Produk Domestik Regional Bruto PDRB Fenomena Ilusi Fiskal

65 digunakan nilai Produk Domestik Bruto PDB. Semakin besar nilai daya pajak tax effort maka semakin besar pula kemampuan pemerintah dalam menjaring dananya melalui pajak. Devas dalam Handayani, 2009 menyatakan bahwa upaya pengumpulan pajak adalah perbandingan penerimaan pajak dibagi dengan kemampuan bayar pajak. Kemampuan bayar pajak secara keseluruhan dapat berupa Produk Domestik Regional Bruto PDRB.

2.1.7. Produk Domestik Regional Bruto PDRB

Produk Domestik Regional Bruto PDRB merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi di wilayah provinsi pada satu periode tertentu. Handayani 2009 mengatakan bahwa PDRB adalah nilai bersih barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam periode. Nilai bersih tersebut sebenarnya merupakan balas jasa dari faktor yang ikut serta dalam proses produksi yang terdiri dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, keuntungan serta di tambah dengan penyusutan barang modal dab pajak tidak langsung netto pajak tak langsung dikurangi subsidi. Balas jasa gaktor produksi, penyusutan dan jasa tidak langsung tadi dalam pergerakan sektoral disebut sebagai nilai tambah bruto sehingga PDRB atas harga pasar tersebut juga merupakan penjumlahan nilai tambah bruto dari seluruh kegiatan ekonomi. PDRB dan pendapatan asli daerah PAD memiliki hubungan secara fungsional, karena PDRB merupakan fungsi dari PAD Purbayu, 2005. Semakin tinggi PDRB perkapita suatu daerah, maka semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut Halim, 2001. Selanjutnya dengan peningkatan 66 penerimaan daerah, akan digunakan untuk membiayai program-program pembangunan daerah. Karena peningkatan dari penerimaan daerah akan meningkatkan PDRB. Jadi, PDRB dan belanja daerah memiliki hubungan yang positif. Bila PDRB mengalami peningkatan maka belanja daerah juga akan mengalami peningkatan.

2.1.8. Fenomena Ilusi Fiskal

Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, atau dalam arti yang lebih sempit sering juga disebut sebagai perimbangan keuagan pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian banyak hubungan antara pemerintah pusat dan daerah Yani, 2002. Menurut Manan 1994, untuk mengetahui hubungan antara Pusat dan Daerah, maka salah satu dimensi yang menjadi pokok pembicaraan adalah hubungan keuangan. Istilah formal mengenai keuangan negara dijumpai dalam naskah asli UUD 1945 sebelum perubahan. Pasal 23 ayat 4 UUD 1945 ditentukan bahwa, hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang. Sementara itu, ketentuan Pasal 23 ayat 25 menyebutkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah perubahan UUD 1945, istilah .hubungan keuangan. dijumpai dalam Pasal 18A ayat 2 yang menegaskan bahwa hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diaturdan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasrkan undang-undang. 67 Lebih lanjut Manan 1994 menegaskan bahwa esensi dari perimbangan keuangan tersebut adalah upaya memperbesar pandapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat terisi lebih banyak. Tetapi menurut Dempsey, inti dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah pengaturan masalah distribusi, yaitu konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk menimplementasikan wewenang yang telah didesentralisasikan. Respon tiap-tiap pemerintah daerah terhadap dana perimbangan transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat berbeda-beda. Tidak semua daeah memiliki kesiapan dalam menerima dana transfer tersebut. Dampaknya adalah terjadi perilaku yang tidak simetris sebagai respon terhadap dana transfer yang diberikan. Alderete dalam Ndadari dan Adi 2008, menguraikan bahwa ketika pemerintah pusat memberikan bantuan transfer kepada pemerintah daerah sebagai upaya untuk meningkatkan belanja daerah, terdapat indikasi respon yang asimetris terhadap bantuan tersebut. Ndadari dan Adi 2008 menunjukkan bahwa transfer pemerintah pusat berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota. Pada saat pemerintah daerah menerima transfer dari pemerintah pusat dana itu digunakan tanpa adanya upaya untuk meningkatkan PAD tiap-tiap daerah. Kuncoro 2007 dalam Adi 2008, menyebutkan bahwa peningkatan alokasi transfer diikuti dengan pertumbuhan belanja yang lebih tinggi. Hal ini dapat menunjukkan adanya indikasi bahwa peningkatan belanja yang tinggi tersebut dikarenakan inefisiensi belanja pemerintah, terutama belanja operasional. Selain itu 68 pada saat transfer dana dari pemerintah pusat menurun maka juga diikuti oleh penurunan belanja daerah yang melebihi penurunan PAD. Kecenderungan ini menunjukkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat masih tinggi, sehingga dalam jangka panjang ketergantungan ini seharusnya dikurangi, karena akan berdampak negatif pada kemandirian daerah. Lebih lanjut Kuncoro 2007 dalam Adi 2008 menjelaskan bahwa saat masyarakat pemerintah daerah menerima transfer maka akan terjadi kenaikan penerimaan pajak daerah dan peningkatan konsumsi barang publik. Hal ini menunjukkan bahwa transfer meningkatkan konsumsi akan barang publik namun tidak menjadi substitut pajak daerah. Kondisi inilah yang dalam berbagai literatur disebut dengan flypaper effect. Dougan dan Kenyon 1988 dalam Dewi dalam Nurcahaya 2009 menyebutkan flypaper effect merupakan suatu keganjilan dimana kecenderungan dari dana bantuan transfer akan meningkatkan belanja publik yang lebih besar dibandingkan dengan pertambahan pendapatan yang diperoleh dari masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa flypaper effect muncul saat transfer pemerintah pusat digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan belanja pemerintah daerah tanpa diimbangi dengan peningkatan PAD. Menurut khasanah ekonomi, telaah mengenai flypaper effect dapat dikelompokkan menjadi 2 aliran pemikiran, yaitu model birokratik bureaucratic model dan ilusi fiskal fiscal illusion model. Model birokratik menelaah flypaper effect dari sudut pandang dari birokrat, sedangkan model ilusi fiskal mendasarkan 69 kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang mengalami keterbatasan informasi terhadap anggaran pemerintah daerahnya Kuncoro, 2007. Oates dalam Kuncoro, 2007 menyatakan fenomena flypaper effect dapat dijelaskan dengan ilusi fiskal. Bagi Oates, transfer akan menurunkan biaya rata-rata penyediaan barang publik bukan biaya marginalnya. Namun, masyarakat tidak memahami penurunan biaya yang terjadi adalah pada biaya rata-rata atau biaya marginalnya. Masyarakat hanya percaya harga barang publik akan menurun. Bila permintaan barang publik tidak elastis, maka transfer berakibat pada kenaikan pajak bagi masyarakat. Ini berarti flypaper effect merupakan akibat dari ketidaktahuan masyarakat akan anggaran pemerintah daerah. Fillimon, Romer, dan Rosenthal 1982 mengembangkan hipotesis ilusi fiskal dalam konteks ketidaktahuan masyarakat akan jumlah transfer yang diterima. Dalam kasus ini, pemerintah daerah menyembunyikan jumlah transfer yang diterima dari pusat dan kemudian membelanjakannya pada level puncak. Akibatnya, masyarakat memandang telah terjadi kenaikan pengeluaran pemerintah daerah dengan kenaikan yang lebih tinggi daripada kenaikan kuantitas yang diminta sebagai cerminan dari kenaikan pendapatannya dalam Adi, 2009. Deteksi terhadap ilusi fiskal dapat dilakukan melalui berbagai cara, dua diantaranya adalah melalui pengukuran pendapatan revenue enhancement Dollery dan Worthington dalam Bergstrom dan Goodman, 1973 dan melalui manipulasi belanja expenditure manipulation. Deteksi ilusi fiskal dengan menggunakan pengukuran pendapatan mengasumsikan bahwa komponen penerimaan mempunyai 70 hubungan positif dengan belanja. Menurut Adi 2009, belanja daerah pada dasarnya merupakan fungsi dari penerimaan daerah. Belanja merupakan variabel terikat yang besarannya akan sangat bergantung pada sumber-sumber pembiayaan daerah, baik yang berasal dari penerimaan sendiri maupun dari transfer pemerintah pusat. Sehingga dalam pengukurannya jika terdapat hubungan negatif antara variabel-variabel pendapatan dengan variabel belanja, maka terdapat ilusi fiskal. Sedangkan pengukuran dengan manipulasi belanja, deteksi terjadinya ilusi fiskal dilakukan dengan melihat perankontribusi masing-masing komponen penerimaan terhadap peningkatan anggaran. Komponen belanja dimanipulasi dihilangkan, sehingga diasumsikan sama ceteris paribus dengan besarnya penerimaan daerah itu sendiri. Semakin besar penerimaan daerah maka besaran Pendapatan Asli Daerah PAD seharusnya juga menjadi semakin besar.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu