a. Six Sigma terfokus pada konsumen. Konsumen, terutama eksternal
konsumen selalu diperhatikan sebagai patokan arah peningkatan kualitas.
b. Six Sigma menghasilkan Returns of Investement yang besar contohnya
pada general electrics. c.
Six Sigma mengubah cara manajemen beroperasi. Six Sigma lebih dari sekedar proyek peningkatan kualitas. Ia juga merupakan cara
pendekatan baru terhadap proses berpikir, merencanakan dan memimpin untuk memberikan hasil yang baik.
2.2.3 Faktor Penentu Dalam Six Sigma
Dijelaskan pula bahwa faktor penentu dalam pelaksanaan Six Sigma ini antara lain:
a. Costumer centric.
Pelanggan adalah tujuan utama Six Sigma dimana kualitas dari produk diukur melalui perspektif pelanggan dengan jalan :
1 Voice of coctumer VOC, menyatakan keinginan pelanggan.
2 Requirements, masukan dari VOC ditransfer secara spesifik dengan
elemen yang dapat diukur. 3
Critical to quality CTQ, permintaan yang paling penting bagi pelanggan. 4
Defect, bagian yang kurang memenuhi spesifikasi.
b. Financial Result.
Total Quality Management TQM dikenal lebih dahulu dari pada Six Sigma. Pada TQM sendiri susah menentukan hal mana yang dijadikan
prioritas utama bahkan hampir semua proyek yang dikerjakan mengenakan biaya pada pelanggan dan penanam saham, sehingga dapat menghasilkan
banyak biaya. TQM sering dipimpin oleh pihak yang paling kurang pemahaman terhadap pengendalian kualitas dan cenderung menemukan cara
pengukurannya sendiri. Sedangkan Six Sigma mengakomodasikan penurunan biaya dan kenaikan pendapatan.
c. Management Engagement.
Pada penerapan Six Sigma ini selain pada proses juga memerlukan perhatian dan kerjasama pada semua lini manajemen perusahaan.
d. Resources Commitment.
Komitmen untuk maju lebih ditekankan daripada jumlah personel yang terlibat dalam implementasi ini.
e. Execution Infrastructure.
Six sigma didukung oleh infrastruktur yang berisi orang-orang dari top management sampai operasional dimana keseluruhannya memiliki fokus yang
sama yaitu kepuasan pelanggan. George, Michael L, 2002, “Lean Six Sigma”. McGraw-Hill Companies, Inc
2.3. Penentuan Kapabilitas Proses
Keberhasilan implementasi program peningkatan kualitas six sigma ditunjukan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk
menuju tingkat kegegalan nol Zero Defect. Oleh karena itu, konsep perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk dipahami dan implementasi
program six sigma. Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua
jenis data, yaitu : 1.
Data atribut Atributes Data, merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan
analisa. Data atribut bersiat diskrit, jika suatu catatan hanya merupakan suatu ringkasan atau klasifikasi yang berkaitan dengan sekumpulan persyaratan yang
telah ditetapkan, maka catatan itu disebut sebagai “atribut”. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan
buku administrasi nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu yang cacat karena corelap, dan lain–lain. Data atribut biasanya
diperoleh dalam bentuk unit–unit nonkonformansketidaksesuaian atau cacat terhadap spesifikasi kualitas yang ditetapkan.
2. Data Variabel Variables Data. merupakan data kuantitatif yang diukur
menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuat berdasarkan
keadaan aktual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut sebagai variabel. Contoh langsung, data variabel
karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan terhadap kayu lapis, berat semen dalam kantong, dan lain–lain.
2.3.1 Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Atribut
Langkah–langkah untuk menentukan kapabilitas proses untuk data atribut menurut Gaspersz 2002 adalah sebagai berikut :
1. Menentukan proses yang ingin diketahui kapabilitasnya.
2. Menghitung banyak unit transaksi yang dikerjakan melalui proses.
3. Menghitung banyak unit transaksi yang gagal.
4. Menghitung tingkat cacat kesalahan berdasarkan langkah 3 dengan
membagi langkah 3 dengan langkah 2. 5.
Menentukan banyaknya CTQ Critical To Quality potensial yang dapat mengakibatkan cacat kesalahan.
6. Menghitung peluang tingkat cacat kesalahan per karakteristik CTQ
Critical To Quality dengan membagi langkah 4 dengan langkah 5. 7.
Menghitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan DPMO dengan mengalikan langkah 6 denga 1 juta.
8. Mengkonversikan DPMO ke dalam nilai Sigma.
9. Membuat kesimpulan.
Berikut ini akan dibahas tentang teknik memperkirakan kapabilitas proses dalam ukuran pencapaian target Sigma untuk data atribut data yang diperoleh
melalui perhitungan–perhitungan bukan melalui pengukuran langsung, misalnya presentase kesalahan, banyaknya keluhan pelanggan, dan lain–lain. Pada
umumnya data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK, seperti : sesuai tidak sesuai, puas atau tidak puas, berhasil atau tidak, dan
lain–lain. Data ini dapat dihitung untuk keperluan pencatatan dan analisis. Misalkan kita akan menentukan kapabilitas proses billing and charging
dari sebuah perusahaan jasa tertentu. Langkah–langkah penentuan kapabilitas untuk data atribut ditunjukan dalam Tabel 2.2
Tabel 2.2 Cara Memperkirakan Kapabilitas Proses untuk Data Atribut
Langkah Tindakkan Persamaan
Hasil Perhitungan
1 2
3 4
5 6
7 8
9 Proses apa yang ingin anda ketahui?
Berapa banyak unit transaksi yang dikerjakan melalui proses?
Berapa banyak unit transaksi yang gagal? Hitung tingkat cacat kesalahan berdasarkan
pada langkah 3 Tentukan banyaknya CTQ potensial yang
dapat mengakibatkan cacat kesalahan Hitung peluang tingkat cacat kesalahan per
karakteristik CTQ Hitung kemungkinan cacat per satu juta
kesempatan DPMO Konversi DPMO langkah 7 ke dalam nilai
sigma Buat kesimpulan
- -
- = langkah 3
langkah 2 =banyaknya
karakteristik CTQ = langkah 4
langkah 5 = langkah 6 x
1.000.000 -
- Billing and charging
1.283 145
0,113 24
0,004708 4.708
4,09 – 4.10 Kapasitas sigma
adalah 4,10 rata – rata kinerja industri
di Amerika Serikat Catatan: CTQ = critical-to-quality; DPMO = defect per million opportunities.
Contoh CTQ: kesalahan pengisian formulir, ketiadaan bukti-bukti keuangan, kesalahan pemasukan input ke
dalam computer, keterlambatan pemrosesan,dll. Jika pembaca ingin memiliki kalkulator Six Sigma yang di-download secara gratis dari
www.spcwizard.com , maka penentuan kapabilitas proses untuk data atribut dilakukan sebagai
berikut: Pilih defect
Defects : 145 masukkan banyaknya unit yang gagalcacat Unit Inspected : 1283 masukkan banyaknya unit yang diperiksa
Opportunities per Unit : 24 masukkan banyaknya CTQ potensial yang dapat mengakibatkan kegagalankecacatan
Pilih Calculate Process Sigma = 4.1 dihitung sendiri oleh kalkulator
DPMO : 4709 dihitung sendiri oleh kalkulator
2.3.2 Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Variabel
Data Variabel Variables Data. merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis.
Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuat berdasarkan keadaan aktual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut
sebagai variabel. Contoh langsung, data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan terhadap kayu lapis, berat semen dalam kantong, dan
lain–lain. Langkah–langkah untuk menentukan kapabilitas proses untuk data
variabel menurut Gaspersz 2002 adalah sebagai berikut : 1.
Menentukan proses yang ingin diketahui kapabilitasnya . 2.
Menentukan nilai batas spesifikasi atas Upper SpesificationLimit. 3.
Menentukan batas nilai spesifikasi bawah Lower Spesification Limit. 4.
Menentukan nilai spesifikasi target. 5.
Menghitung nilai rata – rata Mean dari proses. 6.
Menghitung nilai standar deviasi Stadart Deviation dari proses. 7.
Menghitung kemungkinan cacat yang berada diatas nilai USL per satu juta kesempatan DPMO.
8. Menghitung kemungkinan cacat yang berada dibawah nilai LSL per satu juta
kesempatan DPMO. 9.
Menghitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan DPMO yang dihasilkan oleh proses dengan menambahkan langkah 7 dan langkah 8.
10. Mengkonversikan DPMO langkah 9 ke dalam nilai sigma.
11. Menghitung kemampuan proses di atas dalam ukuran sigma.
12. Menghitung kapabilitas proses dalam indeks kapabilitas proses.
Misalkan kita akan menentukan kapabilitas proses industri perpipaan jenis tertentu. Berdasarkan kebutuhan pelanggan, diketahui bahwa diameter pipa yang
diinginkan adalah 40 mm dengan batas toleransi adalah + 5 mm. Pelanggan akan menolak setiap pipa yang diserahkan apabila diketahui berdiameter di atas 45 mm
dan atau dibawah 35 mm. Dalam konteks program peningkatan kualitas Six Sigma, kita menyatakan bahwa CTQ yang perlu dikendalikan adalah diameter
pipa dengan spesifikasi sebagai berikut : CTQ Critical To Quality : Diameter Pipa
Spesifikasi Target T = 40 mm Batas Spasifikasi Atas Upper Spesification Limit = USL = 45 mm
Batas Spesifikasi Bawah Lower Spesification Limit = LSL = 35 mm Selanjutnya dengan metode pengumpulan data tertentu dan analisis
terhadap data CTQ diameter pipa diketahui bahwa proses pembuatan pipa itu menghasilkan :
Nilai rata – rata contoh sample mean : X-bar = 37 mm Standart deviasi contoh sample standart deviation : S = 2 mm
Teknik penentuan kapabilitas proses untuk kasus di atas ditunjukan dalam tabel 2.3
Tabel 2.3 Cara Memperkirakan Kapabilitas Proses Untuk Data Variabel CTQ = diameter pipa dalam satuan pengukuran mm
Langkah Tindakan
Persamaan Hasil perhitungan
1 Proses apa yang anda ingin tahu?
------ Pembuatan pipa
2 Tentukan nilai batas spesifikasi atas
Upper Spesification Limit USL 45
mm 3
Tentukan nilai batas spesifikasi bawah Lower Spesification Limit
LSL 35 mm
4 Tentukan nilai spesifikasi target
T 40 mm
5 Berapa nilai rata – rata mean Proses
X-bar 37 mm
6 Berapa nilai standart deviasi standart
deviation dari proses S 2
mm 7
Hitung kemungkinan cacat yang berada di atas nilai LSL per satu juta kesempatan
DPMO P {Z USL-X-
bar S} x 1.000.000
32 mm 8
Hitung kemungkinan cacat yang berada diatas nilai LSL per satu juta kesempatan
DPMO P {ZLSL-X-
barS} x 1.000.l000
158,655 9
Hitung kemungkinan cact per satu juta kesempatan DPMO yang dihasilkan
oleh proses diatas = langkah 7 +
langkah 8 158,687
10 Konversi DPMO langkah 9 ke dalam
nilai sigma ------- 2,50
11 Hitung kemampuan proses di atas dalam
ukuran nilai sigma. -------
Kapabilitas proses adalah 2,50 sigma
rendah, tidak kompetitif
12 Hitung kapabilitas proses di atas dalam
indeks kapabilitas proses. Cpm = USL –
LSL {6 X-bar-
T
2
+S
2
} 0,46rendah,
tidak kompetitif
Sumber : Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Catatan : P {z
≥ USL – x-bar S} x 1.000.000 = P {z ≥ 45 – 37 2} x 1.000.000 = Pz 4,00 x 1.000.000 = [ 1 – pz 4,00} x 1.000.000 = 1 – 0,999968 x
1.000.000 = 0,000032 x 1.000.000 = 32 P {z
≥ USL – x-bar S} x 1.000.000 = P {z 35 – 37 2} x 1.000.000 = P z - 1,00 x 1.000.000 = 0,158655 x 1.000.000 = 158.655
nilai – nilai peluang kegagalan untuk distribusi normal baku, z, diperoleh dari tabel distribusi normal kumulatif, yang dibangkitkan menggunakan
formula: = normsdist nilai Z pada Microsoft Excel Pada tabel diatas angka DPMO = 158.687 adalah paling dekat dengan
DPMO = 158.655 pada nilai Sigma = 2,50 sehingga kita memilih angka ini. C
pm
= USL – LSL
2 2
6 S
T bar
X
= 45 – 35
2 2
2 40
37 6
= 10
13 6
= 10 21,63 = 0,46 Dari hasil perhitungan dalam Tabel 2.3, kita mengetahui bahwa proses
pembuatan pipa memiliki kapabilitas proses yang rendah tidak kompetitif. Hal ini ditunjukan melalui kemampuan proses hanya berada pada tingkat pengendalian
kualitas 2,5 Sigma dengan indeks kapabilitas yang rendah yaitu Cpm = 0,46. Tampak bahwa DPMO masih sangat tinggi, yaitu 158.687 DPMO. Pada saat
sekarang banyak perusahaan kelas dunia memiliki kapabilitas proses Cpm mendekati 2,0 sehingga hanya menghasilkan kemungkinan kegagalan per satu juta
kesempatan dibawah 100 DPMO. Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, biasanya dipergunakan
kriteria sebagai berikut :
Cpm 2,00 maka proses dianggap mampu dan kompetitif perusahaan berkelas dunia
Cpm antara 1,00 – 1,99 maka proses dianggap cukup mampu, namun
perlu upaya – upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan nilai Cpm
yang berada di antara 1,00 – 1,99 memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma.
Cpm 1,00 maka proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif
untuk bersaing di pasar global. Indeks kapabilitas proses Cpm digunakan untuk mengukur tingkat pada
mana suatu output proses berada pada nilai spesifikasi target kualitas T yang digunakan oleh pelanggan. Semakin tinggi nilai Cpm menunjukan bahwa output
proses tersebut semakin mendekati nilai spesifikasi target kualitas T yang diinginkan oleh pelanggan, yang berarti pula tingkat kegagalan dari proses
semakin berkurang menuju target tingkat kegagalan nol zero defect oriented. Dengan demikian indikator keberhasilan program peningkatan kualitas Six Sigma
dilihat melalui indeks nilai kapabilitas proses Cpm yang semakin meningkat. Beberapa keuntungan dari penggunaan indeks Cpm Pillet et al, 1997
adalah : 1.
Indeks Cpm dapat diterapkan pada suatu interval spesifikasi yang tidak simetris asymetrical spesification interval, dimana nilai spesifikasi target
kualitas T tidak berada tepat ditengah nilai USL dan LSL. Dalam kasus contoh CTQ diameter pipa di atas, nilai T = 40 mm berada tepat di
tengah interval USL = 45 mm dan LSL = 35 mm. Jika suatu ketika, pelanggan mengubah spesifikasi diameter pipa dan menggunakan nilai T =
42 mm berubah dari 40 mm menjadi 42 mm dengan USL = 45 dan LSL = 35 mm tidak berubah, maka indeks Cpm tetap dapat dipergunakan. Dengan
demikian, indeks Cpm sesuai dengan konsep fungsi kerugian Taguchi Taguchi’s loss function concept.
2. Indeks Cpm dapat dihitung untuk tipe distribusi apa saja, tidak mensyaratkan
data harus berdistribusi normal. Hal ini berarti perhitungan Cpm adalah bebas
dari persyaratan distribusi data serta tidak memerlukan uji normalitas lagi untuk mengetahui apakah data yang dikumpulkan dari proses itu berdistribusi
normal dan menghindari persyaratan–persyaratan tentang distribusi apa yang digunakan.
Jika kita ingin mengetahui berapa persen range atau interval toleransi spesifikasi bagi nilai rata–rata interval toleransi spesifikasi = USL – LSL
menyimpang dari nilai target T, maka dapat dihitung menggunakan formula berikut :
Off-target = absolut x-bar-T USL-LSL x 100 = absolut 37-40 45-35 x 100
= 310 x 100 = 30 Tampak bahwa interval toleransi spesifikasi bagi nilai rata–rata atau mean
proses telah bergeser atau menyimpang dari nilai target T sebesar 30. Ukuran ini merupakan ukuran diagnostik tambahan, dimana semakin besar nilai off-
target menujukan bahwa kemampuan proses semakin rendah untuk mencapai nilai target T yang ditetapkan, sehingga peningkatan proses harus dilakukan.
Selanjutnya varian variance dari off-target dihitung sebagai berikut : S
2
= x-bar-T
arg et
t off
2
= 37-40
2
= 3
2
= 9 S
off-target
= √9 mm
2
= 3 mm Tampak bahwa nilai rata – rata mean proses x-bar = 37 mm telah
bergeser atau menyimpang sebesar 3 mm dari nilai target T = 40 mm. Dalam situasi dan kondisi tertentu, dimana hanya ada satu nilai batas
spesifikasi yang ditetapkan USL atau LSL, misalkan pelanggan hanya menetapkan batas minimum untuk daerah penolakan hanya menetapkan LSL,
memberikan toleransi paling rendah atau sedikit minimum pada nilai tertentu, maka nilai Cpm dapat dihitung dengan menggunakan formula beriklut:
Cpm = {2Absolut SL – T {6
2 2
S T
bar X
= Absolut SL – T {3
2 2
S T
bar X
Di sini SL = spesification limit, bisa USL atau LSL, dan T = nilai target yang ditetapkan. Misalnya, dalam upaya meningkatkan kapasitas produksi karena
permintaan pasar yang meningkat telah ditetapkan target produksi harian adalah 8 ton, dengan batas toleransi paling minimum 7 ton per hari. Dalam situasi ini,
kondisi produksi harian dibawah 7 ton tidak diinginkan, sedangkan kondisi berapapun di atas 8 ton sangat diharapkan tentu saja dengan persyaratan tidak
menimbulkan masalah dalam kualitas produk, kerusakan mesin dan peralatan, ruang penyimpanan, daya beli pasar, dan lain–lain. Misalnya, data produksi
harian yang dikumpulkan selama 20 hari produksi menunjukan nilai rata–rata mean proses produksi sebesar 7,6 ton perhari dengan standart deviasi 0,9 ton.
Untuk kasus hipotesis ini, kita dapat menghitung kapabilitas atau kemampuan proses produksi, sebagai berikut :
CTQ Critical To Quality : produksi harian Spesifikasi Target T = 8 ton perhari
Batas Spesifikasi Bawah Lower Spesification Limit= LSL = 7 ton perhari Nilai rata – rata contoh atau sampel mean X-bar = 7,6 ton perhari
Standart deviasi contoh sampel standart diviation S = 0,9 ton perhari Cpm = Absolut SL – T {3
2 2
S T
bar X
= AbsolutI 7 – 8{3
2 2
9 ,
8 6
, 7
}=1
97 ,
= 1 2,9547 = 0,34
S
2
= X – bar – T
arg et
t off
2
= 7,6 – 8
2
= 0,4
2
= 0,16 ton
2
S =
arg et
t off
16 ,
ton
2
= 0,4 ton Tampak bahwa nilai rata–rata mean proses produksi X-bar = 7,6 ton
telah bergeser atau menyimpang sebesar 0,4 ton dari nilai target T = 8 ton. Tampak bahwa nilai Cpm = 0,34 adalah sangat rendah, yang menunjukan
kemampuan atau kapabilitas proses produksi untuk memenuhi spesifikasi target produksi sangat rendah. Terlihat bahwa nilai rata–rata mean proses produksi X-
bar = 7,6 ton telah bergeser atau menyimpang sebesar 0,4 ton dari nilai target produksi T = 8 ton.
Berdasarkan kenyataan ini, program peningkatan kualitas Six Sigma harus mampu meningkatkan kapabilitas proses produksi untuk berproduksi pada nilai
spesifikasi target T = 8 ton perhari, dan apabila memungkinkan, nilai target produksi harian itu ditingkatkan terus–menerus. Perlu adanya perbaikan dan
upaya-upaya peningkatan di lantai produksi. Bersamaan dengan penggunaan indeks Cpm, juga digunakan indeks Cpmk yang mengukur tingkat di mana output
proses itu berada dalam batas–batas toleransi batas–batas spesifikasi atas dan bawah, USL dan LSL yang diinginkan oleh pelanggan
Indeks Cpmk dihitung dengan menggunakan formula : Cpmk = Cpk
2
} {
1 S
T bar
X
Dimana : Cpk
= minimum {X-bar – LSL 3 S; USL – X-bar 3S} USL = batas atas spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan.
LSL = batas bawah spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan.
T = spesifikasi target CTQ yang diinginkan pelanggan.
X-bar = nilai rata – rata contoh sampel mean CTQ dari proses. S
= standart deviasi CTQ dari proses. perhitungan indeks Cpmk untuk kasus diatas adalah :
Cpk = minimum {X-bar – LSL 3S; USL – X-bar 3S}
= minimum {37 – 35 6; 45 – 37 6} = minimum {0,333333 ; 1,333333}
= 0,333333
Cpmk =
Cpk
2
} {
1 S
T bar
X
= 0,333333
2
} 2
40 37
{ 1
= 0,333333 1,802776 = 0,18 Berdasarkan indeks Cpmk = 0,18 sangat rendah, kita mengetahui bahwa
nilai rata–rata CTQ diameter pipa dari proses lebih mendekati ke batas spesifikasi bawah LSL = 35 mm, sekaligus menunjukan bahwa proses produksi pipa tidak
mampu memenuhi batas spesifikasi bawah LSL = 35 mm yang diinginkan oleh pelanggan. Hal ini menunjukan bahwa proses produksi pipa banyak menghasilkan
kegagalan, karena banyak pipa yang dihasilkan akan berpeluang besar berdiameter di bawah nilai LSL = 35 mm, atau banyak pipa yang dihasilkan akan
berdiameter lebih kecil daripada 35 mm. Berdasarkan kenyataan ini, maka program peningkatan Six Sigma harus mampu menggeser proses lebih mendekati
ke nilai spesifikasi target T dari CTQ diameter pipa = 40 mm. Untuk target produksi harian yang hanya memiliki 1 batas spesifikasi,
yaitu batas spesifikasi bawah LSL di atas, maka nilai Cpmk dapat dihitung sebagai berikut :
Cpmk = Cpk
2
} {
1 S
T bar
X
Dimana : Cpk
= {X-bar – LSL 3S}. USL = batas atas spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan.
LSL = batas bawah spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan.
T = spesifikasi target CTQ yang diinginkan pelanggan.
X-bar = nilai rata – rata contoh sampel mean CTQ dari proses. S
= standart deviasi CTQ dari proses. perhitungan indeks Cpmk untuk kasus diatas adalah :
Cpk = {X-bar–LSL 3 S} = {7,6 – 8 3 x 0,9} = 0,4 2,7 = 0,1481
Cpmk = Cpk
2
} {
1 S
T bar
X
= 0.1481
2
} 2
9 ,
6 ,
7 {
1
= 0,1481 1,0943 = 0,14
Berdasarkan indeks Cpmk = 0,14 sangat rendah, kita mengetahui bahwa nilai rata–rata produksi harian dari proses produksi akan berpeluang besar untuk
berproduksi di bawah nilai LSL = 7 ton perhari. Berdasarkan pernyataan ini program peningkatan kualitas Six Sigma harus mampu meningkatkan proses
produksi untuk lebih mendekati ke nilai spesefikasi target T = 8 ton, dan secara terus–menerus meningkatkan target produksi harian sesuai dengan peningkatan
permintaan pasar. Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, biasanya digunakan
kriteria rule Of thumb sebagau berikut :
1 Cpmk 2,00; maka proses mampu memenuhi batas–batas toleransi batas
spesifikasi bawah dan atas, LSL dan USL dan kompetitif perusahaan berkelas dunia.
2 Cpmk antara 1,00 – 1,99; maka proses dianggap cukup mampu, namun perlu
upaya – upaya untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memeiliki tingkat kegagalan sangat kecil menuju nol zero defect
oriented. Dalam hal ini proses harus disesuiakan terus–menerus agar mendekati nilai spesifikasi target kualitas T. Perusahaan–perusahaan yang
memiliki nilai Cpmk yang berada di antara 1,00 – 1,99 memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma.
3 Cpmk 1,00; maka proses dianggap tidak mampu memenuhi batas-batas
toleransi batas toleransi spesifikasi bawah atau atas, LSL dan USL dan tidak kompetitif untuk bersaing di pasar global.
2.4 DMAIC Define, Measure, Analyze, Improve, and Control
DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus–menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu
pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah–langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran–pengukuran baru, dan
menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma.
Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. Sembilan langkah pendekatan pada siklus metode DMAIC dalam Six
Sigma menurut Honeywell Business in Europe adalah sebagai berikut :
Define What’s Important
2. From team and scope
1. Identify opportunities
Measure How We’re Doing
3. Analyze the current process
4. Define Desired Outcome
Analyze what’s wrong
5. Identify Root Causes and Proposed Solutions
Control To guarantee
Performance
Improve By Fixing What’s
Wrong 6. Prioritize, plan and test
proposed solutions 7. Refine and implement
solutions
9. Acknowledge team and communicate result
8. Measure progres and hold gains
Gambar 2.2 Pendekatan siklus DMAIC 1.
Define D
Merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan
adalah identifikasi produk danatau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah danatau kesempatan
peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan
proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan.
2. Measure M
Merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap
Measure, yaitu : 1.
Memilih atau menentukan karakteristik kualitas CTQ kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.
2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat
dilakukan pada tingkat proses, output dan outcome. Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu kita harus
membedakan apakah data yang diukur itu merupakan data variabel atau data atribut. Data variabel merupakan data kuantitatif yang diukur
menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Contoh data variabel
karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam persen,
dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume. Data atribut merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar
pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah :
ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya
produk kayu lapis yang cacat karena corelap, dan lain-lain.
3. Mengukur kinerja sekarang current performance pada tingkat proses,
output, dan outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja performance baseline pada awal proyek Six Sigma. Baseline kinerja
dalam proyek Six Sigma biasanya diterapkan menggunakan satuan pengukuran DPMO dan tingkat kapabilitas sigma sigma level. Sesuai
dengan konsep pengukuran yang biasanya diterapkan pada tingkat proses, output dan outcome, maka baseline kinerja juga dapat
ditetapkan pada tingkat proses, output dan outcome. Pengukuran biasanya dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output dari
proses dapat memenuhi kebutuhan pelanggan.
3. Analyze A
Merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal
sebagai berikut : 1.
Menentukan kapabilitaskemampuan dari proses. Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang
menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan
ekspektasi pelanggan. 2.
Mengidentifikasi sumber–sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan. Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan,
dapat menggunakan Fishbone diagram cause and effect diagram. Dengan analisa cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat
sebuah masalah, atau dalam beberapa kasus, merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial.
Setelah akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan, dimasukkan ke dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-
sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu : 1
Manpower tenaga kerja . 2
Machines mesin-mesin . 3
Methods metode kerja . 4
Material bahan baku dan bahan penolong . 5
Media surat kabar. 6
Motivation motivasi . 7
Money keuangan .
4. Improve I
Merupakan langkah operasional keempat dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber–sumber dan akar
penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan suatu rencana tindakan action Plan untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six
Sigma. Tool yang digunakan untuk tahap improve ini adalah FMEA Failure Mode and Effect Analysis.
5. Control C
Merupakan langkah operasional kelima dalam program peningkatan
kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil–hasil peningkatan kualitas
didokumentasikan dan disebarluaskan, prosedur–prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standar. Standarisasi dimaksudkan untuk
mencegah masalah yang sama atau praktek–praktek lama terulang kembali.
Gaspersz, Vincent, 2002, “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
2.5 DPMO Defects per million opportunities