Alam seperti ketergantungan pada sumberdaya alam yang terbatas.

2. Man-made Hazard yaitu bahaya yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tak langsung. 3. Teknologi Hazard yaitu bahaya yang disebabkan oleh reaksi rekayasa teknologi. Dari ketiga penyebab bahaya yang tampil di atas, studi ini akan terfokus pada bahaya yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dalam ranah fisik tempat tinggal dan lingkungannya, ekonomi dan sosial kebudayaan kemasyarakatannya. 2.3.2 Kerentanan vulnerability Kerentanan adalah potensi untuk tertimpa kerusakan atau kerugian, yang berkaitan dengan kapasitas untuk mengantisipasi suatu bahaya, mengatasi bahaya, mencegah bahaya dan memulihkan diri dari dampak bahaya. Baik kerentanan maupun ketahanan, ditentukan oleh faktor-faktor fisik, lingkungan sosial, politik, budaya dan kelembagaan. Kerentanan dapat berupa: 1. Ekonomi seperti penghasilan yang tidak mapan serta tidak ada fasilitas pinjaman atau tabungan.

2. Alam seperti ketergantungan pada sumberdaya alam yang terbatas.

3. Bangunan seperti rancang bangun gedung-gedung, lokasi rumah penduduk di tanah yang miring. Universitas Sumatera Utara 4. Individu seperti terbatasnya keterampilan atau pengetahuan, kurang mendapat kesempatan karena masalah gender, lanjut usia atau masih terlalu muda. 5. Sosial seperti komunitas yang terorganisir, terbagi-bagi atau kepemimpinan yang kurang baik. Sedangkan menurut Oetomo 2207, kerentanan mencakup sosial seperti kepadatan penduduk, struktur umur balita dan lansia, segresasi sosial dan disparitas sosial-ekonomi; ekonomi seperti tingkat kemiskinan penduduk; budaya; organisasi atau politis dan kondisi fisik bangunan seperti kepadatan bangunan, konstruksi bangunan dan bahan bangunan. Kemudian kerentanan menurut Davidson 1997, kerentanan meliputi: 1. Persentase bangunan yang terbuat dari kayu yang menjelaskan bahan bakar atau sebagai penyulut terhadap material yang mudah terbakar. 2. Kepadatan penduduk yang menjelaskan kemudahan tindakan evakuasi. 3. Persentase penduduk berusia 0-4 dan 65+, penduduk sakit, cacat dan hamil. Kemudian Urban Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project tahun 2004 menyebutkan bahwa kerentanan dapat dilihat berdasarkan pada: 1. Fire History yaitu kejadian kebakaran di area setempat di masa lalu. 2. Material Bangunan, kualitas material yang terbakar merupakan penentu utama terhadap intensitas api; kualitas bangunan dapat dilihat dari tipologi bangunan, material konstruksi, dan kedekatan lokasi antar bangunan. Selain Universitas Sumatera Utara itu kemungkinan munculnya api juga berawal dari aktivitas yang dilakukan di lokasi setempat, baik karena kaelalaian atau kesalahan. Berikutnya, Mantra 2205 menjelaskan bahwa yang tergolong dalam kerentanan adalah: 1. Kondisi lingkungan lebar jalan masuk, ketersediaan lapangan atau ruang terbuka dalam melayani aktivitas masyarakat. Kondisi lingkungan berguna untuk melihat akses yang ada dibanding dengan ketentuan dalam peraturan. Keberadaan ruang terbuka pada lingkungan masyarakat sangat menentukan faktor kerentanan yang berbalik pada nilai ketahanan apabila dapat melayani penanggulangan bencana. 2. Bahan bangunan sangat menentukan untuk melihat seberapa jauh tingkat ketahanan material terhadapa bencana. Material yang baik dianggap dapat menahan daya rambat api ke bangunan lainnya. Sebaliknya bila material yang tidak baik akan malah mendukung rambatan api ke bangunan yang ada disekitarnya. 3. Struktur Bangunan 4. Jarak antar bangunan, faktor ini juga menentukan faktor daya rambat perluasan kebakaran. Semakin jarang antar bangunan akan memperkecil nilai bahaya terhadap bencana dan sebaliknya, semakin rapat jarak antar bangunan akan memperbesar nilai bahaya bencana. Terakhir, Bakornas Penanggulangan Bencana 1990 juga menyebutkan bahwa kerentanan suatu wilayah terhadap bencana dipengaruhi oleh: Universitas Sumatera Utara 1. Kerentanan Fisik infrastruktur yang menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik bila ada faktor bahaya tertentu, melihat dari berbagai indikator sebagai persentasi kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM dan jalan kereta api. 2. Kerentanan Sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan, jiwa atau kesehatan penduduk terhadap bahaya dan beberapa indikator seperti kepadatan penduduk, laju pertambuhan penduduk, persentasi penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita. 3. Kerentanan Ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan perekonomian setempat terhadap ancaman bahaya. Kemudian contoh indikator yang dapat dilihat dengan melihat tingginya persentase rumah tangga berpenghasilan rendah. 2.3.3 Ketahanan capacity Menurut Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, ketahanan lingkungan terhadap bahaya bencana mencakup: 1. Kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah 2. Kapasitas dan Potensi Masyarakat 3. Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana harus mampu menangani bencana dalam batasan tertentu sehigga diharapkan bencana tidak berkembang pada skala yang luas. Dalam Universitas Sumatera Utara lingkungan masyarakat yang rentan terhadap bencana perlu diadakan keorganisasian dalam penanganan ancaman bahaya tersebut yang melibatkan pihak swasta serata peran partisipatif yang lebih luas yang berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi bencana. 4. Kearifan lokal Menurut Oetomo 2007, ketahanan lingkungan terhadap bahaya kebakaran yang lebih meluas: 1. Ketahanan wilayah ditinjau dari segi kelengkapan fasilitas fisik dan prasarana seperti fasilitas gawat darurat kesehatan, fasilitas pemadam kebakaran, tempat-tempat evakuasi potensial ruang terbuka yang kokoh, fasilitas bangunan sebagai ruang sekretariat komando penanggulangan bencana. 2. Kelengkapan sarana dan utilitas seperti sistem peringatan dini, sarana koordinasi, telekomunikasi dan informasi, sarana transportasi atau perhubungan, ambulan, mobil pemadam kebakaran yang sesuai dengan kebutuhan, hidran, tandon air bersih serta alat-alat berat yang mempercepat meredam bencana yang lebih meluas. 3. Ketersediaan sumber daya manusia terlatih seperti tenaga medis, paramedik, polisi, petugas pemadam kebakaran, hansip, militer dan kelompok sukarelawan. Ketahanan lingkungan terhadap bahaya kebakaran menurut Davidson 1997 yaitu personel pemadam kebakaran; penyediaan kebutuhan air gawat darurat; dan Universitas Sumatera Utara ketersediaan peralatan pemadam kebakaran seperti mobil pemadam kebakaran, pos pemadam kebakaran dan hidran. Ketahanan lingkungan terhadap bahaya bencana kebakaran menurut Urban Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project tahun 2004 yaitu ketahan dipengaruhi oleh fire fighting scenario merupakan kemampuan atau kefektifan pelayanan pemadam kebakaran pada lokasi kebakaran dapat ditentukan oleh keberadaan sumber air yang jelas dan ruang gerak yang baik bagi mobil pemadam kebakaran untuk bertindak cepat dalam menangani kebakaran. Menurut Mantra 2005, ketahanan ditentukan oleh ketersediaan sensor pencegah kebakaran, ketersediaan splingkler, hidran, detektor, special fire lift, dan sarana komunikasi yang mempermudah masyarakat untuk menyampaikan terjadinya kebakaran pada petugas yang didukung dengan ruang terbuka yang luas sebagai ruang gerak mobil kebakaran dalam menangani kebakaran dengan cepat dan tuntas. Berdasarkan Kepmen PU No. 11 tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan yaitu: 1. Lokasi pos pemadam kebakaran yang tidak melebih dari radius 7,5 km dan derah yang terbangun harus mendapat perlindungan dari mobil kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5 km dari sektor. Kemudian satu pos kebakaran melayani maksumum tiga kelurahan atau sesuai dengan wilayah layanan penanggulangan kebakaran yang masing-masing pos terdiri dari dua regu jaga. Lalu pos kebakaran dipimpin oleh seorang kepala pos yang merangkap sebagai kepala regu. Universitas Sumatera Utara 2. Pasokan air untuk pemadaman kebakaran seperti kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran irigasi, tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur, reservoir, mobil tangki air dan hidran. 3. Ketersediaan bahan pemadam bukan air seperti foam atau bahan kimia lainnya. 4. Aksesbilitas seperti batas pembebanan maksimum yang aman dari jalan belokan, jalan penghubung, jembatan serta menetapkan jalur masuk ke lokasi sumber air pada berbagai kondisi alam. 5. Ketersediaan sarana komunikasi seperti pusat alarm kebakaran dan telpon darurat kebakaran. Sebagai indikator untuk melengkapi faktor ketahanan, akan dikaitkan dengan mitigasi yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Menurut Carter 1992 ada lima prinsip dasar mitigasi yaitu:

1. Initiation yaitu mitigasi yang dapat dikenal dalam tiga konteks berbeda yaitu