Akad terbentuk karena adanya ijab dan qabul antara pihak-pihak yang melakukan kerjasama. Dengan melakukan akad, maka akan timbul akibat
hukum pada objek-objek akad. Jika akad jual-beli, maka akibat hukum yang timbul pada objek akad adalah perpindahan hak atas kepemilikan
barang. Jika yang disepakati merupakan akad sewa-menyewa, maka akibat hukum yang timbul pada objek akad adalah perpindahan atas manfaat
barang, bukan berpindah hak atas kepemilikan barang.
2. Rukun dan Syarat Akad
Akad harus memenuhi rukun dan syarat. Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada dan harus dipenuhi ketika akad berlangsung serta
merupakan esensi dari akad tersebut. Sedangkan syarat adalah sifat yang melekat pada setiap rukun
5
. Menurut Jumhur Ulama yang termasuk kepada rukun akad adalah
6
:
a. Shighat formulasi ijab dapat diwujudkan dengan ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis,
sarana komunikasi modern, bahkan dengan perbuatan bukan ucapan, tulisan maupun isyarat yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak
untuk melakukan suatu akad yang umumnya dikenal dengan al-
mu’athah.
5
Saefuddin Arif dan Azharudin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2011, h. 27.
6
Saefuddin Arif dan Azharudin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah, h. 28.
Ada 3 syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab dan qabul dipandang sah, yaitu :
1 Ijab dan qabul harus secara jelas menunjukkan maksud kedua belah pihak.
2 Antara ijab dan qabul harus selaras, dan 3 Antara ijab dan qabul harus muttashil berkesinambungan, yakni
dilakukan dalam satu majelis ‘akad tempat akad.
b. Pelaku akad disyaratkan harus seorang mukallaf ‘aqil baligh, berakal
sehat dan dewasa atau cakap hukum. Mengenai batasan umur pelaku untuk keabsahan akad diserahkan kepada
‘urf atau peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kemaslahatan para pihak.
c. Objek akad harus memenuhi 4 empat syarat : 1 Objek harus sudah ada secara konkret ketika akad dilakukan; atau
diperkirakan akan ada pada masa akan datang dalam akad-akad tertentu seperti dalam akad
salam, ishtishna’, ijarah dan mudharabah.
2 Objek harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah dijadikan objek akad, yaitu harta yang dimiliki serta halal
dimanfaatkan mutaqawwam. 3 Objek harus dapat diserahkan ketika terjadi akad, namun tidak
berarti harus dapat diserahkan seketika.
4 Objek harus jelas dapat ditentukan, mu’ayyan dan diketahui oleh
kedua belah pihak. Ketidakjelasan objek akad-selain ada larangan Nabi untuk menjadikannya sebagai objek akad- mudah
menimbulkan persengketaan di kemudian hari, dan ini harus dihindarkan. Mengenai penentuan kejelasan suatu objek akad ini,
adat istiadat ‘urf mempunyai peranan yang penting.
Dari syarat pertama ulama mengecualikan empat macam akad : salam, ishtishna’, ijarah, dan musaqah. Artinya keempat macam akad
ini tetap dinyatakan sah walaupun objek akad belum ada ketika terjadi akad.
d. Maudhu ‘al-‘aqd atau tujuan akad merupakan salah satu bagian
penting yang harus ada pada setiap akad. Yang dimaksud dengan maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan utama untuk apa akad itu dilakukan
al-maqshad al- ashli alladzi syari’a al-‘aqd min ajlih. Menurut
hukum Islam, yang menentukan tujuan hukum akad adalah al- musyarri’ yang menetapkan syariah, yaitu Allah SWT. Dengan kata
lain, akibat hukum suatu akad hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu , semua bentuk
akad yang tujuanny a bertentangan dengan syara’ hukum Islam
adalah tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum; misalnya menjual barang yang diharamkan seperti minuman kras
khamr. Jika hal itu terjadi, dalam pandangan hukum Islam akibat hukumnya tidak tercapai. Tegasnya, menurut hukum Islam, jual beli
atas barang yang diharamkan tersebut tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan barang kepada pembeli dan kepemilikan harga barang
kepada penjual.
3. Struktur Akad