Gambar 9 Histogram sebaran frekuensi tanaman hidup pada populasi P
1
, P
2
, F
1
, dan F
2
. Pengelompokan berdasarkan hidup mati sampel pada akhir pengamatan pada
hari ke-30 setelah inokulasi
15 15
tahan rentan
Populasi P2
12
3 15
tahan rentan
Populasi F1
121 94
215
tahan rentan
Populasi F2
Gambar 10 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-2 setelah inokulasi
Gambar 11 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-10 setelah inokulasi
Gambar 12 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-20 setelah inokulasi
Gambar 13 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-30 setelah inokulasi.
Berdasarkan hasil uji χ
2
pada populasi F
2
terlihat bahwa rasio 9 : 7 memiliki nilai χ
2
hitung yang tidak berbeda nyata dengan nilai 0.00007 dan probabilitas tertinggi sebesar 0.993144404 Tabel 8. Hal ini menunjukkan bahwa karakter
ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri dikendalikan oleh dua pasang gen mayor dengan aksi duplikat resesif epistasis Tabel 6.
Tabel 8 Hasil uji
χ
2
pada populasi F
2
berdasarkan kejadian penyakit dengan beberapa nisbah Mendel
Hipotesis Pengamatan 215
tanaman Harapan 215
tanaman χ
2
hitung Probalitas χ
2
Tahan Rentan
Tahan Rentan
3 : 1 121
94 161
54 40.1876
2.31 x 10
-10+
13 : 3 121
94 175
40 88.0000
6.55 x 10
-21
15 : 1 121
94 202
13 515.2000
4.69 x 10
-114
9 : 7 121
94 121
94 00
0.00007
tn
0.99 55 : 9
121 94
185 30
30.2344 6.61 x 10
-36
37 : 27 121
94 124
91 00
0.2073
tn
0.65 45 : 19
121 94
151 64
20.2843 6.67x 10
-6
Ket. tn: tidak berbeda nyata, berbeda nyata pada α 5.
Salah satu karakter penting dalam sifat ketahanan tanaman terhadap suatu penyakit adalah periode inkubasi. Tabel 8 menunjukkan bahwa dari keempat
genotipe yang diuji 2 tetua, F
1
, dan F
1R
, tetua tahan Kudamati 1 tidak memiliki periode inkubasi yang mengindikasikan bahwa genotipe bersifat sangat tahan.
Lombok 4 sebagai tetua rentan memiliki periode inkubasi pada hari kedua, sedangkan F
1
dan F
1R
masing-masing pada hari ke 16 dan 14. Karakter periode inkubasi menunjukkan bahwa setiap genotipe memiliki respon yang berbeda
terhadap serangan Ralstonia solanacearum. Menurut Agrios 2005, periode inkubasi adalah masa atau waktu antara setelah terjadinya inokulasi sampai
tanaman menunjukkan gejala penyakit. Berdasarkan pengamatan, Ralstonia solanacearum
termasuk ke dalam kategori bakteri yang mampu menunjukkan gejala dalam waktu yang cepat, yaitu 2 hari tetua rentan. Periode inkubasi yang
cepat mengakibatkan tanaman mengalami kematian dalam waktu yang cepat pula. Tanaman F
1
dan F
1R
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, dimana keduanya tergolong ke dalam kelas tahan, namun F
1
memiliki periode inkubasi yang lebih lama dibandingkan dengan F
1R
. Berbeda dengan hasil penelitian Shou et al.
2006 yang menyatakan bahwa karakter ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri dipengaruhi oleh tetua betina, pengamatan menunjukkan bahwa tidak
ada pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri yang ditunjukkan oleh kelas F
1
dan F
1R
yang sama. Pengamatan pengaruh tetua betina dilakukan secara kualitatif dengan
membandingkan kelas antar populasi F
1
dan F
1R
. Uji T tidak dapat dilakukan mengingat bahwa kejadian penyakit terjadi dengan diikuti oleh keparahan
penyakit yang bernilai sama. Penyakit layu bakteri pada tomat bersifat total yang langsung mengakibatkan kematian. Titik serangan patogen yang berpusat di
jaringan xylem menjadikan penyakit ini membunuh inang dengan cepat sehingga penyakit layu bakteri memiliki nilai keparahan penyakit yang dihitung sama
dengan kejadian penyakit.
Derajat dominansi yang dihitung dengan menggunakan rumus Petr 1959 menggunakan karakter persentase tanaman hidup, dimana rata-rata nilai F
1
̅̅̅̅ 80, rata-rata nilai tetua tertinggi
̅̅̅̅ 100, dan nilai tengah kedua tetua ̅̅̅̅ 50, sehingga derajat dominansi yang diperoleh sebesar 0,6. Nilai 0,6
menunjukkan bahwa karakter ini bersifat dominan tidak sempurna. Derajat dominansi yang bersifat tidak sempurna mengindikasikan adanya fenomena lain
yang mempengaruhi pewarisan karakter tersebut sehingga pengujian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan populasi F
2
. Populasi F
2
yang diuji sebanyak 215 tanaman, di mana 121 tanaman tahan dan 94 rentan. Tahan atau rentan tanaman dicirikan dengan hidup atau matinya
tanaman hingga selesai masa pengamatan pada hari ketiga puluh. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa karakter dikendalikan oleh dua pasang gen yang
diikuti oleh aksi duplikat resesif epistasi. Aksi duplikat resesif epistasis mempengaruhi nilai derajat dominansi yang bersifat dominan tidak sempurna.
Dominan tidak sempurna mengindikasikan bahwa bahwa alel dominan tidak sepenuhnya mampu menutupi alel lainnya yang bersifat resesif.
Aksi duplikat resesif epistasi terjadi karena gen epistasis resesif dalam keadaan homozigot sehingga mampu menutupi ekspresi pasangan gen lainnya
yang bukan alelnya. Genotipe tahan akan muncul apabila kedua gen bersifat dominan, baik itu homozigot ataupun heterozigot. Genotipe rentan akan muncul
apabila salah satu dari gen bersifat resesif. Salah satu gen resesif akan menutupi sifat dominan gen lainnya.
Perakitan varietas tomat tahan layu bakteri hingga saat ini masih menjadi salah satu prioritas utama pemuliaan tanaman tomat, terutama karena genotipe
tomat yang tahan cenderung memiliki bentuk buah yang kurang diminati masyarakat. Sutjahjo 2013 menyatakan bahwa genotipe Kudamati 1 tahan
memiliki bentuk buah nomor 1 flattened dengan potensi hasil per tanaman dapat mencapai 336,31 gram, sedangkan Lombok 4 rentan memiliki buah dengan
bentuk nomor 7 heart-shaped yang berpotensi menghasilkan 449,70 gram tomat dimana nilai ini merupakan hasil tertinggi di antara tiga puluh genotipe tomat
lokal dikoleksi. Dilihat dari bentuk buah, masyarakat dan petani cenderung memilih buah Lombok 4 yang lebih menarik dengan potensi hasil yang tinggi
dibandingkan dengan buah Kudamati 1.
Solusi mendapatkan varietas tahan yang memiliki bentuk buah yang diminati masyarakat menjadi terkendala ketika diketahui derajat dominansi
karakter bersifat tidak sempurna. Hibrida yang dirakit dari persilangan Kudamati 1 dan Lombok 4 memiliki peluang untuk bersifat rentan, walaupun bentuk
buahnya menjadi cenderung heart-shaped. Varietas tahan yang berbentuk hibrida dapat dirakit dengan persilangan sesama tetua tahan dengan mengabaikan bentuk
buah, seperti persilangan Kudamati 1 dan Gondol Lonjong Sutjahjo, 2013.
Varietas tahan dengan bentuk buah yang menarik dapat diraih dengan merakit galur murni memanfaatkan genotipe Kudamati 1 dan Lombok 4, dimana
menggunakan benih F
3
yang berasal dari individu F
2
yang telah terseleksi. Individu yang tahan ditanam dan dibiarkan selfing sehingga didapat galur murni
yang secara genetik tahan terhadap penyakit layu bakteri dan memiliki bentuk buah yang menarik.
4.4 Kesimpulan
Karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat merupakan karakter kualitatif. Sifat ini dikendalikan oleh dua pasang gen mayor dengan aksi
duplikat resesif epistasis tanpa adanya pengaruh maternal.
4.5 Daftar Pustaka
Grimault V, Anals G, Prior P. 1995. Distribution of Pseudomonas solanacearum in the stem tissues of tomato plants with different levels of resistance to
bacterial wilt. Plant Pathol. 43:669-674. Mejri S, Mabrouk Y, Voisin M, Delavault P, Simier P, Saidi M, Belhadj O. 2012.
Variation in quantitative characters of faba bean after seed irradiation and associated molecular changes. African Journal of Biotechnology.
1133:8383-8390.
Osiru MO, Rubaihayo PR, Opio AF. 2001. Inheritance of resistance to tomato bacterial wilt and its implication for potato improvement in Uganda.
African Crop Sci J . 9:9-16.
Petr FC. 1959. Genotypic correlation, dominance, and heritability of quantitative characters in oats [disertasi]. Ames US: Iowa State University.
Sastrosumarjo S. 1987. Pola pewarisan karakter resistensi terigu Triticum aestivum
L. terhadap kudis malai Gibberella zeae Schw. Petch [Inheritance of wheat Gibberella zeae Schw. Petch resistance trait to
Gibberella zeae Schw. Petch] [disertasi]. Bogor ID: Institut Pertanian
Bogor. Shou SY, Feng ZZ, Miao LX, Liao FB. 2006. Identification of AFLP markers
linked to bacterial wilt resistance gene in tomato. Hereditas. 282:195-199. Sutjahjo SH. 2013. Perakitan kultivar tomat tahan layu bakteri Pseudomonas
solanacearum dan pecah buah berbasis plasma nutfah lokal [laporan hasil
penelitian]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Yue SJ, Wu DH, Liang CY. 1995. Studies on resistance heridity of bacterial wilt
tomato. J. South China Agric. Univ. 16:91-95.
5 IDENTIFIKASI MARKA SSR PENANDA KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI
Ralstonia solanacearum PADA TOMAT
Identification of SSR Marker to Bacterial Wilt Disease Ralstonia solanacearum Resistance on Tomato
Abstrak
Marka molekuler adalah salah satu metode pemuliaan tanaman yang memegang peranan penting dalam pengendalian penyakit. Marka molekuler dapat
menduga resistansi tanaman sejak dini sehingga dapat mengefisiensikan waktu dan tenaga. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan marka SSR penanda
ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat. Sepuluh primer SSR diseleksi dengan menggunakan dua genotipe tahan, dua genotipe rentan, dan BSA
populasi F
2
. Primer terpilih diuji pada tiga puluh genotipe tomat lokal koleksi. Hasil amplifikasi PCR-SSR dianalisis menggunakan PAGE Polyacrilamide Gel
Electrophoresis . Pewarnaan perak nitrat yang dilakukan pada dua genotype tahan
dan rentan menunjukkan bahwa primer TOM-144 bersifat polimorfik dan diduga penanda karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat.
Konfirmasi dengan menggunakan BSA juga menduga bahwa primer TOM-144 bersifat penanda pada karakter ini. Berdasarkan hasil pita elektroforesis, primer
TOM-144 mampu membedakan genotipe tahan dan rentan. Tercatat ada sembilan genotipe yang diduga memiliki sifat tahan terhadap penyakit layu bakteri.
Kata kunci: tomat, Ralstonia solanacearum, SSR, PAGE
Abstract
Molecular marker is one method of plant breeding which has a key position in controlling the disease. It will be efficient for our time and effort if we can
identify the plant resistance early by molecular marker. The research aimed to identify bacterial wilt disease resistance on tomato by SSR. Ten SSR primers were
selected using two resistant genotypes, two susceptible genotypes, and BSA from F
2
populations. The selected primer were tested on thirty local genotipes. Amplification result of PCR-SSR was analyzed using PAGE Polyacrilamide Gel
Electrophoresis. The staining results on two resistant and susceptible genotypes showed that primer TOM-144 wa
s polymorphic and marker to bacterial wilt
disease resistance in tomato. Confirmation by BSA also indicated that the primer TOM-144 is a marker for this character. Based on the results of electrophoresis
band, primer TOM-144 was able to distinguish between resistant and susceptible genotypes. There were nine genotypes that indicated resistant to bacterial wilt
disease.
Keywords: tomato, Ralstonia solanacearum, SSR, PAGE
5.1 Pendahuluan
Tomat Lycopersicon esculentum Mill adalah tanaman sayuran yang paling penting kedua setelah kentang di dunia Panthee Chen 2010. Salah satu
penyakit yang sangat merugikan budidaya tomat adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Menurut Yang et al.
1979, penyakit layu bakteri memiliki penyebaran yang luas, terutama di daerah tropis.
Dewasa ini pemuliaan tanaman konvensional yang terkendala waktu dipermudah dengan adanya penanda molekuler. Tidak seperti penanda morfologi
dan biokimia, penanda molekuler tidak dipengaruhi faktor lingkungan dan praktek penanaman Ovesna et al. 2002. Menurut Langridge dan Chalmers 2004,
penggunaan penanda molekuler untuk melacak lokus dan genom pada tanaman sekarang secara rutin diterapkan di banyak program pemuliaan. Penggunaan
penanda molekuler untuk mengidentifikasi alel ketahanan memberikan kontribusi penting dalam kegiatan pemuliaan Da Silva et al. 2003.
Menurut Kumar et al. 2009, penanda molekuler dapat mendeteksi suatu sifat dengan mudah. Penggunaan penanda molekuler didasari oleh adanya
keragaman atau perbedaan pada tingkat DNA pada setiap individu. Penanda molekuler yang bagus harus bersifat polimorfik. Ada beberapa teknik penanda
molekuler, di antaranya: Restriction Fragment Lenght Polymorphism RFLP, Random Amplified Polymorphic DNA
RAPD, Amplified Fragment Lenght Polymorphism
AFLP, Inter Simple Sequence Repeats ISSR, dan Simple Sequence Repeat
SSR. Berkaitan dengan fungsinya dalam deteksi resistensi tanaman, para pemulia telah memanfaatkan teknik SSR. SSR sebagai penanda
molekuler memiliki beberapa kelebihan, di antaranya: bersifat kodominant, tingkat keterulangan yang tinggi, banyak terdapat pada organisme eukariot, dan
tingkat keragaman alel yang tinggi Mohan et al. 1997. SSR telah terbukti dapat mendeteksi ketahanan tanaman tomat terhadap penyakit layu Fusarium Parmar et
al.
2013 dan tanaman padi terhadap penyakit blast Ashkani et al 2011. Dalam pengerjaannya, penanda molekuler semakin terbantu oleh adanya
teknik bulk segregant analysis BSA. BSA merupakan metode yang melibatkan perbandingan antara dua sampel DNA yang mana tiap sampel DNA adalah
kumpulan dari beberapa individu suatu populasi. Hingga saat ini BSA sudah digunakan dalam kegiatan SSR lobak Tommasini et al. 2003, kentang Boluarte
1999, terong Bi-hao et al. 2009, dan tomat Parmar et al. 2013.
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan penanda SSR terhadap ketahanan penyakit layu bakteri pada tomat.
5.2 Bahan dan Metode 5.2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan Laboratorium Plant Molecular and Biology 2 Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian berlangsung pada Juni 2015
– Maret 2016. Percobaan ini terdiri dari dua tahapan, yaitu: seleksi primer pada genotipe
tetua dan BSA pada populasi F
2
. 5.2.2 Seleksi Primer
Bahan Tanam.
Percobaan ini menggunakan dua genotipe tahan Kudamati 1 dan Situbondo Gelombang, dua genotipe rentan Meranti 2 dan Lombok 4, dan 2
individu F
1
. Daun tanaman yang digunakan adalah daun muda, segar, dan berasal dari tanaman yang berusia 2-3 minggu setelah semai.
Reagen dan Ekstraksi DNA.
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ekstraksi adalah yaitu buffer lysis CTAB 5, PVP, CIA 24:1, etanol 100, dan aqua
bidestilata steril. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode CTAB yang telah dimodifikasi Haquarsum et al. 2015.
PCR-SSR.
Kegiatan PCR-SSR dilakukan dengan menggunakan 10 primer mengikuti Parmar et al. 2013 dan Areshchenkova 2000 seperti yang diuraikan
pada Tabel 9. Kegiatan PCR dilakukan dalam 20 µL campuran reaksi yang mengandung Buffer A 4 µL, MgCl
2
0.4 µL, dNTP 0.4 µL, KAPA 2G 0.08 µL, aquabides 5.12 µL, DNA cetakan 5 µL dan primer 5 µL. Tahapan PCR meliputi
pre denaturasi selama 5 menit pada suhu 94 C, 45 kali siklus yang terdiri:
denaturasi selama 55 detik pada suhu 94 C, penempelan primer selama 30 detik,
dan elongasi selama 1 menit pada suhu 72 C, dan terakhir berupa elongasi akhir
selama 10 menit pada suhu 72 C.
Hasil amplifikasi dielektroforesis dengan menggunakan agarose 1.5 dan buffer TAE 0.5 dengan kondisi 90 V selama 50 menit. Pewarnaan dilakukan dengan
menggunakan ethidium bromide. Selanjutnya agarose dilihat dengan uv transluminator
. Kegiatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa produk teramplifikasi dengan baik.
Tabel 9 Jenis primer yang digunakan dan urutan basanya
Marker SSR
Repeat sequence
Ukuran Primer
Ta C
TMS1 AT8GT16
134 F : CGCTCCCTTTTTGAATTGAG
R : TTGCTGTTGTGGTTTTCGAT 59.1
TMS2 GT41 TA6
CT9 387
F : TCTTTCATTTCATGTCACGA R : AGGAGACCTTATGATTCAAGG
54.7 TMS4
CT12 GATA12
ATAT AC10 230
F : CGATTAGAGAATGTCCCACAG R : TTACACATACAAATATACATAGTCTG
49.7 TMS6
GATA45 335
F : CTCTCTCAATGTTTGTCTTTC R : GCAAGGTAGGTAGCTAGGGA
57.5 TMS7
TA31 GATA13
170 F : ACAAACTCAAGATAAGTAAGAGC
R : GTGAATTGTGTTTTAACATGG 57.2
TMS8 GATA87
470 F : GCGCACCCAAAGTTGAAG
R : CCTCATAGGGACGCACATAC 58.0
TMS9 GATA24
360 F : TTGGTAATTTATGTTCGGGA
R : TTGAGCCAATTGATTAATAAGTT 54.3
TMS17 GATA24
AT8 GT25 250
F : AATGTAACAACGTGTCATGATTC R : AAGTCACAAACTAAGTTAGGG
50.2 SSR-67
AGA2 AAG7
900 F : GCACGAGACCAAGCAGATTA
R : GGGCCTTTCCTCCAGTAGAC 59.0
Tom-144 TAT15
TGT4 144
F : CTGTTTACTTCAAGAAGGCTG R : ACTTTAACTTTATTATTGCGACG
54.1
Ket. F=forward, R=reverse
.
Elektroforesis Gel Poliakrilamid Vertikal vertikal PAGE dan Pewarnaan. Cetakan gel poliakrilamid terdiri atas plat kaca yang berukuran 40 cm x 34 cm dan
42 cm x 34 cm. Permukaan plat kaca pendek diolesi Sigmacote secara merata dengan menggunakan tissue kimwipe, sedangkan pada plat kaca panjang diolesi dengan
larutan pengikat bind silane.
Gel poliakrilamid dibuat dengan mencampurkan komponen yang terdiri atas 40 mL larutan denaturasi akrilamid 4.5, Temed 67 µL, dan 150 µL APS 10.
Semua bahan yang sudah dicampur dengan merata selanjutnya dituang pada cetakan gel dengan tinggi gel 40 cm, lebar 34 cm, dan ketebalan 0.2 mm.
Selanjutnya gel dibiarkan hingga membeku.
Sampel DNA dari produk PCR disiapkan dalam tabung dan dicampur dengan loading dye sebanyak 7.5 µL. Produk PCR didenaturasi pada suhu 95
C selama 2 menit dan selanjutnya didinginkan dengan menggunakan es. Pre run
dilakukan dengan memanaskan buffer TBE 0.5 hingga mencapai suhu berkisar 40
C. Selanjutnya buffer TBE dituangkan pada plat yang telah disiapkan. Suhu dijaga untuk tetap stabil pada 30-35
C. Produk PCR yang telah didenaturasi dimasukkan pada sumur cetakan. Pada
sumur pertama dimasukkan ladder berukuran 100 bp sebanyak 3 µL. Produk PCR
yang dielektroforesis sebanyak 3 µl. Elektroforesis dilakukan pada kondisi 600 V selama 50 menit. Setelah elektroforesis kemudian dilakukan pewarnaan.
Pewarnaan dilakukan dengan menggojok gel melalui 5 tahapan perendaman, yaitu: menggunakan larutan fiksasi 1 selama 10 menit, larutan asam nitrat 1.5
selama 3 menit, larutan pewarna 0.2 perak nitrat selama 30 menit, larutan developer selama 15 menit, dan larutan stop 5 selama 5 menit. Setiap pergantian
larutan diselingi dengan penggojokan menggunakan aquades selama 2 menit. Terkecuali ketika gel telah direndam dengan larutan pewarna, yaitu gel dibilas
dengan mengalirkan aquades secara perlahan dari bagian atas plat untuk pembilasan yang lebih bersih sebanyak 2-3 kali aliran. Selanjutnya gel
dikeringanginkan di suhu ruang sampai kering.
Evaluasi Marka SSR.
Analisis data hasil elektroforesis pada gel akrilamid dilakukan dengan melihat pita target setiap primer. Marka SSR yang dipilih
adalah marka yang polimorfik positif pada genotipe tahan.
5.2.3 Bulk Segregant Analysis BSA
Bahan Tanam.
Percobaan ini menggunakan dua bulk DNA, yaitu bulk tahan dan rentan. Setiap bulk terdiri dari 7 genotipe bersegregasi pada populasi F
2
.
Reagen, Ekstraksi DNA, PCR-SSR, Elektroforesis Gel Poliakrilamid Vertikal vertikal PAGE dan Pewarnaan, dan Evaluasi Marka SSR.
Reagen, metode ekstraksi, kegiatan PCR-SSR, vertikal PAGE, pewarnaan, dan evaluasi marka SSR dilakukan seperti pada tahapan pertama. Pembuatan bulk
dilakukan dengan cara mencampur stok DNA sebanyak 10
µL dari setiap tujuh
individu yang berbeda.
5.2.4 Aplikasi Marka SSR Pada Genotipe Tomat Lokal Koleksi Bahan Tanam.
Percobaan ini menggunakan tiga puluh genotipe tomat lokal Aceh 1, Aceh 2, Aceh 3, Aceh 5, Bajawa, Cherry NTT, Gondol Lonjong, Kali
Acai, Kefamenanu 3, Kefamenanu 6, Kefamenanu7, Kefamenanu 9, Kefamenanu 12, Kefamenanu 14, Khemir, Kudamati 1, Kudamati 3, Lombok 1, Lombok 2,
Lombok 3, Lombok 4, Makasar 1, Makasar 2, Makasar 3, Makasar 4, Meranti 1, Meranti 2, Situbondo Bulat Kecil, Situbondo Gelombang, dan Tanah Datar.
Reagen, Ekstraksi DNA, PCR-SSR, Elektroforesis Gel Poliakrilamid Vertikal vertikal PAGE dan Pewarnaan.
Reagen, metode ekstraksi, kegiatan PCR-SSR, vertikal PAGE, dan pewarnaan dilakukan seperti pada tahapan
pertama.
Evaluasi Ketahanan Genotipe Tomat Lokal Koleksi.
Analisis data hasil elektroforesis pada gel akrilamid dilakukan dengan melihat pita target pada setiap
genotipe. Evaluasi ketahanan dibandingkan dengan uji ketahanan di lapang.
5.3 Hasil dan Pembahasan 5.3.1 Seleksi Primer
Identifikasi ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri berdasarkan marka SSR dimulai dengan melakukan seleksi primer. Sepuluh primer SSR yang
dipilih berdasarkan Parmar et al. 2013 dan Areshchenkova 2000 diuji dengan menggunakan enam genotipe terpilih yang mewakili tetua tahan, tetua rentan, dan
generasi F
1
masing-masing dua genotipe. Produk PCR dielektroforesis dengan menggunakan agarose dan PAGE.
Hasil elektroforesis menggunakan agarose ditunjukkan pada Gambar 14. Produk PCR teramplifikasi dengan bagus dan menunjukkan pita yang jelas, namun tidak
mampu menunjukkan perbedaan di tiap genotipenya. Setelah memastikan produk PCR bagus, maka selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan PAGE.
Gambar 15 dan 16 merupakan hasil PAGE kesepuluh primer yang digunakan. TMS 1 memiliki letak pita target pada ukuran 134 bp Tabel 9.
Keempat genotipe yang digunakan menunjukkan tidak adanya perbedaan antara genotipe tahan dan genotipe rentan. Ini menandakan bahwa primer TMS 1 tidak
dapat menjadi penanda ketahanan penyakit layu bakteri pada tomat. Hal serupa juga terjadi pada primer TMS 2, TMS 8, TMS 17, dan SSR 67. Pada primer TMS
4 semua genotipe tidak memberikan hasil amplifikasi. Primer TMS 6 menunjukkan bahwa genotipe Situbondo Gelombang tidak memberikan hasil pita
amplifikasi pada ukuran 335 bp, namun Kudamati 1, Meranti 2, dan Lombok 4 memberikan hasil pita amplifikasi. Primer TMS 7 dan TMS 9 pada ketiga
genotipe Kudamati 1, Situbondo Gelombang, dan Meranti 2 memberikan hasil pita target pada ukuran 170 bp dan 360 Tabel 9, namun Lombok 4 tidak
memberikan hasil pita amplifikasi primer TMS 7 dan ukuran pita yang berbeda dari ketiga genotipe lainnya primer TMS 9. Diduga primer TMS 7 dan TMS 9
merupakan penanda karakter lain.
Menurut Parmer et al. 2013 primer SSR 67 dan TOM 144 terkait ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium pada tomat. Primer SSR 67 yang
memberikan hasil pita amplifikasi pada ukuran 900 bp Tabel 9 menunjukkan tidak ada perbedaan antara genotipe tahan dan rentan. Berbeda dengan primer
TOM 144, hasil pita amplifikasi menunjukkan perbedaan yang jelas antara genotipe tahan dan rentan.