Hasil dan Pembahasan .1 Kondisi Umum Percobaan

24 Sebagian besar gandum tropika yang dikembangkan di Indonesia memiliki warna batang dan daun hijau, tidak terdapat antosianin yang telah dilaporkan Kementan 2015. Gambar 3.14 Auricle daun bendera pada delapan genotipe gandum Koleoptil yang tidak memiliki antosianin tampak berwarna putih pada bagian bawah dekat akar, kemudian pada bagian atasnya berwarna hijau. Antosianin pada umumnya berwarna ungu, sehingga mudah diamati. Pengamatan pada genotipe gandum yang ditanam seragam pada karakter antosianin. Penelitian Abdel 2003 menunjukkan bahwa gandum yang memiliki antosianin pada koleoptilnya memiliki korelasi yang kuat dengan warna gelap pada bijinya.

3.3.2.2 Tipe Tumbuh Tanaman, Frekuensi Kelengkungan daun Bendera, dan Umur Muncul Malai

Berdasarkan deskriptor UPOV 2013, tipe tumbuh tanaman gandum terbagi menjadi lima, yaitu erect, semi-erect, intermediet, semi-prostrate, prostrate . Namun dari kedelapan genotipe gandum, hanya ditemui tiga kategori saja, karena tidak terdapat genotipe yang benar-benar tampak prostrate menjalar sempurna. Pengamatan karakter tipe tumbuh tanaman, frekuensi kelengkungan daun bendera, dan umur muncul malai gandum dapat dilihat pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Tipe tumbuh tanaman, frekuensi kelengkungan daun bendera, dan umur muncul malai gandum Genotipe Tipe tumbuh tanaman Frekuensi kelengkungan daun bendera Umur muncul malai MST Nias Erect ¾ populasi 6.92 Selayar Erect ¼ populasi 6.58 Dewata Erect ½ populasi 7.33 Guri 3 Agritan Erect ¾ populasi 11.60 Guri 4 Agritan Semi-erect Seluruh populasi 10.25 Guri 5 Agritan Semi-erect ½ populasi 8.00 Guri 6 Unand Intermediet Seluruh populasi 10.5 SBD Erect ¾ populasi 7.82 Nias Selayar Dewata Guri 3 Agritan Guri 4 Agritan Guri 5 Agritan Guri 6 Unand SBD 25 Sebagian besar tanaman gandum menunjukkan tipe tumbuh erect tegak. Tipe tumbuh semi-erect ditemui pada genotipe Guri 4 Agritan dan Guri 5 Agritan, sedangkan tipe tumbuh intermediet terdapat pada genotipe Guri 6 Unand. Tanaman yang mempunyai tipe tumbuh prostrate dan panjang dilaporkan dapat mengurangi jumlah gulma yang tumbuh dibandingkan dengan tanaman yang tegak sehingga dapat menghasilkan biji lebih banyak Lemerle et al. 1996. Frekuensi kelengkungan daun bendera diamati secara populasi dan dikategorikan menjadi 5. Nilai 1 diberikan pada populasi tanaman yang tidak memiliki satupun tanaman gandum yang daun benderanya melengkung ke bawah. Nilai 3 untuk seperempat populasi, nilai 5 untuk setengah populasi, nilai 7 untuk tiga perempat populasi, serta nilai 9 untuk semua tanaman yang daun benderanya melengkung. Hampir semua genotipe gandum yang ditanam menunjukkan adanya kelengkungan daun bendera. Jumlah populasi yang paling sedikit ditemui memiliki daun bendera yang melengkung adalah sebanyak ¼ populasi, yakni pada genotipe Selayar. Tidak terdapat genotipe yang semua daun benderanya tegak dalam pengamatan. Daun bendera pada tanaman merupakan sumber penghasil fotosintat terbesar yang menyumbang 45 pengisian biji Lupton 1972. Daun bendera yang tegak memiliki kemampuan melakukan fotosintesis lebih efektif terutama dalam menerima cahaya matahari dibandingkan dengan daun bendera yang melengkung ke bawah. Keragaan kedelapan genotipe gandum yang ditanam dapat dilihat pada Gambar 3.15 Gambar 3.15 Keragaan tanaman pada delapan genotipe gandum; panah kuning = daun bendera, panah merah = tipe tumbuh Umur muncul malai diamati berdasarkan hasil perhitungan dalam minggu setelah tanam MST. Nilai terendah diberikan pada genotipe gandum yang mengeluarkan malai paling cepat, sedangkan nilai tertinggi untuk genotipe yang paling lama muncul malainya. Umur muncul malai tercepat ditemukan pada genotipe Selayar dengan rataan 6.58 MST genjah, sedangkan paling lama Nias Selayar Dewata Guri 3 Agritan Guri 4 Agritan Guri 5 Agritan Guri 6 Unand SBD 26 terdapat pada genotipe Guri 3 Agritan dengan rataan 11.60 MST. Genotipe berumur genjah seperti Nias, Selayar, dan Dewata memiliki masa vegetatif yang cukup pendek dibandingkan masa generatifnya, sementara genotipe dengan umur muncul malai yang lama seperti Guri 4 Agritan memiliki masa vegetatif yang hampir seimbang dengan masa generatifnya, karena pada dasarnya masa generatif gandum memiliki waktu yang cukup lama. Umur muncul malai juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Genotipe Dewata memiliki umur muncul malai 61.8 hari pada penanaman di dataran tinggi Mardiana 2015, sementara apabila ditanam pada elevasi 250 m dpl akan mempunyai umur muncul malai 50 hari Samosir 2011.

3.3.2.3 Glaukositas pada Batang, Daun Bendera, Leher Malai, serta Malai

Glaukositas adalah sejenis lapisan lilin yang berwarna putih seperti tepung kebiruan yang menempel pada permukaan tanaman gandum, yakni pada batang, daun, serta malai. Tabulasi pengamatan terhadap glaukositas pada batang, daun, serta malai dapat dilihat pada Tabel 3.5, sedangkan glaukositas pada batang, daun bendera, dan leher malai dapat dilihat pada Gambar 3.16, 3.17, dan 3.18. Tabel 3.5 Glaukositas batang, daun bendera, leher malai, dan malai gandum Genotipe Glaukositas batang Glaukositas daun bendera Glaukositas leher malai Glaukositas malai Nias Lemah Tidak ada Lemah Lemah Selayar Kuat Sedang Sedang Sedang Dewata Sangat kuat Sedang Lemah Sedang Guri 3 Agritan Lemah Tidak ada Lemah Sedang Guri 4 Agritan Sedang Lemah Sedang Tidak ada Guri 5 Agritan Sedang Lemah Sedang Kuat Guri 6 Unand Sedang Lemah Kuat Lemah SBD Kuat Sedang Kuat Kuat Gambar 3.16 Glaukositas batang pada delapan genotipe gandum Nias Selayar Dewata Guri 3 Agritan Guri 4 Agritan Guri 5 Agritan Guri 6 Unand SBD 27 Gambar 3.17 Glaukositas daun bendera pada delapan genotipe gandum Gambar 3.18 Glaukositas leher malai pada delapan genotipe gandum Nias Selayar Dewata Guri 3 Agritan Guri 4 Agritan Guri 5 Agritan Guri 6 Unand SBD Nias Selayar Dewata Guri 3 Agritan Guri 4 Agritan Guri 5 Agritan Guri 6 Unand SBD 28 Nilai pengamatan karakter glaukositas dibagi menjadi lima, yaitu tidak ada glaukositas, lemah, sedang, kuat, dan sangat kuat. Semakin kuat maka lapisannya semakin tebal dan warnanya akan semakin putih Glaukositas batang paling kuat ditemukan pada genotipe Dewata, sementara glaukositas lemah pada genotipe Nias dan Guri 3 Agritan. Kuatnya glaukositas pada batang pada percobaan ini biasanya diikuti oleh glaukositas pada leher malai dan malai yang juga kuat. Lapisan glaukositas berfungsi meminimalkan terjadinya transpirasi pada tanaman gandum sehingga diduga tanaman yang memiliki glaukositas kuat dapat terhindar dari kehilangan air yang berlebihan akibat suhu tinggi Clarke dan Richard 1988. Selain itu, glaukositas yang kuat menyebabkan tanaman semakin berwarna putih kebiruan dan bersifat inflorescence . Tanaman Dianella caerulea memiliki nilai ekonomi tinggi apabila tampak semakin inflorescence Chuawong 2010.

3.3.2.4 Awn dan Scur, serta Bentuk dan Densitas Malai

Awn merupakan salah satu bagian pada malai gandum yang mempunyai struktur seperti bulurambut yang keras, panjang, dan tegak. Sebagian besar famili poaceae serealia memiliki organ ini, termasuk barley dan rye. Elbaum et al. 2007 menyatakan bahwa awn memiliki fungsi sebagai pertahanan diri terhadap serangga, serta mempermudah penyebaran biji. Xing-Feng 2010 menambahkan awn juga berperan dalam kegiatan fotosintesis dan mengatur laju transpirasi pada tanaman. Seluruh genotipe gandum yang ditanam hanya memiliki awn saja, tidak ditemukan adanya scur Tabel 3.6. Scur merupakan struktur lain mirip awn namun lebih pendek dan keras seperti tanduk. Keseragaman keberadaan awnscur juga ditemui pada penelitian Putri et al. 2013 terhadap 17 genotipe gandum dimana semua genotipe memiliki karakter kualitatif yang sama yakni pada peubah keberadaan awn, bentuk malai, dan warna biji. Tabel 3.6 Keberadaan awn atau scur, panjang awn teratas, bentuk malai, dan densitas malai gandum Panjang awn gandum pada ujung malai bagian atas menjadi salah satu parameter pengamatan morfologi. Awn yang berada pada ujung malai atau bagian paling atas tersebut sebagian besar memiliki panjang yang berbeda dengan awn yang lain di bagian bawah, namun ada juga yang sama panjang. Genotipe yang lebih awal diintroduksi Nias, Selayar, dan Dewata memiliki awn teratas yang sedang hingga panjang, sedangkan genotipe yang baru diintroduksi memiliki awn Genotipe Keberadaan awn atau scur Panjang awn teratas Bentuk malai Densitas malai Nias Awn Sedang Meruncing Sedang Selayar Awn Panjang Clavate Sedang Dewata Awn Panjang Fusiform Sedang Guri 3 Agritan Awn Sangat panjang Meruncing Rapat Guri 4 Agritan Awn Panjang Meruncing Rapat Guri 5 Agritan Awn Panjang Meruncing Rapat Guri 6 Unand Awn Panjang Fusiform Renggang SBD Awn Sangat panjang Fusiform Rapat 29 teratas panjang hingga sangat panjang. Awn teratas yang pendek tidak ditemui pada percobaan ini. Gandum pada dasarnya memiliki lima bentuk malai yang berbeda-beda seperti yang telah dideskripsikan di deskriptor gandum, yaitu meruncing tapering, fusiform, paralel, clavate lemah, dan clavate kuat. Bentuk meruncing dicirikan dengan pangkal malai yang lebih besar daripada ujungnya. Berbeda dengan bentuk meruncing, bentuk clavate mempunyai struktur sebaliknya yaitu lebih besar pada bagian ujung malainya. Kemudian, bentuk fusiform mempunyai ukuran yang lebih besar di bagian tengah malai dan sempit di bagian ujung serta pangkalnya, sedangkan bentuk paralel memiliki sisi yang sama besar. Bentuk malai yang paling sering dijumpai pada populasi pertanaman gandum adalah meruncing, yakni pada genotipe Nias dan semua genotipe yang baru diintroduksi kecuali Guri 6 Unand. Beberapa tanaman ditemukan memiliki bentuk malai paralel, namun tidak melebihi dari 50 populasi per genotipe, sehingga diduga gandum tersebut adalah off-type. Penelitian Zeven 1992 pada sekumpulan gandum di Belanda memiliki sebaran bentuk malai fusiform, paralel, dan clavate, tidak ditemukan adanya bentuk malai yang meruncing. Keragaman malai delapan genotipe gandum dapat dilihat pada Gambar 3.19. Gambar 3.19 Keragaan malai pada delapan genotipe gandum Nias Selayar Dewata Guri 3 Agritan Guri 4 Agritan Guri 5 Agritan Guri 6 Unand SBD 30 Densitas malai atau kerapatan spikelet gandum dapat diamati dengan melihat jarak yang memisahkan antar spikelet pada ruas malai. Semakin jauh jarak antar spikelet maka semakin renggang densitasnya, sedangkan jika spikeletnya rapat maka ruas tersebut tidak terlihat. Malai pada gandum tersusun atas kumpulan spikelet, dimana satu spikelet dapat berisi 3 – 4 biji. Semakin rapat spikeletnya, maka jumlah spikelet semakin banyak per malai sehingga jumlah biji yang dihasilkan akan semakin banyak. Genotipe yang lebih awal diintroduksi Nias, Selayar, Dewata cenderung memiliki densitas malai yang sedang, sedangkan genotipe yang baru diintroduksi memiliki densitas malai yang rapat kecuali pada Guri 6 Unand. Genotipe Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, dan SBD mempunyai potensi menghasilkan produksi biji yang tinggi karena memiliki densitas malai yang rapat.

3.3.2.5 Intensitas Rambut Node Teratas, Panjang Tanaman, Warna Malai,

dan Tipe Musim Intensitas rambut pada node teratas dapat diamati secara visual dengan melihat banyaknya rambut pada node teratas gandum. Node merupakan bagian pada batang gandum yang menggembung, membatasi internodenya ruas batang Gambar 3.20. Tidak ditemukan rambut dalam jumlah yang banyak pada node untuk semua genotipe gandum yang ditanam Tabel 3.7. Hal ini juga ditemukan pada deskripsi genotipe gandum-gandum di Kanada Cuthbert 2015. Tabel 3.7 Intensitas rambut node teratas, panjang tanaman, warna malai, dan tipe musim gandum Genotipe Intensitas rambut node teratas Panjang tanaman cm Warna malai Tipe musim Nias Sangat sedikit 52.31 Berwarna Spring Selayar Sangat sedikit 49.22 Berwarna Spring Dewata Sangat sedikit 58.20 Berwarna Spring Guri 3 Agritan Sangat sedikit 56.12 Putih Spring Guri 4 Agritan Sangat sedikit 59.29 Putih Spring Guri 5 Agritan Sangat sedikit 64.48 Putih Spring Guri 6 Unand Sangat sedikit 66.25 Putih Spring SBD Sangat sedikit 66.79 Putih Spring Gambar 3.20 Keragaan batang gandum genotipe Nias A node dan internode, B node B A 31 Panjang tanaman gandum diamati dari ujung bawah dekat akar hingga ujung daun tertinggi, termasuk malai. Genotipe gandum yang mempunyai panjang tanaman terendah adalah dua genotipe yang lebih awal diintroduksi yaitu Nias dan Selayar, sedangkan yang tertinggi adalah genotipe Guri 6 Unand dan SBD. Panjang tanaman gandum secara kuantitatif dapat berubah oleh lingkungan. Gandum yang ditanam pada ketinggian 1100 m dpl mempunyai tinggi sekitar 64.40-79.60 cm, sementara pada ketinggian 250 m dpl mempunyai kisaran tinggi tanaman sebesar 46.90-64.03 cm Natawijaya 2012. Warna malai gandum diamati pada saat malai masak atau siap panen. Warna malai dikategorikan menjadi dua, yakni putih dan berwarna Gambar 3.21. Umumnya, malai yang dikategorikan berwarna tersebut tampak kuning keemasan pada percobaan ini. Leisle et al. 1981 menyatakan warna malai dapat dikaitkan dengan kandungan gluten pada gandum. Malai yang memiliki warna putih memiliki korelasi yang tinggi terhadap tingginya gluten. Gluten merupakan protein yang terkandung bersama pati pada gandum yang dapat menghasilkan tekstur kenyal dan mengembang terutama dalam pembuatan kue. Malai yang berwarna ditemukan pada genotipe yang lebih awal diintroduksi Nias, Selayar, dan Dewata, sementara malai yang warnanya putih terdapat pada genotipe yang baru diintroduksi. Gambar 3.21 Warna malai saat masak pada delapan genotipe gandum Nias Selayar Dewata Guri 3 Agritan Guri 4 Agritan Guri 5 Agritan Guri 6 Unand SBD 32 Tipe musim pada semua genotipe gandum seragam, yakni spring wheat. Berdasarkan musim tanamnya, gandum dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu winter wheat dan spring wheat. Winter wheat adalah gandum yang ditanam pada musim dingin dan panen saat musim semi, sedangkan spring wheat ditanam di musim semi dan panen di musim panas Magness 1971. Kedua jenis gandum ini mempunyai daya adaptasi yang berbeda di lingkungan tumbuhnya. Jenis gandum yang umum ditanam di daerah tropis adalah jenis spring wheat, karena memiliki kemungkinan lebih tahan terhadap suhu tinggi.

3.3.2.6 Glume Terbawah dan Lemma Terbawah

Glume dan lemma bagian bawah malai menjadi salah satu parameter pengamatan karakter morfologi karena sifatnya yang berbeda dari glume dan lemma yang lain bagian atas. Karakter morfologi yang dapat diamati pada glume antara lain lebar bahu sangat sempit, sempit, sedang, lebar, sangat lebar, bentuk bahu sangat landai, landai, datar, tinggi, sangat tinggi, panjang paruh sangat pendek, pendek, sedang, panjang, sangat panjang, dan bentuk paruh lurus, menikung lemah, menikung sedang, menikung kuat, geniculate, sedangkan pada lemma hanya bentuk paruhnya saja Tabel 3.8 dan 3.9. Tabel 3.8 Lebar bahu, bentuk bahu, serta panjang paruh glume terbawah gandum Genotipe Lebar bahu glume Bentuk bahu glume Panjang paruh glume Nias Sangat sempit Sangat tinggi Sedang Selayar Sangat sempit Tinggi Sangat pendek Dewata Sempit Datar Sedang Guri 3 Agritan Sedang Datar Panjang Guri 4 Agritan Sedang Datar Pendek Guri 5 Agritan Sedang Landai Pendek Guri 6 Unand Sempit Datar Sangat pendek SBD Sempit Sangat landai Pendek Tabel 3.9 Bentuk paruh glume dan lemma terbawah gandum Genotipe Bentuk paruh glume Bentuk paruh lemma Nias Geniculate Menikung lemah Selayar Menikung kuat Menikung lemah Dewata Menikung lemah Menikung lemah Guri 3 Agritan Menikung sedang Menikung lemah Guri 4 Agritan Menikung kuat Menikung lemah Guri 5 Agritan Menikung lemah Menikung sedang Guri 6 Unand Menikung sedang Menikung sedang SBD Menikung sedang Menikung sedang Bahu pada glume gandum merupakan bagian horizontal atas yang berbatasan dengan dasar paruh yang berdiri. Genotipe yang lebih awal diintroduksi memiliki lebar bahu yang sangat sempit hingga sempit, sedangkan genotipe yang baru diintroduksi memiliki lebar bahu glume yang sempit hingga 33 sedang. Bahu glume yang semakin lebar mengindikasikan ukuran biji yang semakin besar. Karakterisasi pada sejumlah genotipe gandum dan landrace di Etiopia ditemukan banyak variasi pada bagian glumenya Bishaw et al. 2014. Selain itu, bentuk bahu glume pada gandum ditemukan tidak hanya lurus, tetapi juga ada yang landai hingga tinggi. Landai apabila ujung bahu yang berlawanan posisi dengan paruhnya turun ke bawah secara landai, sedangkan kategori tinggi apabila pada ujung tersebut terdapat puncak sudut yang meninggi. Bentuk bahu pada genotipe gandum yang ditanam terdistribusi beragam untuk setiap kategori, namun sebagian besar memiliki bentuk yang datar. Bentuk yang sangat tinggi terdapat pada genotipe Nias, tinggi pada Selayar, landai pada Guri 5 Agritan, dan sangat landai pada SBD. Keragaman glume delapan genotipe gandum disajikan pada Gambar 3.22. Gambar 3.22 Glume terbawah pada delapan genotipe gandum; panah kuning = paruh, panah merah = bahu Paruh pada glume juga dapat diamati panjangnya secara visual. Paruh tersebut merupakan modifikasi dari awn yang pendek. Awn berada di lemma, sementara paruh berada di glume, sehingga tidak memanjang seperti awn. Bentuk paruh gandum dapat diamati pada glume dan pada lemma Gambar 3.23. Gambar 3.23 Bentuk paruh lemma terbawah pada delapan genotipe gandum Nias Selayar Dewata Guri 3 Agritan Guri 4 Agritan Guri 5 Agritan Guri 6 Unand SBD Nias Selayar Dewata Guri 3 Agritan Guri 4 Agritan Guri 5 Agritan Guri 6 Unand SBD 34 Penilaian pengamatan skoring diberikan berdasarkan tingkat kemiringan pada paruh gandum tersebut. Bentuk paruh yang ditemui beragam mulai dari lurus hingga sangat miring geniculate. Geniculate merupakan bentuk paruh yang paling condong. Paruh yang menikung sedang lebih banyak ditemukan pada penelitian ini, sementara paruh lurus ke atas jarang ditemukan. Karakterisasi pada sejumlah gandum di Meksiko menunjukkan lebih banyak ditemukan bentuk paruh glume yang lurus dan sedikit menikung, sementara bentuk geniculate jarang ditemui Caballero et al. 2010. Berdasarkan hasil penilaian terhadap karakter morfologi, didapatkan informasi hubungan kekerabatan antar genotipe gandum Gambar 3.24. Metode yang digunakan adalah Ward‘s dengan koefisien Gower, dimana nilai koefisien yang didapatkan mewakili tingkat ketidakmiripan antar genotipe, semakin besar nilainya semakin jauh kekerabatannya. Secara umum terdapat 2 klaster utama dalam pengelompokan gandum, klaster tersebut memisahkan genotipe yang lebih awal diintroduksi Nias, Selayar, dan Dewata dengan genotipe yang baru diintroduksi Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, dan SBD. Gambar 3.24 Dendrogram hasil analisis filogenetik delapan genotipe gandum berdasarkan karakter morfologi menggunakan metode Ward‘s dengan koefisien Gower Klaster pertama mengelompokkan genotipe Nias, Dewata, dan Selayar. Selayar dan Dewata memiliki koefisien ketidakmiripan sekitar 0.3, sementara keduanya dengan Nias memiliki koefisien ketidakmiripan sebesar 0.35. Klaster kedua terdiri dari semua genotipe yang baru diintroduksi yakni Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, dan SBD. Kemiripan terdekat pada klaster ini terdapat pada genotipe Guri 5 Agritan dan SBD dengan koefisien Gower sekitar 0.25, diikuti genotipe Guri 6 Unand koef. 0.37, dan genotipe Guri 3 Agritan beserta Guri 4 Agritan pada percabangan berikutnya koef. 0.28. Pengelompokan pada genotipe yang lebih awal diintroduksi Nias, Selayar, dan Dewata dapat dilihat dari beberapa karakter morfologi, antara lain tipe tumbuh tanaman, densitas malai, warna malai, dan bentuk paruh lemma terbawah. Nilai koefisien ketidakmiripan yang diperoleh cukup tinggi sehingga keragamannya Ko ef is ie n k etid ak m ir ip an 35 tinggi. Berdasarkan dendrogram tersebut, diketahui informasi bahwa terdapat keragaman yang tinggi pada koleksi genotipe gandum tropika Indonesia. Genotipe yang baru diintroduksi mempunyai jarak genetik yang jauh dengan genotipe yang lebih awal diintroduksi, sehingga dapat menjadi sumber materi genetik yang baik dalam persilangan pada pemuliaan tanaman. Penentuan tetua dapat dipilih dari klaster yang berbeda untuk mendapatkan keragaman yang tinggi pada generasi berikutnya. Genotipe pada klaster pertama Nias, Dewata, dan Selayar dapat disilangkan dengan genotipe pada klaster kedua Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, dan SBD. Persilangan terhadap dua kelompok gandum yang berbeda juga telah dilaporkan oleh Mardiana 2015. 3.3.3 Karakter Agronomi Rekapitulasi hasil analisis ragam beserta nilai tengah dan standar deviasi pengamatan karakter agronomi dapat dilihat pada Tabel 3.10. Karakter agronomi pada genotipe gandum diamati untuk mengetahui pertumbuhan dan potensi dari gandum tersebut di dataran menengah. Genotipe gandum yang diuji menunjukkan hasil analisis ragam yang berbeda sangat nyata untuk karakter tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, panjang akar, jumlah spikelet, bobot biji, bobot kering, umur panen, serta bobot kering tajuk, akar, dan malai. Genotipe juga berpengaruh nyata terhadap karakter panjang malai. Karakter jumlah bijitanaman, bobot 100 biji, tingkat kehijauan daun, kerapatan stomata, dan kerapatan trikoma tidak beragam antar genotipe gandum yang digunakan. Karakter yang tidak nyata dipengaruhi oleh genotipe gandum umumnya memiliki standar deviasi yang tinggi, diduga oleh keragaman yang tinggi akibat pengaruh lingkungan. Tabel 3.10 Rekapitulasi hasil analisis ragam, nilai tengah, dan standar deviasi percobaan karakterisasi gandum Karakter Nilai Tengah + St. Deviasi PrF KK Tinggi tanaman 59.08 + 7.37 0.003 7.98 Jumlah daun 6.43 + 2.28 0.0002 18.01 Jumlah anakan 1.42 + 0.45 0.0056 21.87 Panjang akar 12.81 + 5.59 0.0005 29.28 Tingkat kehijauan daun 35.33 + 4.99 0.71 tn 14.55 Kerapatan stomata 32.56 + 8.14 0.89 tn 29.85 Kerapatan trikoma 26.02 + 12.81 0.81 tn 30.33 a Panjang malai 9.29 + 1.73 0.019 13.66 Jumlah spikeletmalai 11.03 + 2.23 0.0005 11.43 Jumlah bijitanaman 6.76 + 4.97 0.07 tn 26.05 a Bobot kering tajuktanaman 0.74 + 0.40 .0001 23.28 Bobot kering akartanaman 0.11 + 0.07 .0001 26.40 Bobot kering malaitanaman 0.16 + 0.09 0.0004 4.21 a Bobot bijitanaman 0.16 + 0.16 0.0015 6.30 a Bobot 100 biji 2.14 + 0.67 0.37 tn 26.24 Umur panen 16.38 + 2.46 0.0002 8.09 Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata; :berpengaruh nyata pada α 0.05; : berpengaruh sangat nyata pada α 0.01; KK: Koefisien keragaman; a hasil transformasi √ . Tinggi tanaman dan jumlah daun menggunakan pengamatan pada stadia tumbuh gandum di akhir panen Z92-94 36 Karakter yang dipengaruhi secara nyata kemudian akan digunakan dalam penghitungan parameter genetik dalam percobaan sehingga dapat ditentukan karakter mana saja yang dapat dipilih sebagai kriteria seleksi.

3.3.3.1 Tinggi tanaman dan Jumlah Daun

Pengamatan terhadap tinggi tanaman dilakukan sejak tanaman berumur 2 MST hingga 12 MST. Hasil uji lanjut terhadap tinggi tanaman gandum tiap pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3.11, sedangkan untuk jumlah daun gandum dapat dilihat pada Tabel 3.12. Tabel 3.11 Tinggi tanaman beberapa genotipe gandum umur 2 hingga 12 MST Genotipe Tinggi tanaman cm 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 12 MST Nias 29.86a 37.42a 41.30ab 55.19a 54.05bc 52.31cd Selayar 20.16bc 22.40d 35.13d 40.56b 48.65cd 49.22d Dewata 21.46bc 27.02cd 36.38cd 40.95b 53.24cd 58.20abc Guri 3 Agritan 19.52c 28.69bc 39.51bc 44.57b 48.32cd 56.12bcd Guri 4 Agritan 16.31c 27.43cd 39.62bc 44.19b 47.25d 59.29abc Guri 5 Agritan 19.36c 25.33d 35.80cd 41.54b 54.16bc 64.48ab Guri 6 Unand 24.82b 34.78ab 43.99a 54.16a 63.75a 66.25a SBD 19.99bc 31.82abc 42.61ab 47.03b 59.59ab 66.79a Keterangan: angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α 0.05, MST = Minggu Setelah Tanam Pertumbuhan genotipe Nias terlihat sangat baik pada minggu-minggu pertama, ditunjukkan dengan tinggi tanaman yang paling tinggi sampai umur 8 MST. Genotipe yang baru diintroduksi mengalami peningkatan tinggi yang tajam pada umur 8-12 MST, sehingga melebihi genotipe Nias dan Selayar. Hal ini mengindikasikan perbedaan umur tanaman, dimana genotipe Nias dan Selayar sudah memasuki fase generatif dan pertambahan tingginya tidak signifikan lagi, sementara pada genotipe yang baru diintroduksi masih dalam masa vegetatif yang terus mengalami pertambahan tinggi. Guri 6 Unand dan SBD paling tinggi pengamatannya pada 4-12 MST. Tabel 3.12 Jumlah daun beberapa genotipe gandum umur 4 hingga 12 MST Genotipe Jumlah daun 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 12 MST Nias 3.44a 5.55a 6.28a 8.44ab 7.33b Selayar 2.33c 4.22b 5.00b 4.22c 3.78c Dewata 3.00ab 4.22b 4.11b 4.77c 5.00bc Guri 3 Agritan 2.33c 4.11b 4.67b 5.45c 6.11bc Guri 4 Agritan 2.22c 4.00b 4.77b 6.00c 7.33b Guri 5 Agritan 2.22c 3.11c 4.44b 6.11c 5.89bc Guri 6 Unand 3.22ab 5.67a 6.55a 9.56a 10.44a SBD 2.67bc 4.22b 5.11b 6.67bc 6.67b Keterangan: angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α 0.05, MST = Minggu Setelah Tanam 37 Selain itu, Genotipe SBD mempunyai tinggi tanaman paling tinggi dengan nilai akhir pengamatan 66.79 cm pada umur 12 MST. Penelitian Wardani 2014 tanaman gandum yang ditanam dengan elevasi tinggi memiliki kisaran tinggi tanaman yang lebih tinggi 48.7-83.8 cm dibandingkan dengan tanaman gandum yang ditanam di elevasi menengah 33.5-72.4 cm. Percobaan ini memiliki rata- rata tinggi tanaman sebesar 59.08 cm dengan kisaran 46.33 cm hingga 72.87 cm. Jumlah daun terbanyak terdapat pada genotipe Guri 6 Unand dengan nilai akhir pengamatan 10.44 helai pada umur 12 MST, sementara paling sedikit pada genotipe Selayar 3.78 helai. Hal ini disebabkan genotipe Guri 6 Unand memiliki jumlah anakan yang paling banyak dibandingkan genotipe lain.

3.3.3.2 Jumlah Anakan, Panjang Malai, Jumlah Spikelet, dan Umur Panen

Genotipe gandum yang ditanam menunjukkan adanya keragaman pada karakter jumlah anakan, panjang malai, jumlah spikelet, dan umur panen Tabel 3.13. Jumlah anakan tertinggi diperoleh genotipe Guri 6 Unand 2.02, diikuti oleh Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, dan Nias. Tiap anakan gandum memiliki potensi untuk menghasilkan malai, sehingga semakin banyak jumlah anakannya semakin meningkat potensi jumlah malai yang dihasilkan. Jumlah anakan pada percobaan ini cenderung sedikit daripada yang sudah dilaporkan oleh Nur et al. 2010 dimana pada ketinggian 1000 m dpl jumlah anakan berkisar 1-4, sedangkan di dataran tinggi dengan jumlah anakan rata-rata 7.2 buah. Peubah panjang malai paling tinggi nilainya terdapat pada Guri 3 Agritan 11.66 cm, sedangkan terendah pada Selayar 7.36 cm. Panjang malai gandum yang pernah dilaporkan Komalasari dan Hamdani 2010 pada uji adaptasi di NTT memiliki kisaran 6.9-9.9 cm. Meskipun pada percobaan ini panjang malainya lebih baik, namun karakter jumlah spikeletnya cukup rendah, yakni 8.17-14.20 buah, berbeda dengan yang dilaporkan oleh Rahmah 2011 yaitu 19.83 buah. Malai yang semakin panjang berpotensi menghasilkan jumlah biji yang semakin banyak apabila diikuti dengan keberhasilan penyerbukan. Tabel 3.13 Jumlah anakan, panjang malai, jumlah spikelet per malai, dan umur panen pada beberapa genotipe gandum Genotipe Jumlah anakan Panjang malai cm Jumlah spikelet malai Umur panen MST Nias 1.61ab 7.77bc 8.58d 15.33cd Selayar 1.00c 7.36c 8.17d 13.33d Dewata 1.33bc 8.53bc 9.89cd 13.67cd Guri 3 Agritan 1.72ab 11.66a 12.29ab 19.33a Guri 4 Agritan 1.69ab 9.95ab 11.21bc 19.33a Guri 5 Agritan 1.00c 10.17ab 12.89ab 16.00bc Guri 6 Unand 2.02a 9.42ab 11.00bc 18.00ab SBD 1.00c 9.43ab 14.20a 16.00bc Keterangan: angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α 0.05 Umur panen merupakan peubah yang dipengaruhi oleh lingkungan, terutama ketersediaan cahaya matahari, suhu, dan faktor abiotik lainnya. Umur panen genjah ditemui pada ketiga genotipe yang lebih awal diintroduksi Nias, 38 Selayar, dan Dewata yaitu sekitar 14 MST atau 3.5 bulan, sementara umur panen paling dalam terdapat pada dua genotipe yang baru diintroduksi yaitu Guri 3 Agritan dan Guri 4 Agritan, sebesar 19.33 MST atau hampir 5 bulan. Perbedaan lamanya umur panen pada genotipe yang baru diintroduksi disebabkan oleh lamanya masa vegetatif dibandingkan genotipe yang lebih awal diintroduksi, dimana genotipe yang lebih awal diintroduksi sudah muncul malai pada umur 6 MST, sementara pada genotipe yang baru diintroduksi belum muncul. Genotipe yang lebih awal diintroduksi yang berumur genjah diduga merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap suhu tinggi dengan cara escape menghindar karena melakukan pematangan biji lebih awal dengan mengalami kehilangan hasil Adams et al. 2001, sementara genotipe yang baru diintroduksi yang memiliki umur panen dalam merupakan bentuk adaptasi tipe toleran karena keterlambatan pematangan embriogenesis akibat penumpukan protein pada masa vegetatif untuk pengisian biji Wang et al. 2003. Menurut Wahyu et al. 2013, umur panen tanaman gandum yang ditanam pada ketinggian 300 m dpl berkisar antara 72-95 hari 10.28-13.57 MST, sedangkan penelitian Handoko 2007 penanaman gandum di ketinggian 1 650 m dpl mempunyai umur panen rata-rata mencapai 20.57 MST. Dengan demikian, semakin bertambahnya ketinggian tempat maka umur panen gandum juga semakin bertambah lama. Nur 2013 menyebutkan bahwa bobot biji tanaman dipengaruhi langsung oleh lamanya masa vegetatif pada gandum, sehingga semakin lama masa vegetatif gandum semakin tinggi bobot biji yang dihasilkan. Altuhaish 2014 menambahkan lamanya periode pengisian biji juga memiliki korelasi positif terhadap bobot biji yang dihasilkan, sehingga semakin lama masa pengisian biji gandum maka semakin tinggi bobot bijinya. Hal tersebut mendasari pemikiran bahwa bobot biji pada genotipe yang lebih awal diintroduksi yang lebih rendah dibandingkan dengan genotipe yang baru diintroduksi diakibatkan oleh umur tanaman yang genjah. Berdasarkan Tabel 3.13, genotipe yang lebih awal diintroduksi Nias, Selayar, Dewata cenderung memperlihatkan hasil uji lanjut dengan nilai pengamatan yang kecil dibandingkan dengan sebagian besar genotipe yang baru diintroduksi Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, SBD, ditunjukkan pada karakter panjang malai dan jumlah spikelet. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbaikan karakter agronomi yang lebih adaptif wilayah tropis dan menunjang karakter hasil pada genotipe yang baru diintroduksi di Indonesia tersebut, ditunjukkan dengan genotipe yang baru diintroduksi yang memiliki nilai pengamatan lebih tinggi dibandingkan genotipe yang lebih awal diintroduksi. Dengan demikian secara kuantitatif genotipe yang lebih awal diintroduksi cenderung mengelompok tersendiri dan berpisah dengan genotipe yang baru diintroduksi, dimana hal ini juga dapat dilihat pada hasil pengelompokan secara morfologi.

3.3.3.3 Panjang Akar dan Biomassa Tanaman

Genotipe yang memiliki nilai tertinggi pada peubah panjang akar dan biomassa tanaman terdapat pada Guri 3 Agritan. Tabel 3.14 mendeskripsikan nilai pengamatan terhadap panjang akar dan biomassa tanaman gandum. Panjang akar mengindikasikan adanya efisiensi penyerapan hara, sehingga diduga genotipe 39 Guri 3 Agritan yang memiliki akar terpanjang dapat menyerap hara lebih baik dibandingkan dengan tanaman gandum pada genotipe lain. Biomassa tanaman terdiri dari bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering malai. Selain Guri 3 Agritan, genotipe Guri 6 Unand juga memiliki bobot kering tajuk yang tidak bebeda nyata 1.35 g sama tingginya. Demikian juga dengan genotipe Guri 4 Agritan yang memiliki bobot kering akar tidak berbeda dengan Guri 3 Agritan. Blum et al. 2001 melaporkan bahwa pada kondisi suhu tinggi, terjadi penurunan biomassa pada gandum. Tanaman gandum yang memiliki biomassa tanaman yang tinggi diduga mempunyai adaptasi yang baik pada kondisi suhu tinggi di dataran menengah tersebut. Tabel 3.14 Panjang akar dan biomassa tanaman pada beberapa genotipe gandum Genotipe Panjang akar cm Biomassa tanaman g Bobot kering tajuk Bobot kering akar Bobot kering malai Nias 7.64c 0.44cd 0.04c 0.060d Selayar 7.32c 0.23d 0.04c 0.063cd Dewata 8.91c 0.45cd 0.05c 0.083cd Guri 3 Agritan 19.85a 1.25a 0.21a 0.300a Guri 4 Agritan 17.13ab 0.91b 0.20a 0.230ab Guri 5 Agritan 11.77bc 0.63bc 0.08c 0.153bc Guri 6 Unand 17.63ab 1.35a 0.14b 0.236ab SBD 12.24bc 0.61bc 0.06c 0.113cd Keterangan: angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α 0.05 Sama seperti pada panjang malai dan jumlah spikelet, karakter panjang akar dan biomassa tanaman menunjukkan adanya pengelompokan yang cenderung memisahkan antara genotipe yang lebih awal diintroduksi dengan sebagian besar genotipe yang baru diintroduksi. Nilai pengamatan pada panjang akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering malai menunjukkan bahwa genotipe yang lebih awal diintroduksi memiliki nilai yang kecil berdasarkan uji lanjut yang dilakukan dibandingkan genotipe yang baru diintroduksi. Pengamatan yang memiliki nilai tinggi pada semua karakter tersebut menunjukkan adanya upaya perbaikan karakter yang mendukung adaptasi wilayah tropis pada genotipe yang baru diintroduksi pada tahun 2014.

3.3.3.4 Jumlah Biji, Bobot Biji per Tanaman, dan Bobot 100 Biji

Biji merupakan komponen utama produksi pada tanaman serealia. Genotipe gandum berpengaruh nyata bobot biji per tanaman, sedangkan jumlah biji per tanaman dan bobot 100 biji tidak dipengaruhi genotipe Tabel 3.15. Genotipe Guri 3 Agritan memiliki bobot biji paling tinggi yaitu 0.46 gram. Diduga Guri 3 Agritan memiliki adaptasi yang lebih baik di dataran menengah karena mampu menghasilkan bobot biji yang paling tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya. Meskipun demikian, penelitian Budiarti 2005 melaporkan bahwa bobot biji gandum pada umumnya adalah sekitar 12 g per tanaman. Rendahnya biji yang dihasilkan kemungkinan disebabkan oleh suhu tinggi dan 40 penutupan awan yang tinggi di lokasi penanaman sehingga fotosintesis tanaman tidak berlangsung dengan baik. Tabel 3.15 Bobot biji per tanaman, jumlah biji per tanaman, dan bobot 100 biji pada beberapa genotipe gandum Genotipe Bobot biji tanaman g Jumlah biji tanaman Bobot 100 biji g Nias 0.05c 5.00 1.33 Selayar 0.03c 2.33 2.33 Dewata 0.08c 3.16 2.00 Guri 3 Agritan 0.46a 12.73 2.21 Guri 4 Agritan 0.29ab 10.17 2.83 Guri 5 Agritan 0.15bc 7.67 2.05 Guri 6 Unand 0.09c 2.72 1.84 SBD 0.07c 7.20 1.79 Keterangan: angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α 0.05 Bobot 100 biji pada percobaan ini tidak dipengaruhi secara nyata oleh genotipe. Rata-rata bobot 100 biji yang diperoleh adalah sekitar 2.14 g. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Arfan et al. 2007 yang juga mengembangkan gandum di dalam net house, yang mempunyai rentang bobot 100 biji sekitar 1.5-3 g, tergantung kultivar. 3.3.3.5 Tingkat Kehijauan Daun, Kerapatan Stomata, dan Kerapatan Trikoma Karakter tingkat kehijauan daun, kerapatan stomata, dan kerapatan trikoma tidak menunjukkan adanya keragaman pada genotipe gandum yang ditanam Tabel 3.16. Tingkat kehijauan daun pada percobaan ini cenderung rendah, yaitu berkisar antara 18.71-35.71. Penelitian Nur et al. 2010 pada sejumlah genotipe gandum menunjukkan tingkat kehijauan daun rata-rata sebesar 43.82. menurut Kislyuk et al. 2004 suhu tinggi dapat merusak aparatus fotosintesis khususnya klorofil, dan mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan tanaman. Tabel 3.16 Tingkat kehijauan daun, kerapatan stomata, dan kerapatan trikoma Genotipe Tingkat kehijauan daun unit klorofil Kerapatan stomata Kerapatan trikoma Nias 32.89 32.31 30.62 Selayar 35.69 37.41 18.71 Dewata 32.76 30.61 25.51 Guri 3 Agritan 36.29 35.71 25.51 Guri 4 Agritan 36.99 34.01 35.71 Guri 5 Agritan 32.41 28.91 23.81 Guri 6 Unand 36.58 27.21 30.61 SBD 39.03 35.71 18.71 41 Pengamatan terhadap jumlah stomata juga dapat membantu analisis peranannya dalam mengatur respirasi dan laju transpirasi pada tanaman. Penelitian Crawford et al. 2013 melaporkan bahwa daun tanaman Arabidopsis melakukan reduksi ukuran dan kerapatan terhadap stomata ketika diberikan perlakuan suhu tinggi. Namun kerapatan stomata yang diamati pada percobaan ini tidak menunjukkan adanya keragaman yang signifikan. Kenampakan stomata dan trikoma dapat dilihat pada Gambar 3.25. Gambar 3.25 Pengamatan anatomi daun pada delapan genotipe gandum. A Nias, B Selayar, C Dewata, D Guri 5 Agritan, E Guri 3 Agritan, F SBD, G Guri 4 Agritan, dan H Guri 6 Unand; perbesaran 40x; lingkaran hijau = trikoma, lingkaran merah = stomata Pengamatan terhadap kerapatan trikoma juga menunjukkan hasil yang seragam dengan uji lanjut yang digunakan. Trikoma merupakan suatu struktur rambut pada permukaan epidermis daun yang dibentuk tanaman sebagai pelindung diri dari gangguan luar dan mengurangi terjadinya penguapan. Semakin banyak trikoma, diduga tanaman dapat mengurangi transpirasi yang terjadi, sebagai bentuk adaptasi terhadap suhu tinggi.

3.3.4 Parameter Genetik dan Penentuan Tetua

Penentuan tetua dapat dipertimbangkan dari karakter kuantitatif maupun kualitatif. Berdasarkan karakter kuantitatif yang berbeda nyata pada hasil uji F, kemudian dilakukan analisis heritabilitas dalam penanaman gandum pada percobaan ini. Secara umum nilai heritabilitas yang diperoleh tinggi yakni berkisar antara 63.76-94.64 Tabel 3.17, sehingga fenotipe yang tampak merupakan pencerminan dari genotipe. Ragam genetik yang tinggi pada suatu karakter menunjukkan bahwa karakter tersebut tidak dipengaruhi oleh lingkungan secara dominan, sehingga karakter tersebut bersifat stabil dan dapat diwariskan. Hal ini mendasari kriteria seleksi yang dapat digunakan dalam melakukan pemilihan tetua untuk persilangan. Poehlman dan Sleper 1995 menyatakan bahwa seleksi yang dilakukan terhadap karakter yang memiliki heritabilitas tinggi akan menjamin diperolehnya keunggulan karakter tersebut pada generasi A B C D E F G H 42 berikutnya, sehingga seleksinya akan berlangsung efektif. Berdasarkan analisis heritabilitas, karakter tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, umur panen, bobot kering akar, bobot kering malai, bobot kering tajuk, jumlah spikelet, jumlah anakan, panjang malai, dan bobot biji dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tetua gandum. Nilai KKG mendeskripsikan nilai keragaman genetik pada suatu karakter. KKG yang tinggi memiliki keragaman genetik yang luas sehingga dapat memberi peluang lebih besar tercapainya kemajuan seleksi Allard 1960. Karakter yang memiliki heritabilitas tinggi dan KKG tinggi terdapat pada panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering malai, dan bobot biji. Genotipe Guri 3 Agritan memiliki nilai pengamatan tertinggi pada kelima peubah kuantitatif tersebut sehingga sesuai untuk digunakan sebagai salah satu calon tetua unggul dalam persilangan. Tabel 3.17 Komponen ragam, heritabilitas, dan KKG pada delapan genotipe gandum Karakter σ 2 e σ 2 g σ 2 p h 2 bs KKG Tinggi tanaman 22.27 34.34 41.76 82.22 9.92 Jumlah daun 1.64 3.32 3.87 85.83 28.35 Panjang akar 14.07 18.86 23.55 80.08 33.90 Jumlah spikelet 1.58 3.84 4.37 87.89 17.77 Panjang malai 1.07 0.66 1.02 65.14 8.78 Jumlah anakan 0.07 0.13 0.16 79.58 24.98 Umur panen 1.75 4.86 5.44 89.24 13.45 Bobot kering akar 0.0008 0.004 0.005 94.64 63.03 Bobot kering tajuk 0.029 0.15 0.16 93.83 52.30 Bobot kering malai 0.0011 0.003 0.003 88.24 33.52 Bobot biji 0.002 0.006 0.007 87.36 48.64 Selain itu, genotipe yang juga memiliki nilai tinggi pada kelima karakter tersebut adalah Guri 4 Agritan. Diharapkan persilangan antara genotipe yang memiliki karakter agronomi tinggi dapat menghasilkan progeni baru yang juga memiliki daya hasil tinggi. Altuhaish 2014 melaporkan bahwa taraf toleransi suhu tinggi yang dimiliki Guri 4 Agritan adalah moderat toleran, sedangkan Guri 3 Agritan sensitif. Sifat toleransi pada Guri 4 Agritan diharapkan dapat diwariskan pada progeni hasil persilangan dengan Guri 3 Agritan. Dengan demikian dapat dihasilkan gandum yang memiliki toleransi terhadap suhu tinggi dan berdaya hasil tinggi. Penelitian Nur 2013 menyebutkan karakter sekunder yang dapat digunakan untuk seleksi pada gandum adalah jumlah bijimalai, jumlah bijitanaman, klorofil a, klorofil b, dan klorofil total. Sementara penelitian Altuhaish 2014 menyebutkan bobot biji per malai dan jumlah biji per tanaman memiliki pengaruh langsung terhadap bobot biji per tanaman gandum yang positif pada penanaman gandum di dataran menengah, sedangkan jumlah biji per malai berpengaruh negatif. Pendekatan penentuan tetua juga dapat dilakukan dengan mempertimbangkan karakter morfologi dari masing-masing genotipe. Berdasarkan pengamatan karakter morfologi gandum yang dilakukan, beberapa karakter morfologi dapat dikembangkan sebagai ideotype gandum yang diduga dapat membantu memperbaiki adaptasi dan daya hasil pada gandum antara lain 43 daun bendera yang tegak, densitas malai yang rapat, lebar bahu glume yang lebar, serta glaukositas yang kuat. Karakter-karakter tersebut tidak semuanya dijumpai pada satu genotipe saja, tetapi beragam masing-masing pada genotipe yang berbeda. Daun bendera yang tegak paling banyak dijumpai pada genotipe Selayar, selain itu Selayar juga memiliki glaukositas sedang hingga kuat sehingga memiliki karakter adaptasi yang sesuai. Namun genotipe ini memiliki lebar bahu glume yang sangat sempit sehingga biji yang dihasilkan kecil, dan densitas malainya sedang. Genotipe yang memiliki densitas malai rapat dan lebar bahu glume sedang adalah Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, dan Guri 5 Agritan. Guri 4 Agritan dapat dipertimbangkan sebagai tetua karena memiliki taraf toleransi yang moderat toleran dan memiliki nilai pengamatan karakter agronomi yang baik. Meskipun genotipe Selayar memiliki bobot biji per tanaman yang rendah dibandingkan dengan genotipe lain dalam percobaan ini, namun penurunan bobot biji genotipe Selayar dilaporkan paling rendah dibandingkan dengan genotipe lain ketika dilakukan penanaman lingkungan optimum dataran tinggi dengan ditanam di lingkungan bercekaman Nur 2013. Hal ini menunjukkan bahwa Selayar memiliki toleransi cekaman suhu tinggi yang lebih baik dibandingkan genotipe lain, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai kandidat tetua dalam persilangan. Persilangan antara genotipe yang sama-sama memiliki karakter toleran diharapkan dapat menghasilkan progeni yang toleran, diikuti dengan perbaikan karakter agronomi dari hasil seleksi. Seleksi yang akan dilakukan pada populasi F1 adalah dengan mengambil tanaman yang berada pada kurva sebelah kanan pada sebaran berdasarkan bobot biji, serta mempertimbangkan karakter morfologi berupa kelengkungan daun bendera, glaukositas tanaman, lebar bahu glume , serta densitas malai. Bobot biji yang rendah pada genotipe Selayar menunjukkan adanya selisih yang sangat jauh dengan Guri 4 Agritan, sehingga dalam persilangan akan diperoleh keragaman bobot biji yang tinggi. Namun sebaiknya juga perlu dipelajari studi mengenai gen-gen yang mengendalikan karakter hasil pada persilangan yang dilakukan pada tetua-tetua gandum terutama aksi gen dan jumlah gen yang mengendalikan, sehingga ada atau tidaknya epistasis dan sifat dominansi dapat diketahui. Natawijaya 2012 persilangan Oasis X HP1744, Selayar X Rabe, dan Dewata X Alibey untuk karakter bobot biji memiliki aksi gen yang aditif yang tinggi dan dikendalikan oleh gen poligenik. Selain itu juga terdapat peran gen mayor dengan pengaruh epistasis komplementer dan juga epistasis duplikat. Karakter morfologi lain yang mengasosiasikan banyaknya protein dan gluten yang dikandung gandum dapat digunakan sebagai karakter seleksi dengan tujuan lain dalam pemuliaan tanaman ke depannya. Selain itu, karakter panjang awn dapat dipertimbangkan untuk meminimalkan serangan hama pada malai. Namun saat ini belum banyak hama yang dilaporkan menyerang gandum dengan serius. Kemudian, penanaman gandum di lapangan secara luas juga dapat mempertimbangkan tipe tumbuh gandum. Tipe tumbuh yang menjalar prostrate dapat meminimalkan jumlah gulma pada tanah dan menghindarkan diri dari penggembalaan ternak. Semakin banyak karakter yang digunakan dalam pemilihan suatu individu tanaman dalam pemuliaan, maka peluang didapatkan tipe tanaman seperti yang dikehendaki semakin sulit dan rendah jumlahnya, sehingga diharapkan dapat ditentukan karakter sebagai prioritas utama. 44 Genotipe Selayar dan Guri 4 Agritan dipilih dengan tujuan program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas yang adaptif dataran menegah tropis dan berdaya hasil tinggi berdasarkan konsep karakter yang ingin dikembangkan. Sedangkan untuk tujuan melakukan peningkatan keragaman genetik yang tinggi dapat dipilih tetua yang berada pada klaster yang berbeda jauh pengelompokannya berdasarkan analisis filogenetik karakter morfologi yang telah dilakukan. Persilangan dapat dilakukan misalnya pada genotipe Nias dan SBD karena menunjukkan percabangan yang jauh. Metode ini didasarkan pada konsep varietas, pemilihan didasarkan pada hubungan kekerabatan yang jauh, diharapkan melalui persilangan tersebut dapat dihimpun karakter-karakter positif secara acak dan terjadi segregasi alel-alel yang berbeda. Kombinasi dari berbagai keragaman tersebut kemudian selanjutnya dapat dilakukan seleksi sesuai dengan genotipe idaman pemulia pada generasi berikutnya. Berdasarkan studi pustaka terhadap penelitian gandum yang telah dilakukan di Indonesia, beberapa karakter unggul masing-masing genotipe dapat ditelusuri. Informasi mengenai toleransi suhu tinggi pada genotipe gandum Indonesia dilaporkan pada beberapa studi yaitu Altuhaish 2014 untuk genotipe yang baru diintroduksi, Natawijaya 2012 dan Nur 2013 untuk genotipe yang lebih awal diintroduksi, namun taraf toleransi yang ditemukan yakni hanya sampai moderat toleran saja, belum dilaporkan taraf toleransi suhu tinggi gandum yang sangat toleran. Beberapa genotipe yang dilaporkan memiliki toleransi suhu tinggi yang moderat toleran berdasarkan karakter hasil dan bobot biji adalah Nias, Selayar, Guri 5 Agritan, Guri 4 Agritan, Basribey, Alibey, Oasis, HP1744. Kombinasi persilangan dapat dilakukan pada genotipe moderat toleran X moderat toleran, misalnya pada Oasis X Guri 5 Agritan, Nias X HP1744, Selayar X Guri 4 Agritan, dan sebagainya. Sedangkan untuk tujuan pembentukan varietas berdaya hasil tinggi dapat dilakukan dengan menyilangkan genotipe gandum yang memiliki daya hasil tinggi dengan yang tinggi. Berdasarkan karakter bobot biji yang dilaporkan, persilangan yang memungkinkan untuk dilakukan adalah misalnya pada genotipe Guri 3 Agritan X Guri 6 Unand, Dewata X H-21, Basribey X G-18, dan sebagainya. Hal ini sesuai untuk penanaman gandum di lingkungan optimum seperti di dataran tinggi. Setelah diperoleh varietas berdaya hasil tinggi dapat dilakukan perbaikan pada karakter toleransinya melalui persilangan dengan genotipe toleran yang kemudian dilakukan selfing maupun dengan cara backcross.

3.4 Simpulan

Genotipe-genotipe gandum introduksi yang ditanam menunjukkan keragaman berdasarkan 18 karakter morfologi. Genotipe tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang jauh berdasarkan karakter morfologi. Pengelompokan hasil analisis filogenetik menghasilkan dua klaster utama, dimana genotipe yang lebih awal diintroduksi Nias, Selayar, dan Dewata mengelompok terpisah dari genotipe yang baru diintroduksi Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, dan SBD. Perbaikan genotipe gandum ditemukan pada genotipe yang baru diintroduksi yang memiliki nilai pengamatan lebih baik dibandingkan genotipe yang lebih awal diintroduksi berdasarkan karakter agronomi yakni panjang malai, jumlah spikelet, dan panjang akar. Karakter agronomi yang 45 memiliki heritabilitas dan keragaman genetik tinggi adalah panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering malai, dan bobot biji. Genotipe Nias dan SBD dapat disilangkan untuk meningkatkan keragaman genetik, Guri 3 Agritan dan Guri 4 Agritan untuk karakter hasil, sedangkan Selayar dan Guri 4 Agritan untuk mengkombinasikan sifat toleransi suhu tinggi, karakter morfologi, dan karakter agronomi. 46 4 STUDI MORFOLOGI DAN ANATOMI BEBERAPA MUTAN PUTATIF GANDUM Triticum aestivum L. HASIL INDUKSI MUTASI IRRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI SUHU TINGGI Abstrak Mutasi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik dan menghasilkan varian gen untuk toleransi terhadap cekaman tertentu pada tanaman. Dalam rangka mengembangkan varietas gandum toleran suhu tinggi di Indonesia, induksi mutasi dengan irradiasi sinar gamma dan dilanjutkan dengan seleksi suhu tinggi secara in vitro telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada mutan putatif dengan cara mengkarakterisasi secara morfologi dan anatomi. Percobaan dirancang menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan faktor tunggal dan tiga ulangan. Sebanyak 11 eksplan mutan putatif gandum hasil regeneran irradiasi sinar gamma dan seleksi suhu tinggi beserta genotipe Dewata sebagai kontrol digunakan dalam percobaan ini. Keragaman ditemukan antar eksplan secara morfologi, anatomi, dan data pertumbuhan. Jarak genetik antar eksplan ditemukan dengan koefisien ketidakmiripan sebesar 0.1-0.8, menunjukkan hubungan kekerabatan yang cukup jauh. Abnormalitas mutan putatif ditemukan dengan bentuk daun melilit, filotaksi daun roset, daun mengeriting, dan pembungaan pada dasar batang. Pertambahan jumlah anakan yang paling tinggi terdapat pada genotipe 30Gy25C-4 sementara tinggi planlet tertinggi adalah pada genotipe 30Gy25C-6 dengan koefisien keragaman masing- masing karakter sebesar 20.36-24.35 dan 34.05-71.09. Berdasarkan karakter morfologi, beberapa mutan putatif yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah yang memiliki daun tegak 10Gy25C-1, 10Gy25C-4, 10Gy30C-4, 30Gy25C-3, 30Gy25C-5, dan 30Gy25C-6, daun hijau tua 10Gy25C-4, 20Gy30C-2, 20Gy30C-5, 30Gy25C-5, dan 30Gy25C-6, serta glaukositas sedang 30Gy25C-6. Genotipe 10Gy25C-1 menunjukkan nilai pengamatan paling tinggi pada beberapa karakter anatomi antara lain tebal daun, tebal epidermis daun, diameter jaringan pengangkut daun, tebal korteks akar, dan diameter stele akar. Kata kunci : abnormal, filogenetik, in vitro, keragaman, tebal daun. Abstract Mutation is one of method for increase genetic diversity and form gene variant related to abiotic and biotic stress in plant. In order to develop heat tolerant wheat variety in Indonesia, mutation induction has been applicated. This research aims to identify alteration of morphological and anatomical characters in wheat putative mutant. The experiment was arranged on randomized complete block design with one factor and three replications. Eleven putative mutants of wheat from gamma irradiation and high temperature selection and planlets of Dewata as the background genotype were used in this experiment. Genetic diversity was found between wheat putative mutants based on morphological and anatomical 47 characters. Genetic distance had coefficient 0.1-0.8, indicating that the relationship was far enough each other. The putative mutant abnormalities were found in form: coiled leaf, rosette leaf, curly leaf, and flowering at bottom side. The 30Gy25C-4 genotype had highest number of tiller, meanwhile 30Gy25C-6 had the highest height with diversity coefficient from these characters 20.36-24.35 and 34.05-71.09. Based on morphological characters, several putative mutants had good reason to be developed with erect leaves 10Gy25C-1, 10Gy25C-4, 10Gy30C-4, 30Gy25C-3, 30Gy25C-5, and 30Gy25C-6, dark green leaves 10Gy25C-4, 20Gy30C-2, 20Gy30C-5, 30Gy25C-5, and 30Gy25C-6, and intermediet glaucousness 30Gy25C-6. The 10Gy25C-1 genotype showed highest anatomical characters, i.e. leaf thickness, leaf epiderm thickness, diameter of leaf vascular, root cortex thickness, and diameter of root stele. Key words: abnormality, diversity, in vitro, leaf thickness, phylogenetic.

4.1 Pendahuluan

Penyediaan keragaman genetik melalui teknik kultur jaringan secara in vitro dapat membantu program pemuliaan tanaman. Kultur jaringan merupakan salah satu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ yang kemudian menumbuhkannya dalam lingkungan yang aseptik, sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman sempurna Neumann et al. 2009. Perbanyakan tanaman secara in vitro terbukti dapat memproduksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat, tidak memerlukan tempat yang luas, penanaman tidak tergantung musim, bibit yang dihasilkan lebih sehat, dan memungkinkan terjadinya manipulasi genetik. Dua manfaat utama dalam teknik kultur jaringan adalah perbanyakan klonal yang menghasilkan propagula bermutu dan perbaikan karakter tanaman sesuai dengan arah program pemuliaan yang dikehendaki Gray 2005. Salah satu upaya untuk merakit genotipe yang toleran suhu tinggi pada gandum adalah dengan melakukan induksi mutasi. Mutasi dapat menciptakan keragaman pada tanaman yang kemudian dapat diseleksi sesuai arah tujuan pemulia. Mutasi secara in vitro terhadap suhu tinggi telah dilakukan oleh Ajijah 2009 pada sejumlah aksesi purwoceng dan memberikan hasil yang positif. Hal ini memungkinkan untuk diterapkan pada tanaman gandum yang dibiakkan secara vegetatif melalui kultur in vitro. Mutasi secara fisik dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan irradiasi sinar gamma. Menurut Soedjono 2003 irradiasi sinar gamma dapat meningkatkan perolehan kultivar baru dan selanjutnya dapat dilepas sebagai varietas yang bersifat komersial. Sinar gamma merupakan salah satu mutagen yang sering digunakan oleh pemulia tanaman. Sinar gamma memiliki daya penetrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sinar X maupun mutasi fisik lainnya, sehingga memungkinkan terbentuknya keragaman yang tinggi pada mutan Shu et al. 2012. Mutasi atau perubahan materi genetik dapat dideteksi dengan melihat perubahan pada tingkat struktur gen, kromosom, atau perubahan pada tingkat ekspresinya. Perubahan dapat terlihat pada tingkat morfologi, biokimia, molekuler, dan perbedaan tingkat adaptasi terhadap lingkungan tumbuh. Perubahan pada 48 tingkat morfologi merupakan cara pengamatan yang paling mudah, hal tersebut dapat diamati seperti pada bentuk, ukuran, dan juga warna pada tanaman Jusuf 2001. Selain itu, pada dosis tertentu, mutasi juga dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman yang abnormal. Tingkat toleransi tanaman gandum terhadap suhu tinggi pada Dewata dilaporkan tergolong dalam genotipe yang sensitif Altuhaish 2014. Induksi mutasi pada genotipe tersebut diharapkan dapat menciptakan keragaman yang tinggi yang kemudian diseleksi pada suhu tinggi dan didapatkan mutan toleran. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Setiawan 2014 dimana mutan putatif gandum dari genotipe Dewata telah berhasil didapatkan dari hasil irradiasi sinar gamma dan seleksi suhu tinggi secara in vitro. Mutan putatif gandum tersebut dapat dikarakterisasi secara morfologi untuk melihat perubahan secara fenotipe yang terjadi akibat mutasi, serta mengelompokkan populasi mutan putatif tersebut untuk mengetahui tingkat keragamannya, terutama terhadap tanaman kontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi secara morfologi mutan putatif gandum dari hasil irradiasi sinar gamma dan seleksi suhu tinggi.

4.2 Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan perbanyakan mutan putatif gandum pada media in vitro, melihat pertumbuhan pada satu kali periode perbanyakan, serta mengkarakterisasi secara morfologi dan anatomi eksplan mutan putatif gandum. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Februari – Agustus 2015 bertempat di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Sebanyak 12 mutan putatif gandum yang berasal dari genotipe Dewata hasil regeneran kalus embriosomatik yang telah diberi perlakuan irradiasi sinar gamma dan diseleksi berdasarkan suhu digunakan dalam percobaan ini. Perbanyakan menggunakan komposisi media MS ditambah dengan 0.7 gl prolin, 1 gl casein, 2.25 mgl CuSO 4 , 2 ppm BAP, dan 30 gula. Klon mutan putatif gandum diperbanyak dengan cara memisah rumpunnya pada media perbanyakan selama 4 bulan. Setiap satu bulan dilakukan subkultur. Setelah jumlah planlet mencukupi minimal rancangan, kemudian dilakukan percobaan untuk pengamatan terhadap jumlah rumpun yang dihasilkan dalam satu kali peride subkultur + 1 bulan. Rancangan berupa rancangan kelompok lengkap teracak RKLT dengan 3 ulangan dan satu faktor yaitu aksesi mutan putatif genotipe. Satu satuan percobaan terdiri atas 3 botol planlet. Pengamatan pertumbuhan dilakukan pada karakter tinggi tanaman dan jumlah rumpun pada satu kali periode subkultur 1 bulan pada setiap minggu. Karakterisasi morfologi dilakukan dengan cara mengamati tujuh karakter berdasarkan deskriptor UPOV 2013 terutama pada saat tanaman memiliki fase vegetatif, karakter tersebut meliputi tipe tumbuh tanaman, glaukositas batang, glaukositas daun, intensitas rambut, intensitas antosianin, kelengkungan daun, dan panjang tanaman. Pengamatan morfologi juga dilakukan pada karakter tambahan yakni berupa warna daun hijau muda, hijau tua, hijau kekuningan, ukuran daun sempit, sedang, lebar, dan ukuran batang kecil sedang, besar secara kualitatif. Pengamatan morfologi tersebut dilakukan pada saat planlet berumur 3 minggu setelah kultur MSK. Pengamatan juga dilakukan terhadap peubah anatomi saat