Gambar 20 Hasil elektroforesis 5 primer dengan menggunakan agarose. L=ladder,
1=Aceh 1, 2=Aceh 2, 3=Aceh 3, 4=Aceh 5, 5=Bajawa, 6=Cherry NTT, 7=Gondol Lonjong, 8=Kali Acai, 9=Kefamenanu 3, 10=Kefamenanu 6,
11=Kefamenanu7, 12=Kefamenanu 9, 13=Kefamenanu 12, 14=Kefamenanu 14, 15=Khemir, 16=Kudamati 1, 17=Kudamati 3, 18=Lombok 1,
19=Lombok 2, 20=Lombok 3, 21=Lombok 4, 22=Makasar 1, 23=Makasar 2, 24=Makasar 3, 25=Makasar 4, 26=Meranti 1, 27=Meranti 2, 28=Situbondo
Bulat Kecil, 29=Situbondo Gelombang, 30=Tanah Datar
5.3.4 Pembahasan
Beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya produktifitas tomat adalah teknik agronomi yang belum optimal, penanaman tanpa rotasi, penggunaan bibit
yang tidak bersertifikat, dan adanya cekaman biotik dan abiotik, yang termasuk di dalamnya serangan nematoda, jamur, virus, bakteri, dan lain sebagainya
Chaudhry Rashid 2011. Salah satu bakteri yang sering menyerang pertanaman tomat di daerah tropis dan subtropis adalah R. solanacearum yang menyebabkan
penyakit layu bakteri. Menurut Mansfield et al. 2012, R. solanacearum merupakan patogen nomor dua paling merugikan setelah Pseudomonas syringae
di dunia. Patogen ini sangat merugikan secara ekonomi terutama karena kisaran inangnya yang luas, sehingga penanaman varietas tahan menjadi langkah awal
dalam pengendaliannya. Selain itu menurut Keller et al. 2000, budidaya varietas tahan adalah salah satu prasyarat dari kegiatan pertanian berkelanjutan.
Beberapa varietas komersial yang belum mampu konsisten tahan terhadap penyakit layu bakteri mendorong dilakukannya introduksi plasma nutfah, terutama
karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak plasma nutfah. Plasma nutfah memiliki beberapa sifat penting yang dapat dimanfaatkan,
seperti karakter ketahanannya terhadap serangan organisme pengganggu tanaman.
Kegiatan pemuliaan tanaman dalam menyeleksi genotipe yang tahan terhadap suatu penyakit semakin dipermudah dengan adanya penanda molekuler.
Penggunaan penanda molekuler untuk mengidentifikasi alel ketahanan memberikan kontribusi penting dalam kegiatan pemuliaan Da Silva et al. 2003.
Salah satu penanda molekuler yang sering digunakan dalam deteksi penyakit adalah Simple Sequence Repeat SSR, yang telah dilaporkan dapat digunakan
sebagai penanda karakter ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium pada tomat Parmar Subaramanian 2011.
Identifikasi ketahanan terhadap layu bakteri dengan marka SSR dilakukan dengan menggunakan 10 primer yang dinyatakan bersifat polimorfik pada tomat
Parmar et al. 2013; Areshchenkova 2000. Gambar 14, 17, dan 19 menunjukkan tampilan produk PCR yang dielektroforesis dengan menggunakan agarose 1.5,
dan Gambar 15, 16, 18, dan 20 elektroforesis dengan menggunakan PAGE. Dari kedua media elektroforesis tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan hasil
elektroforesis.
Agarose sebagai media elektroforesis memang lebih banyak digunakan
karena bersifat murah, mudah didapat, dan sederhana dalam pelaksanaannya. Hingga saat ini agarose masih dipakai untuk kepentingan analisis RAPD, ISSR,
dan SNP. Namun, agarose juga memiliki beberapa kelemahan, di antaranya: tingkat resolusi dan separasi yang rendah bila dibandingkan dengan PAGE. Di sisi
lain penggunaan PAGE memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: membutuhkan keahlian khusus dan waktu yang lebih lama dalam proses separasi serta
pewarnaannya. Namun penggunaan PAGE memungkinkan untuk didapatnya hasil separasi yang bagus dengan tingkat resolusi dalam memisahkan DNA yang tinggi.
Terutama dalam analisis SSR yang menuntut ketelitian per basa nya, penggunaan PAGE sangat direkomendasikan. Penggunaan PAGE memungkinkan untuk
melihat perbedaan alel yang hanya beberapa basa yang tidak dapat ditampilkan penggunaan agarose.
Perbedaan hasil elektroforesis antara penggunaan agarose dan PAGE secara nyata terlihat pada primer TOM-144, dimana hasil agarose tidak mampu
menunjukkan perbedaan antara genotipe tahan dan rentan, sedangkan PAGE mampu. Hasil elektroforesis menggunakan agarose juga tidak mampu
membedakan genotipe homozigot dan heterozigot tetua dan F
1
.
Genotipe F
1
dan bulk
tahan memberikan tampilan adanya dua pita yang terseparasi Gambar 16 dan 18, sedangkan bulk rentan hanya menghasilkan satu pita Gambar 18. Berdasarkan
hasil elektroforesis PAGE dapat dilihat bahwa SSR sebagai penanda molekuler yang memanfaatkan sekuen berulang pada genom individu dapat membedakan individu
homozigot atau heterozigot bersifat kodominan.
Tanaman dari populasi bersegregasi dapat dikelompokkan menurut ekspresi fenotipik sifat dan diuji untuk perbedaan frekuensi alel dengan menggunakan
metode bulk segregant analysis BSA Quarrie et al. 1999. Menurut Michelmore et al.
1991 BSA adalah suatu prosedur cepat yang dikembangkan untuk mengidentifikasi penanda di daerah tertentu dari genom. Metode ini melibatkan
perbandingan antara dua sampel DNA yang dikumpulkan dari beberapa individu dari suatu populasi. Setiap bulk dibuat berdasarkan sifat tertentu yang identik.
Bulk yang digunakan merupakan kumpulan stok DNA yang mencirikan
resistensi terhadap penyakit layu bakteri di lapang, yaitu bulk tahan dan rentan.
BSA memungkinkan pengerjaan molekuler menjadi lebih efektif dan efisien.