2.2.5. Nyeri Post Operasi
Nyeri akut yang sering terjadi adalah nyeri post operasi. Kualitas, kuantitas, dan durasi nyeri berhubungan secara alamiah dengan proses
pembedahan. Beberapa trauma, termasuk trauma pembedahan, merupakan kerusakan jaringan. Nyeri dihasilkan dengan melepaskan
substansi di bawah jaringan yang trauma sampai pada ambang batas nyeri, ini merupakan stimulus normal yang tidak membahayakan.
Panjangnya insisi secara langsung dapat menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan yang di produksi dengan melepaskan substansi. Durasi
dan luasnya pembedahan juga secara langsung menimbulkan besarnya nyeri yang dirasakan. Insisi pembedahan yang transversal umumnya
menimbulkan nyeri yang lebih ringan daripada insisi pembedahan yang vertikal atau diagonal, karena beberapa syaraf dan otot serta
fascia sedikit yang terpotong Lewis, 1983.
2.3. Perilaku Nyeri
2.3.1. Definisi
Perilaku nyeri merupakan salah satu aspek dari pengalaman nyeri. Perilaku ini terlihat dan dapat diobservasi, seperti ekspresi wajah
Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006. Adanya suatu nyeri yang dirasakan biasanya ditandai dengan semacam perilaku yang terlihat
atau terdengar yang dapat diinterpretasikan sebagai suatu perilaku nyeri Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Perilaku nyeri dapat didefenisikan sebagai sebahagian atau seluruh output individu yang terobservasi yang menunjukkan adanya nyeri
seperti postur tubuh, ekspresi wajah, perkataan, berbaring, mengkonsumsi obat, mencari pengobatan, dan pencarian kompensasi.
Perilaku nyeri adalah suatu aktivitas individu untuk mengkomunikasikan ketidakberdayaan, ketidaknyamanan, dan
berperan signifikan dalam penurunan tingkat fungsional individu Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006.
2.3.2. Macam-macam Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri ini mencakup perilaku verbal dan nonverbal dalam merespons suatu nyeri seperti keluhan, rintihan, berteriak, sikap, dan
ekspresi wajah. Ada orang yang menanggapinya dengan perasaan takut, gelisah, dan cemas, ada pula yang menanggapinya dengan sikap
yang optimis dan penuh toleransi Smeltzer Bare, 2001. Sebagian orang merespons nyeri dengan menangis, mengerang dan menjerit-
jerit, meminta pertolongan, gelisah di tempat tidur, atau berjalan mondar-mandir tidak tentu arah untuk mengurangi rasa nyeri. Ada juga
orang yang tidur sambil menggemertakkan gigi, mengepalkan tangan ketika mengalami nyeri Berger, 1992.
Cara yang dilakukan individu sebagai respons dari nyeri yang dirasakannya dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang telah ditemukan oleh Turk et al 1985 dalam Ogden, 2000 adalah berupa ekspresi
Universitas Sumatera Utara
wajah atau ekspresi suara seperti merapatkan gigi dan mengerang merintih, mengubah sikap badan atau bergerak seperti berjalan
pincang, dan menjaga area yang sakit. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku nyeri memperkuat bahwa mereka benar-benar merasakan
nyeri, menerima pengakuan mereka dan selanjutnya dapat menguntungkan mereka seperti tidak pergi kerja. Penguatan perilaku
nyeri yang positif mungkin dapat meningkatkan persepsi nyeri. Perilaku nyeri juga dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas dan
mengecilnya otot-otot serta mengurangi hubungan atau interkasi sosial Ogden, 2000.
Tabel 2.1 Indikator Perilaku Nyeri Potter Perry, 2009
Vokal Ekspresi wajah
Pergerakan tubuh Interaksi sosial
1. Mengerang
merintih 2.
Menangis 3.
Menghembuskan nafas
4. Mendengkur
mengorok 1.
Menyeringai 2.
Merapatkan gigi 3.
Mengerutkan dahi 4.
Menutup mata atau mulut dengan rapat
sekali, atau membukanya lebar-
lebar 5.
Menggigit bibir 1.
Gelisah 2.
Tidak dapat bergerak 3.
Ketegangan otot 4.
Peningkatan gerakan tangan dan jari
5. Aktivitas yang cepat
6. Gerakan berirama
atau mengikuti 7.
Menjaga pergerakan bagian tubuh yang
1. Menghindari
percakapan 2.
Hanya fokus pada aktivitas
yang tidak menimbulkan
nyeri 3.
Menghindari kontak sosial
4. Perhatian
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 lanjutan
Vokal Ekspresi wajah
Pergerakan tubuh Interaksi sosial
nyeri 8. Memegang bagian
tubuh yang nyeri berkurang
5. Interaksi dengan
lingkungan
berkurang
2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri
Menurut Harahap 2007, yang mempengaruhi perilaku nyeri meliputi beberapa faktor, yaitu:
a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin mungkin menyumbang kepada pertunjukkan perilaku nyeri. Beberapa penelitian tela menunjukkan bahwa jenis
kelamin mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri tertentu Lofvander Forhoff, 2002; Asghari Nicholas, 2001.
Wanita khususnya ibu rumah tangga mungkin lebih sering menunjukkan dan mengeluhkan perilaku nyeri daripada laki-laki
Philips Jahanshahi, 1986. b.
Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah jumlah nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Universitas Sumatera Utara
c. Suku Budaya
Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda Waddle et al, 1998 dan juga berbeda dalam
mengekspresikan perilaku mereka yang berhubungan dengan nyeri Lovander Forhoff, 2002. Kepercayaan barat sungguh berbeda
dengan kepercayaan budaya timur yang mana budaya timur lebih tenang dan tabah serta lebih sedikit bisa menerima sakit dan
kelemahan, sedangkan budaya barat lebih liberal, bebas, dan pluralistik. Bates, Edwards, dan Anderson 1993 mengatakan
bahwa Negara dan suku dapat mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan emosional serta psikologi Harahap, 2007.
d. Percaya Diri
Percaya diri menunjukkan pada kepercayaan bahwa percaya diri dapat mengalihkan situasi secara spesifik Bandura, 1997 dalam
Harahap, 2007. Pasien dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat menunjukkan pergaulan yang positif dengan latihan dan negatifnya
dengan menggunakan pengobatan. Menurut Kores, Murphy, dan Rosenthal dkk 1990 dalam Harahap, 2007 bahwa percaya diri
berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas dasar seperti duduk, berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, percaya diri
telah menunjukkan untuk bisa memprediksikan ketidakmampuan pasien pada nyeri kronik dan pasien percaya tentang nyeri mereka
dapat mempengaruhi fungsi psikologis dan telah banyak penelitian
Universitas Sumatera Utara
yang sudah menemukan hubungan yang penting antara percaya diri dengan perilaku nyeri Harahap, 2007.
e. Pasangan anggota keluarga
Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi keutuhan kehisupan sosial pasien dan boleh juga diisyaratkan sebagai syarat
yang berbeda dan pilihan yang tepat untuk mengekspresikan sebuah perilaku nyeri Fordyce, 1976. Menurut Flor, Turk, dan
Rudy 1992 dalam Harahap, 2007 bahwa pasangan dan anggota keluarga yang lain sering termasuk dalam pengobatan dan
mengajarkan kepada pasien untuk berespons positif pada setiap aktivitas yang dilakukan pasien dan indikasi yang lainnya bagi
perilaku yang baik. Pasangan mempunyai peran yang kuat bagi peningkatan nyeri pasien.
2.3.4. Instrumen Perilaku Nyeri
Pasien yang berada dalam tingkat nyeri tertentu akan menunjukkan perilaku seperti istirahat di tempat tidur, mencari pengobatan, menjaga
area tubuh yang sakit, atau mengekspresikan raut wajah. Perilaku ini merupakan cara pasien berkomunikasi bahwa mereka sedang
merasakan nyeri Harahap, 2007. Pertama kali penelitian tentang perilaku nyeri yang menunjukkan
bahwa perilaku nyeri dapat diukur dengan metode pengawasan diri. Fordyce 1976 mengembangkan metode pengawasan diri melalui
catatan harian untuk mengukur perilaku nyeri. Di dalam catatan harian
Universitas Sumatera Utara
nyeri tersebut, pasien diminta untuk mengidentifikasi berapa lama mereka sibuk menghabiskan waktu dalam tiga kategori perilaku
seperti: duduk, berdiri, atau berjalan. Pasien juga diminta untuk melaporkan setiap kali mereka melakukan pengobatan dan jumlah
dosis obat yang diberikan. Metode pengawasan diri sangat mudah dan sederhana, dan lebih dari itu, dapat meningkatkan kesadaran pasien
tentang perilaku nyeri mereka sendiri Keefe at al, 2000 dalam Harahap, 2007. Bagaimanapun, keabsahan metode pengawasan diri
pada perilaku nyeri kelihatannya akan berat sebelah atau tidak akurat karena pada umumnya pasien tidak mungkin selalu akurat dalam
melaporkan perilaku nyeri mereka sendiri Turk Flor, 1978 dalam Harahap, 2007.
Moores dan Watson 2004 dalam Harahap, 2007 menggunakan metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri berstandar pada
pertanyaan atau wawancara. Pasien diminta untuk menjawab serial pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga
telah dikritik karena pasien akan cenderung untuk memilih jawaban yang terbaik atau yang paling benar. Keterbatasan yang paling utama
pada metode pertanyaan dan wawancara adalah bahwa tidak mengamati perilaku itu sendiri secara langsung.
Saat ini metode untuk mengukur perilaku nyeri adalah metode pengamatan secara langsung atau tidak langsung. Metode ini
dikembangkan berdasarkan pada dasar pemikiran bahwa perilaku nyeri
Universitas Sumatera Utara
itu tampak dan jelas. Dalam pengamatan langsung perilaku nyeri biasanya berdasarkan pada keahlian dan berdasarkan pada sebuah
pertimbangan pada hasil pengamatan. Sedangkan pada pengamatan yang tidak langsung, perilaku nyeri biasanya dinilai dengan
mengandalkan video tape. Kedua metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bagaimanapun pada prakteknya pengamatan secara
tidak langsung kelihatannya tidak praktis, mahal dan rumit, lebih dari itu kapan pasien mengetahui kalau dia sedang diamati, mereka
mungkin akan memanipulasi perilaku mereka, terutama sekali dalam kebudayaan Indonesia. Menurut Simmond 1999 dalam Harahap,
2007, alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku nyeri harus mudah digunakan, dapat dipercaya, dapat diterima oleh pasien, hemat
biaya, dan memberikan hasil yang cepat. Metode pengamatan langsung kelihatannya lebih bisa diandalkan, sederhana dan lebih
mudah digunakan Harahap, 2007. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan metode pengamatan langsung.
Pada metode pengamatan ini, biasanya pasien diminta untuk melakukan beberapa aktivitas yang telah diinstruksikan dalam protokol
yang sudah distandarisasi. Penggunaan protokol yang telah distandarisasi ini pertama sekali dikembangkan oleh Keefe dan Block
pada tahun 1982. Keefe dan Block menetapkan serangkaian aktivitas seperti duduk, berdiri, berbaring, dan berjalan. Aktivitas ini akan
diulangi sebanyak dua kali. Ketika pasien melakukan aktivitas ini, ada
Universitas Sumatera Utara
lima parameter perilaku yang dapat diamati yaitu guarding, braching, rubbing, grimacing, dan sighing. Kelima parameter inilah yang
nantinya akan diamati Harahap, 2007. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan Pain Behavior
Observation Protocol PBOP yang telah distandarisasikan oleh Keefe dan Block pada tahun 1982. PBOP terdiri dari lima parameter perilaku
nyeri dan dirating dalam 3 poin likert-skale 0 = tidak ada nyeri, 1 = sering, 2 = selalu. Nilai total perilaku nyeri merupakan penjumlahan
dari kelima parameter perilaku nyeri tersebut diatas. Skor tertinggi 10 mengidentifikasikan level perilaku nyeri yang tinggi. Serial aktivitas
protokol Keefe dan Block yang telah distandarisasi ini akan diadaptasikan selama 10 menit. Protokol aktivitas ini meliputi: duduk
untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berdiri untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berbaring untuk periode 1 menit dan
lagi selama 1 menit kedua, dan berjalan untuk 1 menit dan lagi selama 1 menit kedua. Pendeskripsian dari kelima parameter perilaku nyeri
tersebut adalah: 1 guarding, yang mana mengacu pada penjagaan area tubuh yang sakit, 2 braching, yang mana mengacu pada
kekakuan tubuh yang tidak normal, menyela, atau pergerakan yang kaku, 3 rubbing, yang mana mengacu pada sentuhan atau rabaan
pada bagian tubuh yang sakit, 4 grimacing, yang mana mengacu pada guratan wajah dalam mengekspresikan rasa nyeri seperti mengerutkan
dahi, menyipitkan mata, mengatupkan bibir, menyingkap sudut mulut,
Universitas Sumatera Utara
dan merapatkan gigi, 5 sighing, yang mengacu pada pernafasan atau menghela nafas Harahap, 2007.
2.4. Tipe Kepribadian A dan B