Sigma Six Sigma Konsep

2.2 Konsep

Six Sigma

2.2.1. Sigma

Sigma    adalah abjad yunani yang digunakan sebagai simbol standar deviasi pada statistik, merupakan petunjuk jumlah variansi atau ketidak tepatan suatu proses. Tingkat sigma biasanya juga dipakai untuk menggambarkan output dari suatu proses, semakin tinggi tingkat sigma maka semakin kecil tingkat toleransi yang diberikan pada suatu produk barang atau jasa sehingga semakin tinggi kapabilitas prosesnya. Untuk proses manufaktur, nilai sigma merupakan ukuran yang mengindikasikan seberapa baik suatu proses berjalan atau menunjukan seberapa sering cacat tersebut terjadi. Semakin tinggi nilai sigma maka semakin kecil suatu proses tersebut menimbulkan cacat.

2.2.2 Six Sigma

Six Sigma tidak hanya sekedar metodologi perbaikan saja, melainkan sebuah sistem manajemen yang bertujuan mengadakan perbaikan yang menguntungkan bagi semua elemen konsumen, pemegang saham, dan elemen perusahaan itu sendiri, pengukuran tingkat kapabilitas proses, dan juga perbaikan untuk mencapai hasil yang mendekati sempurna George, Michael L, 2002, “Lean Six Sigma”. McGraw-Hill Companies, Inc Six Sigma adalah suatu tujuan kualitas proses, dimana Sigma adalah tolak ukur penting dari variable dalam proses Thomas Pyzdek, 2002, “The Six Sigma Hand Book”, Panduan legkap untuk Green belts, black belts, dan manager pada semua tingkat, salemba 4, Jakarta. Angka Sigma  sendiri seringkali dihubungkan dengan kemampuan proses yang terjadi terhadap produk yang diukur dengan defect per million opportunities DPMO. Sumber dari defect atau cacat hampir selalu dihubungkan dengan variasi, misalnya variasi material, prosedur, perlakuan proses. Dengan demikian Six Sigma sendiri telah mengalami pertambahan lingkup seperti keterlambatan deadline, variabilitas lead time, dan lain–lain. Maka perhatian utama dari Six Sigma ini adalah variasi karena dengan adanya variasi maka kurang memenuhi spesifikasi dengan demikian mempengaruhi potensi pasar bahkan juga pertumbuhan pendapatan. Tingkat kualitas sigma biasanya juga dipakai untuk menggambarkan variasi dari suatu proses. Semakin tinggi tingkat sigma maka semakin kecil toleransi yang diberikan pada kecacatan dan semakin tinggi kemampuan proses. Sehingga variasi yang dihasilkan semakin rendah dan dapat mengurangi frekuensi munculnya defect, biaya–biaya proses, waktu siklus proses mengalami penurunan dan kepuasan konsumen meningkat. Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Pada dasarnya pelanggan akan puas jika mereka menerima nilai sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok industri dan pelanggan pasar. Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses process capability. Menurut Gaspersz 2002, terdapat 6 aspek kunci dalam aplikasi konsep Six Sigma yaitu : 1. Identifikasi pelanggan. 2. Identifikasi produk. 3. Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan. 4. Definisi proses. 5. Menghindari kesalahan dalam proses dan menghilangkan pemborosan 6. Peningkatan proses secara terus menerus menuju target dari konsep ini. Sedangkan apabila konsep Six Sigma diterapkan dalam bidang manufaktur, maka ada enam aspek yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. 2. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ critical to quality individual. Critical to Quality adalah atribut–atribut yang sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. CTQ merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek–praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan. 3. Menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui pengendalian material, mesin, proses–proses kerja, dll. 4. Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang diinginkan pelanggan menentukan nilai USL dan LSL dari setiap CTQ. 5. Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ menentukan nilai maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ. 6. Mengubah desain produk atau proses sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target Six Sigma. Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Six Sigma tidak muncul begitu saja. Sejak dulu konsep ilmu manajemen sudah berkembang di Amerika, kemudian dilanjutkan dengan gebrakan manajemen Jepang dengan konsep Total Quality. Total Quality Manajemen juga merupakan program peningkatan yang terfokus. Didalam Six Sigma terdapat lebih banyak tool improvement yang bisa dipakai. Selain itu didalam Six Sigma akan diperkenalkan suatu konsep mengenai defect, opportunity, DPMO, yang menjadi rujukan nilai sigma proses. Kita juga akan diperkenalkan dengan variasi proses konsep untuk data kontinyu. Bukan berarti di dalam TQM hal tersebut tidak ada, hanya saja TQM tidak terlalu mementingkan pembahasan tersebut. Namun apabila ingin lebih mengenal proses, kita lebih mengetahui bagaimana variasi prosesproduk kita, artinya juga berapa sigma dari prosesproduk kita, maka Six Sigma lebih memadai dalam hal ini. Berikut ini akan diberikan alasan yang membuat Six Sigma berbeda dengan TQM dan program-program kualitas sebelumnya : a. Six Sigma terfokus pada konsumen. Konsumen, terutama eksternal konsumen selalu diperhatikan sebagai patokan arah peningkatan kualitas. b. Six Sigma menghasilkan Returns of Investement yang besar contohnya pada general electrics. c. Six Sigma mengubah cara manajemen beroperasi. Six Sigma lebih dari sekedar proyek peningkatan kualitas. Ia juga merupakan cara pendekatan baru terhadap proses berpikir, merencanakan dan memimpin untuk memberikan hasil yang baik.

2.2.3 Faktor Penentu Dalam Six Sigma