Mustofa terdapat petugas Satpol PP yang bertugas. Jadi, walaupun ada kegiatan yang melanggar perda tersebut, namun hal itu dibiarkan saja sehingga akibatnya
saat ini jumlah PKL semakin bertambah. Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner yang dilakukan di lapangan,
didapatkan bahwa sebagian besar PKL, konsumen, dan masyarakat Kota Tasikmalaya pada umumnya tidak tahu mengenai adanya Perda No. 7 tahun 2005
tersebut. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya sosialisasi perda tersebut dan bisa juga karena kurang tanggapnya masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari hasil kuesioner yang disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 Pengetahuan PKL dan Masyarakat Kota Tasikmalaya Terhadap Keberadaan Perda No. 7 Tahun 2005
No. PIhak Pengetahuan tentang Perda No.7 Tahun 2005
Tahu Tidak Tahu
Frekuensi Presentase Frekuensi Presentase
1. PKL 17
27,69 47
72,31 2. Konsumen
10 33,33
20 66,67
3. Masyarakat Umum
17 56,67
13 43,33
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2008
Dari Tabel 27 dapat dilihat bahwa pada umumnya masyarakat tidak tahu tentang adanya Perda No. 7 tahun 2005. Bahkan PKL sebagai pelaku usaha yang
sangat erat dengan peraturan daerah ini prosentase lebih tinggi dibandingkan masyarakat umum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran yang
dilakukan PKL disebabkan ketidaktahuan mereka tentang perda yang ada walaupun secara umum mereka tahu dan menyadari kegiatan yang mereka
menggunakan ruang publik yang seharusnya dinikmati oleh seluruh masyarakat Kota Tasikmalaya yang melakukan jalan kaki ataupun berkendaraan di jalan.
Namun, di sisi lain peran pemerintah dan aparat penegak hukum diantaranya Satpol PP dan polisi yang seharusnya melakukan sosialisasi dan penegakan
hukum dalam kenyataannya tidak berfungsi. Berdasarkan karakteristik PKL di Kota Tasikmalaya, pada umumnya
pendidikannya tamat SD sehingga berpengaruh terhadap kemampuan memahami pola kebijakan-kebijakan pemerintah diantaranya RTRW, RDTR BWK I dan
RTBL Kawasan Pusat Bisnis, serta Perda No. 7 tahun 2005. Berdasarkan hasil analisis antara hubungan tingkat pendidikan PKL dengan pengetahuan tentang
penataan ruang dan perda didapat bahwa tidak ada korelasi atau hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan PKL tentang penataan ruang dan perda dengan
nilai korelasi Spearman yang dapat dilihat pada Tabel 28 di bawah ini.
Tabel 28 Output Korelasi Antara Tingkat Pendidikan PKL dengan Pengetahuan Tentang Penataan Ruang dan Perda
Correlations
1.000 -.290
-.348 .
.014 .003
65 65
65 -.290
1.000 .256
.014 .
.041 65
65 65
-.348 .256
1.000 .003
.041 .
65 65
65 1.000
-.309 -.370
. .012
.002 65
65 65
-.309 1.000
.256 .012
. .040
65 65
65 -.370
.256 1.000
.002 .040
. 65
65 65
Correlation Coefficient Sig. 2-tailed
N Correlation Coefficient
Sig. 2-tailed N
Correlation Coefficient Sig. 2-tailed
N Correlation Coefficient
Sig. 2-tailed N
Correlation Coefficient Sig. 2-tailed
N Correlation Coefficient
Sig. 2-tailed N
pddkn tataruang
perda pddkn
tataruang perda
Kendalls tau_b
Spearmans rho pddkn
tataruang perda
Correlation is significant at the 0.05 level 2-tailed. .
Correlation is significant at the 0.01 level 2-tailed. .
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Berdasarkan hasil analisis di atas didapatkan bahwa tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan masyarakat tentang penataan ruang dan
peraturan daerah hal ini disebabkan pada umumnya masyarakat Kota Tasikmalaya kurang peduli terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan. Hal ini diindikasikan
dengan rendahnya keinginan masyarakat untuk berperanserta dalam pembangunan yaitu hanya sebesar 44,62 hasil kuesioner.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyebab timbulnya PKL di Kota Tasikmalaya diantaranya karena kurangnya pengetahuan terhadap kebijakan-
kebijakan khususnya terkait PKL, kurangnya sosialisasi dari pemerintah, dan rendahnya kepedulian dan peranserta masyarakat dalam perencanaan
pembangunan Kota Tasikmalaya.
6.2 Ringkasan
Berdasarkan tinjauan kebijakan mengenai tata ruang dan peraturan daerah mengenai ketentraman dan ketertiban umum yang terkait penataan PKL dapat
disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya yang bersifat manifes nyata baik berupa RTRW, RDTR BWK I, RTBL, maupun Perda No. 7
tahun 2005 tidak partisipatif. Kebijakan-kebijakan itu masih bersifat top-down. Selain kebijakan-kebijakan yang bersifat manifes, ada juga kebijakan yang
bersifat latent tersembunyi berdasarkan hasil diskusi pada saat seminar mengenai isu strategis terkait penataan pedagang kaki lima di Kota Tasikmalaya.
Berikut ini disajikan kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya baik yang bersifat manifes maupun latent.
Tabel 29 Matriks Kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya yang Bersifat Manifest dan Latent Terkait Penataan PKL
No. Jenis Kebijakan
Program Kebijakan
Kesimpulan 1. Manifes
1. RTRW dan RTBL Kawasan Pusat Bisnis tidak
menyediakan ruang untuk PKL 2. RDTR BWK I menetapkan ru-
ang untuk PKL tidak sesuai dengan keinginan PKL
3. Perda No. 7 tahun 2005 tidak mengatur mengenai ruang
untuk PKL Kebijakan yang dibuat
masih bersifat top-down atau belum partisipatif
2. Latent 1. Kebijakan yang keluar
banyak dikarenakan janji politik dalam pemilihan
kepala daerah 2. Tidak adanya payung hukum
dalam penataan PKL 3. Pada kenyataannya,
kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya lebih berpihak
pada perdaga-ngan formal pengusaha mall
4. Pada tahun 2005 ada penataan PKL dimana
pedagang makanan dan minuman dipindah ke Jl.
Empang, namun tidak disedia-kan fasilitas sehingga
pada akhirnya kembali ke tempat asal
Kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya pada
kenyataannya lahir ka- rena janji-janji politik
yang merupakan kamu- flase.
Berdasarkan analisis di atas, kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya baik yang manifes maupun yang latent masih bersifat top-down atau
belum partisipatif. Hal ini disebabkan kebijakan yang lahir itu masih produk dari masa lalu dimana aspirasi dari bawah tidak dipertimbangkan.
Selain itu, pada saat pemilihan kepala daerah calon kepala daerah banyak memberikan janji-janji politis yang akhirnya berimplikasi pada kebijakan yang
lahir. Berdasarkan hasil wawancara dengan PKL, Kepala Daerah Kota Tasikmalaya saat ini merupakan pilihan dari PKL yang memberikan janji kepada
mereka akan memberikan ruang dan modal bagi PKL. Namun, pada kenyataannya hal itu belum terwujud hingga saat ini dan mengakibatkan munculnya
ketidakpercayaan PKL terhadap pemerintah karena mereka merasa dijadikan pihak yang dikorbankan. Hal ini terbukti pada saat seminar mengenai Penataan
PKL Kota Tasikmalaya pada tanggal 27 Mei 2008 para PKL menuntut adanya payung hukum dalam penataan PKL Kota Tasikmalaya.
Kebijakan lain yang menyebabkan PKL beranggapan bahwa pemerintah tidak bisa menampung aspirasi mereka adalah ketika pada tahun 2005 Pemerintah
Kota Tasikmalaya melakukan penataan PKL, dimana pedagang makanan dan minuman dipindahkan ke Jalan Empang tapi tidak disediakan fasilitas berupa
tenda atau gerobak hingga saat ini mereka menjadi korban kebijakan itu. Dengan demikian, jika kita kaitkan dengan UU Tata Ruang No. 26 tahun
2007 tentunya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Kota Tasikmalaya masih bersifat top-down atau belum partisipatif karena belum menyediakan ruang untuk
PKL.
BAB VII ASPIRASI MASYARAKAT TENTANG PENATAAN PKL
5.3 Aspirasi Parapihak dalam Penataan PKL di Kota Tasikmalaya
Secara umum semua PKL yang ada di Kota Tasikmalaya menginginkan adanya penataan agar tercipta suatu ketertiban dan kenyamanan bagi semua
masyarakat Kota Tasikmalaya. Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara beserta seminar mengenai penataan PKL di Kota Tasikmalaya yang diadakan
pada tanggal 27 Mei 2008 didapatkan bentuk penataan PKL hanya bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1.
Relokasi di tempat in-situ
2.
Relokasi ke tempat yang strategis Relokasi di tempat in-situ bentuknya bisa berupa penataan tempat,
pengaturan lokasi berjualan berdasarkan jenis dagangan, pengaturan waktu jualan time sharing, pengaturan sarana atau tempat untuk berjualan baik berupa tenda
ataupun gerobak, dan sebagainya. Relokasi ke tempat yang strategis berupa pemindahan lokasi PKL ke tempat
yang baru yang letaknya tidak jauh dari pusat perdagangan dan jasa tempat yang ramai, mudah dikunjungi oleh konsumen atau berupa relokasi ke suatu
gedungpasar. Berdasarkan hasil seminar juga disepakati bahwa dalam melakukan penataan
PKL di Kota Tasikmalaya dilakukan dengan musyawarahdiskusi yang kegiatannya sampai saat ini masih terus dilakukan untuk mencari formulasi
konsep penataan yang optimal. Berdasarkan hasil kuesioner didapatkan tiga bentuk penataan yang
diinginkan oleh masing-masing stakeholder baik yang bersifat in-situ maupun eks-situ yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Prosentase Bentuk Penataan PKL Menurut Para Pihak
No Bentuk Penataan
Prosentase Menurut Para Pihak PKL
Pedagang Konsumen
1. Penataan tempat, pengaturan lokasi berjualan berdasarkan jenis dagangan,
penataan sarana berjualan, dan pengaturan waktu jualan in-situ
53,66 36,84 37,20
2. Direlokasi ke satu tempat yang strategis
46,34 63,16 60,47
3. Ditata di suatu gedungpasar dan penempatannya sesuai jenis dagangan
- -
2,33
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2008
Dari data di atas dapat dilihat bahwa umumnya PKL menginginkan penataan bersifat in-situ berupa penataan tempat, pengaturan lokasi berjualan berdasarkan
jenis dagangan, penataan sarana berjualan, dan pengaturan waktu jualan. Sedangkan menurut pedagang formal dan konsumen menginginkan PKL di
relokasi ke tempat yang strategis ex-situ. Namun lebih lanjut lagi ketika ditanya tempat untuk relokasi yang strategis pada umumnya konsumen menyatakan lokasi
yang strategis masih di daerah itu karena daerah itu merupakan pusat Kota Tasikmalaya.
Lain halnya dengan pedagang formal, walaupun mereka merasa keberadaan PKL tidak mengganggu namun menginginkan PKL di relokasi ke tempat lain
yang strategis, diantaranya ada yang menyarankan dipindah ke Dadaha atau lahan bekas terminal lama Cilembang.
Proses penataan ruang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Begitu pula dalam penataan PKL tentunya
sesuai dengan proses penataan ruang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian penataan PKL.
Berdasarkan hasil kuesioner terhadap PKL, konsumen, pedagang formal, dan masyarakat umum memiliki berbeda-beda tentang proporsi peranserta dari
PKL, pemerintah, dan masyarakat dalam perencanaan penataan PKL. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Opini Para Pihak Tentang Proporsi Peranserta Masyarakat Dalam Perencanaan Penataan PKL
Responden PKL 39
9 52
Responden Masyarakat
83 6 11
Pemerintah Masyarakat
PKL
Responden Konsum en
62 13
25 Responden Pedagang
72 5
23
Berdasarkan Gambar 28 dapat dilihat bahwa menurut PKL peranserta mereka dalam perencanaan PKL proporsinya lebih besar dibandingkan dengan
peranserta pemerintah dan masyarakat. Namun berbeda dengan responden pedagang, konsumen, dan masyarakat yang menyatakan bahwa peranserta
pemerintah dalam perencanaan PKL memegang peranan yang dominan dibandingkan PKL dan masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat Kota
Tasikmalaya pada umumnya kurang berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan sehingga perencanaannya masih menganut sistem top-down.
Hal itu diperkuat dengan proporsi yang diharapkan oleh masing-masing pihak dalam kegiatan pemanfaatan dan pengendalian penataan PKL Kota
Tasikmalaya. Dalam kegiatan pemanfaatan ruang PKL, setiap pihak memiliki opini masing-masing yang dapat dilihat pada Gambar 29 berikut.
Gambar 29 Opini Para Pihak Tentang Proporsi Peranserta Masyarakat Dalam Pemanfaatan Ruang PKL
Dari diagram tersebut dapat dilihat bahwa dalam pemanfaatan ruang PKL menurut PKL, pedagang formal, dan masyarakat umum yang memiliki peran
paling dominan adalah PKL. Namun menurut konsumen yang paling dominan dalam pemanfaatan ruang PKL adalah masyarakat karena beranggapan
masyarakat yang berhak dalam memanfaatkan ruang sekitarnya. Dalam pengendalian pemanfaatan ruang menurut opini PKL, pedagang
formal, konsumen, dan masyarakat yang memiliki peranserta yang dominan adalah PKL. Hal ini disebabkan PKL dan pemerintahlah yang bertanggungjawab
besar dalam pengendalian pemanfaatan ruang PKL termasuk pengendalian jumlah PKL, sebarannya dan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran aturannya. Berikut ini
data mengenai opini para pihak terhadap peranserta masing-masing dalam pengendalian pemanfaatan ruang PKL.
Responden PKL 2
19 79
Responden Masyarakat 24
28 48
Pemerintah Masyarakat
PKL
Responden Konsum en 21
46 33
Responden Pedagang 14
33 53
Gambar 30 Opini Para Pihak Tentang Proporsi Peranserta Masyarakat Dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang PKL
5.4 Model Penataan PKL Kawasan Dadaha
Ada beberapa teori dan kajian mengenai model penataan PKL di Indonesia diantaranya :
1. Model dengan pendekatan perspektif kebijakan publik. Model ini mengadopsi dari model kebijaksanaan teori Mc Gee dan Yeung 1977 yang meliputi 3
kebijaksanaan yakni kebijaksanaan relokalisasi, kebijaksanaan struktural, dan kebijaksanaan edukatif. Ketiga kebijaksanaan itu diuraikan dari kebijaksanaan
yang sifatnya sangat lunak sampai kebijaksanaan yang sangat keras. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 31 Rustianingsih, 2002.
2. Model penataan PKL yang saat ini sedang dijadikan percontohan oleh kota- kota di Indonesia yaitu model penataan PKL Kota Solo yang dilakukan
pendekatan dialogis dan komunikatif yang mengusung misi nguwongke wong cilik memberi martabat pada orang kecil. Model penataannya dilakukan
dengan membuat kawasan PKL dan membuat kantong-kantong PKL melalui relokasi, gerobak, shelter, dan tenda.
3. Model Penataan PKL Kawasan Dadaha yang dibuat oleh PKL Dadaha bersama LSM UPLINK dan HMI Tasikmalaya secara partisipatif melalui
diskusi-diskusi FGD selama beberapa kali. Kegiatan ini diawali dengan melakukan pemetaan jumlah PKL lalu membuat suatu usulan bersama
mengenai penataan PKL Kawasan Dadaha yang kemudian disampaikan kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya dan DPRD Kota Tasikmalaya. Usulan
penataan PKL yang dibuat ialah dengan cara lokalisasi penataan PKL In-Situ dengan menetapkan fungsi stadion sebagai kawasan multifungsi yaitu sebagai:
a. Fungsi Rekreasi dan Olah Raga b. Fungsi Ekologis Terbuka Hijau dan Hutan Kota
Responden PKL
49 13
38
Responden Pedagang
60 7
33
Responden Konsum en
39 22
39 Responden Masyarakat
81 6
13
Pemerintah Masyarakat
PKL
Tabel 31 Alternatif Kebijaksanaan Terhadap Pedagang Kaki Lima di Kota Urutan kebijaksanaan dari yang sifatnya positif ke negatif, dari kiri ke kanan
Jenis kebijakan
Sangat Lunak A
Lunak B
Agak Keras C
Sangat Keras D
Re Lokasi Memperbolehkan pedagang kaki lima berjualan
secara legal di lokasi yang mereka inginkan Memperbolehkan mereka
berjualan secara legal di beberapa lokasi dan
memindahkan mereka ke pasar yang umum atau lokasi
yang telah ditetapkan oleh pemkot
Memindahkan mereka ke lokasi yang telah ditentukan
oleh pemerintah Bersihkan PKL dari seluruh
lokasi di kota larang mereka berjualan di kota
Struktural Mendukung PKL melalui:
1. Bantuan modal 2. Membujuk memasuki profesi yang lain
3. Tidak ada tindakan hukum terhadap mereka yang mempekerjakan anak-anak
4. Memperbolehkan mereka menempati sisi ruang sekitar pasar
5. Mengusahakan pengusaha besar agar mendistribusikan komoditasnya melalui PKL
Dukungan yang terbatas terhadap PKL dalam skala
tindakan yang relatif lebih kecil di banding kolom A
Kurang mendukung terhadap PKL melalui tindakan pada
kolom D tetapi relatif lebih lunak
Tidak mendukung PKL: 1. Pengenaan izin usaha yg
mahal 2. Memungkinkan penerapan
hukum thd mereka mela-lui berbagai pera-turan yang
mem-batasi ruang gerak mereka
Jenis kebijakan
Sangat Lunak A
Lunak B
Agak Keras C
Sangat Keras D
Edukatif Mendukung PKL:
6. PKL dianggap sebagai contoh wirausahawan yang berhasil
7. Mempengaruhi publik agar memanfaatkan pelayanan PKL
8. Mendukung filosofi pendidikan bahwa pengalaman lebih dari pada pendidikan formal
Dukungan yang terbatas melalui tindakan seperti pada
kolom A tetapi dalam skala yang relatif lebih kecil
Kurang mendukung seperti tindakan yang ada pada kolom
D tetapi dengan skala yang lebih lunak
Tidak mendukung PKL melalui penekanan bahwa
mungkin mereka akan menjadi sarang kriminalitas
Sumber : Rustianingsih, 2002
100
c. Fungsi Ekonomi
d. Fungsi Sosial dan Budaya Usulan di atas dibuat dengan mengelompokkan PKL kedalam kawasan-
kawasankantong-kantong PKL seperti di Kota Solo dengan membuat gerobak, tenda, dan shelter. Adapun lokasi yang diusulkan oleh PKL Kawasan
Dadaha terdiri atas 4 alternatif yang disajikan seperti pada Gambar 31.
Gambar 31 Konsep Penataan PKL Dadaha Berdasarkan Aspirasi Masyarakat
Usulan lokasi PKL Kawasan Dadaha berdasarkan gambar di atas terdiri atas empat alternatif, yaitu:
1.
Alternatif lokasi 1, yaitu di lokasi parkir dan trotoar depan GOR Susi Susanti.
2.
Alternatif lokasi 2, yaitu di lokasi parkir dan trotoar depan GOR Sukapura.
3.
Alternatif lokasi 3, yaitu lapangan softball.
4.
Alternatif lokasi 4, yaitu lahan sawah milik masyarakat. Dari empat alternatif di atas, berdasarkan hasil diskusi antar SKPD Satuan
Kerja Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya yang terlibat dalam penataan PKL menyatakan bahwa alternatif lokasi yang mungkin adalah alternatif lokasi 1 dan 2.
Namun, berdasarkan hasil diskusi seminar isu strategis tentang penataan PKL Kota Tasikmalaya tanggal 27 Mei 2008 telah disepakati bahwa untuk
menghasilkan model penataan yang optimal akan dilakukan secara partisipatif dengan duduk bersama antara berbagai pihak diantaranya PKL, LSM, tokoh
masyarakat, dan pemerintah.
Alternatif Lokasi 1 Lahan GOR Susi
Alternatif Lokasi 2
Alternatif Lokasi 3 Alternatif Lokasi 4