dalam meneliti kesesuaian akad murabahah marjin bertingkat ini adalah fatwa DSN-MUI No. 84DSN-MUIXII2012 tentang Metode Pengakuan Keuntungan
al Tamwil bi al-Murabahah Pembiayaan Murabahah Di Lembaga Keuangan Syariah. Dalam Fatwa ini menetapkan 3 tiga ketentuan, yaitu ketentuan umum,
ketentuan hukum dan ketentuan khusus.
1. Ketentuan umum
a. Metode Proporsional thariqah mubasyirah adalah pengakuan keuntungan yang dilakukan secara proporsional atas jumlah piutang
harga jual, tsaman yang berhasil ditagih dengan mengalikan persentase keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih al-tsaman al-
muhashsholah;
Ketentuan umum pada huruf a ini menyangkut pada teknis pembiayaan murabahah marjin bertingkat yang dapat dijelaskan oleh
disiplin ilmu lainnya. Karena tidak berkenaan dengan permasalahan penelitian ini, maka pada huruf a tidak ditelaah pada penelitian ini.
b. Metode Anuitas thariqah al-hisab al-tanazuliyyah thariqah al- tanaqushiyyah adalah pengakuan keuntungan yang dilakukan secara
proporsional atas jumlah sisa harga pokok yang belum ditagih dengan mengalikan persentase keuntungan terhadap jumlah sisa harga pokok
yang belum ditagih al-tsaman al-mutabaqqiyah
Ketentuan umum pada huruf b juga menyangkut pada teknis pembiayaan murabahah marjin bertingkat yang dapat dijelaskan oleh
disiplin ilmu lainnya. Karena tidak berkenaan dengan permasalahan penelitian ini, maka pada huruf b tidak ditelaah pada penelitian ini.
c. Murabahah adalah akad jual beli dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih
sebagai keuntungan. Ketentuan umum ini disebutkan pada judul dan kepala akad
pembiayaan muarabahah marjin bertingkat dan dipertegas kembali Pasal 1 akad pembiayaan murabahah marjin bertingkat. Kepala akad
terdapat pada baris pertama dan kepala akad terdapat pada baris kedua dan keenam akad
27
. Penjelasan mengenai murabahah penting dilakukan, agar tidak
terjadi kesalahpahaman dan konsekuensi hukum pada objek akad ini. Dalam melakukan akad antara dua pihak, penting bagi seluruh pihak
mendapatkan seluruh informasi mengenai akad yang akan dilakukan. Karena jika terdapat informasi yang tidak tersampaikan oleh salah satu
pihak, hal itu merupakan salah satu bentuk distorsi pasar. Distorsi pasar dalam Islam harus dihindari karena dapat mempengaruhi
27
Lihat dokumen terlampir
mekanisme pasar yang ideal
28
. Asimetris informasi dapat mencederai nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam yang diciptakan begitu indah
dan sempurna. Kelengkapan informasi bagi seluruh pihak yang melakukan akad agar menjaga hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang terlibat dapat tercapai sehingga tujuan jual beli mendapatkan ridho Allah SWT.
d. At-Tamwil bi al-Murabahah Pembiayaan Murabahah adalah murabahah di Lembaga Keuangan Syariah LKS dengan cara LKS
membeli barang sesuai dengan pesanan nasabah, kemudian LKS menjualnya kepada nasabah
– setelah barang menjadi milik LKS-- dengan pembayaran secara angsuran;
Ketentuan umum ini disebutkan dalam premis akad murabahah marjin bertingkat. Ketentuan ini menjelaskan bahwa LKS dalam hal ini
Bank, membeli barang sesuai dengan pesanan nasabah. Setelah Bank membeli pesanan nasabah, maka barang pesanan nasabah tersebut
menjadi milik Bank. Setelah barang pesanan nasabah menjadi milik
28
Adiwarman, A Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, h. 181.
Bank, lalu Bank menjual pesanan nasabah tersebut kepada nasabah. Penjelasan pembiayaan murabahah pada bagian premis akad
29
. Klausul ini bermaksud bahwa nasabah membeli barang dari
pemasok atas nama Bank yang disertakan akad wakalah yang diberikan Bank, bukan Bank yang membelikan barang dari pemasok
untuk nasabah. Klausul dalam akad ini menerangkan bahwa seluruh kegiatan pembelian dari pemasok dilakukan seluruhnya oleh nasabah,
dan Bank hanya memberikan akad wakalah agar pembelian atas nama Bank, sehingga nasabah membeli bukan untuk dirinya sendiri. Dalam
ketentuan umum huruf d Fatwa ini disebutkan bahwa LKS yang dalam hal ini adalah Bank, membeli pesanan nasabah. Sehingga
seharusnya Bank yang bertindak sebagai lembaga penyedia
pembiayaan murabahah, harus membelikan pesanan nasabah.
Selanjutnya dalam klausul tersebut disebutkan Bank menjual barang pesanan nasabah tersebut kepada nasabah sebagaimana nasabah
membelinya kepada Bank. Pada syarat objek akad, objek akad harus
sudah ada secara konkret ketika akad dilakukan
30
, namun kalusul dalam akad tersebut menyebutkan bahwa pesanan barang nasabah
29
Lihat dokumen terlampir
30
Saefuddin Arif dan Azharudin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2011, h. 28.
belum ada secara konkret, sehingga Bank belum memiliki barang tersebut.
Pada dasarnya Bank bukanlah penjual, tetapi hanya lembaga intermediasi yang menyediakan dana untuk melakukan pembiayaan.
Karena Bank bukanlah penjual, maka dalam hal ini Bank tidak memiliki satu barang pun untuk dijual kepada nasabah, maka Bank
tidak berhak atas dzat dan manfaat atas barang tersebut. Maka dari itu Bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang
pesanan nasabah atas nama Bank dari pemasok dengan memberikan akad wakalah. Secara hakikat, Bank belum menguasai barang dan
kepemilikan atas barang nasabah tersebut tidaklah mutlak karena Bank bukanlah penjual. Dalam sistem ekonomi Islam terdapat 2 dua jenis
kepemilikan, yaitu kepemilikan absolut atau kepemilikan
31
mutlak dan kepemilikan relatif. Kaitannya dalam jual beli murabahah ini adalah
Bank harus menguasai dan memiliki barang secara mutlak sehingga berhak atas dzat dan manfaat atas barang tersebut, kemudian
menjualnya kepada nasabah. Pada sudut pandang Bank, jika Bank harus terlebih dahulu memiliki dan menguasai barang secara mutlak,
maka Bank tidak akan dapat mengembangkan industrinya. Karena
31
Anwar Abbas, Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid Jakarta, 2009, h.33.
Bank bukanlah penjual, maka Bank harus membeli dari pemasok dan kemudian barang tersebut menjadi atas nama Bank, proses jual beli
dari pemasok ke Bank membutuhkan waktu dan dana. Setelah barang telah dikuasai dan dimiliki oleh Bank, lalu Bank menjualnya kembali
kepada nasabah yang menjadi pesanan nasabah, dalam proses jual beli dari Bank ke nasabah membutuhkan waktu dan dana. Jika akad
murabahah marjin bertingkat dilakukan secara sempurna, maka dibutuhkan dua kali waktu dan dua kali dana. Karena waktu dan dana
dibutuhkan menjadi dua kali lipat, maka kerugian akan dirasakan oleh Bank dan nasabah. Kerugian nasabah adalah karena seluruh biaya-
biaya administrasi dan perpajakan akan ditanggung oleh nasabah, sehingga plafond pembiayaan dan angsuran nasabah menjadi lebih
besar. Kerugian bagi Bank, jika harga pembiayaan dan angsuran menjadi lebih besar, maka nasabah tidak akan menggunakan
pembiayaan Bank sehingga Bank tidak akan mampu bersaing pada industri ini. Maka dari itu, bagi sudut pandang Bank, kepemilikan
barang tidak perlu dikuasai secara mutlak, namun apabila secara
prinsip sudah menjadi milik Bank, maka Bank dapat menjual pesanan
nasabah kepada nasabah. Sehingga, saat pesanan nasabah dibeli dari pemasok atas nama Bank, maka secara prinsip pesanan nasabah
tersebut telah menjadi milik Bank, kemudian Bank menjualnya kepada nasabah.
Berkenaan dalam urusan perpajakan mengenai bea balik nama, memang menjadi kendala untuk menjalankan akad murabahah marjin
bertingkat secara sempurna karena proses balik nama dari pemasok ke Bank dan dari Bank kepada nasabah membutuhkan dua kali waktu dan
dana. Namun saat ini hukum positif di Indonesia telah memfasilitasi pembiayaan dengan menggunakan prinsip syariah. Dalam Pasal 1A
ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN mengatur pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah
32
. Dalam UU tersebut dapat disimpulkan bahwa akad-akad syariah
menyangkut pengalihan barang dianggap pengalihan harta langsung dari produsen kepada nasabah penerima fasilitas end user untuk akad
pembiayaan murabahah marjin bertingkat. Karena pengalihan harta bersifat konsensual, sehingga tidak memerlukan balik nama ke Bank
Syariah, maka dalam transaksi pembiayaan murabahah tersebut tidak ada PPN atas Bank, PPN hanya dikenakan terhadap nasabah penerima
fasilitas. Selain itu, penerapan klausul tersebut dapat menimbulkan distorsi
pasar. Karena pada praktiknya, Bank memberikan uang kepada nasabah untuk membeli barang, maka akan memungkinkan nasabah
32
A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012, h.38.
untuk membeli barang yang bukan menjadi maksud nasabah, atau terlebih untuk membeli barang-barang yang diharamkan oleh agama.
Bentuk distorsi pasar dari penjelasan tersebut adalah penipuan tadlis, yaitu dimana nasabah tidak membelikan dana pembiayaan Bank untuk
barang yang awalnya menjadi pesanan nasabah. Berdasarkan kemungkinan dan kekhawatiran ini, maka dari itu kewajiban Bank
sendiri yang mendatangi pemasok untuk membeli barang pesanan, bukan mentipkan kepada nasabah.
Dalam ketentuan umum ini, juga diatur tentang akad murabahah marjin bertingkat, setelah barang dijual dari Bank ke
nasabah, maka nasabah membayar seluruh pembiayaan secara angsuran. Ketentuan umum ini terdapat dalam akad murabahah marjin
bertingkat pada Pasal 2 akad ini
33
. Pasal tersebut mengatur tentang jumlah angsuran yang harus
dibayarkan oleh nasabah atas pembiayaan yang diajukan. Angusuran tersebut telah ditetapkan dengan jelas di dalam akad agar diketahui
oleh kedua belah pihak, yaitu Bank dan nasabah. Selama akad murabahah marjin bertingkat ini berlangsung, jumlah angsuran yang
akan dibayarkan oleh nasabah jumlahnya tetap hingga akhir atau akad
33
Lihat dokumen terlampir.
murabahah marjin bertingkat. Jumlah angsuran tidak dapat diubah, tanpa adanya suatu hal tertentu tanpa diketahui dan disetujui oleh
semua pihak, yaitu Bank dan nasabah. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
dalam ketentuan ketentuan umum huruf d belum terpenuhi oleh akad murabahah marjin bertingkat secara sempurna.
e. Harga Jual tsaman adalah harga pokok ditambah keuntungan; Penyebutan harga jual pembiayaan dalam akad ini dijelaskan pada
Pasal 2 akad murabahah marjin bertingkat
34
. Ketentuan umum fatwa ini telah dipenuhi dalam akad murabahah
margjin bertingkat. Jadi singkatnya, murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan marjin
yang disepakati oleh penjual dan pembeli
35
. Bentuk akad murabahah ini dinilai sangat transparan sehingga nasabah tidak merasa menjadi
pihak yang dirugikan. Maka dari itu, akad murabahah dinilai sebagai win win solution bagi Bank dan nasabah. Bagi Bank, dari akad
murabahah marjin bertingkat ini, Bank mendapatkan keuntungan yang
34
Lihat dokumen terlampir
35
Adiwarman A Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, h. 113.
sudah pasti, dan resiko yang ditimbulkan cenderung lebih kecil karena keuntungan yang sudah jelas dan past tersebut. Bagi nasabah, akad
murabahah marjin bertingkat sangat melindungi hak nasabah sebagai pembeli karena transparansi Bank kepada nasabah dengan
menyebutkan keuntungan yang didapat Bank. Sehingga dalam hal ini nasabah tidak merasa ditipu dan didzalimi, karena informasi yang
diberikan oleh Bank. Selain itu, keuntungan yang didapat nasabah secara ekonomi adalah jumlah angsuran yang tetap hingga akad
murabahah marjin bertingkat berakhir. Sehingga nasabah tidak perlu merasa khawatir apabila terjadi inflasi, karena jumlah angsuran
pembiayaan tidak akan mengikuti nilai inflasi tersebut. Atas dasar alasan-alasan itulah, produk akad murabahah marjin bertingkat
menjadi produk unggulan Bank Syariah Mandiri dalam melakukan penyaluran dana melalui pembiayaan-pembiayaan syariah.
f. Al-Mashlahah ashlah adalah suatu keadaan yang dianggap paling banyak mendatangkan manfaat bagi pertumbuhan Lembaga Keuangan
Syariah yang sehat. Al-mashlahah dapat diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik
oleh akal karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan kerusakan bagi manusia sejalan dengan tujuan syara’
dalam menetapkan hukum
36
. Sandaran dari al-mashlahah itu selalu bersandar kepada
petunjuk syara’ bukan senantiasa berdasarkan akal sehat, karena akal manusia tidak sempurna.
Dalam al-mashlahah mengutamakan kebaikan untuk umat, dan menghindarkan diri dari keburukan kerusakan. Sehingga, dalam al-
mashlahah meninggalkan hal-hal yang menjurus kepada keburukan kerusakan karena hal tersebut akan menjurus kepada kedzhaliman.
2. Ketentuan hukum