PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.2 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan uji efek antiinflamasi ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados secara in vivo. Lumut tersebut diperoleh dari Gunung Slamet Purwokerto pada ketinggian 800 m blok 55 yang hidup di batang pinus dan batang aghatis. Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu lumut dideterminasi untuk menguji kebenaran tumbuhan. Hasil dari determinasi menunjukkan bahwa tumbuhan yang digunakan dalam penelitian adalah lumut hati jenis Mastigophora diclados Brid ex. Web Nees dari suku Mastigophoraceae Lampiran 4. Bagian yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah semua bagian tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados. Sebanyak 2,220 kg lumut terlebih dahulu dicuci bersih untuk menghilangkan tanah dan kotoran yang menempel pada bahan, kemudian disortasi basah yang fungsinya untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan, dikeringanginkan pada suhu kamar, disortasi kering dengan tujuan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor lain yang masih tertinggal, kemudian bahan dihaluskan dengan blender dengan tujuan untuk memperkecil luas permukaan bahan sehingga memudahkan difusi pelarut pada simplisia yang diekstraksi. Hasil akhirnya diperoleh simplisia sebanyak 2,203 kg. Simplisia tersebut kemudian digunakan untuk membuat ekstrak kental etil asetat. Ekstrak kental etil asetat lumut hati Mastigophora diclados sebagai bahan uji dalam penelitian ini dibuat dengan metode ekstraksi maserasi. Pada proses pembuatan ekstrak ini dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya, yang dikenal dengan istilah remaserasi. Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan Depkes RI, 2000. Metode maserasi dipilih karena metode ini sederhana, mudah dilakukan, dan merupakan metode yang umum digunakan dalam proses ekstraksi. Dalam hal ini pelarut yang digunakan adalah n-heksan dan etil asetat. Pada awalnya simplisia dimaserasi dengan n-heksan non polar dalam wadah yang gelap. Pelarut diganti setiap 2 hari sekali sampai diperoleh filtrat bening. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kemudian, simplisia tersebut dimaserasi kembali dengan menggunakan pelarut etil asetat semi polar dalam wadah yang gelap. Pelarut diganti setiap 2 hari sekali sampai diperoleh filtrat bening. Filtrat tersebut kemudian disaring dan pelarut diuapkan dengan menggunakan vaccum rotary evaporator sehingga didapatkanlah ekstrak kental etil asetat. Karena ekstrak yang dihasilkan belum terlalu kental dan masih terdapat kandungan air di dalamnya, maka dilakukan freeze drying dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut air dari padatan terlarut dengan tetap mempertahankan senyawa yang ada. Ekstrak kental etil asetat lumut hati Mastigophora diclados yang diperoleh sebesar 41,78 g dengan rendemen 1,98 . Hasil uji penapisan fitokimia ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados menunjukkan bahwa dalam ekstrak etil asetat positif mengandung metabolit sekunder terpenoid, sedangkan hasil uji metabolit sekunder saponin, fenolik, alkaloid, flavonoid, dan antrakuinon menunjukkan hasil negatif. Pengujian parameter non spesifik ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados yang dilakukan adalah uji kadar air dan kadar abu ekstrak. Kadar air ekstrak sebesar sebesar 0,47. Penentuan kadar air ini menggunakan metode gravimetrik yang pada prinsipnya menguapkan air yang ada pada bahan dengan jalan pemanasan pada suhu 105 C, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan. Kadar air ditetapkan untuk menjaga kualitas ekstrak. Menurut literatur, kadar air dalam ekstrak tidak boleh lebih dari 10. Hal ini bertujuan untuk menghindari cepatnya pertumbuhan jamur dan mikroba dalam ekstrak Soetarno dan Soediro, 1997. Untuk hasil uji kadar abu didapatkan bahwa kadar abu ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados sebesar 10. Menurut literatur Materia Medika Indonesia MMI, kadar abu dalam ekstrak tidak boleh lebih dari 15. Penentuan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral ekstrak Dekes RI, 2000. Disini ekstrak dipanaskan hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sampai tinggal unsur mineral dan anorganik saja. Metode yang digunakan dalam pengujian antiinflamasi adalah pembentukan udem buatan pada telapak kaki kiri belakang tikus putih jantan dengan menggunakan karagenan sebagai induktor udem. Metode ini dipilih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta karena merupakan salah satu metode pengujian aktivitas antiinflamasi yang sederhana, mudah dilakukan, dan sering dipakai Fitriyani, 2011. Karagenan 1 digunakan sebagai penginduksi udem karena waktu pembengkakan yang disebabkan oleh karagenan relatif pendek yaitu sekitar 3-5 jam sehingga memudahkan pengamatan. Pembengkakan yang disebabkan oleh karagenan akan berkurang dalam waktu 1-5 hari tanpa meninggalakan bekas Musfiroh, 2009. Selain itu, pembentukan radang oleh karagenan tidak menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan sekitar inflamasi. Karagenan sebagai penginduksi udem merupakan turunan polisakarida yang akan dikenali tubuh sebagai substansi asing sehingga mampu menginduksi terjadinya udem melalui beberapa mekanisme. Karagenan akan merangsang fosfolipid membran sel mast yang terdapat di jaringan ikat di sekitar telapak kaki tikus untuk mengeluarkan asam arakidonat dengan bantuan enzim fosfolipase A 2 sehingga menghasilkan berbagai macam produk mediator inflamasi dnegan bantuan Radical Oxygen Species Kee dan Hayes, 1996. Akibatnya terjadi pembengkakan lokal pada telapak kaki tikus yang disertai warna kemerahan akibat akumulasi mediator inflamasi. Hal ini ditandai dengan gerakan kaki tikus yang tidak normal setelah diinjeksikan karagenan. Pada penelitian ini digunakan 0,2 mL suspensi karagenan 1 pada telapak kaki tikus karena lebih terlihat volume udem yang terbentuk pada telapak kaki tikus yang telah diinduksi Rustam, et al., 2007. Karagenan yang dipakai pada penelitian ini adalah karagenan dengan jenis kappa sebesar 1 0,2 mL. Hal ini mengacu pada penelitian sebelumnya Purnamasari, 2013 yang juga menggunakan karagenan dengan jenis kappa dan konsentrasi 1 sebanyak 0,2 mL. Pada penelitian sebelumnya Purnamasari, 2013 telah dilakukan uji pendahuluan mengenai konsentrasi karagenan jenis kappa, dimana hasilnya adalah karagenan jenis kappa dengan konsentrasi 1 sebanyak 0,2 mL mampu menghasilkan volume udem yang jelas pada telapak kaki tikus. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague Dawley Widiyantoro, 2012 dengan umur 2-3 bulan dan bobot badan 200-250 gram. Pemilihan jenis kelamin jantan didasarkan pada pertimbangan tikus jantan tidak memiliki hormon estrogen, kalaupun ada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hanya dalam jumlah yang relatif sedikit serta kondisi hormonal pada jantan relatif stabil jika dibandingkan dengan betina, karena pada tikus betina mengalami perubahan hormonal pada masa-masa tertentu seperti pada masa siklus estrus, masa kehamilan dan menyusui dimana kondisi tersebut dapat mempengaruhi kondisi psikologis hewan uji tersebut, selain itu tingkat stress tikus betina lebih tinggi dibandingkan dengan tikus jantan yang mungkin dapat mengganggu saat pengujian Suhendi, et al., 2011. Perlakuan hewan dimulai dari aklimatisasi terlebih dahulu selama 4 minggu agar hewan bisa beradaptasi dengan lingkungan. Kemudian tikus dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok kontrol negatif diberi 1 mL200 gBB Na CMC 0,5 per oral. Kelompok kontrol positif diberi suspensi asetosal per oral dengan dosis 125 mgKgBB. Kemudian dilakukan uji pendahuluan ekstrak pada kelompok dosis rendah 10 mgKgBB, dosis sedang 100 mgKgBB, dan dosis tinggi 1000 mgKgBB. Hasilnya pada dosis tinggi, 1000 mgKgBB, semua tikus dalam satu kelompok mengalami kematian dalam kurun waktu 24 jam. Oleh karena itu, dosis yang dipertahankan adalah dosis rendah dan sedang. Akan tetapi, karena hasil persen inhibisi dari kedua dosis tersebut tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05, maka dosis divariasikan lagi menjadi dosis 5 mgKgBB dan dosis 10 mgKgBB. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan asetosal. Obat ini dipilih sebagai pembanding karena merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi, dan digolongkan ke dalam obat bebas, serta pada pemberian oral sebagian salisilat dapat diabsorbsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian Gunawan, 2008. Dalam penelitian ini asetosal digunakan dengan dosis 125 mgKgBB. Pengukuran volume udem pada telapak kaki tikus dilakukan setiap 1 jam selama 6 jam setelah telapak kaki tikus diinduksi dengan karagenan 1 Lampiran 13. Persentase udem dihitung sesuai dengan data volume udem UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terbentuk setiap jamnya dan dosis uji yang digunakan lampiran 14. Persentase inhibisi udem dihitung sesuai dengan persen radang yang terbentuk setiap jamnya dan dosis uji yang digunakan Lampiran 15. Pada penelitian ini, volume udem maksimal telapak kaki tikus terjadi pada jam ke 3 dan berangsur menurun pada jam ke 4 sampai 6 setelah diinduksi karagenan 1 sebanyak 2 mL. Hal ini disebabkan karena karagenan cepat diabsorbsi dalam tubuh sehingga efek radang sudah mulai menurun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat variasi dosis ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados yang digunakan mampu menghambat pembentukan udem. Pada dosis 5 mgKgBB menunjukkan kemampuan menghambat udem terbesar pada jam ke 6 sebesar 71,44. Pada dosis 10 mgKgBB kemampuan menghambat udem terbesar pada jam ke 1 sebesar 63,27. Kemampuan terbesar penghambatan udem dosis 50 mgKgBB adalah 49,21 pada jam ke 1. Dosis 100 mgKgBB menunjukkan hambatan udem terbesar pada jam ke 1 sebesar 34,06. Setelah diuji secara statistik, dari keempat dosis uji tersebut terlihat adanya perbedaan yang bermakna untuk masing-masing dosis, kontrol positif, dan kontrol negatif pada persen inhibisi udem, maka dosis tidak divariasikan lagi. Secara umum dari hasil penelitian menunjukkan bahwa daya inhibisi udem terbesar adalah 76,35 pada kontrol positif, diikuti oleh dosis 5 mgKgBB sebesar 71,44. Kemudian 63,27 pada dosis 10 mgKgBB, 49,21 pada dosis 50 mgKgBB, dan 34,06 pada dosis 100 mgKgBB. Dari semua dosis uji yang digunakan menunjukkan kemampuan inhibisi udem mulai dari dosis 5 mgKgBB, 10 mgKgBB, 50 mgKgBB, dan 100 mgKgBB. Dari keempat dosis uji ini yang memiliki daya inhibisi udem terbesar adalah dosis 5 mgKgB, sedangkan pada dosis 10 mgkgBB terjadi penurunan daya inhibisi udem secara berurutan sampai pada dosis 100 mgKgBB. Seharusnya dengan meningkatnya dosis atau konsentrasi, maka aktivitas antiinflamasinya juga akan menunjukkan peningkatan. Akan tetapi pada ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados ini memilki aktivitas yang sebaliknya. Hal ini disebabkan memang terdapat beberapa jenis obat dalam dosis tinggi justru menyebabkan pelepasan histamin secara langsung UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari sel mast sehingga mengakibatkan pembuluh darah menjadi permeabel terhadap cairan plasma dan menimbulkan peradangan Fitriyani, 2011. Maka diasumsikan pada ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados ini mengandung senyawa yang mampu mengakibatkan hal tersebut. Aktivitas antiinflamasi pada ekstrak lumut hati Mastigophora diclados pada dosis rendah menunjukkan hasil yang optimum juga dikarenakan oleh ikatan senyawa dalam ekstrak dengan reseptor inflamasi terjadi secara optimum, sedangkan pada dosis yang lebih tinggi, aktivitas antiinflamasi semakin menurun karena senyawa dalam ekstrak berikatan dengan banyak reseptor lain. Dengan demikian, aktivitas antiinflamasi pada ekstrak ini tidak menunjukkan peningkatan aktivitas seiring dengan meningkatnya dosis atau konsentrasi. Uji statistik ANOVA digunakan untuk melihat nyata atau tidaknya perbedaan dari masing-masing kelompok. Dalam uji ANOVA ini harus memenuhi persyaratan normalitas dan homogenitas data. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi data persen penghambatan udem telapak kaki tikus pada jam ke 1, 2, 3,4, 5, dan 6 Lampiran 17, dimana hasilnya menunjukkan bahwa data semua kelompok perlakuan terdistribusi normal. Sedangkan untuk menguji homogenitas data digunakan metode Levene untuk melihat data persen penghambatan udem telapak kaki tikus homogen atau tidak. Hasilnya menunjukkan bahwa data persen inhibisi udem telapak kaki tikus bervariasi homogen ρ ≥ 0,05 pada jam ke 1,2,dan 5, sedangkan pada jam ke 3,4 dan 6 tida k bervariasi homogen ρ ≤ 0,05 Lampiran 17. Dengan demikian maka syarat uji ANOVA tidak terpenuhi karena data tidak bervariasi homogen. Oleh karena itu, pengujian dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan BNT Beda Nyata Terkecil dengan metode LSD Least Significant Difference Lampiran 17. Pada jam ke 1, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan klompok uji dosis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10,50 dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok dosis 5 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kontrol positif dan kelompok uji dosis 10 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 10 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok uji dosis 5 dan 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 50 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok uji dosis 10 dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 100 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Pada Jam ke 2, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna terhadap kontrol negatif dan dosis 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok dosis 5 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan kelompok dosis 10 dan 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 10 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok control positif, kelompok dosis 5 dan 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 50 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5, 10 dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 100 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Pada jam ke 3, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna den gan kelompok kontrol negatif pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok dosis 5 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok control positif, kelompok dosis 10,50 dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 10 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5, 50 dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 50 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5, 10 dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 100 mgKg tidak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5, 10 dan 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Pad ajam ke 4, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna terhadap kontrol negatif dan dosis 5 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok dosis 5 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 10 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 10 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5 dan 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 50 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 10 dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 100 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Pada jam ke 5, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna terhadap kontrol negatif dan dosis 50 dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok dosis 5 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan kelompok dosis 10 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 10 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan kelompok dosis 5 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 50 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 100 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Pada jam ke 6, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok dosis 5 mgKg berbeda secara bermakna dengan seluruh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kelompok dosis uji, kelompok kontrol positif dan negatif pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok dosis 10 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok dosis 100 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Kelompok dosis 50 mgKg berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji, kelompok kontrol positif dan negatif pada taraf uji 0,05 ρ ≤ 0,05. Kelompok dosis 100 mgKg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok dosis 50 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ ≥ 0,05. Pada penelitian uji efek antiinflamasi ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados, sebagai agen antiinflamasi diasumsikan berhubungan dengan kandungan metabolit sekundernya, dalam hal ini diketahui terpenoid sebagai kandungan metabolit sekunder dalam ekstrak ini. Diketahui dari penelitian sebelumnya Komala, et al., 2010, bahwa lumut hati Mastigophora diclados memiliki aktivitas antioksidan, dimana antioksidan bekerja dengan menghambat radikal bebas yang diketahui sebagai mediator dari berbagai penyakit antara lain karsinogenesis, jantung koroner, inflamasi, diabetes, dan penuaaan Ali, et al., 2011. Golongan terpenoid diketahui mampu mengahambat inflamasi dengan beberapa mekanisme, diantaranya dengan menghambat aktivitas enzim lipooksigenase dan siklooksigenase Singh, et al., 1992. Sedangkan antioksidan diketahui mampu menghambat oksidasi asam arakidonat menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas enzim lipooksigenase. Apabila oksidasi asam arakidonat dapat dihambat, maka tidak terbentuk oksigen reaktif dan mediator-mediator kimia yang dapat menyebabkan nyeri dan radang. Selain itu, antioksidan dapat menurunkan aktivitas enzim lipooksigenase sehingga tidak menyebabkan terbentuknya leukotrien yang dapat mennaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan Lieber dan Leo, 1999. Adanya hambatan pada aktivitas enzim lipooksigenase menyebabkan lumut hati Mastigophora diclados ini mempunyai efek antiinflamasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis dari penelitian ini terbukti, yakni lumut hati Mastigophora diclados memilki aktivitas antiinflamasi yang dibuktikan pada pengujian pada dosis 5 mgKgBB, 10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mgKgBB, 50 mgKgBB, dan 100 mgKgBB dapat menghambat udem pada telapak kaki tikus setelah diinduksi dengan penginduksi udem karagenan 1 sebanyak 1 mL dengan pembanding asetosal 125 mgKgBB sebagai kontrol positif dan suspensi Na CMC 0,5 sebagai kontrol negatif. Kemampuan menghambat udem terbesar secara berurutan adalah kelompok kontrol positif sebesar 76,35, dosis 5 mgKgBB sebesar 71,44, dosis 10 mgKgBB sebesar 63,27, dosis 50 mgKgBB sebesar 49,21, dan dosis 100 mgKgBB sebesar 34,06 Sedangkan hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70 dari lumut hati Mastigophora diclados dengan dosis 0,1 mgKg, 1 mgKg, 10 mgKg, 100 mgKg, dan 1000 mgKg dapat menghambat udem pada telapak kaki tikus yang telah diinduksi karagenan 1 2 mL secara bermakna ρ ≤ 0,05 terhadap kontrol negatif dan dosis dari semua dosis uji dan asetosal. Kemampuan menghambat udem terbesar secara berurutan adalah dosis 100 mgKgBB sebesar 79,55, dosis 1000 mgKgBB sebesar 76,94, dosis 10 mgKgBB sebesar 76,60, dosis 1 mgKgBB sebesar 62,85, kontrol positif asetosal sebesar 50,39, dan dosis 1 mgKgBB sebesar 45,09 Purnamasari, 2013. Hal-hal yang harus diperhatikan saat penelitian, terutama pada saat pengukuran volume udem telapak kaki tikus pada alat pletismometer adalah volume air raksa harus sama, tanda batas pada sendi kaki tikus harus jelas, sehingga pada saat pengukuran volume udem tiap jam selalu sama, serta ketelitian saat pengukuran pada alat pletismometer. 43 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan : 1. Ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados dengan dosis 5 mgKgBB, 10 mgKgBB, 50 mgKgBB, dan 100 mgKgBB dapat menghambat udem pada telapak kaki tikus yang telah diinduksi dengan penginduksi udem karagenan 1 sebanyak 0,2 mL secara bermakna ρ ≤ 0,05 dengan kontrol negatif dan semua variasi dosis uji memiliki perbedaan secara bermakna terhadap kontrol positif asetosal 125 mgKgBB pada taraf uji ρ ≤ 0,05. 2. Kelompok yang mempunyai daya inhibisi udem terbesar adalah kelompok kontrol pembanding yaitu asetosal dengan daya hambat udemnya sebesar 76,35 pada jam kesatu diikuti dengan dosis 5 mgKgBB dengan daya hambat 71,44 pada jam keenam, kemudian dosis 10 mgKgBB dengan daya hambat 63,27, dosis 50 mgKgBB dengan daya hambat 49,21, dan dosis 100 mgKgBB dengan daya hambat 34,06.

5.2 SARAN

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dalam hal isolasi senyawa aktif dalam ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados yang tumbuh di Indonesia untuk mengetahui senyawa kimia yang mempunyai aktivitas antiinflamasi.