9
2.4 Pemuliaan dan Karakterisasi Gandum
Pemuliaan dan modifikasi genetik gandum di dunia sebagian besar meliputi induksi mutasi, induksi mandul jantan dalam rangka pembentukan
genotipe hibrida, seleksi menggunakan metode single seed descent, transfer kromosom dari jenis gandum liar, serta transformasi gen menggunakan
Agrobacterium
. Tujuan dari pembentukan genotipe baru yang dihasilkan pun berbeda, antara lain meliputi daya hasil yang tinggi, ketahanan terhadap suhu
tinggi, kekeringan, ketidaksuburan lahan, gulma, serta hama dan penyakit OGTR 2008.
Penelitian tanaman gandum di Indonesia lebih difokuskan pada adaptasi terhadap lingkungan tropis yang kurang sesuai untuk pertumbuhannya, antara lain
ketahanan terhadap suhu tinggi Nur 2013 dan elevasi Handoko 2007, ketersediaan nitrogen Pratomo 2001, dan naungan Pratiwi 2006. Penelitian
gandum yang lain terutama di bidang bioteknologi juga telah dilakukan meliputi induksi kalus gandum Sisharmini et al. 2010, kombinasi variasi somaklonal dan
mutagenesis untuk gandum Lestari 2012, serta embriogenesis somatik gandum Pudjihartati Herawati 2012, dan sebagainya. Persilangan pada gandum juga
telah dilaporkan pada genotipe Oasis X HP1744, Dewata X Alibey Natawijaya 2012, dan Selayar X Rabe Mardiana 2015.
Beberapa penelitian menyebutkan tentang karakterisasi gandum, baik secara morfologi, karakter kuantitatif, maupun molekuler. Penelitian Anker et al.
2001 mengenai karakterisasi morfologi dan molekuler terhadap gandum yang resisten terhadap penyakit karat daun, kemudian penelitian Amir et al. 2014
mengenai karakterisasi fenotipik dan genotipik landrace gandum di Pakistan, dan masih banyak lagi. Studi mengenai genotipe-genotipe yang telah diuji pada
berbagai elevasi di Indonesia sudah banyak dilakukan. Rahmah 2011 melaporkan gandum genotipe G-21, H-21, G-18, Basribey, dan Menemen
mempunyai hasil produksi yang nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe Selayar sebagai kontrol di dataran rendah. Natawijaya 2012 menambahkan genotipe
Oasis dan Alibey mempunyai jumlah biji per malai yang cukup tinggi di dataran rendah. Selain itu, penelitian Puspita 2013 menyatakan genotipe HP1744 juga
mempunyai skor analisis urutan keempat berdasarkan bobot biji setelah Alibey, H-21, dan G-18 di elevasi rendah, sehingga berpotensi dikembangkan lebih lanjut.
Penelitian lain oleh Putri et al. 2013, genotipe introduksi Jarissa mempunyai keunggulan dalam panjang malai dan jumlah spikelet, sedangkan oleh Batan
2013 dikembangkan genotipe lokal hasil iradiasi sinar gamma yakni Ganesha-1 yang mempunyai potensi hasil sebesar 6.4 tonha. Hingga saat ini, Indonesia telah
melepas beberapa varietas gandum, antara lain Nias, Selayar, Dewata, Guri 1, Guri 2, Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, dan Guri 6 Unand.
2.5 Suhu Tinggi
Suhu yang tinggi merupakan salah satu faktor penghambat pertumbuhan tanaman, terutama gandum sebagai tanaman subtropis. Suhu merupakan faktor
pembatas dalam segala bentuk proses biologis, dapat bersifat mengoptimalkan maupun merugikan. Suhu membatasi secara geografis tanaman untuk tumbuh dan
menyebar. Studi menyatakan bahwa tanaman yang toleran suhu tinggi mempunyai
10 hasil buah yang ukurannya lebih kecil, dan umur berbunga yang cepat. Selain itu,
patogen lebih cepat berkembang biak pada suhu yang tinggi Grierson 2002. Suhu erat kaitannya dengan aktifitas enzim. Semakin tinggi suhu, enzim
akan bekerja lebih cepat. Namun karena enzim merupakan protein, maka enzim dapat terdenaturasi apabila suhu terlampau tinggi. Selain itu tingginya suhu dapat
menurunkan tekanan osmotik sehingga aktifitas penyerapan air pada tanaman terganggu. Kemudian, suhu yang tinggi juga dapat meningkatkan transpirasi pada
tanaman. Jika tidak diimbangi dengan kecukupan air maka tanaman akan mengalami dehidrasi Taiz Zeiger 2002.
Smith et al. 2002 menambahkan, metabolisme dan respirasi tumbuhan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Akibatnya penggunaan CO
2
untuk pertumbuhan meningkat. Tanaman lebih banyak menggunakan energi untuk pertumbuhannya. Selain itu, pada awal fase perkecambahan, tumbuhan
memerlukan suhu yang optimum. Bila suhu terlalu tinggi maka akan direspon sebagai keadaan yang kurang menguntungkan. Menurut Sharkey Schrader
2006, suhu tinggi juga dapat menurunkan viabilitas polen sehingga tanaman mengalami kesulitan untuk melakukan reproduksi dengan normal. Selain itu pada
proses fotosintesis, suhu tinggi akan menurunkan kemampuan transpor elektron dalam fotosistem II, merusak aparatus fotosintesis, dan enzim rubisco akan
mengalami deaktivasi.
HSF Heat Shock Factor merupakan gen-gen yang bekerja pada level transkripsi yang mempengaruhi aktivasi gen-gen fungsional utama pengendali
sifat toleransi cekaman pada makhluk hidup, terutama cekaman suhu tinggi. Gen- gen fungsional utama tersebut adalah golongan molecular chaperon yang
berfungsi melindungi protein-protein dalam sel dari denaturasi akibat suhu tinggi, yaitu HSP Heat Shock Protein. Dalam keadaan normal HSF berbentuk monomer
berikatan dengan HSP, kemudian ketika aktif akan berubah menjadi bentuk trimer dan secara kompleks menentukan respon yang akan dilakukan terhadap adanya
cekaman melalui gen HSP. Artinya, HSF berperan dalam memediasi ekspresi dari gen utama untuk merespon cekaman suhu tinggi. Adanya HSE Heat Shock
Element
yang berikatan dengan HSF pada bagian promotor HSP akan menentukan apakah gen tersebut akan diekspresikan atau dihambat. Ditemukan
asosiasi antara HSF-1 dengan HSP90 pada tanaman Arabidopsis yang secara kompleks menentukan respon tanaman terhadap cekaman Panchuk et al. 2012.
11
3 KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN KARAKTER AGRONOMI BEBERAPA GENOTIPE GANDUM
Triticum aestivum L. DI DATARAN MENENGAH
Abstrak
Suhu tinggi merupakan salah satu faktor cekaman abiotik yang dihadapi tanaman gandum yang ditanam di Indonesia. Dataran tinggi yang merupakan lingkungan
tumbuh optimum gandum di Indonesia memiliki kendala adanya persaingan dengan komoditas hortikultura. Dalam rangka pengembangan varietas gandum di
Indonesia, pemuliaan tanaman gandum difokuskan untuk dapat menghasilkan genotipe adaptif dataran menengah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
karakter morfologi gandum kaitannya dengan suhu tinggi, mengetahui hubungan kekerabatan secara morfologi di antara genotipe introduksi gandum di Indonesia,
serta mengetahui pertumbuhan gandum di dataran menengah, sebagai langkah awal dalam menentukan tetua dalam persilangan. Percobaan disusun berdasarkan
rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan dan faktor tunggal. Genotipe yang digunakan adalah tiga genotipe yang lebih awal diintroduksi Nias,
Selayar, dan Dewata, serta lima genotipe yang baru diintroduksi Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, dan SBD. Genotipe gandum
menunjukkan adanya keragaman berdasarkan delapan belas karakter morfologi yang diamati. Analisis filogenetik membentuk dua klaster utama yang
mengelompokkan genotipe yang lebih awal diintroduksi terhadap genotipe yang baru diintroduksi, serta memperlihatkan hubungan kekerabatan yang jauh.
Karakter kuantitatif pada genotipe yang baru diintroduksi memiliki nilai pengamatan lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe yang lebih awal
diintroduksi, mengindikasikan adanya perbaikan karakter agronomi yang menunjang adaptasi gandum pada genotipe yang baru diintroduksi di Indonesia.
Heritabilitas dan koefisien keragaman genetik yang tinggi terdapat pada karakter panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering malai, dan bobot
biji. Genotipe Nias dan SBD dapat disilangkan untuk meningkatkan keragaman genetik, Guri 3 Agritan dan Guri 4 Agritan untuk karakter hasil, sedangkan untuk
tujuan mengkombinasikan taraf toleransi suhu tinggi, karakter morfologi yang menunjang perbaikan adaptasi, serta karakter agronomi dapat dipilih Selayar dan
Guri 4 Agritan.
Kata kunci : filogenetik, genotipe introduksi, kekerabatan, keragaman, suhu tinggi
Abstract
High temperature is one of major abiotic stress factor for cultivation wheat in Indonesia. High altitude as optimum environment for wheat cultivation has
competition with horticulture commodities. In order to develop wheat variety in Indonesia, plant breeding program focuses to create adaptive variety for mid-
altitude. The main purposes of this research are to study morphological characters of wheat related to heat tolerance, study genetic relationship by morphological
characterization between several introduced wheat genotypes in Indonesia, and