108
BAB VIII ALTERNATIF MODEL PENATAAN PKL
DI KOTA TASIKMALAYA
8.1 Analisis Keterkaitan Karakteristik PKL, Kebijakan Penataan Ruang
tentang Penataan PKL, dan Aspirasi Masyarakat tentang Model Penataan PKL
PKL Kota Tasikmalaya, sama halnya dengan PKL di kota-kota lain menggunakan trotoar sebagai tempat yang digunakan untuk melakukan
perdagangan. Trotoar yang merupakan ruang publik public space, kini bukan hanya berperan sebagai ruang pergerakan masyarakat, namun juga ruang
pertukaran Adianto dan Dewi, 2004. Trotoar merupakan ruang publik yang bersifat common property, dimana
ruang ini merupakan sumber daya dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumber daya yang dikelola bersama Fauzi, 2006. Sehingga semua
masyarakat merasa memiliki hak untuk menggunakan trotoar, begitu pula dengan PKL di Kota Tasikmalaya.
Penggunaan trotoar ini diatur dalam Perda No. 7 Tahun 2005 tentang ketentraman dan ketertiban umum, dimana di atas trotoar tidak boleh dibangun
kegiatan perdagangan, dan sebagainya. Di sisi lain, dalam RDTR BWK I terdapat arahan ruas-ruas jalan yang diperbolehkan bagi PKL untuk melakukan kegiatan
perdagangan. Kelemahan dari kebijakan-kebijakan ini adalah tidak adanya peraturan zonasi zoning regulation sebagai pengendalian pemanfaatan ruang
dari arahan tersebut. Di sisi lain, PKL Kota Tasikmalaya memiliki kelembagaan yang kuat
diantara mereka yang dituangkan dalam lembaga berupa himpunan-himpunan PKL yang memiliki aturan-aturan didalamnya. Timbulnya lembaga-lembaga itu
karena adanya kapital sosial yang tinggi diantara mereka, yaitu hubungan- hubungan sosial relasional dan rasa saling percaya trust diantara PKL. Bahkan
hubungan itu juga terjalin dengan pedagang formal walaupun prosentasenya kecil. Timbulnya kapital sosial itu akibat adanya rasa takut diantara mereka,
sehingga memerlukan adanya suatu kepercayaan dan perlunya kerjasama diantara
109 mereka akibat penggunaan ruang publik ini. Sehingga keberadaaan PKL itu
semakin kuat karena adanya rasa kebersamaan. Penataan PKL tentu saja terkait dengan penggunaan ruang publik yang
digunakan oleh PKL untuk berdagang. Ruang publik yang digunakan tergolong common pool resources yang merupakan sumber daya bersama dimana
pengelolaannya harus diatur oleh lembaga tertentu. Penggunaan trotoar sebagai common pool resources memerlukan
kelembagaan agar tidak menimbulkan konflik. Trotoar yang digunakan untuk kegiatan berdagang PKL harus dikelola secara bersama agar kebersihan,
kenyamanan, dan keberlanjutan dari ruang publik tetap terjaga. Dengan kelembagaan yang dimiliki oleh PKL berupa himpunan-himpunan pedagang kaki
lima di tiap ruas jalan, mereka seharusnya dapat diberi izin untuk melakukan penataan dengan aturan-aturan pemanfaatan dan pengendalian penggunaan
trotoar. Agar trotoar itu bisa menjadi common property, maka tentunya harus ada
kerjasama antara PKL, pedagang formal, dan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang dimana Pemerintah Kota Tasikmalaya berperan sebagai
fasilitator. Hal ini sesuai dengan aspirasi berbagai pihak stakeholder dimana dalam setiap tahapan proses penataan ruang, PKL harus ikut berperanserta aktif.
Walau demikian, perubahan fungsi trotoar menjadi tempat berdagang bagi PKL tentunya berdampak negatif bagi pihak lain diantaranya terganggunya fungsi
pejalan kaki, terganggunya arus lalu lintas, kesemrawutan, dan sebagainya. Untuk itu, perlu suatu pengendalian agar perubahan fungsi yang terjadi tidak terlalu
besar. Dengan demikian, walaupun penataan trotoar untuk PKL dikelola oleh
himpunan-himpunan PKL tentu saja harus melibatkan pedagang formal yang lokasi halaman tokonya digunakan oleh PKL, dan peran pemerintah sebagai
fasilitator. Kelembagaan yang ada harus mengatur mengenai keanggotaan dari
pengelola kegiatan ini. Anggota pengelola trotoar yang digunakan oleh PKL Tasikmalaya diantaranya ketua himpunan PKL dan perwakilan pedagang formal
tiap ruas jalan. Kelembagaan itu akan mengatur jumlah PKL yang berhak
110 melakukan perdagangan yaitu PKL yang saat ini merupakan anggota himpunan
agar jumlah PKL tidak semakin bertambah, aturan-aturan mengenai kegiatan berdagang, dan sebagainya.
Agar keberlanjutan fungsi trotoar ini tidak terganggu, maka selain perlu rencana tata ruang untuk kegiatan PKL juga perlu pengaturan zonasi zoning
regulation dalam pengendalian pemanfaatan ruang yang digunakan.
8.2 Pengaturan Zonasi Zoning Regulation dalam Penataan PKL
Pengaturan zonasi zoning regulation merupakan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang. Timbulnya kesemrawutan akibat penggunaan trotoar oleh
PKL akibat tidak adanya arahan untuk sektor informal ini dalam rencana tata ruang kota dan tidak adanya pengaturan zonasi sebagai pengendali kegiatan yang
ada di kota. Penataan PKL di Kota Tasikmalaya bisa dilakukan dengan menentukan
arahan lokasi untuk PKL disertai pengaturan zonasi zoning regulation tiap ruas jalan yang digunakan oleh PKL. Dalam menentukan arahan lokasi yang
diperbolehkan untuk PKL harus mempertimbangkan berbagai aspek. Pengaturan zonasi PKL sama halnya dengan pengaturan zonasi dalam
menyusun rencana tata ruang kota, yaitu harus memuat : 1. Ketentuan tentang prosedur pengembangan lahan
Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam prosedur pengembangan lahan antara lain tentang kelembagaan yang terkait dengan penyelenggaraan penataan
ruang, jenis-jenis perizinan dan proses pengambilan keputusannya, prosedur penyesuaian rencana dan banyak prosedur lainnya.
Terkait dengan penataan PKL Kota Tasikmalaya, kelembagaan yang mengatur ialah ketua-ketua himpunan PKL dan perwakilan pedagang formal.
Kelembagaan itu harus membuat aturan mengenai siapa saja yang berhak memanfaatkan trotoar, pembatasan jumlah PKL, pengalihan kepemilikan lapak,
jenis dagangan yang diperbolehkan pada tiap ruas jalan, dan sebagainya. Selain itu, juga harus dirumuskan prosedur perizinan agar mereka mendapatkan izin
melakukan kegiatan berdagang yang tentunya difasilitasi oleh pemerintah.
111 2. Ketentuan tentang zoning
Pada dasarnya materi yang terkandung dalam ketentuan zoning dalam pengendalian rencana tata ruang kota mencakup : 1. Penetapan zonasi; 2.
Aplikasi ruang; 3. Ketentuan teknis perpetakan; dan 4. Peraturan umum. Begitu pula dengan penataan PKL Kota Tasikmalaya diperlukan ketentuan
zoning diantaranya: 1 Penentuan zonasi yang boleh dilakukan untuk kegiatan berdagang disertai
tujuannya 2 Aplikasi ruang tiap ruas jalan, mengatur jumlah lapak yang diperbolehkan di
tiap ruas jalan, jenis dagangan tiap ruas jalan, dan waktu melakukan perdagangan.
3 Ketentuan teknis perpetakan yaitu mengatur lebar, tinggi, dan panjang lapak yang diperbolehkan sebagai sarana berdagang PKL, jarak antar lapak, jenis
sarananya bangku, gerobakroda, tenda. Pengaturan zonasi PKL Kota Tasikmalaya disesuaikan dengan jenis
dagangan yang ada di tiap ruas jalan. Berdasarkan hal itu, penataan PKL di Kota Tasikmalaya bia dilakukan dengan penataan setempat in-situ atau relokasi eks-
situ.
8.3 Alternatif Model Penataan PKL di Kota Tasikmalaya
Berdasarkan uraian sebelumnya, alternatif model penataan PKL di Kota Tasikmalaya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : Relokasi In-Situ dan
Relokasi Eks-Situ. 1. Relokasi In-Situ, yaitu penataan yang bersifat pengaturan lapak, penyeragaman
sarana berjualan gerobak, bangkujongko, pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktiu berjualan. Dalam model penataan ini ada beberapa variabel
yang dipertimbangkan yaitu: a. sarana dan prasarana yang digunakan.
b. kenyamanan masyarakat. c. adanya kompetisi dengan pedagang formal.
d. interaksi dengan pedagang formal. e. akseskemacetan yang ditimbulkan