BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Nyeri 2.1.1. Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain Townsend, 2008, mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan
emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial. Perasaan yang tidak nyaman tersebut
sangat bersifat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut Mubarak
Chayatin, 2007. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Smeltzer dan Bare 2001 bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, menyakitkan tubuh, serta diungkapkan oleh
individu yang mengalaminya. Sedangkan menurut Barbara dan Joan 1983, nyeri diartikan sebagai suatu fenomena biopsikososial yang
kompleks. Nyeri tidak hanya ditunjukkan sebagai nilai yang negatif yang terjadi di tubuh, tetapi nyeri sering ditunjukkan sebagai tanda
atau peringatan bahwa ada suatu kerusakan jaringan di tubuh. Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah
suatu perasaan tidak nyaman yang bersifat subjektif dan tidak dapat dilihat atau dirasakan orang lain, yang diungkapkan oleh individu yang
Universitas Sumatera Utara
merasakannya, serta berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial. Oleh karena itu tenaga medis harus mempercayai
apapun yang dikatakan pasien tentang nyeri yang dirasakannya, karena sifat subjektif dari nyeri ini.
2.1.2. Klasifikasi Nyeri
Nyeri diklasifikasikan atas dua bagian, yaitu 1 nyeri akut dan 2 nyeri kronis Berger, 1992. Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai
suatu pengalaman sensori, persepsi, dan emosional yang tidak nyaman yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan, yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan dari suatu penyakit seperti pada luka yang diakibatkan oleh kecelakaan, operasi, atau oleh karena
prosedur terapeutik Lewis, 1983. Nyeri akut biasanya mempunyai awitan yang tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik.
Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistematik,
nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri akut umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya
kurang dari satu bulan. Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau memerlukan pengobatan
Smeltzer Bare, 2001. Nyeri kronik merupakan nyeri berulang yang menetap dan terus
menerus yang berlangsung selama enam bulan atau lebih. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan
Universitas Sumatera Utara
sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.
Meskipun tidak diketahui mengapa banyak orang menderita nyeri kronis setelah suatu cedera atau proses penyakit, hal ini diduga bahwa
ujung-ujung syaraf yang normalnya tidak mentransmisikan nyeri menjadi mampu untuk memberikan sensasi nyeri, atau ujung-ujung
syaraf yang normalnya hanya mentransmisikan stimulus yang sangat nyeri menjadi mampu mentransmisikan stimulus yang sebelumnya
tidak nyeri sebagai stimulus yang sangat nyeri Smeltzer Bare, 2001.
2.1.3. Fisiologi Nyeri
Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi
dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem nosiseptif. Reseptor nyeri nosiseptor adalah ujung syaraf bebas yang pertama sekali merasakan
nyeri. Jejas atau stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor untuk melepaskan zat-zat kimia, yaitu prostaglandin, histamine,
bradikinin, asetilkolin, dan substansi P Smeltzer Bare, 2001. Zat- zat kimia ini mensensitisasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls
nyeri ke otak. Ada dua jenis ujung syaraf bebas yang termasuk dalam nosisepsi, yaitu 1 serabut A-delta, adalah serabut halus, bermielin,
dan merupakan serabut hantaran cepat yang membawa sensasi tusukan tajam. Serabut-serabut ini membantu kita untuk menentukan lokasi dan
Universitas Sumatera Utara
intensitas nyeri. 2 Serabut C, adalah serabut syaraf yang tidak dibungkus oleh mielin. Serabut ini halus dan hantarannya lambat serta
bertanggung jawab terhadap nyeri tumpul, menyebar, dan persisten Taylor, 2009.
Nyeri pada insisi pada awalnya diperantarai oleh serabut A-delta, tetapi beberapa menit kemudian nyeri menjadi menyebar akibat
aktifasi serabut C. Impuls nyeri dibawa oleh serabut A-delta perifer dan dihantarkan langsung ke substansia gelatinosa pada akar dorsal
sum-sum tulang belakang, kemudian konduksi lambat serabut C membuat durasi impuls rasa sakit menjadi lebih lama Alexander
Hill, 1987. Impuls sensori eferen memasuki akar dorsal sumsum tulang
belakang, membentuk sinaps kimia dengan menggunakan neurotransmiter seperti substansi P. Impuls nyeri berpindah ke sisi
yang berlawanan dari sumsum tulang belakang dan merambat ke otak melalui sistem spinotalamus. Sistem spinotalamus bersinapsis di
thalamus dan impuls disampaikan ke korteks serebral dimana stimulus nyeri diinterpretasikan. Ketika transmisi nyeri dikirim ke otak,
individu merasakan nyeri. Beberapa impuls nyeri berakhir langsung di neuron motorik melalui arkus reflex di sumsum tulang. Neuron
motorik kemudian muncul dari kornu anterior sumsum tulang belakang untuk mengaktifkan struktur yang sesuai seperti, bila seseorang
menyentuh permukaan yang panas, sinyal nyeri diubah menjadi impuls
Universitas Sumatera Utara
motorik yang merangsang tangan menjauh dari sumber panas Potter Perry, 2009.
Persepsi nyeri dalam tubuh diatur oleh substansi yang dinamakan neuroregulator. Substansi ini mempunyai aksi rangsang dan aksi
hambat. Substansi P adalah salah satu contoh neurotansmiter dengan aksi merangsang. Ini mengakibatkan pembentukan aksi potensial, yang
menyebabkan hantaran impuls dan mengakibatkan pasien merasakan nyeri. Serotonin adalah salah satu contoh neurotransmiter dengan aksi
menghambat. Serotonin mengurangi efek dari impuls nyeri. Substansi kimia lainnya mempunyai efek inhibitor terhadap transmisi nyeri
adalah endorfin dan enkafelin. Substansi ini bersifat seperti morfin yang diproduksi oleh tubuh. Endorfin dan enkafelin ditemukan dalam
konsentrasi yang tinggi dalam sistem syaraf pusat. Kadar endorfin dan enkafelin setiap individu berbeda. Kadar endorfin ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti ansietas. Hal ini akan berpengaruh juga terhadap perasaan nyeri seseorang. Walaupun stimulusnya sama, setiap
orang akan merasakan nyeri yang berbeda. Individu yang mempunyai kadar endorfin yang banyak akan merasakan nyeri yang lebih ringan
daripada mereka yang mempunyai kadar endorfin yang sedikit Smeltzer Bare, 2001.
2.1.4. Teori Nyeri
Dari beberapa hasil penelitian, mekanisme respons nyeri yang tepat masih merupakan misteri. Namun ada tiga teori nyeri yang
Universitas Sumatera Utara
dikemukakan, yaitu specificity theory, pattern theory, dan gate control theory.
a. Teori Spesificity
Teori specificity menyatakan bahwa ada ujung syaraf spesifik di tubuh yang menerima rangsangan hanya dari rangsangan nyeri.
Ketika reseptor nyeri menerima stimulus, sebuah impuls ditransmisikan di sepanjang jalur nyeri spesifik kemudian
diterjemahkan di pusat nyeri, yaitu thalamus Berger, 1992; Lewis, 1983.
b. Teori Dasar
Teori dasar mengasumsikan bahwa tipe tertentu dari stimulus pada reseptor yang nonspesifik akan menyampaikan sekumpulan impuls
ke jalur neuron untuk menghasilkan dasar yang diinterpretasikan oleh otak sebagai nyeri. Rangsangan ini digabungkann dalam akar
dorsal sumsum tulang belakang untuk menghasilkan intensitas tertentu dari rangsangan nyeri Berger, 1992; Lewis, 1983.
c. Teori Gate-Control
Teori ini dikemukakan oleh Melzack Wall 1965. Teori ini menggambarkan bagaimana neuron akar dorsal dari sumsum tulang
belakang berperan sebagai gerbang yang mengatur penyampaian impuls nyeri ke otak Berger, 1992; Lewis, 1983.
Menurut Melzack Wall 1965 dalam Berger, 1992, teori Gate- Control mengasumsikan bahwa akar dorsal dari sumsum tulang
Universitas Sumatera Utara
belakang yang dikenal sebagai substansia gelatinosa berperan sebagai pintu gerbang yang dapat meningkatkan atau menurunkan rangsang
nyeri dari syaraf perifer ke otak. Gerbang ini terbuka atau tertutup tergantung input dari serabut syaraf besar dan kecil. Peningkatan
aktifitas serabut syaraf kecil akan membuka gerbang, dan menyebabkan sensasi nyeri sampai ke otak. Sebaliknya, peningkatan
aktifitas serabut syaraf besar akan menutup pintu gerbang sehingga sensasi nyeri tidak sampai ke otak. Melzack Wall 1965 dalam
Berger, 1992 juga menggambarkan pengaruh kognitif terhadap persepsi nyeri. Umur, kecemasan, pengalaman nyeri sebelumnya,
perhatian, harapan, jenis kelamin, latar belakang budaya, status sosial ekonomi, semuanya mempunyai pengaruh terhadap persepsi nyeri
Berger, 1992. Persepsi nyeri merupakan interpretasi individu terhadap stimulus nyeri, dimulai ketika individu pertama sekali
merasakan nyeri Berger, 1992.
Gambar 2.1 Mekanisme Teori Gate-Control Mubarak Chayatin, 2007
Serabut tebal besar
Serabut halus Gate Control System
Rangsangan Nyeri Medula
Spinalis otak
Kontrol Sentral
SG T
Universitas Sumatera Utara
Keterangan : SG: Sel di dalam substansi gelatinosa
T : Sel transmisi sentral Sel T terletak di dalam akar belakang radiks posterior
+ : Efek menguat : Efek menekan
2.1.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi oleh faktor fisiologi, spiritual, psikologis, dan budaya. Setiap individu
mempunyai pengalaman yang berbeda tentang nyeri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut:
a. Faktor Fisiologi Faktor fisiologi yang mempengaruhi nyeri terdiri dari 1 umur,
2 jenis kelamin, 3 kelelahan, 4 gen dan 5 fungsi neurologi. Umur mempengaruhi persepsi nyeri seseorang karena anak-anak
dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan dengan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat
mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan. Anak-anak belum mempunyai perbendaharaan kata yang cukup sehingga mereka sulit
untuk mengungkapkan nyeri secara verbal dan sulit untuk mengekspresikannya kepada orang tua ataupun perawat. Pada orang
tua, nyeri yang mereka rasakan sangat kompleks, karena mereka umumnya memiliki berbagai macam penyakit dengan gejala yang
Universitas Sumatera Utara
sering sama dengan bagian tubuh yang lain. Oleh karena itu, perawat harus teliti melihat dimana sumber nyeri yang dirasakan
pasien Taylor, 1997; Potter Perry, 2009. Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam merespons terhadap nyeri Gill, 1990 dikutip dari Potter Perry, 2005. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja
yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya,
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam
situasi yang sama Potter Perry, 2005. Begitu juga dengan kelelahan, seseorang yang merasakan
kelelahan akan terfokus terhadap pengalaman nyerinya. Jika kelelahan terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi nyeri yang
dirasakan pasien akan meningkat. Nyeri merupakan pengalaman yang sering dirasakan setelah istirahat daripada menghabiskan
waktu sepanjang hari Berger, 1992; Potter Perry, 2009. Penelitian kesehatan mengungkapkan bahwa informasi genetik
yang diturunkan oleh orang tua kemungkinan dapat meningkatkan atau menurunkan sensitifitas nyeri. Genetik mempunyai
kemungkinan untuk dapat menentukan ambang batas nyeri seseorang atau toleransi seseorang terhadap nyeri Potter Perry,
2009. Fungsi neurologi juga dapat mempengaruhi pengalaman
Universitas Sumatera Utara
nyeri seseorang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi normal dari nyeri seperti cedera spinal cord, neuropati perifer, atau
penyakit neurologi sebagai efek kewaspadaan dan respons pasien Potter Perry, 2009.
b. Faktor Sosial Faktor sosial yang mempengaruhi nyeri terdiri dari 1 perhatian,
2 pengalaman nyeri sebelumnya, dan 3 keluarga dan dukungan sosial. Peningkatan perhatian dihubungkan dengan peningkatan
nyeri Carrol Seers, 1998 dalam Potter Perry, 2009. Seseorang yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri akan
mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal yang dapat dilihat perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan
pasien sehingga perawat dapat memberikan intervensi yang tepat seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya. Namun dengan
memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat menurunkan persepsi nyeri Potter Perry, 2009. Pengalaman
nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri individu dan kepekaannya terhadap nyeri. Karena setiap orang belajar dari
pengalaman nyeri sebelumnya. Jika sebelumnya seseorang pernah mengalami nyeri tanpa adanya pertolongan, maka nyeri yang
dirasakannya saat ini akan dipandangnya sebagai suatu kecemasan dan ketakutan. Dengan kata lain, jika pengalaman nyeri sebelumnya
dapat diterima dengan koping yang baik, maka individu tersebut
Universitas Sumatera Utara
mungkin dapat lebih baik mempersiapkan dirinya dengan peristiwa nyeri yang lain Berger, 1992; Potter Perry, 2009.
Seseorang yang merasakan nyeri sering bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk mendukung, menemani,
atau melindunginya. Walaupun nyeri masih ada, kehadiran keluarga atau teman-teman dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan
Potter Perry, 2009. Misalnya, individu yang sendirian, tanpa keluarga atau teman-teman yang mendukungnya, cenderung
merasakan nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan individu yang mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang
terdekatnya Mubarak Chayatin, 2007. c. Faktor Spiritual
Spiritual membuat seseorang mencari tahu makna atau arti dari nyeri yang dirasakannya, seperti mengapa nyeri ini terjadi pada
dirinya, apa yang telah dia lakukan selama ini, dan lain-lain Potter Perry, 2009.
d. Faktor Psikologis Faktor psikologis yang mempengaruhi nyeri terdiri dari 1
kecemasan dan 2 koping individu. Kecemasan dapat
meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri. Ancaman yang tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau
peristiwa di sekelilingnya dapat memperberat persepsi nyeri. Sebaliknya, individu yang percaya bahwa mereka mampu
Universitas Sumatera Utara
mengontrol nyeri yang mereka rasakan akan mengalami penurunan rasa takut dan kecemasan yang akan menurunkan persepsi nyeri
mereka Mubarak Chayatin, 2007. Wall Melzack 1999 dalam Potter Perry, 2009 mengemukakan bahwa stimulus nyeri yang
aktif pada bagian sistem limbik dipercayai dapat mengontrol emosi, salah satunya adalah kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi
emosional terhadap nyeri, dapat meningkatkan ataupun menurunkannya Potter Perry, 2009.
Koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
memperlakukan nyeri. Seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus internal merasa bahwa diri mereka sendiri mempunyai
kemampuan untuk mengatasi nyeri. Sebaliknya, seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus eksternal lebih merasa bahwa
faktor-faktor lain di dalam hidupnya seperti perawat merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap nyeri yang dirasakannya.
Oleh karenan itu, koping pasien sangat penting untuk diperhatikan Potter Perry, 2009.
e. Faktor Budaya Faktor budaya yang mempengaruhi nyeri terdiri dari 1 makna
nyeri dan 2 suku. Makna dari nyeri yang dirasakan seseorang dihubungkan dengan pengaruh pengalaman nyeri dan bagaimana
seseorang tersebut mengadaptasikannya. Hal ini sangat berhubungan dengan latar belakang budaya. Seseorang akan merasa
Universitas Sumatera Utara
nyeri yang berbeda jika mendapatkan sebuah ancaman, kehilangan, hukuman, atau tantangan Potter Perry, 2009.
Budaya mempercayai dan mempengaruhi nilai individu dalam mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan
diterima oleh budaya mereka, termasuk bagaimana reaksi mereka terhadap nyeri Davidhizar Giger, 2004; Lasch, 2002 dalam
Potter Perry, 2009.
2.1.6. Efek Membahayakan dari Nyeri
Menurut Smeltzer Bare 2001, efek membahayakan dari nyeri dibedakan berdasarkan klasifikasi nyeri, yaitu nyeri akut dan nyeri
kronis. Nyeri akut mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasa
ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda dapat mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskular, gastrointestinal,
endokrin, dan immunologik Benedetti dkk; Yeager dkk, 1987, 1984 dikutip dari Smeltzer Bare, 2001. Pasien dengan nyeri hebat dan
stress yang berkaitan dengan nyeri dapat tidak mampu untuk nafas dalam dan mengalami peningkatan nyeri dan mobilitas menurun.
Nyeri kronis mempunyai efek yang membahayakan seperti supresi fungsi imun yang berkaitan dengan nyeri kronis dapat meningkatkan
pertumbuhan tumor. Nyeri kronis juga sering mengakibatkan depresi dan ketidakmampuan. Pasien mungkin tidak mampu untuk
melanjutkan aktivitas dan melakukan hubungan interpersonal.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakmampuan ini dapat berkisar dari membatasi keikutsertaan dalam aktivitas fisik sampai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
pribadi, seperti berpakaian atau makan.
2.1.7. Pengkajian Nyeri
Walaupun tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana nyeri dirasakan oleh pasien, perawat harus mengerti tentang nyeri dan
menggunakan pendekatan dalam pengkajian nyeri, termasuk deskripsi verbal tentang nyeri. Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri
yang dialaminya. Pengkajian nyeri yang dilakukan meliputi: data subjektif dan data objektif.
a. Data subjektif 1.
Intensitas skala nyeri Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala
verbal, misalnya tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat; atau sampai 10. Dimana 0 mengindikasikan tidak
adanya nyeri, dan 10 mengindikasikan nyeri sangat hebat. 2.
Karakteristik nyeri, termasuk area nyeri yang dirasakan, durasi menit, jam, hari, bulan, irama terus-menerus, hilang timbul,
periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan dari nyeri, dan kualitas seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri
seperti di tekan.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor-faktor yang meredakan nyeri, misalnya gerakan, kurang
bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.
4. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari, misalnya
tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas santai.
5. Kekhawatiran individu tentang nyeri. Dapat meliputi berbagai
masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri Smeltzer Bare, 2001.
Gambar 2.2 Intensitas skala Nyeri
Taylor, 1997; Potter Perry, 2009; Smeltzer Bare, 2001
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana
Tidak ada nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri hebat
Nyeri paling
hebat Nyeri
sangat hebat
Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10
Tidak ada nyeri
Nyeri sedang
Nyeri paling
hebat
Universitas Sumatera Utara
Menurut McGuire dan Sheidler 1993 dalam Ardinata, 2007 ada enam dimensi nyeri, yaitu: 1 fisiologis, meliputi faktor pencetus,
karakteristik, durasi, 2 sensori, meliputi intensitas dan kualitas nyeri, 3 afektif, meliputi emosional dan psikologis seperti kecemasan dan
depresi, 4 kognitif, meliputi persepsi dan interpretasi tentang nyeri, 5 perilaku, seperti menyeringai, menangis, merapatkan gigi, dan lain-
lain, 6 sosiokultural, nyeri bisa dipersepsikan berbeda pada etnis yang berbeda.
Gambar 2.3 Dimensi Nyeri
Fisiologis Sensoris Afektif Kognitif Perilaku Sosiokultural Disimpulkan dari Ardinata, 2007
b. Data objektif Data objektif didapatkan dengan mengobservasi respons pasien
terhadap nyeri. Menurut Taylor 1997, respons pasien terhadap nyeri berbeda-beda, dapat dikategorikan sebagai 1 respons
perilaku, 2 respons fisiologik, dan 3 respons afektif. Skala Analog Visual VAS
Tidak ada nyeri
Nyeri paling
hebat
Universitas Sumatera Utara
Respons perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik
dengan orang lain, atau perubahan respons terhadap lingkungan. Respons perilaku ini sering ditemukan dan kebanyakan diantaranya
dapat di observasi. Individu yang mengalami nyeri akan menangis, merapatkan gigi, mengepalkan tangan, melompat dari satu sisi ke
sisi lain, memegang area nyeri, gerakan terbatas, menyeringai, mengerang, pernyataan verbal dengan kata-kata. Perilaku ini sangat
beragam dari waktu ke waktu Berger, 1992. Respons fisiologik antara lain seperti meningkatnya pernafasan
dan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya ketegangan otot, dilatasi pupil, berkeringat, wajah pucat, mual, dan
muntah Berger, 1992. Respons fisiologik ini dapat digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak
sadar Smeltzer Bare, 2001. Respons afektif seperti cemas, marah, tidak nafsu makan,
kelelahan, tidak punya harapan, dan depresi juga terjadi pada pasien yang mengalami nyeri. Cemas sering diasosiasikan sebagai
nyeri akut dan frekuensi dari nyeri tersebut dapat diantisipasi. Sedangkan depresi sering diasosiasikan sebagai nyeri kronis
Taylor, 1997.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Operasi 2.2.1. Definisi