dipercayakan kepada Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden.
14
1. Kabinet Natsir
Pada tanggal 21 Agustus 1950 Presiden Soekarno mengangkat Mohammad Natsir sebagai formatir pembentuk kabinet. Natsir dituntut
untuk menyatukan partai sebanyak-banyaknya dalam kabinet. Natsir secara otomatis memegang jabatan sebagai Perdana Menteri, Natsir dalam
pembentukan kabinet dibantu oleh Sjarifuddin Prawiranegara dan Wahid Hisjam berpendapatbahwa Partai Masyumi di kabinet harus mencerminkan
pengaruh lebih besar daripada partai-partai lain yang akan duduk dalam kabinet, dan menentukan pula kursi-kursi dalam kursi kursi mana yang
hendak dibagi antara PNI dan Masyumi. PNI menghendaki agar ia dan Masyumi masing-masing mempunyai empat kursi dan agar sepuluh kursi lain
disediakan untuk partai-partai yang lain. Formatir Natsir tidak dapat memenuhi keingan PNI. Disamping itu, ada perbedaan lain terutama yang
menyangkut tipe-tipe tokoh yang akan diangkat. Dasar kepentingan dua partai iniyang sulit dipertemukan.
15
Kabinet Natsir memang tidak bisa merangkul PNI untuk duduk dalam kabinet karena perbedaan-perbedaan yang ada. Pembentukan kabinet Natsir
juga mendapat kecaman dalam partai karena dianggap melanggar peraturan partai karena menjabat sebagai ketua partai Masyumi sekaligus perdana
14
Ibid, hlm. 202.
15
Anwar Harjono, dkk. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, hlm. 32-33.
menteri. Kecaman pertama dihubungkan dengan keputusan kongres Desember 1949 yang melarang ketua umum partai menjadi menteri. Maksud
kongres ialah agar ketua umum benar-benar mengkonsolidasi partai. Tetapi keputusan kongres ini diubah oleh Dewan partai di Bogor 3-6 Juni 1950 dan
menetapkan bahwa “bila diperlukan,kita akan mengambil kepemimpinan pemerintah di tangan kita. Konperensi juga menghendaki agar kursi-kursi
perdana menteri, dalam negeri dan pertahanan di pegang Masyumi, supaya keputusan kongres tidak dilanggar, maka memutuskan Natsir nonaktif sebagai
ketua partai. Jusuf Wibisono menjadi penjabat ketua.
16
Partai Islam lain tampaknya bersikap dingin terhadap formatir kabinet Natsir, hanya PSII yang bersedia duduk dalam kabinet, meskipun kemudian
menarik dukungannya. Kabinet Natsir yang terbentuk tanggal 6 September 1950 akhirnya mengalami kegagalan. Kegagalan ini berawal berawal dari
perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat yang dinilai gagal, hingga persoalan Mosi Hadikusumo untuk mencabut PP No 39 tahun 1950 tentang
pemilihan anggota-anggota daerah. Selain itu, kegagalan perundingan dengan PNI untuk melakukan reshuffle kabinet berujung fatal. Partai lain, seperti PIR
menarik wakilnya yang dudukdalam kabinet. Natsir limpung dan kabinet tak bisa lagi dijalankan. Ia harus menyerahkan mandatnya ke presiden pada
tanggal 21 Maret 1951.
17
16
Deliar Noer. op.cit., hlm. 205.
17
Rhoma Dwi Aria Yuliantri. 2010. Catatan Singkat Soekiman, Basis, No. 03-04 Tahun 60, hlm. 54.
Tajuk Suara Partai Masyumi, MaretApril 1951 tampak jelas dukungan diberikan kepada Natsir. Hal ini diperkuat dengan keputusan sidang dewan
partai Masyumi ke-V Januari 1951 yang menyokong kabinet Natsir. Pembentukan formatir yang baru juga disinggung dalam tajuk itu, pada
intinya Masyumi menyerahkan mandat kepada presiden untuk menunjuk formatir. Masyumi sendiri akan menerima apabila ditunjuk sebagai formatur
asalkan syarat-syarat disetujui.
18
2. Kabinet Soekiman
Pasca Natsir mengembalikan mandat kabinet ke Presiden Soekarno segera setalah itu pembentukan kabinet diserahkan kepada PNI. Presiden
menunjuk Sartono, tetapi kemudian gagal karena tidak bisa menyatukan koalisi dengan Partai Masyumi, terdapat perbedaan yang tajam dengan
partainya. Akhirnya mandat dikembalikan semula ke Presiden Soekarno. Presiden kemudian menunjuk dua orang formatir kabinet, yaitu Sukiman
Wiryosanjoyo Masyumi dan Sidik Djojosukarto PNI. Soekiman dan Sidik diberi waktu lima hari untuk melaksanakan tugas, kemudian diperpanjang
delapan hari hingga 26 April 1951. Perjalanan Sukiman dari awal memang tidak mudah karena partainya
sendiri tidak mendukung penuh. Hal ini dipicu dari sikap Soekiman yang tidak terlalu menanggapi keputusan musyawarah dewan partai Masyumi, agar
batas lima hari untuk membentuk kabinet dipegang teguh dan mengembalikan mandat bila tugas tidak selesai. Pasca lima hari, Soekiman terus maju bahkan
18
Ibid.
ia tidak menghadiri rapat pimpinan partai untuk menentukan sikap tehadap kabinet sedangkan Jusuf Wibisono yang menjadi calon menteri keuangan
hanya hadir sebentar. Rapat menunda sidangnya untuk menentukan sikap terhadap kabinet secepat-cepatnya. Tetapi perkembangan keadaan hanya
memperlihatkan adanya dua sikap dan pendapat dalam lingkungan pusat Masyumi.
19
Perbedaan pandangan dalam tubuh partai pun mula menyeruak antara pendukung Natsir dan Sukiman. Sementara partai kecil membentuk koalisi
bersama dan mengangap formatur Sukiman dan Sidik tidak memenuhi program minimum persetujuan bersama badan permusyawaratan yang terdiri
dari PSII, Partai Rakyat Nasional, Partai Buruh, PERMAI, Perti, Partai Indonesia Nasional, Partai Tani Indonesia, PKI, Parindra dan Partai
Murba.Setelah Kabinet Sukiman dilantik, Natsir mengambil langkah lain. Ia berusaha berdamai dengan Sukiman untuk menutupi perbedaan pandangan
antara anggota partai Masyumi pendukung Natsir dan Sukiman. Menurut Natsir, bahwa perbedaan pandangan anggota-anggota Masyumi mengenai
pembentukan kabinet adalah hal biasa. Keterangan tersebut barangkali menjadi semacam upaya agar perbedaan dalam tubuh partai tidak semakin
dalam, meskipun Natsir tidak sepenuhnya sependapat dengan Sukiman.
20
Kelebihan Soekiman adalah mampu mengandeng PNI untuk duduk bersama dalam kabinet. Salah satu kebijakan penting pada masa kabinet
19
Deliar Noer. op.cit., hlm. 216.
20
Rhoma Dwi Aria Yuliantri. op.cit., hlm. 55.
Sukiman adalah keputusan menghandiri keonfernsi di San Fransisco tentang perjanjian perdamaian dengan Jepang. Kabinet Sukiman memutuskan
undangan itu dan mengirim sebuah delegasi dengan dipimpin oleh menteri Subardjo. Padatanggal 7 September 1951 kabinet menandatangani perjanjian
San Fransisco dan persetujuan MSA Mutual Security Act. Kebijakan politik luar negeri kabinet Sukiman tersebut menimbulka reaksi dari berbagai
partai politik. Polit biro PKI menyatakan bahwa penandatanganan perjanjian tersebut merupakan gambaran kabinet Sukiman yang menjalankan politik
kolonial atas nama politik nasional. CC PKI juga menyerukan untuk mencegah Amerikanisasi dan Japanisasi.
21
Pihak Natsir juga berpendapat bahwa dengan demikian telah meninggalkan politik bebas aktif yang memang semenjak 1945 berusaha
menegakannya. Tetapi pandangan Sukiman berbeda, menurutnya dari masa Revolusi Indonesia berada dalam pengaruh Amerika Serikat. Oleh karena itu,
dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, ia tidak dapat melepaskan kecenderungan untuk berpihak kepada Amerika Serikat.
22
Permasalah ini kemudian mempengaruhi kabinet, partai Masyumi walaupun menolak kebijaksanaan Subardjo, tidak bermaksud menarik para
menterinya dari kabinet. Tetapi ketika partai-partai lain mulai keluar dari kabinet, tidak ada jalan lain bagi Sukiman selain menyerahkan mandat kepada
Presiden tanggal 23 Februari 1952. Soekiman merasa kecewa tehadap
21
Ibid.
22
Deliar Noer. op.cit., hlm. 220.
partainya yang dinilainya tidak memberi dukungan pada kabinetnya. Pasca jatuhnya kabinet, Sukiman tidak pernah hadir dalam rapat pimpinan partai
Masyumi yang membicarakan pembentukan kabinet baru pengganti sebelumnya.
3. Kabinet Wilopo
Kejatuhan kabinet Sukiman memberi perhatian kembali pada soal-soal pembentukan pemerintahan baru..Pada tanggal 1 Maret Presiden menunjuk
Prawoto dan Sidik Djojosukarto dari PNI untuk membentuk suatu kabinet yang kuat dengan dukungan yang luas dan dukungan di parlemen. Usaha
Prawoto dan Sidik juga belum berhasil. Pada tanggal 18 November kedua formatir Prawoto dan Sidik terpaksa menyerahkan mandat kepada presiden
karen tidak memperoleh persesuaian pendapat. Pada tanggal 19 Maret Presiden menunjuk Wilopo dari PNI sebagai
formatir membentuk kabinet. Wilopo berhasil membentuk kabinet dengan kursi wakil perdanamenteri yang akan dipercaya kepada Partai Masyumi.
Partai kemudian menunjuk Prawoto mendampingi Wilopo.Pada tanggal 20 Maret 1952 NU menuntut kursi menteri agama.Prawoto sebagai wakil
perdana menteri meminta formatir Wilopo untuk menyerahkan keputusan siapakah yang duduk di menteri agama.
23
Keputusan Wilopo adalah menunjuk K.H. Fakih Usman unsur Muhamadiyah dalam partai Masyumi sebagai menteri agama. Keputusan ini
akhirnya berujung menjadi mala petaka bagi Partai Masyumi. Pengurus besar
23
Ibid., hlm. 221-222.
NU di Surabaya kemudian merapatkan hal ini sertamemperkuat keputusan dengan kongres NU di Palembang yang menyatakan NU keluar dari Partai
Masyumi. Sukiman yang menghadiri kongres di Palembang menolak keputusan ini dengan alasan NU adalah organisasi yang berdaulat dan
menyarankan sesama muslim unntuk bekerja sama. Keluarnya NU dari Partai Masyumi sebenarnya sudah ada benih-benih sejak tahun 1947. Ketika PSII
dan Perti Persatuan Tarbiyah Islamiyah memboikottindakan Partai Masyumi, yang tidak mau bekerjasama dengan Amir.
24
NU merasa tidak puas ketika dalam pengurusan Partai Masyumi, keanggotaan perorangan mempunyai nilai sejajar dengan keanggotaan
organisasi NU dalam partai. Parlemen KNIP sampai DPR, NKRI jumlah anggota wakil dari wakil Partai Masyumi adalah 60 orang. Dari jumlah sekian
yang berasal dari NU hanya 8 orang saja: yaitu K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Muh. Ilyas, Muh. Saleh Suryaningprojo, Muh. Ali Prataningkusumo, A.A
Ahsien, K.H Idham Khalid, A. S Bahmat dan K.H. Zainul Arifin. Berarti tidak ada unsur keseimbangan anggota NU yang banyak. Disamping itu
ketika Menteri Agama kabinet Sukiman yaitu K.H. Wahid Hasyim mendapat interplasi secara terbuka dalam sidang parlemen oleh AlmezMasyumi
tentang perjalanan haji yang mengalami kesulitan, hal ini secara tidak langsung memunculkan keretakan dalam partai Masyumi sendiri.
25
24
Bibid Suprapto. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia,1985, hlm. 145.
25
Ibid, hlm. 146.
Kejengkelan dalam tubuh NU semakin memuncak ketika kabinet Wilopo tidak ada yang berasal dari NU. Wilopo sendiri lebih dekat dengan
Natsir. Masyumi sendiri menyerahkan sepenuhnya kepada Wilopo untuk menunjuk siapa yang akan menjadi menteri agama, namun memilih K.H.
Fakih Usman menjadi Menteri Agama dalam kabinet Wiloppo menyebabkan masalah yang besar hal ini dikarenakan, menteri Agama dalam kabinet
sebelumnya selalu dipegang NU dengan K.H. HasyimWahab duduk sebagai menteri.
26
NU ingin juga menunjukan bahwa kalangan ulama berpendidikan tradisional sebenarnya juga mampu menegelola suatu negara modern.maka
dalam Mukhtamar NU di Palembang 1952, menyatakan diri keluar dari Masyumi.
Semenjak keluarnya NU, Partai Masyumi menjadi lemah. usaha-usaha dilakukan agar partai Islam tidak terpecah belah pun dilakukan. Usaha
peretmuan yang dilakukan oleh Mohammad Natsir, Wahid Hasjim dan Abikusno Tjokrosujosso pun juga gagal setelah Wahid Hisjam berpulang
pada tanggal 19 April 1953. Kedudukan partai dalam kabinet Wilopo juga tidak beruntung,bukan karena kurangnya kerja sama antara menteri,
melainkan karena hubungan antara menteri dalam partainya di luar kabinet. PNI dan partai Masyumi yang menjadi tulang punggung kabinet dalam
prakteknya kurang lancar.
27
26
Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Politik Teori belah bambu masa Demokrasi terpimpin 1959-1965. Jakarta:Gema Insani Press, 1996, hlm.40.
27
Deliar Noer. loc.cit., hlm. 225.
Kurang lancarnya kerja kabinet yang bertumpu pada partai tercermin dalam soal peristiwa Tanjung Morawa Sumatera Barat.PNI memutuskan
untuk mendukung mosi ini. PNI mendesak partai Masyumi untuk membubarkan kabinet, karena PNI menolak cara-cara pemerintah dalam
menyelesaikan masalah Tanjung Morawa. Sementara partai Masyumi setuju dengan dengan kebijaksanaa menter dalam negeri Roem. Tampaknya tidak
ada jalan lain yang bisa merapatkan kedua partai PNI dan partai Masyumi. Mosi ini akhirnya menyebabkan kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya
kepada Presiden.
28
4. Kabinet Ali Sastroadmijojo
Pasca jatuhnya kabinet Wilopo, presiden kemudian menunjuk Mukarto bekas
menteri luar
negeri kabinet
Wilopo sebagai
pembentuk kabinet.Mukarto sebagai formatir pun gagal membentuk kabinet. Kegagalan
Mukarto dikarenakan tidak adajalan temu dengan Partai Masyumi. Partai mengusulkan untuk mengisi tawaran Mukarto tentang kursi dalam negeri
dengan Roem atau Abdul Hakim. PNI melihat ini sebagai desakan Partai Masyumi untuk membenarkan terkait peristiwa Tanjung Morawa. PNI dalam
pernyataannya mengemukakan bahwa, kecuali Partai Masyumi hampir semua partai yang akan diajak dalam kabinet sudah dapat menyetujui permintaan
formatir atas dasar program politik.
29
28
P.N.H. Simanjutak. Kabinet-Kabinet Republik Indonesia dari Awal Kemerdekaan Hingga Revolusi. Jakarta: Djambatan, 2003, hlm. 132-133.
29
Ibid, hlm.135.
Gagalnya Mukarto kemudian formatir berikutnya, Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi. Pada tanggal 14 Juni persesuaian tercapai
antara PNI dan formatir kabinet tentang masalah program, tetapi PNI secara tiba-tiba menuntut kursi Perdana menteri. Dengan demikian PNI melanggar
pendirian semula bahwa kursi perdana menteri harus dipercayakan kepada formatir, siapapun orangnya. Partai Masyumi menolak tuntutan itukemudian
mandat dikembalikan kepada Soekarno tanggal 18 Juli. Formatir selanjutnya, Wongsonegoro dari PIR Partai Indonesia Raya.
Pada tanggal 27 Juli formatir mengemukakan bahwa mengenai kursi perdana menteri dan wakil perdana menteri, agar diselesaikan PNI dan partai
Masyumi. Pada tanggal 28 Juli, partai Masyumi diperlihatkan posisi rancangan susunan kabinet oleh formatir. Menurut rancangan tersebut
partaiakan menempati kursi wakil perdana menteri, dalam negeri, perekonomian dan sosial, sedangkan PNI perdana menteri, luar negeri,
keuangan, pertanian dan perhubungan. Partai juga tidak bisa menerima beberapa calon nama menteri seperti: Iwa Kusumasumantri, F.S Tobing , Ong
Eng Die, dan Arudji Kartawinata. Masyumi mencurigai orang-orang ini, terutama Iwa dan Arundji, kiri.Arundji pada tahun 1947 merusak tekad umat
dengan mendirikan kembali PSII. Ong Eng Die pernah menjadi wakil menteri keungan dalam kabinet Amir Syarifuddin 1947-1948 sebagai wakil Partai
Sosialis kemudian ia menyebarang ke PNI. Karena tidak adanya kesepakatan dengan Partai Masyumi, akhirnya formatir meninggalkan partai Masyumi.
30
30
Deliar Noer. loc.cit., hlm. 136-137.
Pada tanggal 1 Agustus 1953, formatir mengemukakan komposisi kabinet tanpa dukungan partai Masyumi. Pembentukan kabinet Ali
merupakan pukulan telak bagi Masyumi. untuk pertama kali sejak tahun 1950 Partai Masyumi tidak turut serta dalam kabinet. Menurut Jusuf Wibisono
dalam artikel Mimbar Indonesia no 32 tahun 1953 dengan berjudul “Kabinet
baru kita”. Kabinet Ali dinilainya sebagai “jauh berbeda” dengan kabinet Wilopo, karena tidak menunjukan persatuan nasioanal dan beberapa menteri
yang tidak berbobot. Partai-partai kecil dan pemimpin-pemimpinnya yang tidak berpengaruh akibat cekcok antara Masyumi dan PNI sampai mendapat
kesempatan untuk duduk berkuasa dalam pemerintahan.
31
Partai Masyumi yang tidak duduk dalam kabinet dimanfaatkan semaksimalkan mungkin oleh PKI untuk memecah konsentrasi pemerintah
tentang PNI-Masyumi, dan seterusnya untuk melumpuhkan partai Masyumi. Partai Masyumi yang tidak duduk dalam kabinet, akhirnya menjadi oposisi
dan mengajukan beberapa mosi tidak percaya. Mosi pertama pada bula April 1953, K.H. Tjikwan melancarkan mosi tidak percaya terhadap menteri Iskaq
karena tidak berhasil merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Mosi ini akhirnya dibicarakan dalam kabinet serta mengambil keputusan
dengan cara vooting. Mosi K.H. Tjikwan akhirnya ditolak dengan suara 101 lawan 60.
31
Soebagijo I.N. Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang. Jakarta: Gunung Agung, 1980, hlm. 128.
Pada bulan Mei 1955 Jusuf Wibisono dengan Burhanuddin Harahap mengajukan mosi untuk menasionaliskan semua tanah partikelir sebelum
tahun 1955 berakhir; untuk kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat. PKI waktu itu menentang mosi iu dengan alasan, bahwa nasionalisasi tanah-tanah
partikelir itu merugikan rakyat dan merupakan beban berat pemerintah dalam bidang keuangan. PKI yang membela kabinet Ali, disikapi Jusuf Wibisono
dalam Suara Masyumi tahun XI17, 27 Juni 1955 dan tahun XI18, 1 Juli 1955. Lebih menyolok lagi betapa plinplannya politik yang dianut PKI ialah
sewaktu dalam kabinet Wilopo, Menteri Dalam Negeri Mohammad Roem mengajukan rencana Undang-undang untuk membeli kembali tanah-tanah
partikelir, PKI justru menyetujui.
32
Mosi yang dilancarkan oleh beberapa tokoh partai Masyumi tak mendapati kabinet jatuh, meskipun pada tanggal 17 Oktober 1954 PIR
mendesak kabinet untuk bubar dengan ancaman akan menarik para menterinya. Kecaman PIR ditujukan kepada kebijaksanaan ekonomi dan
keuangan pemerintah yang dilakukan oleh menteri-menteri PNI. Kejatuhan kabinet disebabkan peristiwa Angkatan Darat karena pelantikan Bambang
Utojo.Kepala Staf Angkatan Darat KSAD waktu itu adalah Jenderal Bambang Sugeng.Pada bulan Mei 1955 Bambang Sugeng memasuki pensiun
sehingga diangkatlah kolonel Bambang Utojo sebagai KSAD yang baru.kolonel Zulkifli Lubis tidak setuju, sebab sewaktu Bambang menjadi
KSAD, Zulkifli sebagai wakil KSAD. Setelah Bambang pensiun maka
32
Ibid., hlm. 129-130.
Zulkifli yang paling berhak menduduki KSAD. Zulkifli beranggapan ia didiskreditasi oleh Kabinet Ali dengan pengangkatan Bambang Utojo. Maka
Zulkifli Lubis mempertahankan haknya dan bersama kawan-kawannya memboikot pelantikan Bambang Utojo. Akibatnya pelantikan gagal dan
Kabinet Ali jatuh. NU memutuskan pula tanggal 20 Juli agar kabinet menyerahkan mandatnya ke Presiden.
33
5. Kabinet Burhanuddin Harahap
Kejadian pengangkatan Bambang Utojo sebagai KSAD menjadi membuat wibawa pemerintah dalam kabinet jatuh terutama pada Angkatan
Darat dan mandat kembali dikembalikan Presiden. Presiden yang waktu itu sedang pergi haji, sebagai gantinya masalah pembentukan cabinet dilakukan
Wakil Presiden Muh.Hatta. Hatta kemudian menunjuk Sukiman Masyumi, Wilopo PNI, dan Assaat non partai yang diharap bisa menjembatani kedua
wakil partai Masyumi dan PNI. Pada tanggal 1 Agustus PNI menuntut secara mutlak kursi perdana menteri. Hal ini tentu saja menimbulkan ketegangan
karena partai Masyumi belum diajak bekerja sama mengenai kursi dalam kabinet. Assaat berusaha mengatasi dengan mengusulkan agar Hatta menjadi
perdana menteri, tetapi usaha Assaat sia sia, terlebih partai Masyumi berpendapat agar Sukiman tidak perlu melanjutkan tugasnya. Akhirnya, pada
tanggal 3 Agustus 1955, ketiga formatir mengembalikan mandat kepada Hatta.
34
33
Deliar Noer. op.cit., hlm. 242.
34
P.N.H. Simanjuntak. lop.cit., hlm. 149.
Hatta kemudian menunjuk Burhanuddin Harahap Masyumi menjadi formatir kabinet. PNI mengusulkan mencalonkan Hardi, Sunario, dan
Rambitan sebagai wakil perdana menteri, menteri luar negeri dan menteri pekerjaan umum. Usul kedua dari PNI mencalonkan A. K. Gani sebagai
wakil perdana menteri. Masyumi menolak usul yang diajukan PNI, disamping itu PNI mengusulkan agar kursi pertahanan tidak diduduki partai Masyumi.
Atas dasar tersebut formatir kemudian meninggalkan PNI. partai Masyumi beruntung karena NU dan PSII bersedia ikut bergabung dengan kabinet.
Masyumi juga dapat mencapai kerja sama dengan partai kecil lainnya seperti PIR, Buruh, Demokrat dan Partai Rakyat Indonesia dengan meninggalkan
sebagian keinginannya mengenai kursipemerintahan.
35
Kabinet segera mengambil tindakan terutama mengambil langkah- langkah untuk menyelenggarakan pemilu.Sebelumnya muncul adanya
maklumatpemerintah Republik Indonesia tanggal 1 November 1945 bahwa akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa cita-cita dan dasar
kerakyatan itu benar-benar dasar pedoman penghidupan masyarakat dan negara. Pada bulan November 1952 Kabinet Wilopo berhasil menyusun
rancangan Undang-Undang tentang pemilihan umum pemilu. Pada tanggal 4 April 1953 diterima pengesahan Undang-undang tentang pemilihan anggota
konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
36
35
Delliar Noer. op.cit., hlm. 245.
36
A. G Pringgodigdo. Undang-Undang No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum. Yogyakarta: U.P Indonesia N.V. 1953, hlm. 5
– 7.
Pemilu 1955 tiap tokoh partai saling mencari simpatisan dan menggelorakan ideologi mereka masing-masing hingga tokoh seperti Natsir
yang berjuang untuk partai
Lihat lampiran 2 halaman 102
.
37
Berikut Hasil pemilihan umum pertama di Indonesia tahun 1955. Pemilu 5 besar
dimenangkan PNI dengan persentase yang sedikit. PNI 22,3 8.434.653, Partai Masyumi 20,9 7.903.886., NU 18,4 6.955.141, PKI 16,4
6.179.914, PSII 2.9 1.0091.160. Pemilihan tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Beberapa pimpinan partai Masyumi
merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dengan hasil pemilihan umum yang menunjukan partai Islam saling
bersaing.
38
Pasca pemilu PNI mengusulkan mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Pada awal 1956 masuk beberapa mosi diantaranya dari Sutardjo
Kartohadikusumo PIR-Wongsonegoro dan dari Achsien NU serta Mangunsukarso dari PNI. Sutardjo mendesak kabinet dalam tempo singkat
menyerahkan mandat kepada presiden.Sedangkan Achsien dan Mangunkarso menyatakan ketidakpercayaannya. Kemudian melalui rapat-rapat dibicarakan
oleh partai Masyumi, NU, PNI dengan maksud melicinkan jalan bagi pembentukan kabinet baru. Masalah pokok lainnya adalah cara membubarkan
kabinet.
39
37
Natsir sedang berkampanye untuk Partai Masyumi.
38
M.C Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT. Serambil Ilmu Semesta, 2008, hlm. 496.
39
Deliar Noer. loc.cit. hlm. 248.
Pada tanggal 1 Maret 1956 pimpinan partai Masyumi menyampaikan, sudah waktunya mengembalikan kabinet setelah hasil pemilihan umum
diumumkan. Pada tanggal 3 Maret 1956, akhirnya kabinet Boerhanoeddin Harahap menggembalikan mandatnya ke presiden.
69
BAB IV PERKEMBANGAN POLITIK PARTAI MASYUMI PASCA PEMILU 1955
A. Pergolakan Politik Partai Masyumi 1956-1958
Partai-partai yang ikut serta dalam pimilihan umum 1955 menjalankan fungsi mengartikulasi aspirasi masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan
serta kinerja politik yang memunculkan tokoh-tokoh nasional sebagai wakil rakyat maupun untuk mengisi jabatan pemerintah. Tak pelak karena keinginan
partai ataupun kubu internal partai muncul bebeapa gejolak maupun pandangan. Gejolak dalam partai yang merujuk masalah pemerintahan selalu berimbas pada
kekuatan daerah pendukung partai. Gejala ini selalu berkesinambungan dalam perpolitikan nasional.
Hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi perjalanan politik nasional. Konflik antara golongan partai kian
menajam. Konflik di tingkat elite itu berakibat pula pada sulitnya membentuk pemerintahan yang stabil. Persoalan bertambah pelik ketika beberapa daerah
melancarkan pemberontakan dengan rasa tidakpuasnya terhadap pemerintah pusat. Kondisi semcam ini merangsang militer untuk mendesak Sukarno agar
segera mengumumkan Undang-undang Darurat Perang demi menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia.
1
1
Zainal Abidin Amir. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2003, hlm. 42.
Pasca pemilu 1955 pelantikan kabinet dilakukan Sukarno dengan menunjuk Ali-Rhoem-Idham yang dilantik pada tanggal 24 Maret 1956
menggantikan Burhanuddin Harahap. Pada masa kabinet Ali II ini perbedaan- perbedaan terpusat pada kebijaksanaan kepegawaian, politik luar negeri, masalah
tentara, dan masalah daerah. Masalah-masalah ini menyebabkan timbulnya ketegangan dalam hubungan antara partai Masyumi Madjelis Syuro Muslimin
Indonesia dan PNI Partai Nasional Indonesia. Sementara di daerah-daerah di Indonesia, daerah luar jawa umumnya daerah penghasil devisa untuk negara yang
penting untuk menjalankan roda pemerintahan. Tantangan datang dari PNI dan partai Masyumi, sebagai pendukung kabinet. Tantangan lain dalam kabinet ini
ialah perpecahan Angkatan Darat yang mengakibatkan rusaknya hubungan angkatan darat dari pusat ke daerah, yang kemudian bermuara ke peristiwa PRRI
Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia. Keadaan seamakin parah ketika Bung Hatta meletakkan jabatan kursi Wakil Presiden pada tahun 1956.
2
Pada tahun 1956 masalah daerah menjadi genting sedemikan rupa. Perasaan tidak puas dengan gejolak politik kemudian melahirkan pembentukan
dewan dewan di berbagai daerah luar Jawa, yang merupakan pelaksanaan pemerintah tersendiri pula. Lambat laun dewan-dewan mengambil kekuasaan
pemerintah daerah. Pada bulan Desember 1956 para perwira tentara di Sumatera yang berhasil mendirikan Dewan Banteng yang berisi veteran-veteran dari bekas
2
Bibit Suprapto. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1985. hlm. 183-184.
divisi Banteng dari masa revolusi. Pada tanggal 20 Desember, komandan resimen di Sumatera Barat mengambil alih pemerintah sipil. Pada tanggal 22 Desember
kolonel Maludin Simbolon Panglima Divisi Bukit Barisan mengumumkan pengambil alihan kekuasaan di Sumatera Utara.
3
Kejadian ini disusul pula terbentuknya dewan-dewan dalam tubuh Angkatan Darat di Sulawesi yang
bernama Dewan Manguni. Perwira militer senior di Indonesia Timur, komandan TT Teritorial
Tertinggi -VII , Letnan Kolonel H.N.V Ventje Sumual telah menghadiri reuni SSKAD Sekolah Staf Komando Angkatan Darat di Bandung pada November
1956. Keadaan disana TNI Tentara Nasional Indonesia dan negara diperbincangkan serta ada seruan untuk persatuan TNI. Sumal rupanya sudah
berhubungan dengan kolonel-kolonel di Sumater seperti, Simbolon dan Husein dan bersimpati pada mereka, tetapi merasa bahwa dia hanya mempunyai satu
batalyoan di bawah kekuasaan operasionalnya di Sulawesi Selatan, tempat markas kedudukan besarnya. Panglima Sumual kemudian berangkat pula ke
Jakarta untuk meyakinkan pemerintah pusat tentang gawatnya di Indonesia Timur dan menyongsong tuntutan Gubernur atas otonomi sipil.
4
Pertengahan Februari sebelumnya pemimpin-pemimpin sipil mengorganisir diri ke dalam suatu perkumpulan. Perkumpulan tersebut bernama Konsentrasi
3
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern Jakarata: Serambi Ilmu, 2008, hlm. 503.
4
Barbara Sillars Harvey, Permesta Pemberontakan Setengah Hati Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989, hlm. 67.