Pendekatan Dialogis dengan Pemerintah Militer Myanmar

menjadi bukti ketidaksimpatisan pemerintahan militer Myanmar sebagai anggota ASEAN. 91 Selain Syed Hamid Albar, ASEAN juga pernah mengirim utusan yang lainnya yaitu Perdana Menteri Lee Hshien Loong yang melakukan kunjungan ke Myanmar pada 31 Maret 2005, 92 dan Menteri Luar Negeri Philipina Raul Manglapus. Misi Manglapus ialah untuk menemui Aung San Suu Kyi juga mengalami kegagalan karena pemerintah militer Myanmar menolak pertemuan tersebut. 93 Selain ASEAN, PBB juga telah berupaya mengirimkan utusan khususnya yaitu Tan Sri Razali Ismail yang dirintis sejak Desember tahun 2000. Pada kunjungan ke-9 tahun 2002, Razali berhasil menemui Jenderal Than Shwe, Jenderal Khin Nyunt dan Aung San Suu Kyi membicarakan masalah utama yaitu pengaktifan kembali National Convention yang akan menyusun konstitusi. Dalam pertemuan ini Razali sangsi dengan hasil dialog melihat lambatnya proses rekonsiliasi dan sikap pemerintahan militer yang tidak bisa memberikan komitmen. 94 Pada akhirnya pertemuan yang diharapkan dapat membawa perubahan di Myanmar tidak membuahkan hasil. Sifat keras pemerintahan militer dan keinginan kuat militer untuk mempertahankan kekuasaan menjadikan usaha negosiasi PBB sia-sia. 91 Ibid, h. 186. 92 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian, Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 73. 93 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.72. 94 Ibid, h. 79-80. Upaya negosiasi yang hingga saat itu tidak membuahkan hasil menjadikan Razali memutuskan untuk mengundurkan diri. Pengunduran diri Razali terjadi pada bulan Januari 2006 setelah ia ditolak masuk ke Myanmar. Proses percobaan mempengaruhi junta agar melakukan perubahan yang dilakukan PBB berlajut dengan mengutus Dr. Ibrahim Gambari. Usaha mediasi ini dilakukan dalam rangka pembangunan perdamaian bagi rakyat Myanmar. Dr. Ibrahim Gambari berlaku sebagai “wasit” yang adil berkaitan dengan pencapaian bagaimana proses terbaik yang seharusnya dibangun dan langkah apa yang seharusnya berjalan. 95 Berdasarkan pendekatan dialogis yang telah dilakukan utusan- utusan PBB, terdapat kepesimisan mengenai prospek demokrasi Myanmar. Seperti yang dialami Razali, setelah berulang kali mengupayakan demokratisasi melalui dialog, Razali menyatakan kepesimisan mengenai prospek perkembangan politik Myanmar, sekalipun ASEAN berulangkali telah mendorong demokratisasi dan mengusahakan pembebasan aktor- aktor prodemokrasi termasuk Aung San Suu Kyi. 96 Kepesimisan Razali ini sangat beralasan, mengingat ketidakinginan Myanmar untuk ditekan namun dengan pendekatan yang lebih halus pun pemerintah militer tetap menampilkan kerepresifannya. Pendekatan dialogis sebagai kelanjutan dari kegagalan pendekatan konfrontatif dan diharapkan dapat melunakkan pemerintahan militer Myanmar, tidak lantas membuat militer tergerak untuk segera melakukan 95 Sam Polk, “Burma’s Crisis and Indonesia’s Opportunity”. Indonesian Quarterly”. Vol.36 No.1 Quarter 2008, h. 75. 96 Fautinus Andrea, “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur: ASEAN, Myanmar dan Krisis Semenanjung Korea”, Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 185. perubahan politik menuju pada negara demokrasi. Hal ini memperjelas tidak berlakunya pola transisi demokratis yang ditawarkan Samuel P. Huntington 97 yaitu pola ”transplacement” yang bermakna bahwa demokratisasi dapat berlangsung sebagai akibat negosiasi dan bergaining antara pemerintah dan kelompok oposisi. Pemerintahan militer membutuhkan waktu cukup lama menyusun strategi agar tidak kehilangan eksistensinya dalam memerintah Myanmar. Mengingat negaranya belum kuat serta memiliki masalah internal yang kompleks dan rentan akan bentuk intervensi negara-negara besar, militer Myanmar tidak menghendaki pemerintahan dikuasai oleh pihak yang lemah. Berdasarkan alasan intervensi militer dalam pemerintahan yang bersifat internal, yaitu kemahiran profesional di kalangan militer menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kelompok sipil. 98 Maka, militer yang merasa memiliki rasa nasionalisme tinggi dibandingkan dengan pihak sipil, berpandangan bahwa merekalah pihak yang paling layak untuk memimpin negara. Oleh sebab itu, proses dialog yang diandalkan oleh ASEAN mungkin dapat diterima oleh pemerintah militer Myanmar. Namun, pada akhirnya keputusan untuk terus memerintah dengan gaya kepemimpinannya akan menjadi pilihan. 97 Samuel P. Huntington, The Third Wave : Democratization in The Late Twenthieth Century. University of Oklohama Press, Norman, 1991, terjemahan Asril Marjohan, Gelombang Demokratisasi Ketiga, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, h. 158-203. 98 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwifungsi ABRI, LP3ES, Jakarta, 1986, h. 440-473, dikutip dari Ikrar Nusa Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, Tim Peneliti PPW-LIPI, Mizan, 1999, h. 40.

4.2.4 Pembentukan ASEAN Human Rights Body AHRB

Dalam percaturan politik internasional, karakter ASEAN sangat diperhatikan masyarakat internasional untuk menentukan kredibilitas sebagai organisasi regional. Berdasarkan perkembangannya, karakter ASEAN sebagai organisasi dengan peraturan yang longgar dan tuntutan kemajuan globalisasi semakin mengancam kredibilitas ASEAN, sehingga ASEAN tergerak untuk menciptakan suatu sistem hukum yang dapat mengikat negara-negara anggotanya. Sistem hukum yang tidak mengikat menjadi kendala bagi ASEAN untuk mengatasi permasalahan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara-negara anggota. Melalui Bali Concord II tahun 2003-2004, atas usulan Indonesia yang merasa ASEAN perlu membentuk komunitas ASEAN yang mulanya ditargetkan pada tahun 2020 namun akhirnya dipercepat menjadi 2015, telah disepakati 3 pilar utama, yaitu ASEAN Security Community ASC, ASEAN Economic Community AEC, dan ASEAN Social and Cultural Community ASCC. 99 Dibawah pilar politik dan keamanan terdapat suatu mandat kesepakatan untuk merundingkan suatu piagam yang memuat aturan-aturan untuk menghadapi tantangan kedepan. Sehingga tahun 2007 dikatakan sebagai tahun bersejarah bagi ASEAN karena berhasil membentuk konstitusi baru yang terdiri dari 13 bab dan 55 pasal dan termuat dalam ASEAN Charter. ASEAN Charter merupakan dokumen pertama yang mengikat secara hukum bagi setiap negara anggotanya. Berdasarkan pasal 1 tentang 99 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.81. Purposes dan pasal 2 tentang Principles yang secara garis besar memuat hasrat ASEAN untuk menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan serta mendorong peace-oriented attitudes dan perwujudan kawasan Asia Tenggara yang bebas senjata nuklir; membentuk ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi yang kompetitif dan terintegrasi, dengan memfasilitasi arus perdagangan, investasi, arus modal, pergerakan pelaku usaha dan tenaga kerja yang lebih bebas; mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pembangunan; dan memperkuat demokrasi, good governance, dan perlindungan HAM dengan uraian sebagai berikut : 100 Pasal 1 mengenai Tujuan ASEAN selengkapnya sebagai berikut : 1. Memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas serta lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian di kawasan; 2. Meningkatkan ketahanan kawasan dengan memajukan kerja sama politik, keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang lebih luas; 3. Mempertahankan Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Senjata Nuklir dan bebas dari semua jenis senjata pemusnah massal lainnya; 4. Menjamin bahwa rakyat dan Negara-Negara Anggota ASEAN hidup damai dengan dunia secara keseluruhan di lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis; 5. Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus 100 http:www.aseansec.orgAC-Indonesia.pdf diakses pada 24042010. lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh; dan arus modal yang lebih bebas; 6. Mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan pembangunan di ASEAN melalui bantuan dan kerja sama timbal balik; 7. Memperkuat demokrasi, meningkatkan tata kepemerintahan yang baik dan aturan hukum, dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari Negara-Negara Anggota ASEAN; 8. Menanggapi secara efektif,sesuai dengan prinsip keamanan menyeluruh, segala bentuk ancaman, kejahatan lintas-negara dan tantangan lintas-batas; 9. Memajukan pembangunan berkelanjutan untuk menjamin perlindungan lingkungan hidup di kawasan, sumber daya alam yang berkelanjutan, pelestarian warisan budaya, dan kehidupan rakyat yang berkualitas tinggi; 10. Mengembangkan sumber daya manusia melalui kerja sama yang lebih erat di bidang pendidikan dan pemelajaran sepanjang hayat, serta di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk pemberdayaan rakyat ASEAN dan penguatan Komunitas ASEAN; 11. Meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak bagi rakyat ASEAN melalui penyediaan akses yang setara terhadap peluang pembangunan sumber daya manusia, kesejahteraan sosial, dan keadilan; 12. Memperkuat kerja sama dalam membangun lingkungan yang aman dan terjamin bebas dari narkotika dan obat-obat terlarang bagi rakyat ASEAN;