 1998 sehingga yang bersangkutan mengalami kerugian sebesar Rp 80.000.000. Usaha yang ditempuh untuk menambah jaringan pemasaran celana kolor, pernah dicoba ditawarkan ke toko-toko di kota lain namun tidak ada yang melayani pembayaran tunai. Mereka bersedia menerima produk celana kolor asalkan dengan pembayaran mundur. Produk celana kolor mendapatkan saingan produk dari daerah Tegal dan Kudus yang dapat memproduksi celana kolor dengan harga yang lebih murah. Persaingan tersebut membuat pedagang semakin menekan harga sehingga keuntungan para pengusaha konveksi semakin kecil. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara kurangnya jaringan kerja sama dengan permodalan yang dimiliki oleh para pengusaha.

6.2 Prioritas Permasalahan Pengusaha Mikro Konveksi

Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha mikro konveksi, ditetapkan prioritas permasalahan yang akan diselesaikan. Permasalahan-permasalahan tersebut saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan antar permasalahan hubungan sebab akibat pemberdayaan pengusaha mikro konveksi terlihat pada Gambar 2. Prioritas permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha mikro konveksi tersebut antara lain : 1 modal terbatas,2 pemasaran terbatas, dan 3 kapasitas SDM rendah. Prioritas masalah tersebut ditentukan dari hasil wawancara dan observasi yang dibawa