Pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap mutu keripik ikan lemuru (Sardinella longiceps)

(1)

PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN HAMPA

TERHADAP MUTU KERIPIK IKAN LEMURU

(

Sardinella longiceps

)

SKRIPSI

OKTAVIANUS MANURUNG

F14070010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

THE INFLUENCE OF TEMPERATURE AND FRYING TIME TO

QUALITY OF LEMURU FISH CHIPS

Oktavianus Manurung and I Wayan Budiastra

Department of Mechanical And Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

e-mail: oktav_cescm@yahoo.com

ABSTRACT

Lemuru fish is a small fish and have a selling price that is not too high. Commonly, lemuru fish is processed become canned fish (sardine). While in the Mentawai, it is more widely used as fishing bait.So we need to find a lemuru fish processing become a product that has a higher selling price, like lemuru fish chips. One of suitable processing technology is vacuum frying.The purpose of this research are to assess the influence of temperature and time of vacuum frying to quality of lemuru fish chips, determine the best temperature and frying time to produce lemuru fish chips, and determine the business feasibility of lemuru fish chips. Lemuru fish were fried with temperature of 80, 90, and 100oC and frying time of 30,45, 60 minutes. Physicochemical analysis is done to know the quality of lemuru fish chips as a result of different combination of temperature and time frying include yield, water content, fat content, colour, and hardness. The organoleptic test is done to know the acceptance level of lemuru fish chips by panelists. The result showed that the temperature and frying time significantly influenced to the quality characteristic of fish lemuru chips. The best temperature and time of frying to produce lemuru fish chips is 90oC for 45 minutes. The lemuru fish chips business is eligible to run if production capacity is 6 kg or more.

Key words: Lemuru fish, vacuum frying ,lemuru fish chips, frying temperature, frying time, The business feasibility.


(3)

OKTAVIANUS MANURUNG. F14070010. Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa Terhadap Mutu Keripik Ikan Lemuru (Sardinella

longiceps). Di bawah bimbingan I Wayan Budiastra. 2011

RINGKASAN

Ikan lemuru merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang hidup bergerombol dalam jumlah yang begitu besar dan memiliki nilai jual yang tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan ikan lemuru ini kurang diminati untuk dikonsumsi oleh masyarakat karena berukuran kecil, bersisik dan berduri banyak, sehingga ikan ini sering digunakan sebagai umpan saat memancing. Biasanya di dunia industri, ikan lemuru diolah menjadi sarden (ikan kaleng) sehingga mempermudah masyarakat dalam mengkonsumsinya karena duri dan sisik ikan lemuru menjadi lunak. Namun proses membuat sarden membutuhkan modal yang besar,sehingga tidak memungkinkan dijangkau oleh industri kecil (rumah tangga). Sehingga diperlukan suatu pengolahan ikan lemuru ini menjadi suatu produk yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan proses pembuatannya masih bisa dijangkau oleh industri kecil, salah satunya adalah produk keripik.

Teknologi yang bisa digunakan untuk pembuatan keripik ini adalah menggunakan penggorengan hampa (Vacuum Frying). Dengan menggunakan alat ini, maka kerusakan warna, aroma, dan rasa dapat dihindari karena suhu penggorengannya lebih rendah dari suhu penggorengan pada satu atmosfir. Hal ini disebabkan karena proses penggorengan dilakukan pada tekanan dibawah satu atmosfir, sehingga menurunkan titik didih air. Akibat dari penurunan titik didih air tersebut, kita bisa melakukan penggorengan dengan suhu yang lebih rendah.

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap karakteristik mutu keripik ikan lemuru (Sardinella longiceps), menentukan suhu dan waktu penggorengan yang terbaik untuk pembuatan keripik ikan lemuru dengan penggorengan hampa (Vacuum Frying) agar diperoleh produk keripik lemuru yang sesuai dengan keinginan konsumen, dan menentukan kelayakan usaha produksi keripik lemuru.

Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah pembuatan keripik ikan lemuru dengan penggorengan hampa, dan yang kedua analisis kelayakan usaha keripik ikan lemuru. Penelitian tahap pertama menggunakan 2 faktor suhu dan waktu penggorengan dengan dua kali ulangan. Faktor suhu memiliki 3 taraf (level), yaitu 80oC, 90oC, dan 100oC. Faktor waktu juga memiliki 3 level, yaitu 30 menit, 45 menit, dan 60 menit. Untuk penelitian tahap pertama dilakukan uji fisikokimia, uji organoleptik, dan uji pembobotan. Dalam analisis fisikokimia, parameter yang diukur yaitu rendemen, kadar air, kadar lemak, warna, dan kekerasan. Sedangkan pada uji organoleptik panelis dimintai pendapatnya mengenai tingkat kesukaannya terhadap produk keripik ikan lemuru. Parameter uji kesukaan meliputi rasa, kerenyahan, warna, dan aroma. Melalui uji pembobotan, dapat ditentukan produk yang terbaik menurut penilaian panelis. Data hasil uji fisikokimia diolah dengan analisis sidik ragam untuk melihat pengaruh perlakuan-perlakuan yang diberikan. Apabila berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan waktu penggorengan berpengaruh nyata terhadap penurunan dan peningkatan mutu produk hasil uji fisikokimia. Dimana terjadi penurunan kadar air, peningkatan kadar lemak dan kekerasan, serta penurunan rendemen. Berdasarkan hasil uji


(4)

pembobotan, mutu keripik ikan lemuru yang dianggap terbaik diperoleh pada suhu penggorengan 90oC selama 45 menit. Hal ini juga terlihat melalui uji fisikokimia, dimana keripik tersebut memiliki kadar air yang paling rendah yang tidak beda nyata dengan perlakuan 100oC selama 60 menit dan 90oC selama 60 menit .

Dlihat dari analisis kelayakan, usaha keripik ikan lemuru dengan kapasitas per prosesnya sebesar 4 dan 5 kg, tidak layak dijalankan. Hal ini terlihat pada nilai NPV yang negative, net B/C dan gross B/C yang lebih kecil dari satu, dan nilai IRR nya lebih kecil dari tingkat suku bunga untuk 5 kg dan tidak terdeteksi untuk 4 kg. Sedangkan usaha dengan kapasitas 6 kg dan 8 kg memiliki nilai NPV yang positif, net B/C dan gross B/C yang lebih kecil dari satu, dan nilai IRR nya lebih besar dari tingkat suku bunga 15%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa usaha pembuatan keripik ikan lemuru dengan alat penggorengan hampa akan layak dijalankan jika kapasitas masuk per prosesnya minimal 6 kg ikan segar.


(5)

PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN HAMPA TERHADAP MUTU KERIPIK IKAN LEMURU (Sardinella longiceps)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

OKTAVIANUS MANURUNG F14070010

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(6)

Judul Skripsi : Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa Terhadap Mutu Keripik Ikan Lemuru (Sardinella longiceps)

Nama : Oktavianus Manurung

NIM : F14070010

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Akademik

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr NIP. 19611019 198601 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

Dr. Ir. Desrial, M.Eng NIP. 19661201 199103 1 004


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa Terhadap Mutu Keripik Ikan Lemuru (Sardinella longiceps) adalah hasil karya saya dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan Oktavianus Manurung F 14070010


(8)

© Hak cipta milik Oktavianus Manurung, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun,


(9)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Sei Belutu, pada tanggal 07 Januari 1989 sebagai anak kedua dari delapan bersaudara dari pasangan bapak J Manurung dan ibu R br Harianja. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2001 di SD HKBP Sei Belutu, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 03 Sei Rampah dan lulus pada tahun 2004. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 01 Tebing Tinggi pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis pernah aktif sebagai anggota Pemuda Mahasiswa Kristen (PMK) IPB, anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Bogor.. Penulis juga pernah dibiayai dikti untuk lomba PKM-K dengan judul “Alat Panen Sawit Sistem Pegas”.

Penulis melakukan Praktik Lapangan (PL) pada tahun 2010 dengan judul “MEMPELAJARI ASPEK KETEKNIKAN PADA PROSES PENGOLAHAN PASCAPANEN KELAPA SAWIT DI PT. CAKUNG PERMATA NUSA, TABALONG, KALIMANTAN SELATAN”. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif dalam kegiatan kepanitiaan lain seperti kegiatan natal CIVA IPB dan natal Fakultas Teknologi Pertanian maupun sebagai peserta dalam seminar berskala nasional.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “ Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa Terhadap Mutu Keripik Ikan Lemuru (Sardinella longiceps) “ di bawah bimbingan Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr.


(10)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis sampaikan atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Penelitian dengan judul “PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN HAMPA TERHADAP MUTU KERIPIK IKAN LEMURU (Sardinella longiceps)” dilaksanakan di Desa Sido Makmur, Kec.Sipora Utara, Kab. Kep. Mentawai dan di laboratoriumTeknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian IPB serta laboratorium Biokimia Pangan, Ilmu dan Teknologi Pangan IPB sejak bulan Mei sampai Juni 2011.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini, yaitu:.

1. Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr., selaku pembimbing akademik atas bimbingannya dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si. dan Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si. selaku dosen penguji yang telah menyempatkan waktunya untuk memberi saran dan masukan kepada penulis.

3. Ayahanda, ibunda serta adik-adik tercinta yang selalu memberikan dorongan motivasi dan doa kepada penulis.

4. Bapak Wiko Umar Dani beserta pegawai Disperindagkop Kab.Kep.Mentawai, keluarga Bapak Khusni, Pak Anang Lastriyanto, Bapak Sulyaden selaku teknisi Lab. TPPHP atas bantuannya selama penelitian

5. Dian, Nikodemus, Lovren, Angga, Suherman, teman-teman satu bimbingan, mas Jati, kak Nurhudaya, mba Ruri beserta teman-teman seperjuangan AE44 atas bantuan, semangat dan dorongannya kepada penulis.

6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah banyak membantu penulis selama menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan laporan ini oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi penyempurnaan laporan ini. Akhir kata semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi seluruh pihak yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2011


(11)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... …... iii

DAFTAR TABEL ... ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... ix

I. PENDAHULUAN ... ... 1

A. LATAR BELAKANG ... ... 1

B. RUANG LINGKUP ... ... 3

C. TUJUAN ... ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... ... 4

A. IKAN LEMURU ... ... 4

B. PENANGANAN PASCA PANEN IKAN ... ... 6

C. PENGGORENGAN ... ... 7

D. STRUKTUR PRODUK GORENGAN ... ... 9

E. PERUBAHAN KANDUNGAN AIR BAHAN ... ... 10

F. PENGGORENGAN HAMPA (VACUUM FRYING) ... ... 10

G. PENELITIAN TENTANG PENERAPAN VACUUM FRYING ... ... 10

H. ANALISIS BIAYA ... ... 14

I. ANALISIS KELAYAKAN USAHA ... ... 15

III. METODOLOGI PENELITIAN ... ... 17

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... ... 17

B. BAHAN DAN ALAT ... ... 17

C. METODE PENELITIAN ... ... 18

D. PROSEDUR ANALISIS ... ... 22

E. RANCANGAN PERCOBAAN ... ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... 20

A. PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGGORENGAN HAMPA TERHADAP MUTU DAN ORGANOLEPTIK KERIPIK IKAN LEMURU... ... 25


(12)

v B. ANALISIS KELAYAKAN USAHA KERIPIK IKAN LEMURU DENGAN

PENGGORENGAN HAMPA ... ... 35

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 48

A. KESIMPULAN ... ... 48

B. SARAN ... ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... ... 49


(13)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produksi ikan laut Kab. Kepulauan Mentawai... ... 2

Tabel 2. Komposisi kimia ikan lemuru (Sardinella longiceps)... 5

Tabel 3. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan protein... ... 5

Tabel 4. Sifat termodinamika air ... ... 13

Tabel 5. Spesifikasi alat mesin penggorengan hampa desain Anang Lastriyanto (2006) .... ... 18

Tabel 6. Biaya investasi usaha keripik ikan lemuru ... 36

Tabel 7. Analisis biaya penyusutan keripik ikan lemuru ... ... 38

Tabel 8. Analisis bunga modal keripik ikan lemuru ... ... 39

Tabel 9. Analisis biaya kebutuhan gas ... ... 40

Tabel 10. Analisis biaya listrik untuk kapasitas 8 kg/proses ... ... 41

Tabel 11. Analisis biaya listrik untuk kapasitas 6 kg/proses ... ... 41

Tabel 12. Analisis biaya listrik untuk kapasitas 5 kg/proses ... ... 41

Tabel 13. Analisis biaya listrik untuk kapasitas 4 kg/proses ... ... 42

Tabel 14. Analisis biaya kemasan ... ... 42

Tabel 15. Analisis biaya minyak goreng... ... 42

Tabel 16. Analisis biaya tidak tetap untuk kapasitas produksi 8 kg/proses... ... 43

Tabel 17. Analisis biaya tidak tetap untuk kapasitas 6 kg/proses ... ... 44

Tabel 18. Analisis biaya tidak tetap untuk kapasitas 5 kg/proses ... ... 45

Tabel 19. Analisis biaya tidak tetap untuk kapasitas 4 kg/proses ... ... 46

Tabel 20. Hasil perhitungan total biaya tetap dan biaya tidak tetap ... ... 46

Tabel 21. Analisis biaya pokok dan keuntungan keripik pada berbagai kapasitas produksi . ... 47


(14)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Ikan lemuru (Sardinella longiceps) ... .... 5

Gambar 2. Struktur bahan pangan yang digoreng ... .... 9

Gambar 3. Mesin penggoreng hampa dan komponen-komponenya... 11

Gambar 4.Bagan skema sistem mesin penggoreng hampa sistem jet air... 12

Gambar 5. Skema jet air... 13

Gambar 6. Konstruksi kondensor... 13

Gambar 7. Mesin Vacuum Frying ... 17

Gambar 8. Diagram alir penanganan ikan sebelum tahap penelitian... 19

Gambar 9. Diagram alir proses penelitian ... .... 20

Gambar 10. Hasil keripik ikan dalam berbagai tingkatan suhu dan waktu penggorengan ... .... 25

Gambar 11. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap rendemen keripik ikan lemuru ... .... 26

Gambar 12. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap kadar air keripik ikan lemuru ... .... 27

Gambar 13. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap kadar lemak keripik ikan lemuru ... .... 28

Gambar 14.Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap kekerasan keripik ikan lemuru ... .... 29

Gambar 15. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap nilai L keripik ikan lemuru ... .... 30

Gambar 16. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap nilai a keripik ikan lemuru ... .... 31

Gambar 17. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap nilai b keripik ikan lemuru ... .... 32

Gambar 18. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap Penerimaan rasa keripik ikan lemuru ... .... 33 Gambar 19. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap


(15)

viii Penerimaan kerenyahan keripik ikan lemuru ... .... 33 Gambar 20. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap

Penerimaan aroma keripik ikan lemuru ... .... 34 Gambar 21. Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap


(16)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1a. Data rendemen ... .... 51

Lampiran 1b. Data kadar air ... .... 51

Lampiran 1c. Data kadar lemak ... .... 51

Lampiran 1d. Data kekerasan ... .... 52

Lampiran 1e. Data nilai L ... .... 52

Lampiran 1f. Data nilai a... .... 52

Lampiran 1g. Data nilai b ... .... 53

Lampiran 2. Formulir uji organoleptik keripik ikan lemuru ... .... 54

Lampiran 3. Kuisioner tingkat kepentingan keripik ... .... 55

Lampiran 4a. Data organoleptik terhadap rasa keripik ikan lemuru... .... 56

Lampiran 4b. Data organoleptik terhadap kerenyahan keripik ikan lemuru ... .... 57

Lampiran 4c. Data organoleptik terhadap aroma keripik ikan lemuru ... .... 58

Lampiran 4d. Data organoleptik terhadap warna keripik ikan lemuru ... .... 59

Lampiran 5. Hasil uji tingkat kepentingan keripik ... .... 60

Lampiran 6. Uji pembobotan keripik ikan lemuru ... .... 61

Lampiran 7a. Analisis sidik ragam pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap rendemen keripik ikan lemuru ... 62

Lampiran 7b. DMRT perlakuan suhu penggorengan hampa terhadap rendemen ... .... 62

Lampiran 7c. DMRT perlakuan waktu penggorengan hampa terhadap rendemen ... .... 62

Lampiran 8a. Analisis sidik ragam pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap Kadar air keripik ikan lemuru ... 63

Lampiran 8b. DMRT perlakuan suhu penggorengan hampa terhadap kadar air ... .... 63

Lampiran 8c. DMRT perlakuan waktu penggorengan hampa terhadap kadar air ... .... 63

Lampiran 8d. DMRT interaksi perlakuan suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap kadar air keripik ikan lemuru ... 64


(17)

x Lampiran 9a. Analisis sidik ragam pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap

kadar lemak keripik ikan lemuru... 65

Lampiran 9b. DMRT perlakuan waktu penggorengan hampa terhadap kadar lemak ... .... 65

Lampiran 10a. Analisis sidik ragam pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap kekerasan keripik ikan lemuru ... . 66

Lampiran 10b. DMRT perlakuan waktu penggorengan hampa terhadap kekerasan ... .... . 66

Lampiran 11. Analisis sidik ragam pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap Nilai L keripik ikan lemuru ... . 67

Lampiran 12a. Analisis sidik ragam pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap Nilai a keripik ikan lemuru ... . 68

Lampiran 12b. DMRT perlakuan waktu penggorengan hampa terhadap nilai a ... .... . 68

Lampiran 13a. Analisis sidik ragam pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap Nilai b keripik ikan lemuru ... . . 69

Lampiran 13b. DMRT perlakuan waktu penggorengan hampa terhadap nilai b ... ... 69

Lampiran 14. Cashflow kapasitas optimal produksi 8 kg ... .... . 70

Lampiran 15. Cashflow kapasitas produksi 6 kg ... .... . 72

Lampiran 16. Cashflow kapasitas produksi 5 kg ... .... . 74


(18)

1

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas (Muchtadi,2008). Selama proses penggorengan bahan mengalami perubahan fisik, kimia, dan sifat sensoris. Ketika bahan makanan digoreng pada minyak goreng panas pada suhu yang tinggi, banyak reaksi komplek yang terjadi di dalam minyak dan pada saat itu minyak akan mengalami kerusakan. Kerusakan minyak yang yang berlanjut dan melebihi angka yang ditetapkan akan menyebabkan menurunnya efisiensi penggorengan dan kualitas produk akhir (Blumenthal and Stier,1991). Oleh karena itu dibutuhkan cara penggorengan yang bisa menggantikan cara penggorengan yang lama sehingga bisa meminimilkan kerusakan minyak dan memaksimalkan kualitas produk akhir.

Seperti kita tahu bahwa bahan makanan yang digoreng dengan cara biasa malah bisa lengket di wajan, sehingga hasil gorengan tidak layak dijual atau dikonsumsi. Cara penggorengan yang bisa meningkatkan kualitas keripik yang dihasilkan adalah penggorengan dengan sistem hampa (Vacuum Frying). Penggorengan dengan sistem hampa adalah menggoreng bahan makanan dengan minyak pada tekanan dibawah satu atmosfir. Cara menggoreng dengan sistem hampa akan menghasilkan produk dengan warna dan aroma yang enak serta lebih renyah. Kerenyahan tersebut diperoleh karena proses penurunan kadar air dalam produk terjadi secara berangsur-angsur. Pada penggorengan hampa, dengan penurunan tekanan maka titik didih air bahan akan turun dibawah 100oC (Muchtadi,2008). Sehingga memungkinkan penggorengan berlangsung pada suhu kurang dari 100oC seperti penelitian terhadap pembuatan keripik mangga Indramayu dengan penggorengan hampa (Vacuum Frying) yang sudah diiris dengan ketebalan 4.4 mm menghasilkan produk dengan warna kuning dan kerenyahan yang tinggi pada suhu 85 oC (Winarti, 2000). Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan penggorengan hampa adalah warna, rasa,dan aroma tidak banyak berubah, kandungan seratnya tinggi, tahan lama meskipun tidak mempergunakan bahan pengawet (Lastriyanto, 2006). Karena kelebihan ini, maka dengan penggunaan

mesin Vacuum Frying dapat meningkatkan nilai dari keripik yang dihasilkan sehingga peluang bisnisnya

cukup tinggi.

Selain buah, bahan makanan yang lainnya yang dapat digoreng dengan menggunakan penggorengan hampa adalah ikan. Ikan merupakan bahan pangan sumber protein berkualitas tinggi. Seperti kita tahu bahwa ikan juga merupakan sumber protein utama bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, banyak produk tradisional perikanan yang sudah lama dikenal seperti terasi, ikan asin, peda, kerupuk ikan/udang, abon ikan, ikan goreng, ikan pindang, dan sarden. Salah satu produk olahan ikan adalah keripik ikan. Biasanya produk ini dihasilkan dengan cara penggorengan biasa dan biasanya suhu penggorengannya sangat tinggi. Tentunya seperti pada keripik buah dengan penggorengan biasa, tingginya suhu penggorengan ini bisa merusak minyak sehingga efisiensi penggorengan dan kualitas keripik ikan yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan penggorengan hampa.

Pada penelitian ini, ikan yang dipilih untuk digoreng dengan penggorengan vakum adalah ikan lemuru (Sardinella longiceps). Produksi ikan lemuru ini cukup melimpah diperairan Indonesia terutama di Mentawai. Hal ini dapat dilihat pada tabel satu mengenai produksi ikan laut di Mentawai. pada tahun 2009. Ikan ini merupakan ikan pelagis kecil, yang nilai jualnya tidak terlalu tinggi. Dan biasanya hasil olahan ikan lemuru ini adalah dalam bentuk sarden. Selain itu ada juga yang diasinkan lalu dijual untuk


(19)

2

dikonsumsi dengan cara digoreng. Sedangkan di Mentawai, hanya sebagian kecil masyarakan yang mengkonsumsi ikan ini dan kebanyakan ikan ini digunakan sebagai umpan pancing nelayan. Contoh produk keripik ikan hasil penggorengan hampa adalah ikan balita goreng ( baby fish frying) . Suhu dan waktu penggorengan yang tepat untuk menghasilkan ikan balita goreng yang renyah adalah 30 menit dan suhu 105 oC (Suseno dkk,2008). Oleh karena karakteristik ikan lemuru berbeda dengan ikan balita tersebut maka perlu dilakukan pengkajian terhadap suhu dan lama penggorengan yang optimal agar diperoleh keripik ikan lemuru yang secara organoleptik dapat diterima oleh panelis. Penelitian mengenai pengkajian suhu dan lama penggorengan hampa keripik ikan lemuru ini sebelumnya belum pernah dilakukan. Dengan pengolahan ikan lemuru ini menjadi keripik ikan, maka nilai komersialnya akan bertambah.

Tabel 1. Produksi ikan laut di Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2009

No Jenis Ikan

Produksi (ton) (2009)

1 Kerapu 40

2 Kakap 35

3 Janihin 17

4 Capa/Kakap Merah 32

5 Baracuang 15

6 Nawi 18

7 Udang/Shrimp 93

8 Tenggiri 130

9 Tuna/Tongkol/Salmon 520

10 Gulamo 83

11 Teri/Small Fish 150

12 Sarden (Lemuru) 135

13 Pari 80

14 Peperek -

15 Kembung 170

16 Selar 210

17 Layaran 39

18 Lain-lain/Others 704

Jumlah/Total 2471


(20)

3

B. RUANG LINGKUP

Penelitian dibatasi pada pengamatan suhu dan lama penggorengan yang cocok untuk penggorengan keripik ikan berdasarkan uji organoleptik dan analisis mutu fisik dan kimia. Data yang dihasilkan akan diolah dengan analisis sidik ragam untuk melihat pengaruh perlakuan-perlakuan yang diberikan. Analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata.

C. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap

karakteristik mutu keripik ikan lemuru (Sardinella longiceps), menentukan suhu dan waktu penggorengan

yang terbaik untuk pembuatan keripik ikan lemuru dengan penggorengan hampa (Vacuum Frying) agar diperoleh produk keripik ikan lemuru yang sesuai dengan keinginan konsumen, dan menentukan kelayakan usaha produksi keripik ikan lemuru.


(21)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

IKAN LEMURU (Sardinella Longiceps)

Menurut Saanin (1984) Ikan lemuru dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella Subgenus : Harengula Species : Sardinella longiceps

Ikan lemuru (Sardinella longiceps) memiliki gigi pada langit-langit mulut sambungan tulang rahang bawah dan lidah. Sisik-sisiknya lembut dan bertumpuk tidak teratur, jumlah sisik didepan sirip punggung 13-15. Sisik duri terdapat pada lambung, 18 di depan sirip perut dan 14 lainnya di belakang sirip perut (Weber dan de Beaufort, 1965). Ikan lemuru berwarna biru kehijauan pada bagian punggung dan putih keperakan pada bagian lambung, serta mempunyai sirip-sirip transparan. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm tetapi pada umumnya hanya 10-15 cm (Chan, 1965). Menurut Whitehead (1985) ikan lemuru tersebar di lautan hindia bagian timur yaitu Phuket, Thailand, di pantai-pantai sebelah selatan Jawa Timur dan Bali, Australia sebelah barat, lautan Pasific sebelah barat (Laut Jawa ke utara sampai Philipina, Hongkong sampai Jepang bagian selatan).

Di Indonesia selain di perairan Selat Bali dan sekitarnya, ikan lemuru juga terdapat di sebelah selatan Tarnate, Selat Sunda dan Teluk Jakarta, Ikan lemuru yang ditangkap di daerah Sumatera Barat ini merupakan hasil tangkapan dari perairan pantai barat Sumatera.

Ikan lemuru termasuk jenis ikan pelagis kecil yang mudah tertarik oleh cahaya, sehingga dapat berkumpul ke tempat dimana cahaya lampu dipasang. Dan ikan ini hidup secara bergerombol dalam jumlah yang begitu besar. Ikan ini cenderung berada di permukaan laut pada malam hari untuk mencari makan dan berada di kolom perairan tertentu pada siang hari (Merta,1992). Menurut Merta (1992), produksi lemuru umumnya mulai meningkat pada bulan Oktober dan puncaknya pada bulan Desember dan Januari, kemudian menurun lagi pada bulan Februari.Gambar ikan lemuru dapat kita lihat pada gambar 1 dibawah ini.


(22)

5

Gambar 1. Ikan lemuru (Sardinella longiceps)

Ikan lemuru memiliki kandungan protein yang lebih tinggi daripada lemak. Hal ini bisa dilihat pada tabel 2, dimana kandungan protein ikan lemuru berada di urutan kedua setelah kadar air.

Tabel 2. Komposisi kimia ikan lemuru ( Sardinella longiceps)

Komposisi Jumlah (%)

Kadar air 64.55-69.89

Kadar protein 20.36-23.01

Kadar lemak 4.48-11.8

Kadar abu 2.07-3.03

Kadar garam (NaCl) 0.11-0.17

Sumber : Hanafiah dan Murdinah (1982)

Dan berdasarkan tabel 3 dapat dilihat juga bahwa ikan lemuru ini tergolong ikan lemak sedang dan protein tinggi.

Tabel 3.Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan protein

Golongan ikan Kadar lemak (%) Kadar protein (%)

Lemak rendah―protein

sedang

<5 15-20

Lemak sedang―protein tinggi 5-15 15-20

Lemak tinggi―protein tinggi >15 <15

Lemak rendah―protein tinggi <5 >20

Lemak rendah―protein

rendah

<5 <15


(23)

6

B.

PENANGANAN PASCA PANEN IKAN

Penanganan ikan segar bertujuan untuk mengusahakan agar kesegaran ikan dapat diperrahankan selama mungkin. Atau setidak-tidaknya masih cukup segar waktu ikan sampai ke tangan konsumen. Ikan yang tertangkap dan diangkut ke atas kapal, harus secepat mungkin ditangani dengan baikdan hati-hati. Demikian selanjutnya, sampai ikan disimpan beku (dalam cold storage) atau diolah misalnya dengan pengalengan atau langsung dimasak untuk dimakan. Dalam penanganan ikan, harus diusahakan suhu selalu rendah, mendekati 0oC. Harus dijaga jangan sampai suhu ikan naik, misalnya kena sinar matahari langsung atau kekurangan es selama pengangkutan. Sebab makin tinggi suhu, kecepatan membusuk juga semakin besar. Sebaliknya, bila suhu selalu dipertahankan serendah-rendahnya, maka proses pembusukan bisa diperlambat. Untuk itu dalam pengemasan dan pengangkutan ikan segar, harus diusahakan supaya esnya tidak cepat mencair. Caranya dengan menggunakan peti-peti berinsulasi atau kotak yang tertutup rapat (tidak ada celah) seperti styrofoam. (Moeljanto, 1982)

1.

Cara-Cara Pendinginan Ikan (

Chilling of Fish

)

Banyak cara untuk menurunkan suhu ikan segar. Cara paling sederhana adalah menutupi ikan dengan terpal atau karung basah (dengan menguapnya air pada terpal, suhu ikan akan turun). Cara lain yaitu, peng-es-an (dalam keranjang berlapis daun pisang segar atau dalam cool-box), perendaman dengan air atau air laut yang didinginkan (iced sea water atau refrigerated sea water), atau penyimpanan dalam kamar dingin.

Cara yang mana akan dipakai, tergantung dari tersedianya fasilitas, pembiayaan jarak yang akan ditempuh (dengan kapal, kereta api, truk atau pesawat terbang) dan jenis ikan (udang, ikan dan kepiting). Di negara-negara maju, untuk pendinginan ini telah dipakai “es kering” yang dapat menghasilkan suhu

sampai -70oC. Disamping peralatan dan biaya, kemampuan orang juga turut menentukan . Misalnya para

nelayan berperahu, tidaklah tepat kalau diminta untuk mendinginkan ikan dengan air laut yang didinginkan. Sebab, selain memerlukan kecakapan khusus, ruangan di perahu juga tidak memungkinkan untuk menempatkan perlatan yang diperlukan.

Peng-es-an ikan segar adalah cara yang paling sering dilakukan. Es yang dibuat dari air bersih, mampu menurunkan suhu ikan dari suhu udara luar (30oC) jadi 0oC atau mendekati suhu ini. Hal ini dapat terjadi jika jumlah es-nya cukup banyak (Moeljanto, 1982).

Proses penurunan suhu terjadi ketika es mencair. Air ini akan menghanyutkan substansi-substansi yangdiperlukan oleh mikroorganisme, sehingga menghambat perumbuhan bakteri pembusuk dan secara langsung dapat memperpanjang daya simpan. Mutu ikan segar akan lebih baik lagi bila disimpan pada suhu antara 0oC sampai 2.5oC. Dalam penanganan ikan segar, dikenal satu istilah penting yang disebut “rantai dingin”. Yaitu sejak ikan tertangkap sampai pengolahan lebih lanjut atau dimasak didapur,

hendaknya tetap berada atau disimpan dalam suhu mendekati 0oC.Yang penting, selama ikan belum dijual

atau diolah lebih lanjut, harus selalub berada di kotak pendingin dengan persediaan es yang cukup. Penyimpanan ikan segar dengan menggunakan es atau sistempendinginan yang lain memiliki kemampuan yang terbatas untukmenjaga kesegaran ikan, biasanya 10–14 hari . Yang pertama perlu diperhatikan di dalampenyimpanan dingin ikan dengan menggunakan es adalah berapajumlah es yang tepat digunakan. Es diperlukan untuk menurunkan suhu ikan, wadah dan udara sampai mendekati atau sama dengan suhu ikan dan kemudian mempertahankan pada suhu serendah mungkin, biasanya 0oC. Perbandingan es dan ikan yang ideal untuk penyimpanan dingin dengan es adalah 1 : 1. Supaya efektif, maka esnya harus dibuat dari air bersih, dan disimpan di tempat yang bersih.

Dalam hal ini fungsi dari es adalah :

 Menurunkan suhu daging ikan sampai mendekati 0oC

 Mempertahankan suhu ikan tetap dingin

 Menyediakan air es untuk mencuci lendir, sisa-sisa darah dan bakteri dari permukaan badan ikan


(24)

7

Garis besar tahapan kegiatan penanganan ikan :

 Mengangkat ikan dari air

 Melepas ikan dari alat tangkap

 Mendinginkan ikan

 Menyiangi ikan apabila diperlukan (pemisahan insang, sirip dan perut ikan)

 Mencuci ikan dengan air dingin

 Menempatkan ikan dalam wadah portable sesuai dengan jenis,ukuran dan mutu ikan (sortasi/seleksi)

serta memberinya es dengan jumlah yang cukup.

 Menyimpan didalam palkah berisolasi dengan es.

 Merawat ikan selama penyimpanan sampai dengan saat pembongkarannya

2.

Pembekuan

Pengawetan ikan dengan pembekuan (dengan suhu sampai -50oC) akan mampu menghentikan kegiatan mikroorganisme, meskipun belum diketahui dengan jelas pada suhu berapa bakteri betul-betul sudah mati semuanya. Secara praktis dapat dinyatakan bahwa pada suhu dibawah -10oC, proses pembusukan oleh bakteri berhenti. Meskipun demikian , beberapa proses seperti biokimia, kimia dan phisis masih berlangsung terus. Proses ini dapat menyebabkan kemunduran mutu secara lambat.

Pengawetan ikan dengan pembekuan memiliki sejumlah aplikasi.Apabila tempat penangkapan ikan sangat jauh dari pelabuhan yangmembuat pelapisan es menjadi tidak praktis, maka membekukanhasil tangkapan menjadi satu-satunya alternatif. Selain itu, apabilajarak pasar konsumen jauh dari pelabuhan, pembekuan diperlukanselama jangka waktu penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi.Pembekuan juga bermanfaat selama jangka waktu kelimpahan dan kekurangan. Ikan-ikan dapat dibekukan ketika jumlahnya berlimpahdan didistribusikan sepanjang jangka waktu dimana ikan tersebut langka, sehingga menstabilkan pasar. Selain itu, produk-produk yang bersifat musiman dapat dibekukan ketika melimpah dan dibuat tersedia sepanjang tahun. Dengan pembekuan, bahan pangan seperti daging dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan, ikan dapat disimpan selama 8 sampai 12 bulan dan buncis dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan (Moeljanto, 1982).

C.

PENGGORENGAN

Penggorengan merupakan salah satu proses olahan pangan yang sangat popular. Menggoreng merupakan suatu proses untuk memasak bahan pangan menggunakan lemak atau minyak pangan. Selama proses pemasakan ini terjadi pindah panas dan pindah massa (Ketaren, 1986; Azkenazi et al, 1984). Sedangkan menurut Muchtadi (2008), penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas.

Pindah panas dalam proses penggorengan merupakan pindah panas secara konduksi, yang terjadi di bagian dalam bahan dan pindah panas secara konveksi yang banyak terjadi pada minyak dan dari minyak ke bahan. Pindah massa dalam proses penggorengan ditandai dengan hilangnya sejumlah kandungan air bahan yang terjadi karena menguapnya air dari bagian renyahan (Hallstrom, 1986 di Paramita, 1999).

Proses penggorengan terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama disebut tahap pemanasan awal. Pindah panas yang terjadi antara minyak dan bahan adalah konveksi dan belum ada penguapan dari bahan. Tahap kedua terjadi dimana lapisan luar bahan pangan mulai mendidih. Pada tahap ini penguapan air bahan mulai terjadi sehingga terbentuk renyahan.Tahap ketiga disebut Falling Rate, ditandai dengan lebih


(25)

8

banyak air keluar dari bahan pangan, suhu permukaan bahan diatas 100oC, temperatur lapisan inti (Core) mulai mencapai titik didih, lapisan renyahan terus terbentuk. Tahap keempat disebut Bubble End Point, terjadi jika bahan pangan digoreng untuk waktu yang lama sehingga laju penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat di lapisan permukaan bahan.

Menurut Rossell (2001), pada penggorengan sistem celup bahan dikellingi oleh minyak goreng dengan urutan perilaku sebagai berikut :

1.Air yang terletak di permukaan bahan akan membentuk uap 2. Suhu minyak akan turun

3. Panas yang diberikan menimbulkan reaksi dari komponen bahan dan minyak

4. Pengeringan di permukaan bahan dan penyerapan minyak diikuti pembentukan aroma dan tekstur. Menurut Lawson (1995), metode penggorengan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu Griddling. Pan Frying, dan Deep Fat Frying. Metode Griddling dan Pan Frying banyak digunakan dalam pengolahan

pangan di rumah tangga. Griddling adalah proses penggorengan menggunakan Griddle (alat penggoreng

dengan permukaan datar) dan minyak goreng yang sangat sedikit. Sehingga membentuk lapisan film

minyak pada permukaan Griddle. Pan Frying adalah metode penggorengan dengan menggunakan sedikit

minyak goreng (± ½ inci dari permukaan ketel, sedikit lebih banyak dibanding minyak yang digunakan pada metode Griddling), umumnya digunakan untuk menggoreng ayam atau ikan. Proses penggorengan yang dilakukan di industri makanan umumnya menggunakan metode Deep Fat Frying, yaitu proses menggoreng dengan menggunakan pindah panas yang langsung dari minyak yang panas ke makanan yang dingin.

Pindah massa selama penggorengan tidak hanya dicirikan oleh perpindahan air dalam bentuk uap dari bahan ke minyak keluar dari sistem, tetapi juga perpindahan minyak ke dalam bahan. Penyerapan minyak goreng selama proses penggorengan meningkat dengan bertambah lamanya waktu penggorengan dan bertambah tingginya suhu penggorengan. Selama uap dibebaskan secara cepat dari irisan yang dimasak, tingkat penyerapan minyak akan berbeda pada tingkat yang paling rendah. Pada tahap akhir penggorengan, lapisan uap air pada permukaan bahan dilepaskan, sehingga perannya sebagai lapisan pelindung akan hilang, akibatnya minyak akan masuk dan mengisi rongga-rongga dalam jaringan yang telah mengering (Block, 1964). Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu penggorengan maka akan semakin tebal renyahan yang terbentuk, sehingga semakin banyak ruang-ruang kosong yang secara otomatis akan diisi dengan penyerapan minyak. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak oleh bahan selama proses penggorengan adalah kualitas dan komposisi minyak, temperatur dan lama waktu penggorengan, bentuk dan kandungan air bahan, komposisi bahan, perlakuan terhadap bahan sebelum digoreng, perlakuan terhadap lapisan permukaan bahan, porositas bahan, ketebalan lapisan renyahan pada bahan (Djatmiko dan enie, 1985 ). Sedangkan menurut Block (1964, dalam Wijayanti, 2011) faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak dikelompokkan menjadi dua group, (a) faktor material, terdiri atas komposisi dan karakteristik permukaan bahan , dan (b) faktor proses terdiri atas komposisi atau kondisi minyak.

Selama penggorengan, minyak dalam kondisi suhu tinggi serta adanya udara dan air dari bahan menyebabkan minyak mengalami kerusakan. Bentuk kerusakan fisika-kimia yang sering diamati adalah titik asap, kekentalan, warna, pembuihan, ketengikan, angka penyabunan dan angka asam. Kerusakan minyak yang berlanjut dan melewati angka yang ditetapkan akan menyebabkan menurunnya efisiensi penggorengan dan kualitas produk akhir (Blumenthal and Stier, 1991 dalam jurnal teknologi pertanian, 2007 ). Suhu penggorengan harus lebih tinggi dari titik didih air, tetapi tidak boleh tinggi karena akan


(26)

9

mempercepat kerusakan minyak. Biasanya suhu penggorengan yang dipakai adalah 177-221oC (Winarno,

1986 ), atau 163-196oC (Block, 1964 dalam Wijayanti, 2011), tergantung bahan pangan yang akan digoreng.

D.

STRUKTUR PRODUK GORENGAN

Adapun Struktur dasar pangan gorengan terdiri dari “inerzone” atau inti, “outerzone” atau kerak dan “outer zone surface” atau permukaan kerak (Robertson, 1967 di Subekti, 1993). Inti adalah bagian yang masih mengandung air. Pada pangan tipis seperti keripik, bagian inti ini hampir tidak ada yang tertinggal hanya bagian kerak saja

Core (inner zone)

Lapisan luar (outer zone)

Permukaan Luar (outer

zone surface)

Gambar 2. Struktur Bahan Pangan yang digoreng

Kerak “outerzone” adalah bagian luar pangan gorengan yang mengalami dehidrasi, semakin tebal bagian ini maka makin banyak minyak yang terserap. Kerak akan terbentuk pada kadar air 3% atau

kurang, dimana bahan pangan bisa dikatakan matang. “Outerzone surface” adalah bagian paling luar dari

bahan pangan gorengan yang berwarna coklat kekuningan. Warna coklat umumnya merupakan hasil reaksi “Maillard” yang dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu dan lama penggorengan.

Ada dua cara untuk menggolongkan produk hasil gorengan. Yang pertama dikemukakan oleh Azkenazi, et al (1984) serta Blumenthal (1991) dimana mereka membagi produk gorengan menjadi (a)

produk gorengan tanpa kerak contohnya ayam goreng, (b) produk dengan kerak contohnya “French fries

dan (c) produk yang keseluruhannya berupa kerak seperti keripik kentang.

Adapun beberapa perubahan yang terjadi pada bahan pangan yang mengalami proses penggorengan, antara lain: pembentukan crust, perubahan cita rasa, aroma, tekstur, warna, pengurangan air, penyerapan minyak, kerusakan vitamin, galatinasi pati, denaturasi/koagulasi protein (Muchtadi, 2008). Seperti pada produk ikan, dimana protein ikan bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah (denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan. Apabila dipanaskan seperti dalam pemasakan atau penggorengan, protein ikan akan menggumpal atau terkoagulasi (Junianto, 2003).


(27)

10

E. PERUBAHAN KANDUNGAN AIR BAHAN

Pindah massa selama proses penggorengan terutama ditandai dengan hilangnya sejumlah kandungan air bahan yang terjadi karena menguapnya air dari bagian kerak dan menurunnya kapasitas pengikatan air (water holding capacity) bahan pada saat kenaikan suhu (Hallstrom, 1980 dalam Wijayanti, 2011).

Peningkatan waktu penggorengan akan meningkatkan persentase kehilangan air kacang mete yang digorengkan pada suhu 160, 170, dan 180oC. Kehilangan air paling banyak terjadi pada menit pertama dan jumlahnya semakin bertambah dengan meningkatnya suhu penggorengan (Irawan, 1992).

Pada awal terbentuknya kerak, air yang diuapkan pada lapisan tersebut ditransfer keluar permukaan bahan melalui media pemanas cair yang terlihat dalam bentuk gelembung kecil. Pada saat itu terjadi penurunan kadar air yang paling besar. Dengan meningkatnya waktu penggorengan, kerak makin tebal dan menghalangi jalannya uap air, akibatnya laju penurunan kadar air semakin berkurang. Pembentukan lapisan kerak yang kering pada bagian luar bahan menyebabkan adanya gradient difusi uap air pada bagian tersebut dan gradient tekanan uap air dibawah lapisan kerak (Irawan, 1992).

F. PENGGORENGAN HAMPA (

Vacuum Frying

)

Menggoreng hampa adalah menggoreng berbagai macam produk dengan kondisi hampa udara. Menurut Lastriyanto (2006), penggorengan hampa dilakukan dalam ruangan tertutup dengan kondisi tekanan rendah sekitar 70 cmHg. Penggorengan hampa udara dapat digunakan sebagai alternatif pengolahan bahan yang rentan terhadap suhu yang tinggi. Bahan dipanaskan dibawah tekanan vakum sehingga menurunkan titik didih air dalam bahan (Muchtadi, 2008). Dengan penurunan tekanan maka suhu penggorengan bisa dilakukan relatif lebih rendah dibandingkan suhu penggorengan dengan tekanan atmosfer.

Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan penggorengan hampa adalah warna, rasa,dan aroma tidak banyak berubah, kandungan seratnya tinggi, tahan lama meskipun tidak mempergunakan bahan pengawet (Lastriyanto, 2006). Pada kodisi vakum suhu penggorengan dapat diturunkan sebesar 50oC-60oC atau 5-6 dekade, karena penurunan titik didih air. Dengan demikian produk yang mengalami kerusakan warna, aroma, rasa, dan nutrisi akibat panas dapat diproses dengan teknologi ini. Di sisi lain kerusakan minyak dan akibat-akibat yang ditimbulkan dapat diminimumkan karena proses dilakukan pada suhu dan tekanan rendah (Lastriyanto, 2006).


(28)

11

Gambar 3.Mesin penggoreng hampa dan komponen-komponennya

(http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/dkij0122.pdf ) Bagian-bagian penting dari mesin penggoreng hampa diatas adalah :

1. Pompa Vakum Water jet, berfungsi untuk menghisap udara di dalam ruang

penggoreng sehingga tekanan menjadi rendah, serta untuk menghisap uap air bahan.

2. Tabung Penggoreng, berfungsi untuk mengkondisikan bahan sesuai tekanan yang

diinginkan. Di dalam tabung dilengkapi keranjang buah setengah lingkaran.

3. Kondensor, berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama

penggorengan. Kondensor ini menggunakan air sebagai pendingin. 4. Unit Pemanas, menggunakan kompor gas LPG.

5. Unit Pengendali Operasi (Boks Kontrol), berfungsi untuk mengaktifkan alat vakum dan unit pemanas.

6. Bagian Pengaduk Penggorengan, berfungsi untuk mengaduk buah yang berada dalam tabung penggorengan.


(29)

12

Gambar 4.Bagan skema sistem mesin penggoreng hampa sistem jet air

1. Sumber pemanas 5. Penampung kondensat 10. Water Jet

2. Tabung penggoreng 6. Pengukur vakum 11. Pompa sirkulasi

3. Tuas pengaduk 7. Keranjang Penampung bahan 12. Saluran air pendingin

4. Pengendali suhu 8. Kondensor 13. Bak air sirkulasi

5. Penampung kondensat 9. Saluran hisap uap air 14. Kerangka

Vacuum frying horizontal desain Anang Lastriyanto ini bekerja dengan prinsip Bernoulli (gambar 5). Semburan air dari pompa yang dilalui pipa menghasilkan efek venturi atau sedotan (vacuum). Dengan menggunakan 7 atau 8 nosel, pipa khusus menghisap udara hingga tekanan didalam tabung penggorengan turun hingga 10 kPa (7.52 cmHg) sehingga dengan tekanan 10 kPa maka titik didih air akan turun menjadi 45.8oC (tabel 4). Air di dalam tabung penggoreng dan selanjutnya didinginkan di kondensor dengan sirkulasi air pendingin (gambar 6). Setelah dingin air dimasukan ke dalam bak air sedangkan uap air yang telah mengalami kondensasi ditampung di penampung kondensat. Untuk perawatan, setiap 6-8 kali penggorengan, tabung dibersihkan dengan cara minyak dikeluarkan dan tabung dibersihkan dengan air panas. Air di bak pendingin juga perlu diganti jika mulai ada kotoran yang dapat menyumbat nosel.


(30)

13

Gambar 5. Skema jet air

Gambar 6. Konstruksi kondensor

Tabel 4. Sifat termodinamika air

Tekanan (kPa) Suhu Titik Didih Air (oC)

0.6 0,0

1.0 7.0

3.2 25.0

10.0 45.8

101.3 100.0


(31)

14

G. PENELITIAN TENTANG PENERAPAN VACUUM FRYING DALAM

PEMBUATAN KERIPIK

Penggorengan hampa telah banyak diteliti dan diterapkan dalam penggorengan keripik seperti keripik buah, jamur, dan ikan. Biasanya setiap produk pangan memiliki suhu dan waktu penggorengan yang berbeda jika digoreng hampa. Menurut Lastriyanto (1997 dalam Paramita 1999), penggorengan hampa dilakukan dalam ruangan tertutup dengan kondisi tekanan rendah dimana kondisi yang baik untuk buah secara vakum adalah suhu 90oC, tekanan 0.7 cmHg dan waktu penggorengan satu jam. Garayo

(2001), membandingkan keripik kentang yang digoreng pada suhu (118, 132, 144oC) dan tekanan hampa

(16.66, 9.89, dan 3.12 kPa) dengan keripik kentang goreng dalam kondisi atmosfer (165oC). Ternyata keripik dengan penyerapan minyak terendah dengan kualitas produk seperti penyusutan, warna, dan tekstur terbaik didapatkan pada keripik kentang yang digoreng pada kondisi suhu 144oC dengan tekanan hampa 3.12 kPa.

Menurut Paramita (1999) dalam judul penelitiannya “Pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap sifat fisik dan organoleptik keripik sawo (achras sapota)” , disimpulkan bahwa keripik

sawo terbaik diperoleh pada penggorengan hampa dengan suhu 95 o C dengan waktu 40 menit. Paramita

(1999), melakukan penelitian terhadap suhu 85 o C, 90 o C, 95 o C dan waktu 35 menit , 40 menit, 45 menit dengan tekanan 65 cmHg.

Selain itu Wijayanti (2011) dalam judul penelitiannya “Kajian Rekayasa Proses Penggorengan Hampa dan Kelayakan Usaha Produksi Keripik Pisang” melakukan penelitian pada suhu 60 o C ,70 o C ,80

o

C, 90 o C dan waktu 30 menit, 45 menit, 60 menit, dan 75 menit dihasilkan keripik pisang yang disukai

panelis pada kondisi optimum yaitu suhu 80o selama 60 menit pada tekanan 70 cmHg.

Sedangkan penelitian mengenai suhu dan waktu yang terbaik untuk memperoleh keripik mangga indramayu (Mangifera indica L.) dilakukan oleh winarti (2000). Pada penelitian utama dilakukan penggorengan hampa pada suhu 85 o C, 90 o C, 95 o C serta waktu penggorengan 15 menit, 25 menit, dan 35 menit dan dihasilkan produk keripik mangga terbaik pada penggorengan dengan suhu 85 o C dengan waktu 35 menit.

Menurut Rosyanti (2000) dalam judul penelitiannya “Optimisasi suhu dan waktu penggorengan hampa jamur tiram (Pleurotus ostreatus)” melakukan penggorengan hampa pada suhu 100 o C, 105 o C, 110 o C pada waktu penggorengan 6, 10, 15 menit pada tekanan 70 cmHg. Dari penelitian pendahuluan diperoleh produk terbaik pada kondisi penggorengan 105 o C selama 15 menit.

Dalam penelitiannya Sudjud (2000), melakukan penelitian utama pada penggorengan hampa buah cempedak pada suhu 85 o C, 90 o C, 95 o C dengan waktu penggorengan 25 menit, 30 menit, dan 35 menit

dengan tekanan 10 cmHg diperoleh keripik cempedak terbaik pada penggorengan hampa pada suhu 90 o C

selama 30 menit.

Begitu juga dengan Nurhudaya (2011), diperoleh suhu dan waktu yang optimal untuk penggorengan hampa durian menjadi keripik durian berdasarkan hasil pembobotan adalah 75 oC dan 85 menit. Sedangkan untuk penggorengan hampa ikan balita diperoleh suhu dan waktu yang optimal adalah 105oC dan 30 menit (Suseno dkk, 2008).


(32)

15

H. ANALISIS BIAYA

Tujuan dari suatu usaha adalah mendapatkan keuntungan yang diperoleh dari selisih antara biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan yang diterima. Untuk dapat memperkirakan biaya produksi maka dilakukan suatu analisis biaya dari proses produksi sehingga akan didapat berapa biaya produksinya. Prestasi dari suatu usaha dapat dilihat dari biaya produksinya. Semakin rendah biaya produksinya maka semakin tinggi keuntungan yang akan diperoleh.

Penggolongan biaya menurut perubahannya terhadap volume produksi adalah biaya tetap, biaya variabel, dan biaya semi variabel (Revinaldo,1992). Biaya tetap adalah biaya yang totalnya tetap sampai batas kapasitas tertentu, meskipun volume produksi berubah. Biaya variabel merupakan biaya yang sebanding dengan perubahan volume produksi. Sedangkan biaya semi variabel adalah biaya yang berubah tidak sebanding dengan volume produksi.Biaya-biaya yang termasuk biaya tetap adalah biaya penyusutan, biaya bunga modal, biaya pajak, dan biaya gudang/garasi. Sedangkan yang termasuk biaya variabel adalah biaya operasional, biaya perbaikan/pemeliharaan, dan biaya khusus.

Biaya pokok produksi adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang ditambah dengan biaya lainnya sehingga barang tersebut dapat digunakan ( Adhipratiwi, 2001). Menurut Salah satu tujuan perhitungan biaya pokok adalah menentukan harga penjualan (Adhipratiwi, 2001). Biaya pokok produksi dapat diperoleh dengan membagi total biaya produksi dengan jumlah produksi dalam satu tahun (Pramudya dan Dewi, 1992).

I. ANALISIS KELAYAKAN USAHA

Untuk menganalisis kelayakan suatu proyek/usaha, maka dapat digunakan beberapa kriteria. Ada tiga cara kriteria yang paling banyak digunakan yaitu :

1.

Net Present Value

Net Present Value adalah perbedaan antara nilai sekarang (present value) dari manfaat dan biaya. Dengan demikian apabila nilai NPV positif, artinya dapat juga besarnya keuntungan yang diperoleh dari proyek. Sebaliknya NPV yang bernilai negatif menunjukkan kerugian. NPV dapat dihitung dengan

persamaan berikut :

NPV =

n t 1 t

i

Ct

Bt

)

1

(

Keterangan :

NPV = Net Present Value

n = Umur produksi (tahun)

t =Tahun ke-t

B =Manfaat (Rp/tahun)

C =Biaya (Rp/tahun)


(33)

16

2. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah suatu tingkat pengembalian modal yang digunakan dalam suatu proyek, yang nilainya dinyatakan dalam persen per tahun. Suatu proyek yang layak dilaksanakan akan mempunyai nilai IRR yang lebih besar dari nilai Discount Rate. Nilai IRR adalah nilai tingkat bunga, dimana nilai NPV-nya sama dengan nol. Dari hasil perhitungan IRR yang diperoleh dapat diambil keputusan sebagai berikut :

Jika IRR ≥ Discount Rate, maka proyek layak untuk dilaksanakan

Jika IRR < Discount Rate, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan Perkiraan nilai IRR dapat didekati dengan persamaan berikut :

IRR =

i

1 +

2 1 1

NPVi

NPVi

NPVi

X

i

2

i

1

)

Keterangan :

IRR = Internal Rate of Return

i1 = Tingkat bunga pada saat NPV yang didapat positif (%)

i2 = Tingkat bunga pada saat NPV yang didapat negatif (%)

3.

Benefit Cost Ratio

(B/C)

Benefit Cost Ratio adalah nilai perbandingan antara jumlah nilai manfaat dan nilai biaya. Ada dua jenis Benefit Cost Rati, yaitu Net B/C dan Gross B/C. Untuk menghitung Net B/C dapat digunakan rumus:

Net B/C =

Cnegatif B Cpositif B

NPV

NPV

 

Gross B/C=

 

n t t t n t t t

i

C

i

B

1 1

)

1

(

)

1

(

Nilai Net B/C memang tidak sama dengan nilai Gross B/C, tetapi kesimpulan yang diperoleh tetap sama, yaitu proyek tersebut layak dilaksanakan jika nilai Net B/C dan Gross B/C lebih besar dari satu.


(34)

17

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Desa Sido Makmur, Kec. Sipora Utara, Kab. Kep.Mentawai untuk proses penggorengan keripik ikan lemuru. Dan dilanjutkan dengan uji fisikokimia di Laboratorium TPPHP (Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian) DepartemenTeknik Mesin dan Biosistem, IPB dan di Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Waktu pelaksanaan penelitian mulai Mei 2011 hingga Juni 2011.

B . BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan lemuru (Sardinella longiceps)

yang berasal dari pedagang pengumpul ikan dengan ukuran kecil sekitar rata-rata 12 cm. Selain itu bahan yang digunakan lagi yaitu minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng ikan lemuru menjadi keripik ikan lemuru.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat penggoreng hampa (gambar 3) dengan model komersial II (tabel 4), freezer, baskom, sealer, kemasan aluminium foil, cawan aluminium, oven pengering, desikator, Rheometer, Chroma meter Minolta tipe CR-400, perangkat soxhlet untuk mengukur kadar lemak, serta perlengkapan uji organoleptik.


(35)

18

Tabel 5. Spesifikasi alat mesin penggorengan hampa desain Anang Lastriyanto (2006)

Uraian Komersial II

kapasitas (Kg masukan/proses) Optimal 8

Lama proses (Menit) 90-100

Bahan bakar LPG

Pendingin Sirkulasi air

Volume minyak goreng (liter) 70-75

Kebutuhan LPG (kg/jam) 0.4-0.6

Daya (watt) Pompa vakum

Spinner Sealer

750-1000 300 300

Instalasi listrik rumah minimum 1300 watt/220 V

Dimensi pxlxt cm3 180x120x140

volume pada waktu diangkut m3 1.8x1.2x0.65

kelengkapan Sealer kemasan, pengatus minyak

kontrol suhu Digital

E.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini akan dilakukan dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan keripik ikan lemuru dengan alat Vacuum Frying, tahap kedua yaitu analisis kelayakan usaha keripik ikan lemuru. Adapun alur atau prosedur penelitian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.


(36)

19

Gambar 8. Diagram alir penanganan ikan sebelum tahap penelitian Melepaskan ikan dari jaring

Mendinginkan ikan dengan es

Penyortiran dan Penyiangan/penjeroan ikan

Pencucian ikan

Menempatkan ikan dalam Styrofoam dan memberinya es

dengan perbandingan 1:1


(37)

20

Gambar 9. Diagram alir proses penelitian Persiapan alat dan bahan baku

Pencucian ikan dan penimbangan ikan

Pembekuan di Freezer dengan suhu -20oC

Penggorengan hampa

T : 80oC, 90oC, 100oC dengan tekanan hampa 7.52 cmHg (10 kPa) dan t: 30 menit, 45 menit, dan 60 menit

Pengatusan minyak

(Dengan sentrifus kecepatan 1400 rpm selama 10 detik)

Analisis fisikokimia (rendemen, kekerasan,warna, kadar air, dan kadar lemak) serta uji

organoleptik Penelitian tahap 1

Analisis biaya

(kapasitas masuk per proses 8 kg, 6 kg, 5 kg dan 4 kg)

Penelitian Tahap 2


(38)

21

1. Tahap Pertama

Penelitian tahap pertama dilakukan penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kisaran suhu dan waktu penggorengan ikan goreng. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah pengamatan warna dan kerenyahan ikan goreng secara subjektif. Percobaan pada penelitian pendahuluan ini akan dilakukan secara trial and error. Pada

penelitian pendahuluan dilakukan penggorengan hampa pada suhu dan waktu penggorengan 85 oC selama

75 menit, suhu 90 oC selama 60 menit, dan suhu 90 oC selama 45 menit dengan kapasitas masuk per prosesnya adalah 1 kg. Suhu dan waktu penggorengan yang terbaik diperoleh dari penelitian pendahuluan ini adalah suhu 90 oC selama 45 menit. Perlakuan ini dikembangkan lagi pada beberapa taraf pada penelitian utama.

Pada penelitian utama, hasil penelitian pendahuluan dikembangkan lebih lanjut pada berbagai tingkat suhu dan waktu. Dalam penelitian ini digunakan dua faktor yaitu suhu dan waktu penggorengan dengan tiga taraf perlakuan pada tiap faktor dengan 2 kali ulangan. Yaitu untuk faktor suhu adalah 80 oC,

90 oC, dan 100 oC. Sedangkan untuk waktu adalah 30 menit, 45 menit, dan 60 menit. Kemudian terhadap

produk hasil gorengan tersebut dilakukan berbagai analisis fisikokimia dan pengujian organoleptik. Data yang diperoleh akan diolah dengan analisis sidik ragam untuk melihat pengaruh perlakuan-perlakuan yang diberikan. Analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata (F hitung > F tabel).

2. Tahap Kedua

Pada penelitian tahap kedua, dilakukan untuk menganalisis kelayakan usaha keripik ikan lemuru. Data yang dikumpulkan berupa data primer,yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan terhadap

pembuatan keripik ikan lemuru dengan alat penggorengan hampa (Vacuum Frying) dengan pemilik usaha

penggorengan keripik. Analisis kelayakan ditinjau dari kapasitas masuk per prosesnya yaitu 8, 6, 5 dan 4 kg dengan rendemen 37% berdasarkan hasil dari pemilihan produk terbaik, dimana produk terbaik memiliki rendemen 37%. Sedangkan prosedur yang dilakukan adalah asumsi dan pendekatan sebagai

dasar dalam perhitungan. Asumsi yang digunakan terdiri dari : 1) umur ekonomis mesin Vacuum Frying

adalah 5 tahun dengan nilai akhir 10%, 2) umur ekonomis bangunan adalah 10 tahun, 3) Umur ekonomis peralatan-peralatan yang digunakan seperti talenan, keranjang, dan lain-lain diasumsikan sesuai kondisi lapangan yaitu 5 tahun, 4) umur proyek diasumsikan sesuai umur alat yaitu 5 tahun, 5) pendapatan dan pengeluaran dianggap tetap sepanjang umur ekonomis alat, 6) tingkat suku bunga diasumsikan sebesar 15%, 7) jumlah hari produksi per bulan adalah 24 hari dengan 8 jam kerja per hari.


(39)

22

E. PROSEDUR ANALISIS

1. Rendemen

Besar rendemen keripik ikan dihitung berdasrkan persentase berat keripik ikan yang dihasilkan terhadap berat ikan ikan segar yang digoreng

Rendemen (%) = berat keripik ikan x 100%

berat ikan segar

2. Kadar Air

Kadar air dihitung dengan cara menimbang bahan yang telah dioven sebanyak 5 gram dengan timbangan analitik dan membandingkannya dengan bobot awal sebelum penyimpanan. Pertama-tama cawan kosong dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan, cawan dimasukkan kedalam oven bersuhu 105 C selam 6 jam. Cawan dan sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin. Cawan dan sampel dimasukkan kembali ke dalam oven, dikeringkan lagi sampai diperoleh berat yang tetap. Kadar air dihitung :

Kadar air (%) = kehilangan berat (g)/berat sampel (g) x 100%

3.Kadar Lemak

Kadar lemak akan diukur dengan metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan

dibersihkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit. Kemudian didinginkan dalam

desikator dan ditimbang beratnya sebanyak 5 gram sampel dalam bentuk kering dibungkus dengan kertas saring, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Alat kondensor diletakkan diatasnya dan labu diletakkan di bawahnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam lemak berwarna jernih.

Pelarut yang ada dalam lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven 105oC untuk menguapkan sisa pelarut hingga mencapai berat konstan, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak didalamnya ditimbang dan berat lemak diketahui. Rumusnya ditunjukkan pada persamaan :

Lemak (%bb) = berat lemak (g) x 100%


(40)

23

4.Kekerasan

Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan produk terhadap jarum penusuk dari Rheometer DX-500. Uji kekerasan dilakukan pada tiga titik yang berbeda, yaitu bagian ujung, tengah, dan pangkal dengan dua kali pengulangan. Keripik ditekan oleh plunyer, beban maksimum 10 kg, kecepatan penurunan plunyer 60 mm/menit hingga keripik pecah.

5.Warna

Pengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan alat chromameter Minolta tipe CR-400. Data warna yang dinyatakan dengan nilai L(kecerahan), nilai a (warna kromatik), dan nilai b (warna kromatik biru kuning). Nilai L menyatakan kecerahan ( cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam), bernilai 0 untuk warna hitam dan bernilai 100 untuk warna putih. Nilai L yang semakin besar menunjukkan irisan produk semakin rusak karena warnanya semakin pucat. Nilai a menyatakan warna akromatik merah hijau, bernilai +a dari 0-100 untuk warna merah dan bernilai – a dari 0-(-80) untuk warna hijau. Nilai a yang semakin besar menunjukkan irisan produk semakin mendekati kebusukan.pengujian dilakukan dengan menempelkan sensor pada produk dan menembakkan sinar pada tiga bagian yang berbeda. Nilai b positif berkisar antara 0 sampai +70 yang menyatakan intensitas warna kuning sedangkan nilai b negatif yang menyatakan intensitas warna biru berkisar antara 0 sampai -80.

6.Uji Organoleptik

Uji organoleptik yang digunakan adalah uji hedonik (kesukaan), yang menyangkut penilaian beberapa orang panelis terhadap sifat produk. Dalam uji ini, panelis diminta tanggapannya tentang kesukaan atau ketidaksukaannya. Pengujian ini menggunakan skor dengan tujuh skala kesukaan yaitu : 7 (sangat suka), 6 (suka), 5 (agak suka), 4 (netral), 3 (agak tidak suka), 2 (tidak suka), dan 1 (sangat tidak suka). Parameter yang diuji secara organoleptik dari keripik ikan ini adalah rasa, warna, aroma, dan kerenyahan. Formulir uji organoleptik dapat dilihat pada lampiran 2.

7. Uji Pembobotan

Dalam uji pembobotan, panelis diminta memberikan peringkat terhadap empat kriteria mutu dari produk keripik yang diujikan pada uji hedonic (lampiran 3). Empat kriteria mutu tersebut antara lain rasa, warna, aroma, dan kerenyahan.

Kriteria mutu dihitung dari rat-rata skor peringkat dengan menggunakan rumus :

% Bobot = rata-rata skor peringkat x 100%


(41)

24

Dimana ∑ n = ( 1+2+3+4)

Nilai uji pembobotan adalah jumlah dari perkalian nilai rata-rata 4 parameter kesukaan (kerenyahan, rasa, warna, dan aroma) dari hasil uji hedonik dengan persen bobotnya atau dihitung dengan rumus :

Nilai uji pembobotan = (% bobot kerenyahan x skor kerenyahan) + (% bobot rasa x skor rasa) + (% bobot warna x skor warna) + (% bobot aroma x skor aroma) Produk terbaik adalah produk yang memiliki nilai uji pembobotan tertinggi.

E.RANCANGAN PERCOBAAN

Dalam penelitian utama akan digunakan 2 faktor, yaitu suhu dan lama penggorengan dan tiap-tiap faktor memiliki 3 taraf perlakuan yang nilainya dipilih berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 2 kali ulangan.

Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :

A. Suhu penggorengan (oC) B. Waktu penggorengan (menit)

A1 : 80 B1 : 30

A2 : 90 B2 : 45

A3 : 100 B3 : 60

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + ɛijk

Keterangan :

Yijk = respon percobaan karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B dan ulangan ke-k

µ = pengaruh nilai tengah yang sebenarnya

Ai = pengaruh perlakuan A taraf ke-i

Bj = pengaruh perlakuan B taraf ke-j

(AB)ij = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-I dengan perlakuan B taraf ke-j

ɛijk = pengaruh kesalahan percobaan pada ulangan ke-k karena pengaruh Ai , Bj , (AB)ij

Data akan diolah dengan analisi sidik ragam untuk melihat pengaruh perlakuan-perlakuan yang diberikan. Analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji DMRT ( Duncan’s Multiple Range Test) untuk perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata (F hitung > F table).


(42)

25

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGGORENGAN HAMPA TERHADAP

MUTU DAN ORGANOLEPTIK KERIPIK IKAN LEMURU

Penelitian tahap satu ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama penggorengan terhadap parameter mutu dan organoleptik, serta menentukan suhu dan waktu penggorengan yang optimal dilihat dari uji fisikokimia dan pembobotan. Hasil produk keripik ikan lemuru dapat dilihat pada gambar dibawah ini.


(43)

26

1.Rendemen

Gambar 11.Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap Rendemen keripik ikan lemuru

Dilihat dari grafik, rendemen rata-rata keripik ikan lemuru yang dihasilkan berkisar antara 37 % - 49.5%. Nilai rendemen terkecil diperoleh pada perlakuan suhu penggorengan 100oC dengan waktu penggorengan 60 menit. Hubungan antara pengaruh perlakuan penggorengan dengan rendemen dapat dilihat pada gambar 11. Secara umum, dari gambar 11 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu dan waktu penggorengan, nilai rendemen yang dihasilkan cenderung menurun. Hasil uji statistik (lampiran 7a) menunjukkan bahwa faktor suhu dan waktu penggorengan berpengaruh nyata terhadap turunnya nilai rendemen keripik ikan lemuru (p<0.05). Sedangkan interaksi antara faktor suhu dan waktu penggorengan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen keripik ikan lemuru (p>0.05).

Hasil uji lanjut Duncan (lampiran 7b) memperlihatkan bahwa keripik ikan lemuru yang digoreng

pada suhu 80oC menghasilkan keripik dengan rendemen terbesar dan berbeda nyata dengan semua produk

yang digoreng pada suhu 90oC dan 100oC. Sedangkan produk yang digoreng pada suhu 100oC memiliki nilai rendemen terkecil dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 90 oC. Sedangkan menurut uji lanjut Duncan (lampiran 7c), produk yang digoreng selama 30 menit menghasilkan rendemen terbesar namun tidak berbeda nyata dengan waktu 45 menit tetapi berbeda nyata dengan 60 menit. Sedangkan yang waktu 60 menit memiliki rendemen terkecil namun tidak berbeda nyata dengan waktu penggorengan 45 menit.

Penurunan nilai rendemen ini disebabkan karena sejumlah air yang terkandung dalam bahan mengalami penguapan akibat panas dari minyak goreng. Semakin lama waktu penggorengan maka nilai rendemen akan semakin menurun (Winarti,2000). Saat terjadi kenaikan suhu, kapasitas pengikatan air akan menurun dan air akan menguap (Hallstrom,1980). Dan kehilangan air paling banyak jumlahnya akan semakin bertambah dengan meningkatnya suhu penggorengan (Irawan, 1992).


(44)

27

2. Kadar Air

Gambar 12.Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap Kadar air keripik ikan lemuru

Nilai kadar air rata-rata berkisar antara 1.465%-24.56% basis basah. Dari gambar 12 terlihat

bahwa kadar air terkecil terdapat pada perlakuan penggorengan dengan suhu 100oC dan waktu

penggorengan 60 menit sedangkan yang terbesar suhu 80oC dan waktu 30 menit. Gambar 12 menunjukkan

bahwa semakin tinggi suhu dan waktu penggorengan maka nilai kadar air akan cenderung menurun. Hasil analisis sidik ragam (lampiran 8a) menunjukkan bahwa faktor suhu dan waktu penggorengan berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air (p<0.05). Begitu juga dengan interaksi antara faktor suhu dan waktu penggorengan berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air (p<0.05).

Uji lanjut Duncan (lampiran 8b) menunjukkan bahwa nilai kadar air terkecil terdapat pada

perlakuan penggorengan dengan suhu 100oC namun tidak berbeda nyata dengan suhu penggorengan 90oC.

Nilai kadar air terbesar terdapat pada perlakuan penggorengan dengan suhu 80oC dan berbeda nyata dengan semua suhu penggorengan yaitu 90 oC dan 100oC. Sementara uji lanjut Duncan (lampiran 8c) memperlihatkan bahwa perlakuan penggorengan dengan waktu 60 menit memiliki kadar air terkecil dan berbeda nyata dengan semua perlakuan waktu penggorengan. Sedangkan nilai kadar air terbesar terdapat pada perlakuan penggorengan dengan waktu 30 menit dan berbeda nyata dengan semua perlakuan waktu penggorengan. Menurut uji lanjut Duncan (lampiran 8d), nilai kadar air terkecil terdapat pada perlakuan penggorengan dengan kombinasi suhu 100oC dan waktu 60 menit namun tidak berbeda nyata dengan kombinasi 90oC selama 45 menit dan 90oC selama 60 menit. Sementara kadar air terbesar terdapat pada

kombinasi suhu 80oC selama 30 menit dan berbeda nyata dengan semua perlakuan kombinasi antara suhu

dan waktu penggorengan.

Penyebab dari menurunnya kadar air adalah akibat panas dari minyak goreng yang menguapkan sejumlah kadar dari bahan. Peningkatan suhu dan waktu penggorengan akan menurunkan nilai kadar air


(45)

28

keripik (Winarti,2000). Semakin tinggi suhu dan waktu penggorengan maka semakin banyak air yang akan menguap sehingga semakin tebal renyahan yang terbentuk yang secara otomatis akan diisi dengan penyerapan minyak (Block, 1964)

3. Kadar Lemak

Gambar 13.Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap Kadar lemak keripik ikan lemuru

Nilai kadar lemak rata-rata berkisar antara 30.89%- 40.34% . Dari grafik terlihat bahwa kadar lemak terbesar terdapat pada perlakuan penggorengan dengan suhu 90oC dan waktu penggorengan 60 menit sedangkan yang terkecil terdapat pada kombinasi suhu 80 oC selama 30 menit . Gambar 13 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan waktu penggorengan maka nilai kadar lemak akan cenderung naik. Namun berdasarkan hasil analisis sidik ragam (lampiran 9a) menunjukkan bahwa hanya faktor waktu penggorengan saja yang berpengaruh nyata terhadap nilai kadar lemak (p<0.05). Sedangkan faktor suhu dan interaksi antara faktor suhu dan waktu penggorengan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air (p>0.05).

Uji lanjut Duncan (lampiran 9b) menunjukkan bahwa nilai kadar lemak terkecil terdapat pada perlakuan penggorengan dengan waktu 30 menit dan berbeda nyata dengan semua perlakuan waktu penggorengan yaitu waktu 45 menit dan 60 menit. Sedangkan nilai kadar lemak terbesar terdapat pada perlakuan penggorengan dengan waktu 60 menit namun tidak berbeda nyata dengan waktu penggorengan 45 menit.

Penyebab dari naiknya kadar lemak ini adalah banyaknya ruang kosong pada produk gorengan yang diisi oleh minyak akibat tingginya suhu dan lamanya waktu penggorengan (Muchtadi, 2008). Hal ini


(46)

29

juga dibuktikan oleh Rosyanti (2000), yang membuktikan bahwa semakin meningkatnya suhu dan lama penggorengan maka kadar lemak keripik akan semakin besar.

4.Kekerasan

Gambar 14.Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap Kekerasan keripik ikan lemuru

Nilai kekerasan berkisar antara 5.44 N-10.45 N. Berdasarkan gambar 14, terlihat bahwa perlakuan penggorengan dengan suhu 80oC dan waktu penggorengan 60 menit memiliki nilai kekerasan yang paling tinggi. Sedangkan yang paling terkecil terdapat pada perlakuan penggorengan dengan suhu

80oC dan waktu penggorengan 30 menit. Jika dilihat dari grafik, semakin lama penggorengan maka nilai

kekerasannya akan semakin besar. Sedangkan semakin meningkatnya suhu terlihat bahwa grafik cenderung meningkat juga, walaupun ada sebagian nilai kekerasan yang justru menurun tapi penurunan nilai tersebut tidak signifikan. Hal ini diduga disebabkan karena sebagian ketebalan sampel keripik ikan lemuru yang kurang seragam. Hasil analisis sidik ragam (lampiran 10a) menunjukkan bahwa hanya faktor waktu penggorengan saja yang berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan (p<0.05). Sedangkan faktor suhu dan interaksi antara faktor suhu dan waktu penggorengan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan (p>0.05).

Uji lanjut Duncan (lampiran 10b) menunjukkan bahwa nilai kekerasan terbesar terdapat pada perlakuan penggorengan dengan waktu 60 menit namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan waktu penggorengan yaitu waktu 45 menit. Sedangkan nilai kekerasan terkecil terdapat pada perlakuan penggorengan dengan waktu 30 menit dan berbeda nyata dengan semua waktu penggorengan.

Jika dilihat secara subjektif dan penilaian organoleptik, semakin tinggi nilai kekerasan maka nilai kerenyahannya akan semakin meningkat. Hal ini Berbeda dengan pernyataan Sudjud (2000) yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu dan lama penggorengan maka nilai kekerasan keripik cempedak


(47)

30

akan semakin rendah yang berarti keripik semakin renyah. Namun nilai kekerasan keripik ikan lemuru justru semakin naik ketika suhu dan waktu penggorengan semakin meningkat. Hal ini sama dengan penelitian Wijayanti (2011), yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan nilai kekerasan keripik pisang ketika suhu dan waktu penggorengan semakin meningkat. Peningkatan nilai kekerasan keripik ikan lemuru ini berkaitan dengan karakteristik dari protein ikan yang bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah (denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan. Apabila protein tersebut dipanaskan seperti penggorengan, protein ikan tersebut akan menggumpal atau terkoagulasi (Junianto,2003). Sehingga semakin tinggi suhu dan waktu penggorengan maka kekerasan keripik ikan lemuru akan semakin meningkat.

5. Warna

Gambar 15.Grafik hubungan pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap Nilai L keripik ikan lemuru

Pengukuran warna pada penelitian ini menggunakan alat Chromameter. Nilai L (Lightness) adalah nilai yang menyatakan tingkat kecerahan bahan dan berkisar antara 0 (hitam) sampai 100 (putih). Rata-rata nilai kecerahan keripik ikan lemuru ini berkisar antara 51.453-60.595. Dilihat dari gambar 15 grafik kecerahan keripik dari suhu 90oC selama 30 menit ke suhu 100oC selama 30 menit menurun secara significan. Begitu juga dengan nilai kecerahan yang digoreng selama 30 menit, 45 menit dan 60 menit pada suhu penggorengan 90oC grafiknya cenderung menurun. Jika dilihat secara subjektif, warna dari keripik ikan lemuru ini dari semua perlakuan tidak kelihatan adanya perbedaan kecerahan yang nyata seperti pada warna keripik mangga hasil penelitian Winarti (2000) dimana terjadi penurunan kecerahan yang disebabkan oleh reaksi pencoklatan non- enzimatis yang dipercepat prosesnya oleh panas. Hal ini terlihat dari berfluktuasinya nilai kecerahan keripik ikan lemuru ini. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam


(1)

73

Bensin 5184000 5184000 5184000 5184000 5184000

Tenaga kerja (3 orang) 34560000 34560000 34560000 34560000 34560000 Biaya listrik 3685431.8 3685431.8 3685431.8 3685431.8 3685431.8

Pelumas genset 60000 60000 60000 60000 60000

Minyak goreng 33750000 33750000 33750000 33750000 33750000

4 Biaya Khusus

Box kontrol suhu 1700000

Lampu pengintai 25000

5 Biaya Perawatan dan

Pemeliharaan

Pemeliharaan bangunan 250000

Pemeliharaan /perawatan motor 500000

Perawatan mesin 283200

Total Pengeluaran 84260000 201080471.8 198322272 198322272 198322272 198322272

C

Net Benefit -84260000 26889528.2 29647728.2 29647728.2 29647728.2 50723728.2 DF (15%) 1 0.869565217 0.75614367 0.65751623 0.57175325 0.49717674 Net Present Value (NPV) -84260000 23382198.43 22417941.9 19493862.5 16951184.8 25218657.6

NPV 23203845.32 IRR 35.72%

Net B/C 1.275383875

GrossB/C 1.030878127


(2)

74

Lampiran 16. Cashflow kapasitas 5 kg sekali proses dengan harga Rp.85000,-/kg dengan tingkat bunga 15 % (hasil

produksi satu tahun 2344.3 kg)

No Uraian Tahun

0 1 2 3 4 5

A Penerimaan

1 Nilai Produksi Total 200613600 200613600 200613600 200613600 200613600

2 Nilai Sisa 21076000

Total Penerimaan 200613600 200613600 200613600 200613600 221689600

B Pengeluaran

1 Investasi

Bangunan 25000000

Mesin Vacuum Frying 23600000

Motor 6000000

Sealer injak 3500000

alat perlengkapan (pisau

talenan, keranjang plastik) 300000

freezer 8000000

Pompa 1000000

Genset 10000000

Meja kerja stainless steel 6000000

Timbangan 160000

2

Ember dan wadah

tempat ikan yang telah dicuci 700000

3 Pajak 305000 305000 305000 305000 305000

Biaya Operasional

Bahan baku ikan lemuru 63360000 63360000 63360000 63360000 63360000


(3)

75

Bensin 5184000 5184000 5184000 5184000 5184000

Tenaga kerja (3 orang) 34560000 34560000 34560000 34560000 34560000 Biaya listrik 3736787.6 3736787.6 3736787.6 3736787.6 3736787.6

Pelumas genset 60000 60000 60000 60000 60000

Minyak goreng 33750000 33750000 33750000 33750000 33750000

4 Biaya Khusus

Box kontrol suhu 1700000

Lampu pengintai 25000

5 Biaya Perawatan dan

Pemeliharaan

Pemeliharaan bangunan 250000

Pemeliharaan /perawatan motor 500000

Perawatan mesin 283200

Total Pengeluaran 84260000 187951327.6 185193128 185193128 185193128 185193128

C

Net Benefit -84260000 12662272.4 15420472.4 15420472.4 15420472.4 36496472.4 DF (15%) 1 0.99009901 0.98029605 0.97059015 0.96098034 0.95146569 Net Present Value (NPV) -84260000 12536903.37 15116628.2 14966958.6 14818770.9 34725141.2

NPV -24488122.74 IRR 4.42%

Net B/C 0.709374285

Gross B/C 0.965385587


(4)

76

Lampiran 17. Cashflow kapasitas 4 kg sekali proses dengan harga Rp.85000,-/kg dengan tingkat bunga 15 % (hasil

produksi satu tahun 2131.2 kg)

No Uraian Tahun

0 1 2 3 4 5

A Penerimaan

1 Nilai Produksi Total 182376000 182376000 182376000 182376000 182376000

2 Nilai Sisa 21076000

Total Penerimaan 182376000 182376000 182376000 182376000 203452000

B Pengeluaran

1 Investasi

Bangunan 25000000

Mesin Vacuum Frying 23600000

Motor 6000000

Sealer injak 3500000

alat perlengkapan (pisau

talenan, keranjang plastik) 300000

freezer 8000000

Pompa 1000000

Genset 10000000

Meja kerja stainless steel 6000000

Timbangan 160000

2

Ember dan wadah

tempat ikan yang telah dicuci 700000

3 Pajak 305000 305000 305000 305000 305000

Biaya Operasional

Bahan baku ikan lemuru 57600000 57600000 57600000 57600000 57600000


(5)

77

Bensin 5184000 5184000 5184000 5184000 5184000

Tenaga kerja (3 orang) 34560000 34560000 34560000 34560000 34560000

Biaya listrik 3704680 3704680 3704680 3704680 3704680

Pelumas genset 60000 60000 60000 60000 60000

Minyak goreng 33750000 33750000 33750000 33750000 33750000

4 Biaya Khusus

Box kontrol suhu 1700000

Lampu pengintai 25000

5 Biaya Perawatan dan

Pemeliharaan

Pemeliharaan bangunan 250000

Pemeliharaan /perawatan motor 1000000

Perawatan mesin 283200

Total Pengeluaran 84260000 179245880 175987680 175987680 175987680 175987680

C

Net Benefit -84260000 3130120 6388320 6388320 6388320 27464320

DF (15%) 1 0.869565217 0.75614367 0.65751623 0.57175325 0.49717674 Net Present Value (NPV) -84260000 2721843.478 4830487.71 4200424.1 3652542.69 13654621

NPV -55200081.06 IRR

Net B/C 0.344883918

GrossB/C 0.918467451

Karena NPV<0 , Net B/C <1, Gross B/C <1 dan IRR nya tidak ditemukan karena nilai tingkat bunga agar NPV positif tidak ada maka usaha dengan kapasitas 4kg sekali proses tidak layak dijalankan


(6)