Latar Belakang Masalah PENUTUP

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Praktik murabahah di perbankan syariah menghadapi kendala prinsip syariah. Hal ini terjadi karena pada tanggal 7 Shafar 1433H atau 21 Desember 2012, Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa No. 84DSN-MUIXII2012 tentang metode pengakuan keuntungan al tamwil bi al-murabahah pembiayaan murabahah di lembaga keuangan syariah. Fatwa ini menetapkan dua metode pengakuan keuntungan pembiayaan murabahah di lembaga keuangan syariah, yaitu metode proporsional thariqah mubasyirah dan metode anuitas thariqah al-hisab al- tanazuliyyah thariqah al-tanaqushiyyah. Di dalam ketentuan khusus fatwa disebutkan bahwa pengakuan keuntungan al-Tamwil bi al-Murabahah dalam bisnis yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah LKS boleh dilakukan secara proporsional dan secara anuitas 1 . Metode keuntungan anuitas merupakan produk dari teori keuangan konvensional. Anuitas berarti jumlah pembayaran periodik yang tetap 1 Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI No. 84DSN- MUIXII2012 Tentang Metode Pengakuan Keuntungan Al Tamwil bi Al-Murabahah. besarannya dan di dalamnya sudah terhitung pelunasan hutang dan bunganya. Sehingga dalam anuitas terdapat dua pihak, dimana salah satu meminjamkan dana dan pihak lainnya berkewajiban membayar pinjaman atau sering disebut dengan kreditur dan debitur. Di dalam rumus perhitungan anuitas, terdapat unsur bunga untuk menghitung besaran angsuran. Hal ini wajar dilakukan dalam ekonomi konvensional yang menganut sistem bunga, dan yang karena sistem bunga tersebut menjadikan adanya nilai waktu uang atau yang sering disebut dengan time value of money,yaitu dimana nilai uang hari ini tidak akan sama dengan nilai uang dimasa-masa berikutnya, sehingga nilai dan kemampuan uang terus berubah-ubah 2 . Metode keuntungan anuitas yang berbasis bunga tidak dapat diterapkan pada lembaga keuangan syariah karena beberapa alasan. Pertama, perbedaan mendasar operasional Bank Syariah dengan Bank Konvensional adalah sistem pendapatan Bank Syariah tidak berbasis bunga free interest based dalam seluruh kegiatan operasionalnya. Maka dalam mendapatkan pendapatannya, Bank Syariah memperoleh dari nisbah bagi hasil, marjin jual- beli dan pendapatan jasa ujrah. Karena akad murabahah termasuk ke dalam akad jual-beli, maka bentuk pendapatan yang diterima Bank Syariah berupa marjin yang telah disebutkan diawal akad dan disetujui oleh nasabah. 2 Time value of money nilai waktu uang maksudnya adalah bertambahnya jumlah uang akibat dari besaran bunga yang dihasilkan. Sehingga, mengakibatkan menurunnya kemampuan atau daya beli uang. Kedua, selain sistem operasional yang harus terbebas dari unsur bunga, hubungan antara Bank Syariah dengan nasabah pun berbeda. Akad murabahah adalah akad jual beli antara Bank Syariah dengan nasabah, maka tidak ada istilah kreditur atau debitur diantara kedua belah pihak. Sehingga, Bank Syariah bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli yang menyepakati keuntungan yang didapat oleh Bank Syariah. Karena berdasarkan akad jual beli, maka penjual Bank Syariah berhak mendapatkan keuntungan atas barang yang dijualnya dan nasabah pun tidak memiliki hutang kepada Bank Syariah karena akadnya berdasarkan akad jual beli. Berbeda kreditur dan debitur, yaitu kontrak utang-piutang dimana peminjam berkewajiban untuk mengembalikan pinjamannya dalam waktu tertentu yang telah disepakati. Karena berbentuk kontrak utang piutang, maka tidak ada keuntungan atau penambahan dalam kontrak tersebut. Jika terdapat penambahan dalam utang piutang, Islam menyebutnya dengan riba. Riba merupakan unsur yang harus benar-benar dihindari oleh Bank Syariah karena salah satu prinsip syariah yang harus ditaati lembaga keuangan syariah. Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah dalam melakukan kegiatan operasionalnya, tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah 3 . Prinsip-prinsip syariah tersebut menjadi pedoman kegiatan operasional Bank Syariah agar tidak keluar dari aturan 3 Pasal 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. syariah dan untuk tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan syariah. Prinsip utama yang harus dianut oleh Bank Syariah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya adalah seluruh kegiatan dipastikan harus terbebas dari unsur maghrib, yaitu terbebas dari maysir, gharar, haram, dzalim dan riba. Maka dari itu, Bank Syariah sebagai bank yang harus terbebas dari bunga atau riba 4 . Adanya riba dalam bunga bank konvensional, para fuqaha telah berselisih pendapat karena praktek bunga bank belum terjadi secara institusional pada zaman Rasulullah. Akhirnya pada tanggal 16 Desember 2003, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia mengambil keputusan fatwa bahwa bunga bank termasuk kedalam riba nasiah, karena terjadi disebabkan adanya penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dengan demikian praktek pembungaan uang tersebut termasuk salah satu bentuk riba dan hukumnya haram. Bahkan bunga pada praktek perbankan konvensional lebih berat dikarenakan, riba merupakan tambahan yang dikenakan kepada peminjam karena peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat waktu atau jatuh tempo, sedangkan bunga bank telah disebutkan dan disepakati sejak terjadinya transaksi. Maka jelas unsur dzalim sangat terlihat pada bunga bank. 4 Maysir adalah transaksi untung-untungan spekulasi. Gharar adalah transaksi yang tidak jelas atau tidak ada kepastian. Haram merupakan objek transaksi yang dilarang dalam syariah. Dzalim adalah ketidakadilan bagi pihak lain. Riba adalah penambahan pendapatan secara tidak sah batil. Selain itu, salah satu perbedaan yang paling mendasar bagi Bank Syariah dengan Bank Konvensional adalah dimana setiap transaksi yang dilakukan meyakini adanya pertanggung jawaban berdimensi ganda, yaitu duniawi dan ukhrawi karena dilandaskan pada hukum Islam. Sehingga untuk menetapkan sah tidaknya suatu akad atau transaksi tidak hanya berdasarkan hukum positif, tetapi dikuatkan dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariah. Pada praktik Bank Syariah, Bank yang menggunakan metode keuntungan anuitas, menyebutnya dengan akad murabahah marjin bertingkat . Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, ada hal-hal yang menarik mengenai metode keuntungan anuitas untuk dikaji. Dari aspek-aspek tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk membahas masalah ini dari sudut pandang yang spesifik dengan judul “Analisis Akad Murabahah Marjin Bertingkat Dengan Prinsip-Prinsip Syariah Berdasarkan Fatwa DSN- MUI”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti mengidentifikasi permasalahan-permasalahan, yaitu : 1. Sejak kapan pembiayaan murabahah marjin bertingkat mulai beroperasional? 2. Apakah perbedaan metode keuntungan proporsional dengan metode keuntungan anuitas? 3. Apakah kekurangan dari metode keuntungan proporsional? 4. Apakah perbedaan metode keuntungan anuitas lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan konvensional? 5. Apa faktor-faktor yang menyebabkan Bank Syariah mengubah akad murabahah menjadi akad murabahah marjin bertingkat? 6. Apakah kerugian menjadi faktor utama yang mendasarinya? 7. Bagaimana tingkat keuntungan Bank Syariah setelah diberlakukannya akad murabahah marjin bertingkat? 8. Bagaimana manajemen resiko pada akad murabahah marjin bertingkat? 9. Apakah akad murabahah marjin bertingkat mengurangi resiko gagal bayar? 10. Bagaimana akuntansi pada murabahah marjin bertingkat? 11. Bagaimana respon nasabah menyikapi akad murabahah marjin bertingkat? 12. Apakah akad murabahah marjin bertingkat memberikan win win solution bagi nasabah dan Bank Syariah? 13. Apa motif nasabah memutuskan memilih akad murabahah marjin bertingkat? 14. Bagaimana prosedur pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat? 15. Apa saja syarat-syarat pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat? 16. Siapa saja yang dapat melakukan akad murabahah marjin bertingkat? 17. Bagaimana jika nasabah telat atau tidak membayar angsuran pembiayaan? 18. Apa sanksi yang akan diterima? 19. Bagaimana likuiditas bank syariah jika terjadi gagal bayar fraud ? 20. Bagaimana jika nasabah pembiayaan meninggal dunia? 21. Bagaimana tentang perlindungan konsumen melindungi hak-hak nasabah?

C. Pembatasan Masalah