Sejarah Pattangan Pada Orang Simalungun

55

3.3. Sejarah Pattangan Pada Orang Simalungun

Pattangan merupakan fenomena yang menunjukkan kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa dan suatu suatu spesies tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. Hubungan ini diungkapkan sebagian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan khusus perkawinan di luar suku bangsa. Pattangan merupakan fenomena yang sangat beraneka ragam dan luas. Hal ini dapat dilukiskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan mistik atau ritual antara anggota-anggota kelompok sosial dan suatu jenis binatang atau tumbuhan. Di dalam pattangan, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu pattangan, lambang pattangan dan para anggota suku bangsa itu sendiri. Fenomena tersebut mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, seperti larangan membunuh atau makan daging binatang pattangan atau mengganggu tanaman pattangan Mariasuasai, 2010 : 54. Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku bangsa ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku bangsa ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga nama 56 keluarga tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun. Orang Batak menyebut suku bangsa ini sebagai suku bangsa Si Balungu dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka. Terdapat berbagai sumber mengenai asal-usul Suku bangsa Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku bangsa Simalungun berasal dari luar Indonesia, kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang Damanik, 1987, Gelombang pertama Simalungun Proto , diperkirakan datang dari Nagore India Selatan dan pegunungan Assam India Timur di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. Gelombang kedua Simalungun Deutero, datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku bangsa asli Simalungun. Pada gelombang Proto Simalungun, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Kemudian mereka didesak oleh suku bangsa setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir. Pustaha Parpandanan Na Bolag pustaka Simalungun kuno mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag cikal bakal daerah Simalungun merupakan kerajaan tertua di Sumatera 57 Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu pesisir Selat Malaka hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. Salah satu kepercayaan asli yang masih mempunyai masyarakat pendukung di daerah Sumatera diantaranya adalah kepercayaan Habonaron Do Bona 10 . Pendukung ajaran Habonaron Do Bona pada umumnya adalah masyarakat Simalungun yang juga dikenal dengan Halak Timur. Masyarakat Simalungun merupakan salah satu dari enam subsuku bangsa Batak yang secara geografis mendiami daerah induk Simalungun. Ajaran Habonaron Do Bona bersatu padu dengan adat budaya Simalungun atau Adat Timur, sebagai tata tuntunan laku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai luhur dalam kepercayaan Habonaron Do Bona terkandung dalam ajarannya, seperti ajaran tentang: Ketuhanan, manusia, alam serta ajaran-ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta. Ajaran tentang Tuhan, Manusia dan Alam menurut kepercayaan Habonaron Do Bona, Tuhan Yang Maha Esa adalah awal dari segala sesuatu yang ada. Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Naibata. Naibata adalah satu 10 Habonaron Do Bona adalah sebuah filosofi hidup masyarakat Simalungun yang artinya adalah dasar dari segala sesuatu yaitu mereka menganut aliran pemikiran dan kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran, sehingga baik bagi semua pihak, di mana mereka dituntut senantiasa harus menjaga kejujurannya di hadapan semua manusia 58 sada dan Maha Kuasa Namar KuasaNamar Huasa. Karena Naibata adalah awal dari segala sesuatu yang ada, maka dunia beserta seluruh isinya adalah ciptaan-Nya. Sebagai Sang Pencipta, Naibata juga menjadi pembimbing, pemelihara dan penyelamat bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Masyarakat pendukung kepercayaan Habonaron Do Bona menghormati leluhur yang disebut Simagot, Begu Jabu, Tua-Tua atau Bitara Guru. Menurut Habonaron Do Bona, leluhur adalah penghubung untuk menyampaikan titah Tuhan Yang Maha Esa kepada orang-orang tertentu yang berlangsung secara manunggal terhadap keturunan yang disukainya. Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaan- Nya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh leluhur dan kepada keramat-keramat maupun kepada hewan dan tumbuhan. Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti: Namar Huasa Tuhan Yang Maha Kuasa, Namam Botoh atau Ne Pentar Tuhan Yang Tau, Penolong Tuhan Maha Pengasih, Pangarak-arak Tuhan Maha Penuntun, Bona Habonaron Tuhan Sumber Kebenaran dan masih banyak sebutan lainnya. Kemudian ajaran Habonaron Do Bona tentang manusia mengatakan bahwa manusia adalah diciptakan oleh Tuhan yang terdiri dari laki-laki dalahi dan perempuan daborunaboru. Selanjutnya ajaran Habonaron Do Bona tentang alam mengatakan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan baik itu 59 bencana, tumbuhan, hewan. Dalam alam ini penuh dengan kekuatan-kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa maupun dari arwah leluhur. Bencana Banjir halonglongan, gampa bumi sohul-sohul, angin ribut aliogo doras, petir porhas, kegagalan panen, wabah penyakit, hewan sebagai penolong, hewan dapat memberikan keberkahan dan bahkan tidak mendapat keturunan pun adalah merupakan perwujudan dari kekuatan gaib Tuhan dan leluhur, yang diperkenakan kepada alam dan manusia. Jauh sebelum Habonaron Do Bona di Simalungun sudah terdapat kepercayaan totemisme. Suku bangsa di Simalungun percaya terhadap hewan sebagai salah satu yang dapat membantu mereka di dalam kehidupannya. Ada kepercayaan khusus terhadap hewan dan suku bangsa Simalungun percaya bahwa hewan tersebut adalah titisan dari Pencipta bumi ini. Hewan ini banyak ragamnya, di dalam setiap marga memiliki hewan tersendiri. Dari kepercayaan ini lah suku bangsa Simalungun terbantu dengan kehidupan yang mereka jalani. Kepercayaan mereka tersebut telah menjadi satu acuan dalam mereka melangsungkan kehidupan mereka. Disaat mereka membutuhkan suatu pertolongan, mereka langsung mencari hewan tersebut dan meminta tolong. Bahkan di antara mereka ada yang memilihara hewan serta memberikan makan juga. Suku bangsa Simalungun memperlakukan hewan tersebut sama 60 seperti dirinya. Hewan tersebut di beri makan, di rawat agar tetap hidup dengan baik. Bahkan dari suku bangsa Simalungun sendiri tidak jarang beranggapan bahwa mereka berasal dari jelmaan hewan. Biasanya mereka menganggap bahwa hewan tersebut adalah nenek moyang mereka. Mereka dahulunya adalah jelmaan dari hewan sehingga saat ini mereka juga di bantu oleh hewan untuk bertahan hidup. Jika di telaah lebih dalam, sebenarnya totemisme merupakan sistem kepercayan pada zaman pra sejarah. Suku bangsa Simalungun beranggapan bahwa hewan juga memiliki roh, hal itu disebabkan karena ada hewan yang lebih kuat dari manusia seperti harimau dan ada juga yang lebih cepat dari manusia. Banyak hewan yang memiliki kelebihan dibandingkan manusia sehingga ada perasaan takut atau juga menghargai binatang tersebut. Tidak jarang hewan tersebut membantu suku bangsa Simalungun. Dengan demikian, hubungan antara manusia dengan hewan dapat berupa hubungan permusuhan atau hubungan baik, hubungan persahabatan, bahkan hubungan keturunan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaan- Nya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh leluhur dan kepada keramat-keramat. Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti; Namar Huasa Tuhan Yang Maha Kuasa, Namam Botoh atau Ne Pentar Tuhan Yang Tau, 61 Pernolong Tuhan Maha Pengasih, Pangarak-arak Tuhan Maha Penuntun, Bona Habonaron Tuhan Sumber Kebenaran dan masih banyak sebutan lainnya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, mempunyai tugas dan kewajibannya, baik terhadap Tuhan, sesama maupun terhadap alam sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Upacara menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak terpisahkan dengan upacara-upacara ritual adat. Masyarakat Simalungun mengenal bermacam-macam upacara seperti: • Upacara dauh hidup. • Upacara membongkar tulang belulang. • Upacara pesta tuan Robu-robuHarja Tuan, yaitu upacara berdoa kepada Tuhan dan kepada leluhur untuk memulai suatu usaha seperti kegiatan pertanianbercocok tanam padi, agar memperoleh hasil yang memuaskan. • Upacara memasuki rumah baru. • Upacara menghormati roh leluhur pelindung desa mambere tambunanpagar parsakutuan. • Upacara menghormati roh suci penjaga desa. • Upacara menghormati keramat pelindung mambere simumbah. Tugas dan kewajiban manusia terhadap sesamanya menurut ajaran Habonaron Do Bona ada dalam bentuk perintah-perintah dan larangan- larangan. Apabila perintah dan larangan tersebut dipatuhi dapat menjadikan 62 ketenteraman dalam masyarakat. Perintah-perintah dan larangan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Menghormati orang tua dan orang lain sesuai dengan tata krama tutur hamat hubani urang tua oppa hasoman marihutkon turur. 2. Menghormati guru hormat hubani guruhormat hubani sibere ajar. 3. Membantu orang lain manappati. 4. Tidak boleh membunuh sesama manusia, termasuk mengugurkan kandungan. 5. Tidak boleh kimpoi semarga ulang marboto-boto. 6. Tidak boleh membuat orang lain meneteskan air mata sampai “berwarna kuning” ulang iaben manetek iluhni halak magorsing. 7. Tidak boleh meminta-minta ulang tedek-tedek. 8. Tidak boleh menyusahkan orang lain ulang manusahi. 9. Tidak boleh berbohong ulang marguak. 10. Tidak boleh memaki orang lain ulang manurai. 11. Tidak boleh membungakan uang ulang makhilang. 12. Tidak boleh menipu dan mengkhianatai orang lain ulang magoto otoiulang mangkhianat. Tugas dan kewajiban manusia terhadap dan menurut ajaran Habonaron Do Bona ialah bahwa manusia tidak boleh membunuh tumbuhan dan hewan liar secara sembarangan karena perbuatan ini dapat merusak alam ulang 63 massedai. Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berhubungan dengan alam, misalnya dalam berbagai upacara yang dilakukan dalam kegiatan pertanian, dimaksudkan agar alam bersahabat dengan manusia dan memberikan hasil yang memuaskan. Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah robu buang boro mendoakan agar padi jangan diserang hama, membere eme mendoakan saat padi sedang bunting, memutik mendoakan saat padi sudah menguning, menutup panjang mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu tempat dan menutup hobon mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen telah terkumpul. Di samping mempunyai tugas dan kewajiban terhadap Tuhan, manusia juga memiliki tugas dan kewajiban terhadap dirinya sendiri, seperti jujur terhadap diri sendiri, harus ahu malu dan harus tahu diri. Sistem kepercayaan telah berkembang pada masa manusia purba. Mereka menyadari bahwa ada kekuatan lain di luar mereka. Oleh sebeb itu mereka berusaha mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut dan kepercayaan tersebut salah satunya adalah pattangan. 64

BAB IV PATTANGAN DAN FUNGSINYA

4.1. Kepercayaan Pattangan Marga Besar Simalungun di Saribudolok 4.1.1. Kepercayaan Marga Damanik terhadap Pattangan Pattangan merupakan sesuatu larangan untuk memakan, memelihara, menikah dan sebagainya. Salah satu dari pattangan tersebut yaitu pattangan terhadap hewan, baik membunuh, memakan, dan memelihara. Pada zaman dulu saat manusia belum memiliki agama, manusia memiliki pandangan di dalam kepercayaan. Di dalam penelitian ini, peneliti akan membahas tentang pattangan dari kepercayaan marga Damanik. Damanik merupakan marga tertua di Simalungun, dimana Raja Damanik pertama bernama Raja Nagur Tengku Raul Dinasti Damanik. Kerajaan ini terletak di pesisir pantai Nagur 400 SM. Nagur yang artinya tempat persembahan tentu memiliki alasan yang kuat, salah satu diantaranya yaitu Ular Sibaganding Tua. Ular ini merupakan ular yang sangat dihormati oleh masyarakat bermarga Damanik. Ular Sibaganding Tua diyakini membawa rezeki yang melimpah bagi masyarakat Damanik. Ular ini dipercayai dapat memberikan keuntungan yang berlimpah ketika seseorang mendapatkan atau memeliharanya. Bahkan, ular ini terkadang dengan sendirinya datang ke orang yang membutuhkan.

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

8 111 119

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

4 37 112

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 11

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 1

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 18

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 20

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 2

BAB II GAMBARAN UMUM - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 1 27

BAB I PENDAHULUAN - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 2 24

Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 0 15