ANALISIS KUALITAS PRODUK NIGHT STAND (PROGRESSIVE 1416) DENGAN METODE SIX SIGMA DI PT. IGA ABADI - PASURUAN.

(1)

ANALISIS KUALITAS PRODUK NIGHT STAND

(PROGRESSIVE 1416) DENGAN METODE SIX

SIGMA DI PT. IGA ABADI - PASURUAN

SKRIPSI

O

Olleehh::

YONATHAN

KURNIAWAN

YONATHAN KURNIAWAN

0

0

5

5

3

3

2

2

0

0

1

1

5

5

0

0

0

0

3

3

J

J

U

U

R

R

U

U

S

S

A

A

N

N

T

T

E

E

K

K

N

N

I

I

K

K

I

I

N

N

D

D

U

U

S

S

T

T

R

R

I

I

F

F

A

A

K

K

U

U

L

L

T

T

A

A

S

S

T

T

E

E

K

K

N

N

O

O

L

L

O

O

G

G

I

I

I

I

N

N

D

D

U

U

S

S

T

T

R

R

I

I

U

U

N

N

I

I

V

V

E

E

R

R

S

S

I

I

T

T

A

A

S

S

P

P

E

E

M

M

B

B

A

A

N

N

G

G

U

U

N

N

A

A

N

N

N

N

A

A

S

S

I

I

O

O

N

N

A

A

L

L

V

V

E

E

T

T

E

E

R

R

A

A

N

N

J

J

A

A

W

W

A

A

T

T

I

I

M

M

U

U

R

R

2010


(2)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHANi DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 2

1.3.Batasan masalah ... 2

1.4.Asumsi ... 3

1.5.Tujuan ... 3

1.6.Manfaat ... 3

1.7.Sistematika Penulisan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kualitas ... 6

2.1.1. Pengendalian Kualitas ... 7

2.1.2. Tujuan Pengendalian Kualitas ... 7

2.1.3. Dukungan Manajemen dalam Program Peningkatan Kualitas Six Sigma ... 8

2.2.Konsep Six Sigma... 10

2.2.1Sigma ... 10

2.2.2Six Sigma ... 10

2.2.3Faktor Penentu Dalam Six Sigma ... 14

2.3. Penentuan Kapabilitas Proses ... 15

2.3.1 Penentuan Kapabilitas Proses untuk Data Atribut ... 16

2.3.2 Penentuan Kapabilitas Proses untuk Data Variabel... 19


(3)

2.4. DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) ... 29

2.5. DPMO (Defect per Million Oportunities) ... 34

2.6.FMEA (Failure Mode And Effect Analysis) ... 35

2.7.Seven tools ... 40

2.8.Pendahuluan Furniture ... 43

2.8.1 Kegiatan Produksi ... 44

2.8.2 Mesin dan Peralatan Produksi... 45

2.8.3 Kecacatan dalam Produksi Furniture ... 48

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 53

3.2. Identifikasi Variabel... 53

3.2.1 Variabel Bebas ... 53

3.2.2 Variabel Terikat ... 54

3.3. Flow Chart Pemecahan Masalah... 54

3.4. Metode Pengolahan Data ... 59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan Data ... 63

4.1.1 Data Output Produksi Night Stand ... 63

4.1.2 Data Defect Produksi Night Stand... 64

4.1.3 CTQ Produk Night Stand ... 65

4.2 Define ... 66

4.2.1 Penentuan Jenis Produk Yang Akan Diteliti ... 67

4.2.2 Identifikasi Jenis Kecacatan Produk... 67

4.3 Measure ... 68

4.3.1 Menentukan Jenis Cacat Terbanyak Dengan Diagram Pareto ... 68

4.2.2 Menghitung Sigma Proses Dengan Perhitungan DPMO Yang Dikonversikan Dalam Sigma ... 76

4.4 Analyze ... 84


(4)

v

4.5 Improve ... 90

4.5.1 Menetapkan Suatu Rencana Perbaikan... 90

4.5.2 Usulan Prioritas Rencana Perbaikan ... 94

4.6 Control... 96

4.7 Hasil Dan Pembahasan... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 98

5.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Faktor-Faktor Penyebab Cacat Yang Dapat Dikendalikan ... 08

Tabel 2.2. Cara Memperkirakan Kapabilitas Proses Untuk Data Atribut ... 18

Tabel 2.3. Cara Memperkirakan Kapabilitas Proses Untuk Data Variabel ... 21

Tabel 2.4. Nilai Severity ... 37

Tabel 2.5. Nilai Occurance ... 38

Tabel 2.6. Nilai Detection ... 38

Tabel 2.7. Tabel Konversi Nilai DPMO ke Nilai Sigma ... 39

Tabel 4.1. Jumlah Output Produksi Night Stand (Progressive 1416) Periode Jan-Mei 2010 ... 64

Tabel 4.2. Jumlah Defect Produk Night Stand (Progressive 1416) Periode Jan-Mei 2010 ... 64

Tabel 4.3. CTQ Produk Night Stand ... 65

Tabel 4.4. Jumlah Output Produksi Night Stand (Progressive 1416) Periode Jan-Mei 2010 ... 67

Tabel 4.5. Jumlah Defect Produk Night Stand (Progressive 1416) Periode Jan-Mei 2010 ... 67

Tabel 4.6. Prosentase kumulatif Untuk Analisis Pareto Bulan Jan’ 2010 ... 68

Tabel 4.7. Prosentase kumulatif Untuk Analisis Pareto Bulan Feb’ 2010... 69

Tabel 4.8 Prosentase kumulatif Untuk Analisis Pareto Bulan Mar’ 2010 ... 71

Tabel 4.9. Prosentase kumulatif Untuk Analisis Pareto Bulan Apr’ 2010 ... 72

Tabel 4.10. Prosentase kumulatif Untuk Analisis Pareto Bulan Mei’ 2010 ... 74

Tabel 4.11. Rangkuman Data Prosentase Kecacatan Produk Night Stand ... 75

Tabel 4.12. DPMO dan Sigma Bulan Januari 2010 ... 77

Tabel 4.13. DPMO dan Sigma Bulan Februari 2010 ... 78

Tabel 4.14. DPMO dan Sigma Bulan Maret 2010 ... 79

Tabel 4.15. DPMO dan Sigma Bulan April 2010 ... 80

Tabel 4.16. DPMO dan Sigma Bulan Mei 2010 ... 81

Tabel 4.17 Rangkuman Nilai DPMO dan Nilai Sigma Produk Night Stand ... 81


(6)

Tabel 4.18 FMEA (Failure Mode And Effect Analysis) ... 93 Tabel 4.19 Usulan Prioritas Tindakan Perbaikan... 95 Tabel 4.20 Rangkuman Hasil Pengolahan Data Produk Night Stand ... 97


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Proses The MAIC pada General Electric ... 09

Gambar 2.2. Pendekatan Siklus DMAIC ... 30

Gambar 2.3. Fishbone Diagram ... 42

Gambar 2.4. Contoh Kecacatan Sanding Marks (Beret Amplas) ... 49

Gambar 2.5. Contoh Kecacatan Tear Out (Geripis) ... 50

Gambar 2.6. Contoh Kecacatan Split & Crack (Pecah & Retak)... 50

Gambar 2.7. Contoh Kecacatan Veneer Seams (Jahitan Veneer) ... 51

Gambar 2.8. Contoh Kecacatan Sand Through (Botak) ... 52

Gambar 3.1. Flowchart Pemecahan Masalah ... 55

Gambar 4.1 Grafik Pareto Kecacatan Proses Produksi Night Stand Bulan Januari 2010... 69

Gambar 4.2 Grafik Pareto Kecacatan Proses Produksi Night Stand Bulan Februari 2010... 70

Gambar 4.3 Grafik Pareto Kecacatan Proses Produksi Night Stand Bulan Maret 2010... 71

Gambar 4.4. Grafik Pareto Kecacatan Proses Produksi Night Stand Bulan April 2010... 73

Gambar 4.5. Grafik Pareto Kecacatan Proses Produksi Night Stand Bulan Mei 2010 ... 74

Gambar 4.6. Grafik Nilai DPMO Periode Januari – Mei 2010 ... 83

Gambar 4.7. Grafik Nilai Sigma Periode Januari – Mei 2010 ... 83

Gambar 4.8. Fishbone Diagram Jenis Kecacatan Beret Amplas ... 85

Gambar 4.9. Fishbone Diagram Jenis Kecacatan Botak ... 86

Gambar 4.10. Fishbone Diagram Jenis Kecacatan Pecah & Retak... 87

Gambar 4.11 Fishbone Diagram Jenis Kecacatan Geripis ... 88

Gambar 4.12. Fishbone Diagram Jenis Kecacatan Jahitan Veneer ... 89


(8)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambaran Umum Perusahaan Lampiran 2 Struktur Organisasi


(9)

Abstraksi

Perkembangan industri baik industri jasa maupun yang menghasilkan produk berkembang sangat pesat, perusahaan saling bersaing untuk mencari pasar konsumen yang tepat. Untuk menghadapi persaingan perusahaan menggunakan salah satu solusi untuk memenangkan persaingan yaitu dengan menggunakan tenaga–tenaga ahli dalam proses pelaksanaan pencapaian tujuan serta menjaga mutu atau kualitas dari produk yang dihasilkan.

PT. Iga Abadi adalah perusahaan pengolahan kayu yang berlokasi di Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Perusahaan ini memproduksi furniture untuk kebutuhan ekspor yang dipasarkan ke Amerika Serikat dan. Produk-produk kamar tidur (Bedroom set) dan ruang makan (dining set) adalah produk yang dibuat oleh perusahaan ini, seperti Night Stand, Dresser, Chest, King Beds, Queen Beds, Dining table, Dining Chair, Side Board, Pier Unit, Media console, dll.

Dari data yang didapat oleh peneliti, pada saat ini PT Iga Abadi Pasuruan memiliki tingkat kecacatan yang cukup tinggi, yaitu 5.12 % dari 12773 pcs total produk yang dihasilkan rata- rata setiap bulannya. Untuk melakukan perbaikan proses produksi, perlu dilakukan implementasi Six Sigma dengan tujuan mencapai zero defect ( cacat 0% ).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. Iga Abadi dengan produk Night Stand

(Progressive 1416), akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu untuk tingkat defect produk yang paling banyak terjadi pada produk Night Stand (Progressive 1416) adalah beret amplas

(sanding marks) dengan nilai RPN 576.   Setelah dilakukan perhitungan dengan pendekatan DMAIC, dapat diketahui nilai sigma selama bulan Januari sampai dengan Mei 2010 yaitu DPO sebesar 0.01700025 dan DPMO sebesar 17000.25 dengan tingkat sigma sebesar 3.6225 σ.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan industri baik industri jasa maupun yang menghasilkan produk berkembang sangat pesat, perusahaan saling bersaing untuk mencari pasar konsumen yang tepat. Untuk menghadapi persaingan perusahaan menggunakan salah satu solusi untuk memenangkan persaingan yaitu dengan menggunakan tenaga–tenaga ahli dalam proses pelaksanaan pencapaian tujuan serta menjaga mutu atau kualitas dari produk yang dihasilkan.

PT. Iga Abadi, perusahaan pengolahan kayu yang berlokasi di Pasuruan memproduksi meubel/furniture untuk kebutuhan ekspor sangat memperhatikan kualitas dari produk yang dihasilkan. Bedroom set dan Dinning set adalah grup produk yang dibuat di perusahaan ini,dengan macam design antara lain, Night Stand, Dresser, Chest, Headboard-Footboard, Rails, Mirror, Armoire, Media Chest, Side Board, Dining Table, Gathering Table, Occasional Table, Dining Chair, Cafe Chair, Desk Chair, Pier & Curio Unit, dll.

Dari data yang didapat oleh peneliti, pada saat ini PT Iga Abadi Pasuruan memiliki tingkat kecacatan yang cukup tinggi, yaitu 5.12 % dari 12773 unit total produk yang dihasilkan rata- rata setiap bulannya.

Untuk mengurangi jumlah cacat produk di atas, maka perlu dilakukan suatu evaluasi kontrol kualitas produk untuk mengetahui apakah proses yang sedang berjalan saat ini telah sesuai dengan metode kerja yang benar atau tidak. Selanjutnya dapat dilakukan identifikasi faktor-faktor kritis yang berpengaruh


(11)

terhadap kualitas produk. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu perbaikan proses yaitu dengan implementasi Six Sigma dengan tujuan untuk mencapai zero defect (cacat 0%).

Six Sigma melibatkan usaha yang terus-menerus untuk mengurangi variabilitas proses ke tingkat yang minimum, sehingga secara konsisten memenuhi persyaratan customer. Pendekatan Six Sigma merupakan suatu metode yang efektif dalam membantu perusahaan untuk memenangkan kompetisi. Dalam penelitian ini implementasi Six Sigma dilakukan dengan penerapan siklus DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) yang akan memberikan suatu arahan pada perbaikan yang sistematis dan kontinyu.

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah dapat dirumuskan suatu perumusan masalah yaitu : “Berapa tingkat kecacatan dan nilai sigma, serta bagaimana upaya untuk melakukan perbaikan kualitas pada produk Night Stand (progressive 1416) sehingga diperoleh hasil zero defect (cacat 0%)?”

1.3 Batasan Masalah

Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan tepat maka untuk penyusunan tugas akhir ini diberi batasan masalah yang meliputi :

1. Penelitian hanya dilakukan untuk produk Night Stand ( Progressive 1416). 2. Tahap improve sebagai usulan untuk perbaikan dan tahap control dilakukan

oleh perusahaan.


(12)

1.4 Asumsi – Asumsi

Dengan menggunakan asumsi sebagai berikut :

1. Pihak perusahaan (supervisor dan staff) yang memberikan informasi tentang faktor–faktor dugaan yang mempengaruhi karakteristik kualitas Night stand dianggap mengetahui secara tepat dan benar mengenai proses produksi yang dilaksanakan oleh perusahaan.

2. Sistem top manajemen / majemen puncak perusahaan dalam kondisi normal.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian Tugas Akhir ini adalah:

1 Mengetahui tingkat defect produk yang paling banyak terjadi dan nilai Sigma pada produk Night stand (Progressive 1416).

2 Memberikan usulan dalam perbaikan untuk mengurangi defect (kecacatan) dalam proses produksi

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi PT. Iga Abadi Pasuruan :

Perusahaan mendapatkan informasi yang up to date tentang perbaikan produk night stand. Perusahaan mendapatkan masukan berupa kerangka yang terstruktur dalam memperbaiki produk night stand melalui penerapan fase improvement DMAIC. Perusahaan dapat mengidentifikasi cara-cara / solusi untuk memperbaiki defect produk night stand.


(13)

2. Bagi peneliti :

Memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh khususnya yang berkaitan dengan Pengendalian Kualitas.

1.7 Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan Tugas Akhir ini dilakukan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang dari penulisan Tugas Akhir, kemudian perumusan masalah, batasan-batasan yang digunakan, tujuan yang ingin dicapai, manfaat yang diperoleh, serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tentang teori-teori yang berkaitan dengan Six Sigma, metode pengukuran yang digunakan dalam pengukuran defect, dan teori lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Pembahasan dari teori tersebut dikemukakan dalam bab ini agar pembaca dapat memahami konsep yang digunakan dalam penelitian.

BAR III METODE PENELITIAN

Dalam bab ini dibahas tentang metodologi yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian. Metodologi penelitian ini memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kegiatan penulisan tugas akhir. Prosedur penelitian ini disusun secara sistematis guna memperlihatkan tahrp-tahap yang dilalui dalam melakukan kegiatan penelitian.


(14)

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

Berisi tentang teknik pengumpulan data serta pengolahan data yang dilakukan seperti yang digambarkan pada bab metodologi penelitian, sehingga hasil akhimya adalah pemecahan masalah yang menjadi tujuan penelitian. Dan berisi tentang analisa serta interpretasi dari hasil pengolahan data (tahap DMAIC).

BAB V KESIMPUIAN DAN SARAN

Berisi kesimpulan dari pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya serta juga berisi saran-saran yang dapat dipergunakan sebagai masukan bagi PT. Iga Abadi Pasuruan dan juga bagi penelitian berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kualitas

Kualitas merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam setiap proses produksi, kualitas yang baik akan dihasilkan oleh proses yang terkendali.

Berikut ini akan diberikan definisi kualitas menurut beberapa sumber :

Deming (1986)

Kesulitan dalam pendefinisian kualitas adalah menterjemahkan atau mengubah kebutuhan yang akan datang dari user atau pengguna kedalam suatu karakteristik yang dapat diperlakukan agar sebuah produk dapat didesain dan dibuat untuk memberikan kepuasan dengan harga yang akan dibayar oleh user atau pemakai.

Crosby (1979)

Quality is conformance to requerements or specification. Kualitas adalah kesesuaian dari permintaan atau spesifikasi.

Juran (1974)

Quality is fitness for use. Kualitas adalah kelayakan atau kecocokan pengguna.

Hence

Kualitas dari suatu produk atau jasa adalah kelayakan atau kecocokan dari produk atau jasa tersebut untuk memenuhi kegunaannya sehingga sesuai dengan yang diinginkan oleh costumer.


(16)

Dari definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kualitas adalah kesesuaian antara produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pelanggan.

2.1.1 Pengendalian Kualitas

Tidak mungkin untuk memeriksa atau menguji kualitas kedalam suatu produk itu harus dibuat dengan benar sejak awal. Ini berarti bahwa proses produksi harus stabil dan mampu beroperasi sedemikian hingga sebenarnya semua produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi.

Pengendalian kualitas adalah aktivitas keteknikan dan manajemen, yang dengan aktivitas itu kita ukur ciri-ciri kualitas produk, membandingkannya dengan spesifikasi atau persyaratan dan mengasumsi, tindakan penyehatan yang sesuai apabila ada perbedaan antara penampilan yang sebenarnya dan yang standar. Pengendalian proses statistik pada jalur adalah alat utama yang digunakan dalam membuat produk dengan benar sejak awal (Montgomery, Douglas C, 1993, “Pengantar PKS”, Gajahmada University Press, Jogyakarta ).

2.1.2 Tujuan Pengendalian Kualitas

Tujuan dari pelaksanaan kualitas adalah:

1. Pencapaian kebijaksanaan dan target perusahaan secara efisien. 2. Perbaikan hubungan manusia.

3. Peningkatan moral karyawan.


(17)

Dengan mengarahkan pada pencapaian tujuan–tujuan diatas akan terjadi peningkatan produktivitas dan profibilitas usaha. Secara spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan pengendalian kualitas adalah sebagai berikut:

1. Memperbaiki kualitas produk yang dihasilkan. 2. Penurunan ongkos kualitas secara keseluruhan.

2.1.3 Dukungan Manajemen dalam Program Peningkatan Kualitas Six Sigma

Program peningkatan kualitas Six Sigma harus melibatkan manajemen dari tingkat atas sampai tingkat bawah secara intensif yang akan ditangani langsung oleh Champions dan Black Belt sebagai pemimpin tim manajemen proyek itu. Keterlibatan tim manajemen sangat penting karena survei menunjukkan bahwa sekitar 68% tingkat kegagalan proses dapat dikendalikan oleh manajemen, sedangkan hanya sekitar 32% yang dapat dikendalikan oleh pekerja seperti ditunjukan dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1 Faktor–faktor Penyebab Cacat Yang Dapat Dikendalikan

Kategori Persentase

1. Dapat dikendalikan oleh manajemen : 68%

 Pelatihan tidak tepat / tidak sesuai 15%

 Mesin tidak tepat / tidak sesuai 8%

 Pemeliharaan mesin tidak tepat /

tidak sesuai

8%

 Masalah – masalah proses lain 8%

 Penanganan material tidak tepat / tidak sesuai

7%

 Pemeliharaan peralatan tidak tepat. 6%

 Peralatan tidak tepat. 5%

 Material yang tidak sesuai. 3%


(18)

Kategori Prosentase

 Lain – lain 5%

Total 68%

2. Dapat dikendalikan oleh pekerja : 32%

 Pengoperasian mesin tidak tepat 11%

 Kegagalan memelihara pekerjaan 11%

 Lain –lain (misal : kesalahan

penempatan parts)

10%

Total 32%

Perusahaan General Electric telah menunjukan keberhasilan penerapan Six Sigma melalui proses yang disebut “The MAIC Process at GE”, seperti ditunjukan dalam Gambar 2.1 berikut :

Pendekatan sistematik untuk mengukur, menganalisa, meningkatkan dan memantau Six Sigma pada GE

The MAIC Process at GE Measure (M): Identifikasi proses internal kunci yang mempengaruhi CTQ dan pengukuran banyaknya kegagalan yang Control (C): Memantau proses-proses yang dimodifikasi untuk menguji bahwa variable-variabel dibawah kontrol tetap stabil dalam batas batas yang

Analyze (A): Mendeteksi variable-variabel utama yang mempengaruhi kegagalan,

mendefinisikan sebagai variasi diluar batas-batas yang berkaitan dengan proses yang

Improve (I):

Memodifikasi proses internal sehingga banyaknya kegagalan berada dalam batas-batas toleransi yang ditetapkan


(19)

2.2 Konsep Six Sigma

2.2.1. Sigma

Sigma

 

 adalah abjad yunani yang digunakan sebagai simbol standar deviasi pada statistik, merupakan petunjuk jumlah variansi atau ketidak tepatan suatu proses. Tingkat sigma biasanya juga dipakai untuk menggambarkan output dari suatu proses, semakin tinggi tingkat sigma maka semakin kecil tingkat toleransi yang diberikan pada suatu produk barang atau jasa sehingga semakin tinggi kapabilitas prosesnya.

Untuk proses manufaktur, nilai sigma merupakan ukuran yang mengindikasikan seberapa baik suatu proses berjalan atau menunjukan seberapa sering cacat tersebut terjadi. Semakin tinggi nilai sigma maka semakin kecil suatu proses tersebut menimbulkan cacat.

2.2.2 Six Sigma

Six Sigma tidak hanya sekedar metodologi perbaikan saja, melainkan sebuah sistem manajemen yang bertujuan mengadakan perbaikan yang menguntungkan bagi semua elemen konsumen, pemegang saham, dan elemen perusahaan itu sendiri, pengukuran tingkat kapabilitas proses, dan juga perbaikan untuk mencapai hasil yang mendekati sempurna (George, Michael L, 2002, “LeanSix Sigma”. McGraw-Hill Companies, Inc)

Six Sigma adalah suatu tujuan kualitas proses, dimana Sigma adalah tolak ukur penting dari variable dalam proses (Thomas Pyzdek, 2002, “The Six Sigma Hand Book”, Panduan legkap untuk Green belts, black belts,


(20)

dan manager pada semua tingkat, salemba 4, Jakarta).

Angka Sigma () sendiri seringkali dihubungkan dengan kemampuan proses yang terjadi terhadap produk yang diukur dengan defect per million opportunities (DPMO). Sumber dari defect atau cacat hampir selalu dihubungkan dengan variasi, misalnya variasi material, prosedur, perlakuan proses. Dengan demikian Six Sigma sendiri telah mengalami pertambahan lingkup seperti keterlambatan deadline, variabilitas lead time, dan lain–lain. Maka perhatian utama dari Six Sigma ini adalah variasi karena dengan adanya variasi maka kurang memenuhi spesifikasi dengan demikian mempengaruhi potensi pasar bahkan juga pertumbuhan pendapatan.

Tingkat kualitas sigma biasanya juga dipakai untuk menggambarkan variasi dari suatu proses. Semakin tinggi tingkat sigma maka semakin kecil toleransi yang diberikan pada kecacatan dan semakin tinggi kemampuan proses. Sehingga variasi yang dihasilkan semakin rendah dan dapat mengurangi frekuensi munculnya defect, biaya–biaya proses, waktu siklus proses mengalami penurunan dan kepuasan konsumen meningkat. (Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta).

Pada dasarnya pelanggan akan puas jika mereka menerima nilai sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang


(21)

bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability).

Menurut Gaspersz (2002), terdapat 6 aspek kunci dalam aplikasi konsep Six Sigma yaitu :

1. Identifikasi pelanggan. 2. Identifikasi produk.

3. Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan. 4. Definisi proses.

5. Menghindari kesalahan dalam proses dan menghilangkan pemborosan 6. Peningkatan proses secara terus menerus menuju target dari konsep ini.

Sedangkan apabila konsep Six Sigma diterapkan dalam bidang manufaktur, maka ada enam aspek yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan (sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan).

2. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (critical to quality) individual. Critical to Quality adalah atribut–atribut yang sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. CTQ merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek–praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan.


(22)

3. Menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui pengendalian material, mesin, proses–proses kerja, dll.

4. Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang diinginkan pelanggan (menentukan nilai USL dan LSL dari setiap CTQ). 5. Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan

nilai maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ).

6. Mengubah desain produk atau proses sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target Six Sigma. (Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta).

Six Sigma tidak muncul begitu saja. Sejak dulu konsep ilmu manajemen sudah berkembang di Amerika, kemudian dilanjutkan dengan gebrakan manajemen Jepang dengan konsep Total Quality. Total Quality Manajemen juga merupakan program peningkatan yang terfokus. Didalam Six Sigma terdapat lebih banyak tool improvement yang bisa dipakai. Selain itu didalam Six Sigma akan diperkenalkan suatu konsep mengenai defect, opportunity, DPMO, yang menjadi rujukan nilai sigma proses. Kita juga akan diperkenalkan dengan variasi proses (konsep untuk data kontinyu). Bukan berarti di dalam TQM hal tersebut tidak ada, hanya saja TQM tidak terlalu mementingkan pembahasan tersebut. Namun apabila ingin lebih mengenal proses, kita lebih mengetahui bagaimana variasi proses/produk kita, artinya juga berapa sigma dari proses/produk kita, maka Six Sigma lebih memadai dalam hal ini.

Berikut ini akan diberikan alasan yang membuat Six Sigma berbeda dengan TQM dan program-program kualitas sebelumnya :


(23)

a. Six Sigma terfokus pada konsumen. Konsumen, terutama eksternal konsumen selalu diperhatikan sebagai patokan arah peningkatan kualitas.

b. Six Sigma menghasilkan Returns of Investement yang besar (contohnya pada general electrics).

c. Six Sigma mengubah cara manajemen beroperasi. Six Sigma lebih dari sekedar proyek peningkatan kualitas. Ia juga merupakan cara pendekatan baru terhadap proses berpikir, merencanakan dan memimpin untuk memberikan hasil yang baik.

2.2.3 Faktor Penentu Dalam Six Sigma

Dijelaskan pula bahwa faktor penentu dalam pelaksanaan Six Sigma ini antara lain:

a. Costumer centric.

Pelanggan adalah tujuan utama Six Sigma dimana kualitas dari produk diukur melalui perspektif pelanggan dengan jalan :

1) Voice of coctumer (VOC), menyatakan keinginan pelanggan.

2) Requirements, masukan dari VOC ditransfer secara spesifik dengan elemen yang dapat diukur.

3) Critical to quality (CTQ), permintaan yang paling penting bagi pelanggan. 4) Defect, bagian yang kurang memenuhi spesifikasi.

b. Financial Result.

Total Quality Management (TQM) dikenal lebih dahulu dari pada Six Sigma. Pada TQM sendiri susah menentukan hal mana yang dijadikan


(24)

prioritas utama bahkan hampir semua proyek yang dikerjakan mengenakan biaya pada pelanggan dan penanam saham, sehingga dapat menghasilkan banyak biaya. TQM sering dipimpin oleh pihak yang paling kurang pemahaman terhadap pengendalian kualitas dan cenderung menemukan cara pengukurannya sendiri. Sedangkan Six Sigma mengakomodasikan penurunan biaya dan kenaikan pendapatan.

c. Management Engagement.

Pada penerapan Six Sigma ini selain pada proses juga memerlukan perhatian dan kerjasama pada semua lini manajemen perusahaan.

d. Resources Commitment.

Komitmen untuk maju lebih ditekankan daripada jumlah personel yang terlibat dalam implementasi ini.

e. Execution Infrastructure.

Six sigma didukung oleh infrastruktur yang berisi orang-orang dari top management sampai operasional dimana keseluruhannya memiliki fokus yang sama yaitu kepuasan pelanggan. (George, Michael L, 2002, “Lean Six Sigma”. McGraw-Hill Companies, Inc)

2.3. Penentuan Kapabilitas Proses

Keberhasilan implementasi program peningkatan kualitas six sigma ditunjukan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegegalan nol (Zero Defect). Oleh karena itu, konsep perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk dipahami dan implementasi program six sigma. Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua


(25)

jenis data, yaitu :

1. Data atribut (Atributes Data), merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisa. Data atribut bersiat diskrit, jika suatu catatan hanya merupakan suatu ringkasan atau klasifikasi yang berkaitan dengan sekumpulan persyaratan yang telah ditetapkan, maka catatan itu disebut sebagai “atribut”. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan buku administrasi nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu yang cacat karena corelap, dan lain–lain. Data atribut biasanya diperoleh dalam bentuk unit–unit nonkonformans/ketidaksesuaian atau cacat terhadap spesifikasi kualitas yang ditetapkan.

2. Data Variabel (Variables Data). merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuat berdasarkan keadaan aktual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut sebagai variabel. Contoh langsung, data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan terhadap kayu lapis, berat semen dalam kantong, dan lain–lain.

2.3.1 Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Atribut

Langkah–langkah untuk menentukan kapabilitas proses untuk data atribut menurut Gaspersz (2002) adalah sebagai berikut :

1. Menentukan proses yang ingin diketahui kapabilitasnya.


(26)

3. Menghitung banyak unit transaksi yang gagal.

4. Menghitung tingkat cacat (kesalahan) berdasarkan langkah 3 dengan membagi langkah 3 dengan langkah 2.

5. Menentukan banyaknya CTQ (Critical To Quality) potensial yang dapat mengakibatkan cacat (kesalahan).

6. Menghitung peluang tingkat cacat (kesalahan) per karakteristik CTQ (Critical To Quality) dengan membagi langkah 4 dengan langkah 5. 7. Menghitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan (DPMO)

dengan mengalikan langkah 6 denga 1 juta. 8. Mengkonversikan DPMO ke dalam nilai Sigma. 9. Membuat kesimpulan.

Berikut ini akan dibahas tentang teknik memperkirakan kapabilitas proses dalam ukuran pencapaian target Sigma untuk data atribut (data yang diperoleh melalui perhitungan–perhitungan bukan melalui pengukuran langsung, misalnya presentase kesalahan, banyaknya keluhan pelanggan, dan lain–lain). Pada umumnya data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK, seperti : sesuai tidak sesuai, puas atau tidak puas, berhasil atau tidak, dan lain–lain. Data ini dapat dihitung untuk keperluan pencatatan dan analisis.

Misalkan kita akan menentukan kapabilitas proses billing and charging dari sebuah perusahaan jasa tertentu. Langkah–langkah penentuan kapabilitas untuk data atribut ditunjukan dalam Tabel 2.2


(27)

Tabel 2.2 Cara Memperkirakan Kapabilitas Proses untuk Data Atribut

Langkah Tindakkan Persamaan

Hasil Perhitungan 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Proses apa yang ingin anda ketahui?

Berapa banyak unit transaksi yang dikerjakan melalui proses?

Berapa banyak unit transaksi yang gagal? Hitung tingkat cacat (kesalahan) berdasarkan pada langkah 3

Tentukan banyaknya CTQ potensial yang dapat mengakibatkan cacat (kesalahan) Hitung peluang tingkat cacat (kesalahan) per karakteristik CTQ

Hitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan (DPMO)

Konversi DPMO (langkah 7) ke dalam nilai sigma

Buat kesimpulan

- -

- = (langkah 3) /

(langkah 2) =banyaknya karakteristik CTQ

= (langkah 4) / (langkah 5) = (langkah 6) x

1.000.000 -

-

Billing and charging

1.283 145 0,113 24 0,004708 4.708

4,09 – 4.10

Kapasitas sigma adalah 4,10 (rata – rata kinerja industri

di Amerika Serikat) Catatan: CTQ = critical-to-quality; DPMO = defect per million opportunities.Contoh CTQ:

kesalahan pengisian formulir, ketiadaan bukti-bukti keuangan, kesalahan pemasukan input ke dalam computer, keterlambatan pemrosesan,dll.

Jika pembaca ingin memiliki kalkulator Six Sigma yang di-download secara gratis dari

www.spcwizard.com, maka penentuan kapabilitas proses untuk data atribut dilakukan sebagai berikut:

Pilih defect

Defects : 145 (masukkan banyaknya unit yang gagal/cacat)

Unit Inspected : 1283 (masukkan banyaknya unit yang diperiksa)

Opportunities per Unit : 24 (masukkan banyaknya CTQ potensial yang dapat mengakibatkan kegagalan/kecacatan)

Pilih Calculate

Process Sigma= 4.1 (dihitung sendiri oleh kalkulator) DPMO : 4709 (dihitung sendiri oleh kalkulator)


(28)

2.3.2 Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Variabel

Data Variabel (Variables Data). merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuat berdasarkan keadaan aktual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut sebagai variabel. Contoh langsung, data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan terhadap kayu lapis, berat semen dalam kantong, dan lain–lain.

Langkah–langkah untuk menentukan kapabilitas proses untuk data variabel menurut Gaspersz (2002) adalah sebagai berikut :

1. Menentukan proses yang ingin diketahui kapabilitasnya .

2. Menentukan nilai batas spesifikasi atas (Upper SpesificationLimit). 3. Menentukan batas nilai spesifikasi bawah (Lower Spesification Limit). 4. Menentukan nilai spesifikasi target.

5. Menghitung nilai rata – rata (Mean) dari proses.

6. Menghitung nilai standar deviasi (Stadart Deviation) dari proses.

7. Menghitung kemungkinan cacat yang berada diatas nilai USL per satu juta kesempatan (DPMO).

8. Menghitung kemungkinan cacat yang berada dibawah nilai LSL per satu juta kesempatan (DPMO).

9. Menghitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan (DPMO) yang dihasilkan oleh proses dengan menambahkan langkah 7 dan langkah 8.

10. Mengkonversikan DPMO (langkah 9) ke dalam nilai sigma. 11. Menghitung kemampuan proses di atas dalam ukuran sigma.


(29)

12. Menghitung kapabilitas proses dalam indeks kapabilitas proses.

Misalkan kita akan menentukan kapabilitas proses industri perpipaan jenis tertentu. Berdasarkan kebutuhan pelanggan, diketahui bahwa diameter pipa yang diinginkan adalah 40 mm dengan batas toleransi adalah + 5 mm. Pelanggan akan menolak setiap pipa yang diserahkan apabila diketahui berdiameter di atas 45 mm dan atau dibawah 35 mm. Dalam konteks program peningkatan kualitas Six Sigma, kita menyatakan bahwa CTQ yang perlu dikendalikan adalah diameter pipa dengan spesifikasi sebagai berikut :

CTQ (Critical To Quality) : Diameter Pipa Spesifikasi Target (T) = 40 mm

Batas Spasifikasi Atas (Upper Spesification Limit = USL) = 45 mm Batas Spesifikasi Bawah (Lower Spesification Limit = LSL) = 35 mm Selanjutnya dengan metode pengumpulan data tertentu dan analisis terhadap data CTQ diameter pipa diketahui bahwa proses pembuatan pipa itu menghasilkan :

Nilai rata – rata contoh (sample mean) : (X)-bar = 37 mm Standart deviasi contoh (sample standart deviation) : S = 2 mm

Teknik penentuan kapabilitas proses untuk kasus di atas ditunjukan dalam tabel 2.3


(30)

Tabel 2.3 Cara Memperkirakan Kapabilitas Proses Untuk Data Variabel

(CTQ = diameter pipa dalam satuan pengukuran mm)

Langkah Tindakan Persamaan Hasil perhitungan

1 Proses apa yang anda ingin tahu? --- Pembuatan pipa 2 Tentukan nilai batas spesifikasi atas

(Upper Spesification Limit) USL 45 mm

3 Tentukan nilai batas spesifikasi bawah

(Lower Spesification Limit) LSL 35 mm

4 Tentukan nilai spesifikasi target T 40 mm

5 Berapa nilai rata – rata (mean) Proses X-bar 37 mm 6 Berapa nilai standart deviasi (standart

deviation) dari proses S 2 mm

7

Hitung kemungkinan cacat yang berada di atas nilai LSL per satu juta kesempatan (DPMO)

P {Z >(USL-X-bar) /

S} x 1.000.000*)

32 mm

8

Hitung kemungkinan cacat yang berada diatas nilai LSL per satu juta kesempatan (DPMO) P {Z<(LSL-X-bar)/S} x 1.000.l000**) 158,655 9

Hitung kemungkinan cact per satu juta kesempatan (DPMO) yang dihasilkan oleh proses diatas

= (langkah 7) +

(langkah 8) 158,687 10 Konversi DPMO (langkah 9) ke dalam

nilai sigma --- 2,50***)

11 Hitung kemampuan proses di atas dalam ukuran nilai sigma. ---

Kapabilitas proses adalah 2,50 sigma (rendah, tidak kompetitif)

12 Hitung kapabilitas proses di atas dalam indeks kapabilitas proses.

Cpm = (USL – LSL) / {6 (X-bar-T2+S2}

0,46****(rendah, tidak kompetitif) Sumber : Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Catatan :

*) P {z ≥ (USL – x-bar) / S} x 1.000.000 = P {z ≥ (45 – 37) / 2} x 1.000.000 = P(z > 4,00) x 1.000.000 = [ 1 – p(z < 4,00)} x 1.000.000 = (1 – 0,999968) x 1.000.000 = 0,000032 x 1.000.000 = 32

**) P {z ≥ (USL – x-bar) / S} x 1.000.000 = P {z < (35 – 37) / 2)} x 1.000.000 = P (z < - 1,00) x 1.000.000 = 0,158655 x 1.000.000 = 158.655


(31)

nilai – nilai peluang kegagalan untuk distribusi normal baku, z, diperoleh dari tabel distribusi normal kumulatif, yang dibangkitkan menggunakan formula: = normsdist (nilai Z) pada Microsoft Excel

***) Pada tabel diatas angka DPMO = 158.687 adalah paling dekat dengan DPMO = 158.655 pada nilai Sigma = 2,50 sehingga kita memilih angka ini.

****) Cpm = (USL – LSL) /

6 XbarT2S2

= (45 – 35) /

2 2

) 2 ( ) 40 37 (

6   = 10 /

6 13

= 10 / 21,63 = 0,46

Dari hasil perhitungan dalam Tabel 2.3, kita mengetahui bahwa proses pembuatan pipa memiliki kapabilitas proses yang rendah (tidak kompetitif). Hal ini ditunjukan melalui kemampuan proses hanya berada pada tingkat pengendalian kualitas 2,5 Sigma dengan indeks kapabilitas yang rendah yaitu Cpm = 0,46. Tampak bahwa DPMO masih sangat tinggi, yaitu 158.687 DPMO. Pada saat sekarang banyak perusahaan kelas dunia memiliki kapabilitas proses Cpm mendekati 2,0 sehingga hanya menghasilkan kemungkinan kegagalan per satu juta kesempatan dibawah 100 DPMO.

Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, biasanya dipergunakan kriteria sebagai berikut :

 Cpm > 2,00 maka proses dianggap mampu dan kompetitif (perusahaan berkelas dunia)

 Cpm antara 1,00 – 1,99 maka proses dianggap cukup mampu, namun perlu upaya – upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan nilai Cpm yang berada di antara 1,00 – 1,99 memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma.


(32)

 Cpm < 1,00 maka proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif untuk bersaing di pasar global.

Indeks kapabilitas proses (Cpm) digunakan untuk mengukur tingkat pada mana suatu output proses berada pada nilai spesifikasi target kualitas (T) yang digunakan oleh pelanggan. Semakin tinggi nilai Cpm menunjukan bahwa output proses tersebut semakin mendekati nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan, yang berarti pula tingkat kegagalan dari proses semakin berkurang menuju target tingkat kegagalan nol (zero defect oriented). Dengan demikian indikator keberhasilan program peningkatan kualitas Six Sigma dilihat melalui indeks nilai kapabilitas proses Cpm yang semakin meningkat.

Beberapa keuntungan dari penggunaan indeks Cpm (Pillet et al, 1997) adalah :

1. Indeks Cpm dapat diterapkan pada suatu interval spesifikasi yang tidak simetris (asymetrical spesification interval), dimana nilai spesifikasi target kualitas (T) tidak berada tepat ditengah nilai USL dan LSL. Dalam kasus contoh CTQ diameter pipa di atas, nilai T = 40 mm berada tepat di tengah interval USL = 45 mm dan LSL = 35 mm. Jika suatu ketika, pelanggan mengubah spesifikasi diameter pipa dan menggunakan nilai (T) = 42 mm (berubah dari 40 mm menjadi 42 mm) dengan USL = 45 dan LSL = 35 mm (tidak berubah), maka indeks Cpm tetap dapat dipergunakan. Dengan demikian, indeks Cpm sesuai dengan konsep fungsi kerugian Taguchi (Taguchi’s loss function concept).

2. Indeks Cpm dapat dihitung untuk tipe distribusi apa saja, tidak mensyaratkan data harus berdistribusi normal. Hal ini berarti perhitungan Cpm adalah bebas


(33)

dari persyaratan distribusi data serta tidak memerlukan uji normalitas lagi untuk mengetahui apakah data yang dikumpulkan dari proses itu berdistribusi normal dan menghindari persyaratan–persyaratan tentang distribusi apa yang digunakan.

Jika kita ingin mengetahui berapa persen range atau interval toleransi spesifikasi bagi nilai rata–rata (interval toleransi spesifikasi = USL – LSL) menyimpang dari nilai target (T), maka dapat dihitung menggunakan formula berikut :

% Off-target = absolut (x-bar-T) / (USL-LSL) x 100% = absolut (37-40) / (45-35) x 100% = (3/10) x 100% = 30%

Tampak bahwa interval toleransi spesifikasi bagi nilai rata–rata atau mean proses telah bergeser atau menyimpang dari nilai target (T) sebesar 30%. Ukuran ini merupakan ukuran diagnostik tambahan, dimana semakin besar nilai % off-target menujukan bahwa kemampuan proses semakin rendah untuk mencapai nilai target (T) yang ditetapkan, sehingga peningkatan proses harus dilakukan. Selanjutnya varian (variance) dari off-target dihitung sebagai berikut :

S2(offtarget)= (x-bar-T)2 = (37-40)2 = 32 = 9

S(off-target) = √9 mm2 = 3 mm

Tampak bahwa nilai rata – rata (mean) proses (x-bar = 37 mm) telah bergeser atau menyimpang sebesar 3 mm dari nilai target (T = 40 mm).

Dalam situasi dan kondisi tertentu, dimana hanya ada satu nilai batas spesifikasi yang ditetapkan (USL atau LSL), misalkan pelanggan hanya menetapkan batas minimum untuk daerah penolakan (hanya menetapkan LSL,


(34)

memberikan toleransi paling rendah atau sedikit minimum pada nilai tertentu), maka nilai Cpm dapat dihitung dengan menggunakan formula beriklut:

Cpm = {2Absolut (SL – T) / {6 (XbarT)2S2  = Absolut (SL – T) / {3 (XbarT)2S2 

Di sini SL = spesification limit, bisa USL atau LSL, dan T = nilai target yang ditetapkan. Misalnya, dalam upaya meningkatkan kapasitas produksi karena permintaan pasar yang meningkat telah ditetapkan target produksi harian adalah 8 ton, dengan batas toleransi paling minimum 7 ton per hari. Dalam situasi ini, kondisi produksi harian dibawah 7 ton tidak diinginkan, sedangkan kondisi berapapun di atas 8 ton sangat diharapkan (tentu saja dengan persyaratan tidak menimbulkan masalah dalam kualitas produk, kerusakan mesin dan peralatan, ruang penyimpanan, daya beli pasar, dan lain–lain). Misalnya, data produksi harian yang dikumpulkan selama 20 hari produksi menunjukan nilai rata–rata (mean) proses produksi sebesar 7,6 ton perhari dengan standart deviasi 0,9 ton. Untuk kasus hipotesis ini, kita dapat menghitung kapabilitas atau kemampuan proses produksi, sebagai berikut :

CTQ (Critical To Quality) : produksi harian Spesifikasi Target (T) = 8 ton perhari

Batas Spesifikasi Bawah (Lower Spesification Limit= LSL) = 7 ton perhari Nilai rata – rata contoh atau sampel mean X-bar = 7,6 ton perhari

Standart deviasi contoh (sampel standart diviation) S = 0,9 ton perhari Cpm = Absolut (SL – T) / {3 (XbarT)2S2 


(35)

S2(offtarget)= (X – bar – T)2 = (7,6 – 8)2 = (0,4)2 = 0,16 ton2

S(offtarget)= 0,16ton2 = 0,4 ton

Tampak bahwa nilai rata–rata (mean) proses produksi (X-bar = 7,6 ton) telah bergeser atau menyimpang sebesar 0,4 ton dari nilai target (T = 8 ton).

Tampak bahwa nilai Cpm = 0,34 adalah sangat rendah, yang menunjukan kemampuan atau kapabilitas proses produksi untuk memenuhi spesifikasi target produksi sangat rendah. Terlihat bahwa nilai rata–rata (mean) proses produksi (X-bar = 7,6 ton) telah bergeser atau menyimpang sebesar 0,4 ton dari nilai target produksi (T = 8 ton).

Berdasarkan kenyataan ini, program peningkatan kualitas Six Sigma harus mampu meningkatkan kapabilitas proses produksi untuk berproduksi pada nilai spesifikasi target (T = 8 ton perhari), dan apabila memungkinkan, nilai target produksi harian itu ditingkatkan terus–menerus. Perlu adanya perbaikan dan upaya-upaya peningkatan di lantai produksi. Bersamaan dengan penggunaan indeks Cpm, juga digunakan indeks Cpmk yang mengukur tingkat di mana output proses itu berada dalam batas–batas toleransi (batas–batas spesifikasi atas dan bawah, USL dan LSL) yang diinginkan oleh pelanggan

Indeks Cpmk dihitung dengan menggunakan formula :

Cpmk = Cpk / 1{(XbarT)/S}2 Dimana :

Cpk = minimum {(X-bar – LSL) / 3 S; (USL – X-bar) / 3S} USL = batas atas spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan. LSL = batas bawah spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan. T = spesifikasi target CTQ yang diinginkan pelanggan.


(36)

X-bar = nilai rata – rata contoh (sampel mean) CTQ dari proses. S = standart deviasi CTQ dari proses.

perhitungan indeks Cpmk untuk kasus diatas adalah : Cpk = minimum {(X-bar – LSL) / 3S; (USL – X-bar) /3S}

= minimum {(37 – 35 /6; (45 – 37) / 6} = minimum {0,333333 ; 1,333333} = 0,333333

Cpmk = Cpk / 1{(XbarT)/S}2 = 0,333333 / 1{(3740)/2}2

= 0,333333 / 1,802776 = 0,18

Berdasarkan indeks Cpmk = 0,18 (sangat rendah), kita mengetahui bahwa nilai rata–rata CTQ diameter pipa dari proses lebih mendekati ke batas spesifikasi bawah (LSL = 35 mm), sekaligus menunjukan bahwa proses produksi pipa tidak mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL = 35 mm) yang diinginkan oleh pelanggan. Hal ini menunjukan bahwa proses produksi pipa banyak menghasilkan kegagalan, karena banyak pipa yang dihasilkan akan berpeluang besar berdiameter di bawah nilai LSL = 35 mm, atau banyak pipa yang dihasilkan akan berdiameter lebih kecil daripada 35 mm. Berdasarkan kenyataan ini, maka program peningkatan Six Sigma harus mampu menggeser proses lebih mendekati ke nilai spesifikasi target (T) dari CTQ diameter pipa = 40 mm.

Untuk target produksi harian yang hanya memiliki 1 batas spesifikasi, yaitu batas spesifikasi bawah (LSL) di atas, maka nilai Cpmk dapat dihitung sebagai berikut :


(37)

Cpmk = Cpk / / 1{(XbarT)/S}2 Dimana :

Cpk = {(X-bar – LSL) / 3S}.

USL = batas atas spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan. LSL = batas bawah spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan. T = spesifikasi target CTQ yang diinginkan pelanggan.

X-bar = nilai rata – rata contoh (sampel mean) CTQ dari proses. S = standart deviasi CTQ dari proses.

perhitungan indeks Cpmk untuk kasus diatas adalah :

Cpk = {(X-bar–LSL) /3 S} = {(7,6 – 8) / (3 x 0,9)} = 0,4 / 2,7 = 0,1481

Cpmk = Cpk / 1{(XbarT)/S}2 = 0.1481 / 1{(7,60,9)/2}2 = 0,1481 / 1,0943 = 0,14

Berdasarkan indeks Cpmk = 0,14 (sangat rendah), kita mengetahui bahwa nilai rata–rata produksi harian dari proses produksi akan berpeluang besar untuk berproduksi di bawah nilai LSL = 7 ton perhari. Berdasarkan pernyataan ini program peningkatan kualitas Six Sigma harus mampu meningkatkan proses produksi untuk lebih mendekati ke nilai spesefikasi target (T = 8 ton), dan secara terus–menerus meningkatkan target produksi harian sesuai dengan peningkatan permintaan pasar.

Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, biasanya digunakan kriteria (rule Of thumb) sebagau berikut :


(38)

1) Cpmk > 2,00; maka proses mampu memenuhi batas–batas toleransi (batas spesifikasi bawah dan atas, LSL dan USL) dan kompetitif (perusahaan berkelas dunia).

2) Cpmk antara 1,00 – 1,99; maka proses dianggap cukup mampu, namun perlu upaya – upaya untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memeiliki tingkat kegagalan sangat kecil menuju nol (zero defect oriented). Dalam hal ini proses harus disesuiakan terus–menerus agar mendekati nilai spesifikasi target kualitas (T). Perusahaan–perusahaan yang memiliki nilai Cpmk yang berada di antara 1,00 – 1,99 memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma.

3) Cpmk < 1,00; maka proses dianggap tidak mampu memenuhi batas-batas toleransi (batas toleransi spesifikasi bawah atau atas, LSL dan USL) dan tidak kompetitif untuk bersaing di pasar global.

2.4 DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, and Control)

DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus–menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah–langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran–pengukuran baru, dan menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. (Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta).

Sembilan langkah pendekatan pada siklus metode DMAIC dalam Six Sigma menurut Honeywell Business in Europe adalah sebagai berikut :


(39)

Define What’s Important 2. From team and scope

1. Identify opportunities

Measure How We’re Doing 3. Analyze the current

process

4. Define Desired Outcome

Analyze what’s wrong

5. Identify Root Causes and Proposed Solutions

Control To guarantee Performance

Improve By Fixing What’s Wrong

6. Prioritize, plan and test proposed solutions

7. Refine and implement solutions

9. Acknowledge team and communicate result

8. Measure progres and hold gains

Gambar 2.2 Pendekatan siklus DMAIC

1. Define (D)

Merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah identifikasi produk dan/atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah dan/atau kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan


(40)

proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan.

2. Measure (M)

Merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap Measure, yaitu :

1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.

2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat dilakukan pada tingkat proses, output dan outcome.

Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu kita harus membedakan apakah data yang diukur itu merupakan data variabel atau data atribut. Data variabel merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume. Data atribut merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu lapis yang cacat karena corelap, dan lain-lain.


(41)

3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output, dan outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance baseline) pada awal proyek Six Sigma. Baseline kinerja dalam proyek Six Sigma biasanya diterapkan menggunakan satuan pengukuran DPMO dan tingkat kapabilitas sigma (sigma level). Sesuai dengan konsep pengukuran yang biasanya diterapkan pada tingkat proses, output dan outcome, maka baseline kinerja juga dapat ditetapkan pada tingkat proses, output dan outcome. Pengukuran biasanya dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output dari proses dapat memenuhi kebutuhan pelanggan.

3. Analyze (A)

Merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal sebagai berikut :

1. Menentukan kapabilitas/kemampuan dari proses.

Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.

2. Mengidentifikasi sumber–sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan. Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan, dapat menggunakan Fishbone diagram (cause and effect diagram). Dengan analisa cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat


(42)

sebuah masalah, atau dalam beberapa kasus, merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial. Setelah akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan, dimasukkan ke dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu :

1) Manpower ( tenaga kerja ). 2) Machines ( mesin-mesin ). 3) Methods ( metode kerja ).

4) Material ( bahan baku dan bahan penolong ). 5) Media (surat kabar).

6) Motivation ( motivasi ). 7) Money ( keuangan ). 4. Improve (I)

Merupakan langkah operasional keempat dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber–sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan suatu rencana tindakan (action Plan) untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma. Tool yang digunakan untuk tahap improve ini adalah FMEA (Failure Mode and Effect Analysis).

5. Control (C)

Merupakan langkah operasional kelima dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil–hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, prosedur–prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standar. Standarisasi dimaksudkan untuk


(43)

mencegah masalah yang sama atau praktek–praktek lama terulang kembali. (Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta).

2.5 DPMO (Defects per million opportunities)

Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan. Sedangkan Defects per Opportunity (DPO) merupakan ukuran kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan. Dihitung menggunakan formula DPO = banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan dibagi dengan (banyaknya unit yang diperiksa dikalikan banyaknya CTQ potensial yang menyebabkan cacat atau kegagalan itu). Besaran DPO ini, apabila dikalikan dengan konstanta 1.000.000, akan menjadi ukuran Defect Per Million Opportunities (DPMO).

Defects Per Million Opportunities (DPMO) merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan Six Sigma , yang menunjukkan kegagalan per satu juta kesempatan. Target dari pengendalian kualitas Six Sigma Motorola, sebesar 3,4 DPMO seharusnya diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat dari sejuta unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai dalam satu unit produk tunggal terdapat rata–rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik CTQ adalah hanya 3,4 kegagalan per satu juta kesempatan. (Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta).


(44)

2.6 FMEA (Failure Mode and Effects Analysis)

Failure Mode diartikan sebagai sejenis kegagalan yang mungkin terjadi, baik kegagalan secara spesifikasi maupun kegagalan yang mempengaruhi konsumen. Dari failure mode ini kemudian dianalisis terhadap akibat dari kegagalan dari sebuah proses terhadap mesin setempat maupun proses lanjutan bahkan konsumen. Pada dasarnya FMEA terbagi menjadi 2 yaitu FMEA Design yang dipergunakan untuk memprediksi kesalahan yang akan terjadi pada desain proses produk, sedangkan FMEA process untuk mendeteksi kesalahan pada saat proses telah dijalankan.

Tahapan FMEA sendiri adalah :

1. Menetapkan batasan proses yang akan dianalisa, didapatkan dari tahap define dari proses DMAIC.

2. Melakukan pengamatan terhadap proses yang akan dianalisa.

3. Hasil pengamatan digunakan untuk menemukan kesalahan/defect potensial pada proses.

4. Mengidentifikasi potensial cause penyebab dari kesalahan/defect yang terjadi.

5. Mengidentifikasikan akibat (effect) yang ditimbulkan.

6. Menetapkan nilai–nilai (dengan jalan brainstorming) dalam point:

 Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan terhadap konsumen (severity).

 Frekuensi terjadinya kesalahan (occurance).


(45)

7. Memasukkan kriteria nilai sesuai dengan tiga kriteria yang telah dibuat sebelumnya.

8. Dapatkan nilai RPN (Risk Potential Number) dengan jalan mengalikan nilai SOD (Severity, Occurance, Detection).

9. Pusatkan perhatian pada nilai RPN yang tertinggi, segera lakukan perbaikan terhadap potential cause, alat control dan efek yang diakibatkan.

10. Buat implementation action plan, lalu terapkan.

11. Ukur perubahan yang terjadi dalam RPN dengan langkah- langkah yang sama diatas.

12. Apabila ada perubahan maka pusatkan perhatian pada potential cause yang lain. Tidak ada angka acuan RPN untuk melakukan perbaikan.Adapun nilai severity, occurance, dan detection dijelaskan dengan tabel berikut ini.


(46)

Tabel 2.4 Nilai Severity

Rangking Tingkat Deskripsi dari efek

1 Pengaruh buruk yang dapat diabaikan (Negligible Severity)

Kita tidak perlu memikirkan bahwa akibat ini akan berdampak pada kinerja produk. Pengguna akhir tidak mungkin memperhatikan kecacatan atau kegagalan ini.

2 3

Pengaruh buruk yang ringan / sedikit (Mild Severity)

Akibat yang ditimbulkan hanya bersifat ringan. Pengguna akhir tidak akan merasakan perubahan kinerja. Perbaikan dapat dikerjakan pada saat pemeliharaan reguler (reguler maintenance).

4 5 6

Pengaruh buruk yang moderat (moderate Severity)

Pengguna akhir akan merasakan penurunan kinerja, namun masih berada dalam batas toleransi. Perbaikan yang dilakukan tidak akan mahal, jika terjadi down time hanya dalam waktu singkat.

7 8

Pengaruh buruk yang tinggi (High Severity)

Pengguna akhir akan merasakan akibat buruk yang tidak dapat diterima, berada di luar batas toleransi. Akibat akan terjadi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Down time akan berakibat biaya yang sangat mahal.

9 10

Masalah keselamatan / keamanan potensial (Potential Safety Problems)

Akaibat yang ditimbulkan sangat berbahaya yang dapat terjadi tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu.

(Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Program Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta).


(47)

Tabel 2.5 Nilai Occurance

Ranking Tingkat Deskripsi Tngkat kegagalan

1 Very Low

Adalah tidak mungkin bahwa penyebab

ini yang mengakibatkan failure mode 1.000.000 1 dalam 1 dalam 20.000 2

3 Low Kegagalan akan terjadi

1 dalam 4.000 1 dalam 1.000 1 dalam 4.00 4

5 6

Moderate Kegagalan agak mungkin terjadi

1 dalam 80 1 dalam 40 7

8 High Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi 1 dalam 20 1 dalam 8 9

10 Very high

Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan

akan terjadi 1 dalam 2

(Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Program Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta)

Tabel 2.6 Nilai Detection

Ranking Tingkat Deskripsi Tngkat kegagalan

1 Very Low

Metode pencegahan atau deteksi sangat efektif. Tidak ada kesempatan bahwa penyebab mungkin masih muncul atau terjadi

1 dalam 1.000.000

1 dalam 20.000 2

3 Low

Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi adalah rendah .

1 dalam 4.000 1 dalam 1.000 1 dalam 4.00 4

5 6

Moderate

Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi adalah bersifat moderat. Metode pencegahan atau deteksi memungkinkan


(48)

Ranking Tingkat Deskripsi Tngkat kegagalan

1 dalam 40 7

8

High

Kemungkinan bahwa penyebab itu masih tinggi. Metode pencegahan atau deteksi kurang efektif, karena masih berulang

kembali. 1 dalam 20

1 dalam 8 9

Very high

Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi sangat tinggi. Metode pencegahan atau deteksi tidak efektif, karena penyebab akan selalu terjadi kembali.

1 dalam 2

(Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Program Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta).

Tabel 2.7 Tabel Konversi nilai DPMO ke nilai Sigma

Defects per 100 Defects per 10,000 Defects per 1,000,000 Success rate Sigma Value

93 9,330 933,000 7% 0.0 92 9,190 919,000 8% 0.1 90 9,030 903,000 10% 0.2 88 8,850 885,000 12% 0.3 86 8,640 864,000 14% 0.4 84 8,410 841,000 16% 0.5 82 8,160 816,000 18% 0.6 79 7,880 788,000 21% 0.7 76 7,580 758,000 24% 0.8 73 7,260 726,000 27% 0.9 69 6,910 691,000 31% 1.0 66 6,550 655,000 34% 1.1 62 6,180 618,000 38% 1.2 58 5,790 579,000 42% 1.3 54 5,400 540,000 46% 1.4 50 5,000 500,000 50% 1.5 46 4,600 460,000 54.0% 1.6 42 4,210 421,000 57.9% 1.7 38 3,820 382,000 61.8% 1.8 34 3,450 345,000 65.5% 1.9 31 3,090 309,000 69.1% 2.0 27 2,740 274,000 72.6% 2.1 24 2,420 242,000 75.8% 2.2 21 2,120 212,000 78.8% 2.3


(49)

Defects per 100 Defects per 10,000 Defects per 1,000,000 Success rate Sigma Value

18 1,840 184,000 81.6% 2.4 16 1,590 159,000 84.1% 2.5 14 1,360 136,000 86.4% 2.6 12 1,150 115,000 88.5% 2.7 10 968 96,800 90.32% 2.8 8 808 80,800 91.92% 2.9 7 668 66,800 93.32% 3.0 6 548 54,800 94.52% 3.1 5 446 44,600 95.54% 3.2 4 359 35,900 96.41% 3.3 3 287 28,700 97.13% 3.4 2 228 22,800 97.72% 3.5 2 179 17,900 98.21% 3.6 1 139 13,900 98.61% 3.7 1 107 10,700 98.93% 3.8 1 82 8,200 99.18% 3.9 1 62 6,210 99.379% 4.0 47 4,660 99.534% 4.1 35 3,470 99.653% 4.2 26 2,560 99.744% 4.3 19 1,870 99.813% 4.4 14 1,350 99.865% 4.5 10 968 99.903% 4.6 7 687 99.931% 4.7 5 483 99.952% 4.8 3 337 99.966% 4.9 2 233 99.9767% 5.0 2 159 99.9841% 5.1 1 108 99.9892% 5.2 1 72 99.9928% 5.3

48 99.9952% 5.4

32 99.9968% 5.5

21 99.9979% 5.6

13 99.9987% 5.7

9 99.9991% 5.8

5 99.9995% 5.9

3.4 99.99966% 6.0 Sumber : www.mulburysixsigma.com

2.7 Seven Tools


(50)

produk itu harus dibuat dengan benar sejak awal. Ini berarti bahwa proses produksi harus stabil dan mampu beroperasi sedemikian hingga sebenarnya semua produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi.

Pengendalian kualitas adalah aktivitas keteknikan dan manajemen, yang dengan aktivitas itu kita ukur ciri-ciri kualitas produk, membandingkannya dengan spesifikasi atau persyaratan dan mengasumsi, tindakan penyehatan yang sesuai apabila ada perbedaan antara penampilan yang sebenarnya dan yang standar.

Pengendalian proses statistik pada jalur adalah alat utama yang digunakan dalam membuat produk dengan benar sejak awal (Montgomery, Douglas C, 1993, “Pengantar PKS”, Gajahmada University Press, Jogyakarta). Terdapat alat-alat pengendalian kualitas yang memiliki tujuan yang sama, atau yang biasa lebih dikenal dengan nama Seven tools, Seven tools adalah tujuh alat yang dipakai untuk mengendalikan kualitas dengan macam kegunaan dan fungsi yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Seven tools tersebut antara lain :

1. Histogram

Histogram mempunyai bentuk seperti diagram batang yang dapat digunakan untuk mengetahui harga rata-rata atau central tendency dari nilai data yang terkumpul, harga maksimum dan minimum data, range data, besar penyimpangan atau dispersi terhadap harga rata-rata, bentuk distribusi data yang terkumpul.

2. Check Sheet

Adalah alat Bantu untuk memudahkan proses pengumpulan data. Berupa lembaran dengan tabel-tabel untuk pengisian data. Informasi dari lembar


(51)

pengecekan dipakai untuk menyelidiki trend masalah setiap saat. 3. Diagram Pareto

Diagram ini berguna untuk menunjukkan persoalan utama yang dominan dan perlu segera diatasi dengan suatu grafik yang meranking klasifikasi data dalam urutan terbesar ke terkecil dari kiri ke kanan.

4. Defect Concentration Diagram

Merupakan salah satu alat pengendalian kualitas yang digunakan sebagai alat untuk memastikan lokasi defect yang dapat memberikan informasi tentang penyebab potensial defect. Konsep utama adalah menunjukkan secara langsung letak cacat yang terjadi pada spesimen dengan memberi tanda khusus pada gambar spesimen.

5. Fishbone Diagram (Diagram Tulang Ikan)

Diagram ini disebut juga dengan diagram tulang ikan karena bentuknya seperti ikan. Selain itu disebut juga dengan diagram Ishikawa karena yang menemukan adalah Prof. Ishikawa yang berasal dari Jepang. Diagram ini digunakan untuk menganalisa dan menemukan faktor–faktor yang berpengaruh secara signifikan dalam menentukan karakteristik kualitas output kerja, mencari penyebab–penyebab yang sesungguhnya dari suatu masalah. Ada 5 faktor penyebab utama yang signifikan yang perlu diperhatikan yaitu : metode kerja, mesin/peralatan lain, bahan baku, dan pengukuran kerja.

MUTU

PERALATAN

BAHAN METODE KERJA


(52)

Gambar 2.3 Fishbone Diagram

Mengapa hanya diklasifikasikan pada 4 point, karena menurut Dr. Kaoru Ishikawa dalam bukunya teknik pengendalian mutu menyatakan hampir separuh kasus yang terjadi di lantai produksi disebabkan oleh bahan mentah, mesin atau peralatan dan metode kerja. Yang kemudian ketiga penyebab tersebut mengakibatkan dispersi produk pada histogram bertambah besar.

6. Scatter Diagram (Diagram Pencar)

Diagram ini digunakan untuk menemukan atau melihat korelasi dari suatu faktor penyebab yang berkesinambungan terhadap faktor lain. Dari penyebaran Scatter dapat dianalisa hubungan faktor sebab akibat.

7. Control Chart (Peta kontrol)

Peta kontrol pada dasarnya merupakan alat analisa yang dibuat mengikuti metode Statistik dimana data yang berkaitan dengan kualitas produk atau proses diplot dalam sebuah peta dengan batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrol bawah (BKB). Prosedur pengendalian proses Statistik pada jalur yang paling sederhana dapat dilakukan dengan grafik pengendali. Adapun 3 kegunaan pokok grafik pengendali :

1. Pemantauan dan pengawasan suatu proses. 2. Pengurangan variabilitas proses.

3. Penaksiran parameter produk atau proses


(53)

Kayu merupakan komponen terpenting dalam kehidupan ini, mulai dari pembangunan perumahan dan bangunan gedung dan sebagai nilai tambah yaitu sebagi alat – alat rumah tangga (furniture) dan lainnya di Dunia

Beberapa Kayu didominasi jenis-jenis kayu tertentu seperti kapur, kamper, jati, merbau dan ulin yang termasuk jenis-jenis kayu keras.

Produk yang dihasilkan PT. Iga Abadi Indonesia adalah berbagai macam produk kayu berupa perabot rumah atau yang biasa disebut meubel atau furniture. Produk furniture yang dihasilkan antara lain bedroom set dan dining set.

2.8.1 Kegiatan Produksi

Secara umum, kebanyakan industri furniture membagi proses produksinya ke dalam tiga fungsi: manufaktur, finishing, dan shipping (pengiriman).

Berikut ini adalah tahap-tahap atau departemen yang umumnya bekerja sama dalam membuat sebuah furniture:

1. Unit Pencucian Kayu (UPK): Tujuan utama UPK adalah untuk memotong bahan baku, dalam hal ini kayu, ke dalam ukuran kasar yang dibutuhkan untuk membuat komponen sebuah furniture. Jika dibutuhkan ukuran yang lebih besar, maka beberapa kayu akan dilaminating atau dijoin untuk membuat material yang lebih besar. 2. Panel: Tujuan utama Panel adalah untuk menyiapkan material dari

panel seperti plywood, MDF, dan particle board, mulai dari pemotongan, kalibrasi ketebalan panel, sampai proses laminating panel dengan veneer.


(54)

3. Unit Proses: Setelah bahan baku dipotong ke dalam ukuran kasar, bahan baku tersebut dikirim ke unit Proses, yang bertanggung jawab untuk proses permesinan bahan baku tersebut sampai menjadi komponen dengan bentuk dan ukuran final sebelum digosok. Unit Proses bekerja sama dengan unit Panel dalam membuat alur pada panel dan memotong komponen panel tertentu sebelum dikerjakan kembali di unit Panel. 4. Gosok Awal: Komponen yang telah mendapatkan bentuk dan ukuran

finalnya kemudian dikirim ke unit Gosok Awal untuk digosok sampai halus. Unit Gosok Awal bekerja sama dengan unit Proses, khususnya dalam proses menggosok komponen-komponen yang harus digosok sebelum mendapatkan bentuk dan ukuran finalnya.

5. Sub-Assembly Area: Dalam Sub-Assembly, komponen-komponen yang telah mengalami proses permesinan dan proses gosok dirakit sebelum dikerjakan kembali di Unit Proses dan Gosok Awal. Contoh: pintu, laci, shelf, dan top panel.

6. Assembly Area: Fungsi utama Assembly Area adalah untuk mengumpulkan komponen-komponen lepas dan komponen sub-assembly untuk dibangun menjadi sebuah furniture. Hasilnya adalah sebuah furniture dalam keadaan natural atau belum difinishing.

7. Gosok Putih: Proses ini merupakan tahap akhir dari proses manufaktur di mana furniture digosok halus. Distressing fisik diaplikasikan pada tahap ini.


(55)

PT. Iga Abadi Indonesia menggunakan bermacam-macam mesin untuk proses pengolahan bahan mentah (kayu log) menjadi bahan setengah jadi hingga produk jadi (finish). Berikut ini adalah beberapa contoh mesin yang digunakan di unit pengolahan kayu:

1. Gergaji mesin

Di dalam perusahaan, pemotongan kayu Log yang masih berukuran panjang dari hasil penebangan hutan menggunakan gergaji mesin. Kayu Log yang panjangnya antara 10 – 15 m, dipotong menjadi dua dan ukuranya sesuai dengan pesanan.

2. Mesin Hoist/ Crane

Mesin ini digunakan untuk mengangkat kayu log yang akan dibelah menjadi dua bagian. Sistem kerja mesin ini seperti halnya pada system katrol, yaitu dengan menggunakan tali yang diikatkan pada kedua ujung kayu, kemudian ditaruh di kereta yang terdapat pada mesin bandsaw.

3. Bandsaw (besar)

Adalah mesin yang dipakai untuk membelah kayu menjadi dua bagian. Mesin ini telah diprogram untuk mengangkut kayu log dan membelahnya menjadi dua bagian, sehingga manusia hanya sebagai operator mesin.

. 4. Double Planer

Double Planer yaitu mesin yang digunakan untuk menghilangkan permukaan kasar atau tidak rata pada kayu sebelum dipotong pada proses awal.

5. Moulding

Molding yaitu mesin yang digunakan untuk membentuk profil kayu. Bentuk dan ukuran yang dihasilkan harus sesuai dengan ukuran yang diminta. Karena


(56)

proses ini memerlukan biaya yang sangat mahal, proses diperhatikan dengan benar agar tidak terjadi kekeliruan.

6. Cross Cut

Cross cut adalah mesin pemotongan kayu yang ukuranya sesuai dengan permintaan konsumen. Pemotongan ukuran dari mesin inilah yang nantinya akan digunakan hingga proses finishing. Pada proses ini ukuran kayu yang dipotong diberi allowance untuk pembentukan profil kayu.

7. Single Rip

Adalah mesin pemotongan satu sisi kayu. Pada mesin ini, mata gergaji hanya terdapat pada satu sisi, sehingga kayu yang akan melintas pada mesin ini akan terpotong satu sisi saja.

8. Multi Rip

Adalah mesin pemotongan dua atau lebih sisi kayu. Pada mesin ini, mata gergaji terdapat pada kedua sisi, sehingga kayu yang melintas pada mesin ini akan terpotong kedua sisinya.

9. Sander Profil

Yaitu mesin yang digunakan untuk menghaluskan (sander) kayu. Sebelum membentuk profil pada kayu, kayu harus dihaluskan terlebih dahulu. Karena akan memudahkan proses moulding yang akan membentuk profil kayu.

10. Sanding Orbital

Sanding yaitu mesin yang digunakan untuk menghaluskan secara keseluruan pada leg line pada bagian kaki dan apron.

11. Laminating


(57)

diperoleh lebar yang sesuai untuk ukuran komponen. Perekatan menggunakan lem ditambah hardener cair untuk mempercepat proses perekatan.

2.8.2.1 Bahan baku untuk produksi furniture

Pemilihan pohon yang akan ditebang adalah berdasarkan umur dan ukurannya. Ukuran panjangnya minimal 10 m dan berdiameter minimal 50 cm. Untuk sekali pengadaan bahan baku ini, perusahaan mengambil kayu dengan luas sekitar 3000 m3. Berbagai jenis kayu yang digunakan sebagai bahan baku oleh perusahaan ini antara lain: Mahoni, Sengon, Pinus, Karet, Mindi dan Akasia. yang berasal dari hutan di Pulau Jawa,Kalimantan, atau Sulawesi.

2.8.3. Kecacatan Dalam Produksi Furniture

Cacat fisik yang dideskripsikan pada bagian berikut umumnya terjadi dalam salah satu tahap proses manufaktur yang telah disebutkan di atas. Cacat fisik yang telah kita kenal adalah cacat gosok, pecah dan retak, jahitan veneer jelek, lubang, dan botak (sand through).

Berikut ini adalah penjelasan singkat dari macam – macam kecacatan fisik dalam produksi furniture, yaitu :

2.8.3.1 Sanding Marks ( Beret Amplas )

Sanding marks terjadi saat pekerja menggosok barang dengan tekanan yang terlalu besar atau dengan menggunakan ampelas yang terlalu kasar. Hal ini akan menyebabkan timbulnya alur-alur pada


(58)

permukaan, yang hanya akan kelihatan setelah stain pertama diaplikasikan pada permukaan itu.

Sanding marks dapat berbentuk melingkar, berlawanan serat, ataupun searah serat kayu.

Gambar 2.5 Contoh kecacatan sanding marks (bekas orbital melingkar)

2.8.3.2 Tear Out ( geripis / sobek )

Tear Out (geripis) adalah suatu istilah untuk mendeskripsikan sebuah cacat yang terjadi saat dipotong, dibor, atau dibentuk dengan sebuah alat yang tumpul. Alat yang tumpul akan menyobek serat kayu, bukannya memotong serat tersebut. Cacat ini juga dapat terjadi saat mata gergaji atau mata bor yang salah digunakan pada proses tersebut.

Tear out juga dapat ditemukan di dalam laci saat lubang untuk memasang hardware (handle, dll) tidak dikunci dari dalam atau dapat juga ditemukan saat lubang dibor dengan menggunakan mata bor yang salah. Di bawah ini kita akan melihat sejumlah contoh tear out (geripis)


(59)

pada bagian-bagian yang berbeda dari sebuah furniture. Cacat ini harus diketahui sebelum barang tersebut dikirim ke konsumen

.

Gambar 2.6 Contoh kecacatan tear out (geripis/sobek)

2.8.3.3 Split & Crack (Pecah & Retak)

Adanya split atau crack pada sebuah furniture tidak dapat diterima. Furniture yang pecah atau retak tidak boleh dikirim ke konsumen. Barang tersebut harus direpair atau diganti.


(60)

2.8.3.4 Veneer Seams (jahitan vener)

Veneer adalah selembar kayu yang tebalnya biasanya antara 0.5mm sampai 1mm. Lembaran veneer disatukan dengan cara dijahit.

Sebagai contoh: sebuah dresser dengan top panel dari veneer terdiri atas beberapa veneer yang telah dijahit dan dilaminating pada permukaan sebuah core panel. Veneer yang akan dijahit harus sama tebal. Serat dan warna veneer harus dipadukan sesuai mozaik dalam gambar kerja. Jahitan harus digosok sampai tidak kelihatan pola jahitannya.

Gambar 2.9 Contoh kecacatan veneer seams

2.8.3.5 Sand Through (botak)

Adalah hal yang umum dalam proses produksi pada industri furniture untuk melaminating veneer yang mahal di atas sebuah kayu atau panel yang lebih murah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi keinginan konsumen akan sebuah furniture dengan tampilan yang mahal tetapi dengan harga yang terjangkau.


(61)

Sand through (botak) terjadi saat pekerja menggosok permukaan veneer dengan tekanan terlalu kuat dan menggosok sampai melebihi veneer tersebut. Karena itu kayu/core panel di bawahnya menjadi kelihatan. Hal ini dapat terjadi sebelum atau sesudah finishing. Contoh botak dapat dilihat di bawah ini.


(1)

a. Prioritas pertama adalah beret amplas mempunyai nilai RPN 576 dengan usulan perbaikan QA Pabrik harus rutin melakukan pengecekan pemasangna grade amplas pada tiap mesin.

b. Prioritas kedua adalah botak mempunyai nilai RPN 512 dengan usulan perbaikan melakukan inspeksi atau pemeriksaan rutin pada tiap core panel unituk melewati proses kalibrasi sebelum dipress supaya permukaan core rata. Dan operator mesin Long Belt Sander diberikan pelatihan dari Tim QA Pabrik bagaimana teknik gosok yang benar supaya tekanan saat menggosok komponen tidak terlalu kuat.

c. Prioritas ketiga adalah pecah dan retak mempunyai nilai RPN 392 dengan usulan perbaikan untuk supervisor KD harus melakukan pengecekan pada tiap kayu yang keluar dari chamber dipastikan MC kayu 8-10 dan dibuatkan laporan hasil pemeriksaan yang dilaporkan secara rutin tiap minggunya.

d. Prioritas keempat adalah geripis yang mempunyai nilai RPN 336 dengan usulan perbaikan dilakukan pengecekan pada tiap 10 komponen yang turun dari mesin spindle moulder dan dilakukan penggantian pisau spindle tiap selesai kerja 200 komponen.

e. Prioritas kelima adalah jahitan veneer yang mempunyai nilai RPN 294 dengan usulan perbaikan dibuatkan cheklist pemeriksaan hasil jahitan dari mesin zig-zag dan tiap operator mesin harus melakukan pengecekan temperatur mesin sebelum mulai proses jahit veneer.


(2)

3. Setelah dilakukan perbaikan ( improvement ) dan dilakukan pengecekan ( control ) selama tiga bulan, yaitu Juli – September 2010 didapatkan perbaikan rata- rata nilai Sigma, yaitu menjadi 3.629 σ

5.2 Saran

Saran-saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Peningkatan kualitas perbaikan terhadap kecacatan yang diterima dari produk Night Stand (Progressive 1416), untuk perbaikan sebaiknya dilakukan pada keseluruhan jenis kecacatan, jangan hanya ditekankan pada jenis kecacatan dengan prosentase terbesar saja.

2. Sebaiknya perusahaan menurunakan tingkat defect yang terjadi dan menuju ke zero defect.

3. Sebaiknya perusahaan menaikkan tingkat sigma dari 3.629 σ dengan target sigma 6 σ.

4. Supaya perbaikan (improvement) yang dilakukan bisa dijalankan dengan tepat, pihak perusahaan hendaknya memaksimalkan kinerja departement QA untuk mengontrol proses produksi dalam hal ini terutama cara kerja dari tiap-tiap operator produksi.


(3)

Lampiran Perhitungan RPN :

No Jenis Keluhan Severity Occurance Detection RPN

1 Beret Amplas 8 9 8 576

2 Botak 8 8 8 512

3 Pecah & Retak 8 7 7 392

4 Geripis 8 6 7 336


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. Iga Abadi dengan produk Night Stand (Progressive 1416), akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Diketahui bahwa selama bulan Januari – Mei 2010 untuk hasil produksi Night Stand (Progressive 1416) dengan jumlah produksi sebesar 15988 unit dan jumlah cacat sebesar 1359 total jumlah defect sebanyak 6 macam poduct defect dengan prosentase cacat rata-rata sebesar 8.489 %. Tingkat cacat yang paling banyak terjadi yaitu Beret Amplas sebesar 2.55 % sebanyak 408 unit, Botak sebesar 1.80 % sebanyak 289 unit, Pecah & Retak sebesar 1.54 % sebanyak 246 unit, Geripis sebesar 1.44 % sebanyak 231 unit, Jahitan Veneer sebesar 1.09 % sebanyak 174 unit dan Mata kayu sebesar 0.069% sebanyak 11 unit. Setelah dilakukan perhitungan dengan pendekatan DMAIC, untuk produk Night Stand (Progressive 1416) dapat diketahui nilai Sigma sebesar 3.693 σ

2. Usulan perbaikan yang diberikan menurut tingkat prioritas rencana perbaikan yaitu penempatan operator yang sesuai dengan kemampuan / skillnya supaya tidak terlalu lama proses adaptasi pada pekerjaannya,


(5)

pemilihan grade amplas yang tepat dari unit QA supaya operator tidak salah dalam memilih grade amplas, pengecekan secara rutin pada part mesin gosok terutama bagian belt supaya mesin yang digunakan dalam kondisi yang baik, dan pengecekan pada material kayu, di mana kayu dengan banyak hati bungkus harus masuk kategori afkir.

5.2 Saran

Saran-saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Supaya dari perbaikan (improvement) yang dilakukan bisa didapatkan hasil yang maksimal, pihak perusahaan hendaknya mengoptimalkan kinerja department QA dalam hal ini sebagai unit pengontrol kualitas produksi.

2. Sebaiknya pihak operator dan QA lebih ketat dalam mengecek produk disesuaikan dengan standard perusahaan..

3. Sebaiknya perusahaan membuat jadwal terhadap maintenance mesin-mesin produksi dan mengganti mesin-mesin yang sudah tidak layak pakai.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Gaspersz, Vincent (2002), “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

George, Michael L (2002), “Lean Six Sigma”, Mc Graw-Hill Companies, Inc Montgomery, Douglas (1998), “Pengantar Pengendalian Kualitas Statistik”,

Penerbit Gajahmada University Press, Yogyakarta.

Pande, S. Peter ; P. Neuman, Robert ; R. Cavanagh, Roland (2002), “The Six Sigma Way”, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Pyzdek, Thomas (2002), The Six Sigma Hand Book, penerbit Salemba 4 Jakarta.

www.spewizard.com