Peranan Asean mendorong pemerintah militer dalam menegakkan demokrasi di Myanmar

(1)

PERANAN ASEAN MENDORONG PEMERINTAHAN MILITER DALAM MENEGAKKAN DEMOKRASI DI MYANMAR

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hubungan Internasional

Oleh : Ikrimah NIM : 106083002812

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2010


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN :

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 Oktober 2010


(5)

ABSTRAK

Myanmar merupakan salah satu negara berkembang di kawasan Asia Tenggara yang dikuasai oleh rezim militer otoriter. Sejak merdeka Myanmar diselimuti oleh masalah domestik yang kompleks. Stabilitas politik dan masyarakat yang masih rentan dan adanya disintegrasi nasional menjadi salah satu alasan bagi militer untuk melakukan intervensi dalam pemerintahan. Tahta pemerintahan yang diduduki oleh militer tidak menjamin perbaikan kondisi politik negara, karena hal tersebut mengakibatkan Myanmar memiliki tambahan beban permasalahan dengan mendangkalnya proses peralihan kekuasaan kepada pihak yang dipilih rakyat.

Fenomena kuatnya rezim militer Myanmar dan lambatnya proses demokrasi berdampak pada kredibilitas ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara yang menaungi Myanmar. Dengan bergesernya konsep masalah demokrasi menjadikan demokrasi sebagai bagian dari urusan internasional, maka peran ASEAN dalam mengatasi masalah Myanmar sangat diperhatikan masyarakat internasional. Melalui pendekatan constructive engagement dan penyelesaian masalah berdasarkan konsensus, ASEAN berusaha mengatasi permasalahan demokrasi di Myanmar.

Penelitian ini memiliki hasil temuan bahwa peran ASEAN tidak cukup berhasil dalam mengupayakan kehidupan demokrasi di Myanmar. Ketidakberhasilan ASEAN disebabkan ASEAN terbentur oleh hambatan yang bersifat internal maupun eksternal yang berpengaruh terhadap kehidupan demokrasi Myanmar yang berjalan stagnan.

Penelitian ini bersifat kualitatif dan didukung oleh teori-teori sehingga diperoleh bukti yang mendukung kebenaran hasil temuan. ASEAN terbukti belum berhasil memainkan perannya disebabkan ASEAN tidak mampu mengupayakan keterlibatan semua pihak dalam rencana pesta demokrasi tahun 2010. Selain itu, ASEAN tidak berhasil mendorong pemerintah militer Myanmar untuk dapat membentuk peraturan pemilu yang memiliki asas keadilan bagi semua pihak di Myanmar. Peran ASEAN yang belum berhasil ini disebabkan adanya beberapa hambatan internal dan eksternal yang mempengaruhi prospek demokrasi Myanmar. Secara internal, ASEAN memiliki prinsip dan cara penyelesaian masalah yang mempengaruhi kapabilitas ASEAN dalam mengimplementasikan perannya. Sedangkan secara eksternal, adanya kepentingan-kepentingan negara luar terhadap Myanmar sehingga menjadikan beberapa peran ASEAN dalam mengupayakan kehidupan demokrasi di Myanmar mengalami kegagalan.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari terdapat banyak kendala yang menghambat langkah penulis untuk merampungkan skripsi ini. Namun, berkat bimbingan, bantuan serta motivasi dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof.Dr.Bahtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Dr. Hendro Prasetyo, MA, sebagai Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Nazaruddin Nasution, SH, MA, sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional dan Agus Nilmada Azmi, M.Si, sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. M. Adian Firnas, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang telah memberi arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Mutiara Pertiwi, MA, sebagai Pembimbing Akademik Penulis.

5. Segenap pihak Kementerian Luar Negeri, Deplu RI, khususnya Drs. Ade Padmo Sarwono, MA, selaku Direktur Politik dan Keamanan ASEAN dan Ibu Arie yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya.


(7)

6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmu yang tidak ternilai sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Orang tua tercinta yang selalu membimbing dan memberikan motivasi demi kebaikan dan keberhasilan penulis tanpa pernah mengeluh dan berputus asa. 8. Saudara dan Saudari penulis; Ka Mila dan Ka Zayed, Ka Musriva dan Ka

Rahmat, Ka Ria, Ka Chaca, yang turut memberikan dukungan moril dan materiil bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Dani Agus Prasetyo yang telah bersedia meluangkan waktunya menemani penulis dalam pencarian data untuk pembuatan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat terbaik penulis; Fitrianingsih, Annisa Auditasari, Evi Tamala yang sama-sama berjuang dengan penulis dalam susah dan senang selama proses pembuatan skripsi ini, serta untuk Ricka, Yovita, Ika, Ovi dan Novita yang selalu memberi dukungan dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Sahabat-sahabat terbaik penulis di HI A ; Anne Normadiah, Ayu Yukhaeroh, Dzuriah Tiara Hanny, Hazrina, dan Ita Fatimah atas kesediaanya berjuang bersama penulis sejak awal hingga masa-masa akhir perkuliahan.

12. Nadya Hajarani Dwi Lestari, terimakasih atas semua informasinya.

13. Teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional kelas A angkatan 2006.

14. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.


(8)

Akhir kata penulis berharap semoga segala kebaikan yang tulus dari semua pihak dapat diterima oleh Allah SWT. Kiranya skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan bagi penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pembaca khususnya mahasiswa FISIP HI UIN, untuk menambah wawasan dalam mempelajari ilmu hubungan internasional.

Jakarta, 13 Oktober 2010

Penulis


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tinjauan Pustaka ... 5

1.4 Kerangka Teori ... 9

1.5 Hipotesa ... 17

1.6 Metodologi Penelitian ... 18

1.7 Tujuan Penelitian ... 18

1.8 Sistematika Penulisan ... 19

Bab II Latar Belakang Berdirinya Pemerintahan Militer Myanmar 2.1 Intervensi Militer Myanmar dalam Pemerintahan ... 21

2.2 Perubahan Bentuk Pemerintahan dan Politik di bawah Kekuasaan Jenderal Ne Win ... 24

2.3 Kekuasaan Rezim Militer Jenderal Saw Maung dan Kekacauan Politik Myanmar ... 26

2.4 Myanmar Masa Pemerintahan Rezim Militer Jenderal Than Shwe ... 28

Bab IIIGerakan Perlawanan Prodemokrasi Terhadap Pemerintahan Militer 3.1 Aung San Suu Kyi Sebagai Aktor Demokrasi Myanmar ... 31

3.2 Pemilihan Umum Multipartai Tahun 1990 ... 36

3.3 Tindakan Pemerintah Militer Myanmar Menghadapi Gerakan Demokrasi ... 40


(10)

Bab IV Peran dan Hambatan ASEAN dalam Menciptakan Demokrasi di Myanmar

4.1 Keanggotaan Myanmar dalam Organisasi

Regional ASEAN ... 44 4.2 Peranan ASEAN dalam Menegakkan Demokrasi

di Myanmar ... 49 4.2.1 ASEAN Regional Forum ... 51

4.2.2 Tekanan Internasional Terhadap Myanmar ... 57 4.2.3 Pendekatan Dialogis dengan Pemerintah

Militer Myanmar ... 63 4.2.4 Pembentukan ASEAN Human Rights Body

(AHRB) ... 68 4.3 Hambatan ASEAN dalam Menegakkan

Demokrasi di Myanmar ... 78 4.3.1 Penerapan Prinsip Non-Interference

ASEAN dalam Menegakkan Demokrasi

Myanmar ... 81 4.3.2 Kekuatan Hubungan Luar Negeri

Myanmar dengan Cina dan India ... 86 4.4 Pemilu 2010 Sebagai Implementasi ”Road Map

to Democracy” ... 92

Bab V Penutup

5.1 Kesimpulan ... 100

Daftar Pustaka ... xi


(11)

Daftar Tabel

Tabel 1 Prinsip-Prinsip Demokrasi ... 14 Tabel 2 Refugee population ... 46 Tabel 3 Burmese Election Results 2010 ... 98


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Myanmar adalah salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara yang hingga kini dikuasai oleh militer. Setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 19481, pemerintahan Burma2 berbentuk Republik bernama

Union of Burma dengan Sao Shwe Thaik sebagai Presiden pertama dan U Nu sebagai Perdana Menteri.

Pasca merdeka demokrasi sempat berlangsung di Burma, tetapi berhenti sejenak tatkala militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win melakukan kudeta di tahun 1958 hingga 1960. Demokrasi bersemi kembali setelah pemilu tahun 1960 dimenangkan oleh U Nu dengan partainya Union Party. Namun rezim militer mengemuka kembali mengambilalih pemerintahan sipil di tahun 1962.3 Keberhasilan kudeta yang dilakukan Ne Win terhadap Perdana Menteri U Nu ini dapat dikatakan sebagai awal dari keruntuhan demokrasi di Myanmar.

Selama berkuasa, Jenderal Ne Win membentuk dan hanya mengakui satu partai politik yaitu Burmese Socialist Program Party (BSPP) atau lebih dikenal dengan Partai Lenzin. Partai tunggal ini dibentuk untuk mendukung program

1

Win Min, ”Looking Inside The Burmese Military”, Asian Survey, Vol. XLVIII No. 6, November/Desember 2008, h. 1021.

2

Meskipun pada tahun 1990 pemerintah telah merubah nama resmi negara dari Burma ke Myanmar, banyak pembahasan dalam penelitian ini mengacu pada konsep kekinian yaitu yang lebih dikenal sebagai Myanmar. Untuk menghindari kerancuan, dalam penelitian ini saya menggunakan nama Myanmar secara konsisten.

3

Neil A. Englehart, ”Is Regime Change Enough for Burma?, The Problem of State Capacity”, Asian Survey, Vol. XLV No. 4, July/ August 2005, h. 623.


(13)

pemerintahannya yaitu ”Burmese Way to Socialism”.4 Berbagai kebijakan represif yang dijalankan Ne Win telah menyebabkan munculnya masalah intern yang harus dihadapi oleh rakyat Burma. Ketidakpuasan atas kebijakan Ne Win mendorong lahirnya protes besar pada tahun 1988. Rakyat menuntut kembalinya sistem demokrasi multipartai dan digantinya pemerintahan. Dengan adanya pertentangan ini, Ne Win mundur dari pemerintahan dan digantikan oleh Jenderal Saw Maung pada 18 September 1988 diikuti dengan pembubaran BSPP dan pendirian SLORC (State Law and Order Restoration Council).5 SLORC yang didirikan dengan tujuan untuk memulihkan keadaan negara, berkuasa melalui Undang-Undang Darurat (Martial Law).

Pada masa kekuasaanya Saw Maung merencanakan penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota Parlemen yang dikenal dengan nama Pyithu Hluttaw dengan tetap memberlakukan Undang-Undang Darurat dan membekukan konstitusi 1974. Sesuai dengan persetujuan SLORC untuk mengadakan pemilu multipartai, maka pada tanggal 27 Mei 1990 diadakan pemilu untuk memilih anggota parlemen. Dalam pemilu kali ini partai oposisi yaitu National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi tampil sebagai pemenang. Hasil pemilu ini diluar prediksi SLORC sehingga menimbulkan keterkejutan bagi junta militer. Oleh sebab itu, SLORC tidak mengakui hasil pemilu tersebut bahkan Aung San Suu Kyi dan Tin Oo selaku pimpinan NLD

4

M. Adian Firnas, “Prospek Demokrasi di Myanmar”, Jurnal Universitas Paramadina,

Vol. 2 No. 2, 2003, h. 130.

5

Priyambudi Sulistiyanto, ”Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasi; Studi Perbandingan Thailand, Indonesia dan Burma”, Prisma LP3ES, No. 5 tahun XXVI, Mei-Juni 1997, h. 20.


(14)

ditangkap dan dikenakan tahanan rumah oleh pemerintah Myanmar pada 29 Juli 1989.6

Jenderal Saw Maung mundur dari pemerintahan dan digantikan oleh Jenderal Than Shwe. Pada masa pemerintahannya, ia telah mencabut UU Darurat pada 26 September 1992. Sedangkan pada tahun 1997, SLORC berganti nama menjadi SPDC (The State Peace and Development Council) dengan karakteristik pemerintahan yang sama yaitu otoriter, represif dan totaliter. Pengelakan hasil pemilu dan pengambilalihan kekuasaan atas sipil dilakukan militer dikarenakan militer menganggap bahwa kelompok prodemokrasi merupakan ancaman bagi supremasi pihak militer.

Masalah yang terjadi dalam pemerintahan Myanmar menyita perhatian masyarakat internasional. Penyebab awal timbulnya perhatian internasional adalah sejak adanya tindakan pemerintahan junta yang menindas keras para demonstran yang beraksi menentang pemerintahannya. Rakyat Myanmar yang melakukan aksi protes menuntut pemerintahan junta untuk segera menjalankan sistem demokrasi, menghormati hak asasi manusia dan membebaskan aktor-aktor prodemokrasi. Kebijakan–kebijakan yang dijalankan oleh junta telah memiskinkan negara dan dari kebijakan tersebut terlihat jelas bahwa pemerintahan junta telah mengabaikan hak-hak masyarakat Myanmar. Masalah Myanmar telah menjadi tantangan bagi keamanan dan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan telah memberikan tantangan bagi ASEAN dalam hal membangun kepercayaan terhadap masyarakat internasional.

6

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h. 86.


(15)

Kebijakan domestik Junta juga telah menciptakan kondisi yang mengancam ketidakstabilan wilayah Asia Tenggara yang berujung pada kesinisan sikap internasional. Ketidakmampuan ASEAN membuat Myanmar untuk lebih bersikap terbuka dan memperbaiki kebijakan domestiknya akan memperkuat pandangan masyarakat internasional bahwa ASEAN tidak memainkan perannya secara penuh dalam wilayah Asia Tenggara.7

Proses percobaan mempengaruhi Junta agar melakukan perubahan telah dilakukan oleh ASEAN dan PBB. Dengan melakukan misi kunjungan kenegaraan ASEAN telah diwakili oleh beberapa utusan dari negara-negara pendiri ASEAN yang bertugas untuk menyampaikan pandangan ASEAN tentang pentingnya percepatan proses rekonsiliasi nasional Myanmar.8 Akan tetapi, dalam upaya itu tidak jarang Junta militer menolak dengan tegas misi kunjungan kenegaran tersebut. Dengan prinsip non-interference yang dipegang teguh ASEAN yang telah disepakati bersama, maka ASEAN tidak dapat bertindak lebih tegas dalam menghadapi kekerasan sikap Junta militer Myanmar.

Selain itu, dengan pendekatan konstruktif yang dilakukan oleh ASEAN diasumsikan telah membuat sikap Junta sedikit melunak. Hal ini terlihat pada rencana junta untuk menjalankan referendum konstitusi baru yang diikuti dengan Pemilihan Umum tahun 2010. Sebagai bagian dari rencana ini, Myanmar telah menyiapkan 7 langkah “Road Map to Democracy”. Namun, rencana ini tidak cukup untuk perubahan politik Myanmar karena Junta militer setengah hati untuk menganut sistem tersebut. Hal ini didasarkan pada peraturan pemerintah militer

7

Sam Polk, ‘’Burma’s Crisis and Indonesia’s Opportunity”, The Indonesian Quarterly,

Vol. 36 No. 1, First Quarter 2008, h. 94-95.

8

Fautinus Andrea, “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur: ASEAN, Myanmar dan Krisis Semenanjung Korea”, Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 186.


(16)

yang mengatakan bahwa dalam konstitusi tersebut junta tetap menolak kesempatan partisipasi dalam sistem politik bagi Aung San Suu Kyi.9

Jika Myanmar tidak sungguh-sungguh dalam implementasi proses demokratisasi, maka dampak yang ditimbulkannya akan mempengaruhi kredibilitas dan integritas ASEAN secara keseluruhan. Karenanya, Myanmar perlu memperlihatkan bukti nyata bahwa mereka tengah bergerak kearah demokrasi.10 Dengan demikian, kerjasama yang baik antara ASEAN dan militer Myanmar dalam menciptakan kehidupan demokratis yang kondusif di Myanmar adalah sangat diperlukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik suatu permasalahan yaitu :

1. Bagaimana peran ASEAN dalam menciptakan kehidupan demokrasi di Myanmar?

2. Hambatan apa yang dihadapi ASEAN dalam mendorong pemerintahan militer Myanmar agar menegakkan demokrasi?

1.3 Tinjauan Pustaka

Setelah membuka daftar skripsi tahun sebelumnya maka dapat disimpulkan belum ada skripsi sebelumnya yang membahas mengenai Peranan ASEAN Mendorong Pemerintahan Militer dalam Menegakkan Demokrasi di

9

Sam Polk, Op.Cit., h. 73.

10

Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,


(17)

Myanmar. Penulisan-penulisan sebelumnya yang membahas mengenai ASEAN dan Permasalahan Myanmar adalah :

1. Agus Budi Rachmanto, Program Studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002.

Tantangan Gerakan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National League for Democracy (NLD)”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian tersebut menghasilkan fokus pembahasan mengenai tantangan terbesar yang dihadapi gerakan demokratisasi di Myanmar yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi sejak tahun 1988 yaitu munculnya militer yang memiliki sifat dan karakteristik yang otoriter, yang bermakna bahwa militer Myanmar mempunyai kecenderungan untuk menguasai pemerintahan dengan cara menggulingkan pemerintahan sipil. Strategi yang ditawarkan untuk terciptanya tatanan politik yang demokratis di Myanmar adalah penghapusan sifat dan karakteristik otoritarianisme yang melekat dalam Junta militer. Selama militer Myanmar masih otoriter, maka tidak mungkin demokrasi akan terwujud, sehingga militer otoriter harus diubah menjadi profesionalisme.

2. M.Adian Firnas, Program Studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.

”Militer dan Kekuasaan : Suatu Studi Terhadap Upaya-Upaya Militer Myanmar Mempertahankan Kekuasaanya dalam Sistem Politik Myanmar”. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Fokus dari penelitian tersebut adalah faktor kebertahanan rezim militer Myanmar


(18)

ditengah desakan masyarakat internasional. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kebertahanan rezim militer Myanmar disebabkan oleh kemampuan militer untuk melemahkan kekuatan oposisi yang dilakukan dengan cara mengisolasi negaranya dari percaturan internasional, melakukan tindakan represif terhadap kekuatan demokrasi, membekukan kegiatan politik dan mengontrol media massa. Disamping itu, kekuatan hubungan korporat militer sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan ekonomi negara menjadi penyebab kedua kebertahanan rezim militer Myanmar.

3. Wahono, Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2005.

”Kebertahanan Pemerintahan Junta Militer Myanmar Menghadapi Oposisi, Tekanan Asing dan Gerakan-Gerakan Perlawanan”. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, maka penelitian tersebut menghasilkan faktor-faktor penentu bertahannya pemerintahan militer Myanmar, yaitu : loyalitas korporat militer, pengendalian oposisi yang ketat melalui pengendalian partai politik dan insurjen bersenjata, tekanan luar negeri yang mengendur dan survival strategy.

4. Triyogo Puspito Adi, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001.

Kepentingan Myanmar Menjadi Anggota ASEAN Periode (1988-1997)”. Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa untuk meningkatkan volume perdagangan dengan negara-negara anggota ASEAN mendorong


(19)

Myanmar untuk menjadi anggota ASEAN, dan untuk meningkatkan investasi dari ASEAN mendorong Myanmar untuk menjadi anggota ASEAN. Selain itu, adanya dukungan ASEAN melalui kebijakan

constructive engagement mendorong Myanmar untuk menjadi anggota ASEAN.

5. Dwi Wahyuni, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002.

Efektifitas Kebijakan Constructive Engagement ASEAN Terhadap Myanmar (1992-2000). Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Berdasarkan indikator yang ditawarkan maka hasil penelitian ini yaitu kebijakan constructive engagement ASEAN tidak cukup efektif dalam membawa perubahan kebijakan dalam negeri Myanmar. Selain itu, kebijakan constructive engagement ASEAN tidak mampu membuat keseimbangan dalam unsur tekanan dan akomodasi terhadap pemerintah Junta militer yang berkuasa di Myanmar.

Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah :

a. Penelitian ini menekankan pada peran ASEAN menciptakan demokrasi pada negara anggotanya yang masih di kuasai oleh rezim militer.

b. Rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini sampai pada tahun 2010 karena pada tahun tersebut terdapat rencana pelaksanaan pemilihan umum multipartai.


(20)

1.4 Kerangka Teori

Myanmar sebagai salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara resmi menjadi anggota organisasi regional ASEAN (Association of Southeast Asia Nation) sejak tahun 1997 bersama dengan Laos. Berdasarkan kedekatan geografis dan kesadaran negara-negara anggota ASEAN mengenai kerentanan kawasannya akan berbagai pengaruh dan kekuatan negara-negara besar, maka ASEAN menerima Myanmar menjadi anggotanya.

Sesuai dengan pemahaman regionalisme yang dikemukakan Louis Cantori dan Steven Spiegel bahwa konsep region memiliki arti dua atau lebih negara yang saling berinteraksi dan memiliki kedekatan geografis, kesamaan etnis, bahasa, budaya, keterkaitan sosial dan sejarah serta perasaan identitas yang seringkali meningkat disebabkan adanya aksi dan tindakan dari negara-negara diluar kawasan.11

Pemahaman tentang regionalisme lebih lanjut dapat dijelaskan berdasaran empat fenomena yang dikemukakan oleh Andrew Hurrell, yaitu :12

1. Tahap regionalisasi yang ditandai munculnya hubungan antar masyarakat di kawasan secara spontan dan intensif yang didorong karena kedekatan wilayah.

2. Fenomena regional awareness yaitu proses regionalisme yang di dorong dengan adanya kesadaran kesamaan identitas antar masyarakat di suatu

11

Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, ”Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, h. 104.

12

Andrew Hurrel dan Louise Fawcett, ”Regionalism in World Politics : Regional Organization and International Order”, Oxford University Press, Oxford, 1995, h. 40-44, dalam Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h. 78.


(21)

kawasan sehingga menimbulkan keinginan untuk melakukan kerjasama secara intens.

3. Berkaitan dengan pembentukan institusi formal di tingkat kawasan atau dalam bentuk forum kerjasama antar negara yang lebih didorong oleh kepentingan pemerintah negara-negara di kawasan untuk mengadakan kerjasama secara formal yang disebut sebagai regional inter-state cooperation.

4. Tingkat yang paling advance dari proses regionalisme yaitu pembentukan

regional integration yang diwujudkan dalam bentuk organisasi supra-nasional.

Sebagai organisasi regional, ASEAN memiliki tanggung jawab yang besar untuk megupayakan pendekatan terhadap pemerintah Myanmar guna menegakkan demokrasi. Dengan adanya upaya pelibatan pendekatan konstruktif yang dilakukan oleh ASEAN diharapkan dapat melunakkan sikap junta militer dibandingkan dengan menggunakan pendekatan konfrontatif seperti yang dilakukan Barat. Peranan ASEAN dalam masalah Myanmar merupakan perilaku politik yang tidak dapat dielakkan. Suatu organisasi memiliki struktur organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah disepakati bersama. Apabila suatu struktur tersebut telah menjalankan fungsi-fungsinya, maka organisasi itu telah menjalankan peranan tertentu.13

Sebagaimana dalam teori peranan ditegaskan bahwa perilaku politik adalah perilaku dalam menjalankan peranan politik. Teori ini beransumsi bahwa sebagian besar perilaku politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap

13

Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, h. 30.


(22)

peran yang kebetulan dipegang oleh aktor politik. Mengenai sumber munculnya harapan tersebut dapat berasal dari dua sumber : Pertama, harapan yang dimiliki orang lain terhadap aktor politik. Kedua, harapan juga bisa muncul dari cara si pemegang peran menafsirkan peran yang dipegangnya, yaitu harapannya sendiri tentang apa yang harus dan yang tidak boleh dilakukan, tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan. Sedangkan kegunaan teori peranan ini sebagai alat analisis, untuk menjelaskan dan meramalkan perilaku politik. Peranan juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran.14

Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan militer Myanmar begitu kuat memerintah di atas tekanan dunia internasional. Lalu adakah kemungkinan bagi rezim militer Myanmar untuk mundur dari pemerintahan?. Untuk menjawab masalah tersebut, maka dibutuhkan variable alasan mundurnya militer dari pemerintahan yang sangat penting untuk meneliti prospek pemerintahan Myanmar. Menurut Ulf Sundhaussen terdapat tiga alasan militer mundur dalam pemerintahan, seperti :15

Pertama, faktor eksternal militer yaitu adanya oposisi terhadap keberlangsungan kekuasaannya. Contohnya dalam kasus Venezuela, oposisi terbukti mampu mendesak rezim tersebut untuk segera menjalankan demokrasi. Perlawanan dan protes tebuka yang dilakukan oleh Accion Democratica dan partai-partai politik lain terhadap Jenderal Perez Jimenez telah berhasil membawa negara itu menuju proses redemokratisasi kembali pada tahun 1958.16

14

Ibid, h. 30-31.

15

Ulf Sundhaussen,”Penarikan Militer dari Pemerintahan”, Prisma LP3ES, No.7 tahun XXIV Juli 1995, h. 60-61.

16

M. Adian Firnas,“Prospek Demokrasi di Myanmar”, Jurnal Universitas Paramadina,


(23)

Kedua, adanya alasan eksternal terhadap negara. Rezim militer yang secara ekonomi, militer dan logistik tergantung kepada negara lain dapat terancam bila donatur mereka menarik dukungannya. Kebijaksanaan hak-hak asasi manusia pemerintah Carter mempunyai dampak terhadap rezim-rezim di Amerika Latin. Samoza mungkin masih berkuasa bila pemerintahan AS tidak mengucilkannya.

Ketiga, faktor internal militer. Pemimpin rezim barangkali bersedia menarik diri karena mereka percaya bahwa tatanan demokrasi yang tetap memasukkan prinsip supremasi sipil atas militer pada dasarnya sangat diperlukan. Seperti yang terjadi di Portugal ketika dikuasai militer pada 1974-1975, angkatan bersenjata terpecah menjadi begitu banyak faksi sehingga negeri itu tidak memiliki pemerintahan sesungguhnya. Para komandan militer menyimpulkan bahwa satu-satunya cara memperoleh kembali kohesifitas angkatan bersenjata adalah dengan bersama-sama menarik diri keluar dari arena politik.

Mengenai penarikan diri militer, Sundhaussen meneliti bahwa terdapat tiga prasarat bagi penarikan diri militer, yaitu : Seluruh pengelompokan di dalam tubuh militer yang mampu melakukan aksi politik secara sepihak sepakat menyerahkan kekuasaan, kepentingan-kepentingan yang dianggap pimpinan rezim militer sebagai hal esensial harus terjamin, dan tersedianya apa yang dipandang pimpinan militer sebagai alternative politik yang dapat terus bertahan.17

Tiga faktor prasyarat penarikan diri militer ini hampir mustahil terjadi. Berkaca kepada teori yang ditawarkan Nordlinger18 mengenai faktor-faktor yang menjadi latar belakang intervensi salah satunya yaitu mempertahankan kepentingan korporat militer dan anggapan internal bahwa militer sebagai

17

Ulf Sundhaussen, Op,Cit., h. 62-63.

18


(24)

golongan nasionalis utama, sehingga menjadikan mereka bersikeras beranggapan bahwa dirinyalah yang paling pantas untuk memerintah sehingga enggan untuk menarik diri dari pemerintahan Myanmar.

Argumen Sundhaussen tentang penarikan diri militer dari pemerintahan, tidak jauh berbeda dengan pendapat Todung Mulya Lubis yang meneliti proses demilitarisasi di Indonesia masa Orde Baru. Menurutnya ada dua faktor yang sangat urgent yang menjadikan alasan militer keluar dari kandang politik. Faktor-faktor tersebut adalah :19 Faktor-faktor luar (exogenous factors), yakni jatuhnya rezim Orde Baru yang disangga militer, telah memberi bukti yang kuat bahwa militer tidak mampu memberi kesadaran politik terhadap rakyat. Oleh karena itu, desakan publik agar militer kembali ke barak dan menyerahkan tanggung jawab pemerintah kepada sipil, menjadi faktor dominan terjadinya demilitarisasi. Di sisi lain, faktor dalam (inogenous factors), yakni terciptanya berbagai perbedaan pandangan di dalam tubuh perwira-perwira tinggi militer terhadap peran mereka dalam dunia politik, juga friksi-friksi yang terjadi di tubuh militer, mendesak militer untuk kembali ke barak sebagai penjaga keamanan rumah tangga bangsa. Tentunya penarikan diri militer dalam kancah politik dibutuhkan satu konsensus di kalangan militer itu sendiri, bahwa habitat militer memang mendiami satu wilayah yang bernuansa pada basis keamanan rakyat dan negara.

Dalam perkembangan selanjutnya, militer yang berkuasa hingga kini mulai melunakkan hatinya dengan merencanakan akan melangsungkan kembali pesta demokrasi pada tahun 2010. Adanya rencana untuk mengadakan pemilihan umum ini memunculkan pertanyaan apakah dengan demikian maka di tahun 2010

19

Anas S. Machfudz dan Jaleswari Pramodawardhani (ed), Military Without Militarism,


(25)

Myanmar akan berubah menjadi negara demokrasi?. Untuk menganalisa hal tersebut perlu dilakukan pengamatan mengenai proses transisi demokrasi dengan mengacu pada pola transisi yang ditawarkan Huntington, yaitu:20 Pertama, pola

”transformasi”, yaitu transisi menuju demokrasi yang diprakarsai oleh rezim yang sedang berkuasa. Kedua, pola ”replacement”, dimana kelompok oposisi memimpin perjuangan menuju demokrasi. Ketiga,pola ”transplacement”, dimana demokratisasi berlangsung sebagai akibat negosiasi dan bergaining antara pemerintah dan kelompok oposisi. Keempat,pola ”intervensi”, dimana lembaga-lembaga demokratis dibentuk dan dipaksa berlakunya oleh aktor dari luar.

Demokrasi sebagai sistem politik menurut Henry B.Mayor memiliki pengertian suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas atas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.21

Untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi, maka prinsip-prinsip demokrasi dapat menjadi indikator, seperti :

Tabel 1. Prinsip-Prinsip Demokrasi Nilai-nilai

Terkandung

Deskripsi Partisipasi

(Participation)

Demokrasi pada esensinya melibatkan aspirasi masyarakat dalam menjalankan perannya secara aktif dan menentukan dalam proses politik. Partisipasi tidak hanya berupa memilih dalam pemilihan umum. Partisipasi menjamin

20

Samuel P. Huntington, The Third Wave : Democratization in The Late Twenthieth Century. University of Oklohama Press, Norman, 1991, terjemahan Asril Marjohan, Gelombang Demokratisasi Ketiga, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, h. 158-203.

21

Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,


(26)

keterlibatan dalam proses kebijakan, baik dengan melibatkan LSM, partai politik, maupun jalur-jalur lain. Tetapi, semua ini harus didasarkan pada asumsi bahwa hak-hak untuk berpartisipasi itu memang sudah eksis dan masyarakat memiliki kapasitas serta sumber daya yang layak untuk berpartisipasi. Selain itu, pemerintah telah menyediakan jalur-jalur dan institusi-institusi politik (di mana melalui semua itu masyarakat bisa berpartisipasi). Inklusivitas/Pelibatan

(Inclusion)

Setiap individu dipandang setara secara politik. Dengan kata lain setiap individu diperlakukan sebagai warga negara terlepas dari perbedaan latar belakang ras, etnis, kelas, gender, agama, bahasa, maupun identitas lain. Demokrasi mendorong pluralitas keberagaman, juga mengelola keberagaman tersebut tanpa kekerasan. Demokrasi tidak bisa eksis jika perolehan hak-hak dasar dibatasi secara diskriminatif. Demokrasi juga harus mengawal sektot-sektor masyarakat yang termarjinalisasi melalui pelaksanaan kebijakan afirmatif untuk dapat mencapai kesamaan status dan pemberdayaan.Kebijakan afirmatif ini haruslah bebas dari prasangka atau stereotip. Perwakilan

(Representation)

Dengan mempertimbangkan bahwa partisipasi langsung dalam setiap proses pemerintahan tidak bisa dilakukan secara absolut mengingat keterbatasan waktu dan ruang, jalur yang paling rasional adalah dengan menyediakan perangkat untuk representasi/perwakilan. Mereka yang telah mendapatkan mandat untuk menjalankan aspirasi populer harus mampu mewakili konstituensi mereka. Institusi-institusi harus pula mencerminkan komposisi sosial dari para pemilih – baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Terlebih lagi, mereka harus mewakili arus utama dari opini publik.


(27)

(Transparency) mendapatkan otoritas mereka dari masyarakat, maka harus ada perangkat yang memungkinkan masyarakat untuk mengawasi dan mengawal institusi tersebut. Masyarakat atau kelompok yang ditunjuk oleh masyarakat harus diberikan kesempatan untuk mempertanyakan kinerja dan kerja institusi publik tersebut. Terlebih lagi, segala informasi mengenai proses kerja dan kinerja mereka harus bisa dijangkau oleh publik dan media massa.

Prtanggungjawaban/ Akuntabilitas

(Accountability)

Pertanggungjawaban/akuntabilitas hanya akan mungkin jika institusi-institusi negara/publik itu transparan dan terbuka. Akuntabilitas penting dalam demokrasi karena hal inilah yang akan menjamin wakil-wakil rakyat yang memegang mandat populer tidak menyimpang dari jalur mandat dan fungsi mereka. Akuntabilitas mengharuskan wakil-wakil rakyat tersebut bertanggungjawab atas sikap dan perbuatan mereka, dan jika sampai terjadi penyimpangan, penjatuhan sanksi kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab harus menjadi bagian dari akuntabilitas ini.

Kecepatan merespon

(Responsiveness)

Dalam demokrasi, institusi-institusi negara harus dapat diakses oleh kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Institusi ini harus siap untuk merespon tuntutan-tuntutan warganegara dalam setiap proses pembuatan kebijakan secara cepat dan bijak. Kemampuan institusi tersebut dalam mengantarkan pelayanan (service delivery) menunjukkan kualitas dari institusi tersebut dan pada akhirnya, kualitas dari demokrasi itu sendiri. Kompetisi/ Otorisasi

(Competition/Autho-rization)

Demokrasi juga merupakan sebuah sistem di mana partai politik bertarung dalam proses pemilihan. Setiap partai politik diberikan kesempatan yang setara untuk mengelola diri secara bebas dan adil dalam proses yang kompetitif. Selain itu, hasil dari proses-proses ini tidak akan


(28)

mendapatkan legitimasi jika tidak semua orang menerimanya. Maka dari itu, sistem kompetisi ini harus mengandung kondisi dimana warganegara diberikan pilihan kandidat wakil rakyat yang berkualitas dengan program-program yang layak dipilih.

Solidaritas

(Solidarity)

Rejim demokratis harus bisa bersandar pada dukungan dan niat baik dari negara-negara lain yang juga demokratis. Thesis “Demokrasi damai” (democratic peace) mengklaim bahwa gabungan negara-negara demokratis bisa membentuk komunitas bangsa yang cinta damai. Solidaritas dapat menemukan ekspresinya saat sebuah demokrasi menjunjung prinsip, norma, dan aturan hukum yang disepakati oleh insitusi multilateral. Terlebih dari itu, solidaritas harus pula mencerminkan dukungan terhadap pergulatan demokratis di negara2 lain. Sumber diolah dari http://www.csis.or.id/working_paper_file/62/wps054.pdf diakses pada 27 November 2010.

1.5 Hipotesa

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diawal dan didukung oleh teori yang dipandang berguna untuk membantu menganalisa penulisan selanjutnya, maka penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut :

1. Peran ASEAN tidak cukup berhasil dalam menciptakan demokrasi di Myanmar.

2. Hambatan yang dihadapi ASEAN dalam mengupayakan demokrasi di Myanmar adalah karakter ASEAN yang memegang teguh prinsip non-intervensi, dan adanya kekuatan hubungan luar negeri Myanmar dengan China dan India.


(29)

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.22 Pengolahan data didasarkan pada rasio dengan menggunakan logika terkait dengan penilaian peneliti dan sesuai dengan realita.

Dengan penelitian ini diharapkan dapat lebih memahami permasalahan sebuah negara yang dipimpin oleh militer berdasarkan proses kudeta, dan juga diharapkan munculnya pandangan yang lebih kritis menanggapi peran organisasi regional ASEAN dalam membantu negara-negara anggotanya untuk menciptakan kehidupan demokrasi.

Berdasarkan penelitian deskriptif maka teknik pengumpulan data ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer ini diperoleh dari dokumen yang diterbitkan dan situs resmi ASEAN serta wawancara dengan narasumber yang kompeten. Sedangkan data sekunder berasal dari buku, jurnal, artikel, majalah dan koran.

1.7 Tujuan Penelitian

Terdapat tiga tujuan pokok dalam penulisan penelitian ini, yaitu :

1. Menambah wawasan mengenai peran ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara dalam menciptakan kehidupan demokrasi di negara anggotanya.

22

Lexy J. Moleong, ”Metode Penelitian Kualitatif”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, h. 4.


(30)

2. Memperkaya wawasan mengenai demokrasi disuatu negara yang dipimpin oleh rezim militer.

3. Memenuhi syarat dalam mencapai gelar sarjana S1 pada jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.8 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan. Dibahas aspek metodologis yang paling mendasar. Selain mendeskripsikan dengan teoritis, bab ini juga merumuskan hipotesis yang relevan.

Bab II Latar Belakang Berdirinya Pemerintahan Militer. Dalam bab ini membahas latar belakang intervensi militer dalam pemerintahan, dan dinamika peran militer dalam dunia politik untuk mempertahankan kekuasaannya serta berbagai kebijakan yang diterapkan militer dibawah payung organisasi politiknya yang dapat menguatkan posisi mereka dalam pemerintahan.

Bab III Gerakan Perlawanan Prodemokrasi Terhadap Pemerintahan Militer. Membahas mengenai sepak terjang aktor prodemokrasi dalam memperjuangkan tatanan hidup demokrasi di Myanmar dan pelaksanaan pemilu multipartai tahun 1990.

Bab IV Peranan ASEAN dalam Menciptakan Demokrasi di Myanmar.

Dalam bab ini akan dimuat tentang ASEAN serta akan ditarik benang merah mengenai awal mula bergabungnya Myanmar dalam ASEAN


(31)

sehingga dapat memperjelas duduk masalah peranan ASEAN terhadap Myanmar.

Bab V Penutup. Dalam bab ini akan ditarik kesimpulan dari berbagai uraian diatas.


(32)

BAB II

Latar Belakang Berdirinya Pemerintahan Militer

2.1 Intervensi Militer Myanmar dalam Pemerintahan

Fenomena masuknya militer dalam pemerintahan merupakan permasalahan yang umumnya dialami oleh negara-negara yang baru merdeka. Masalah politik, sosial dan ekonomi yang sedemikian kompleks dan rentannya pemerintahan sipil mengakibatkan militer berinisiatif untuk terjun dalam panggung pemerintahan. Meluasnya peran militer dalam porsi pemerintahan memiliki faktor-faktor tertentu. Beberapa pengamat politik militer pun memiliki analisis tersendiri yang tidak jauh berbeda antar satu dan lainnya.

Seperti yang dikemukakan oleh Ulf Sundhaussen23 yang mengatakan bahwa penyebab intervensi militer terbagi menjadi dua faktor. Faktor internal :

Pertama, perwira-perwira intervensionis didorong oleh motivasi untuk membela atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan norma konstitusional. Kedua, intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang darinya mereka berasal.

Ketiga, kemahiran profesional di kalangan militer menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kelompok sipil. Keempat, intervensi militer dalam politik sebagai sebab ambisi pribadi perwira yang haus wibawa dan kuasa.

23

Ulf Sundhaussen, ”Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwifungsi ABRI”,

LP3ES, Jakarta, 1986, h. 440-473, dikutip dari Ikrar Nusa Bhakti, ”Tentara Mendamba Mitra”,

Tim Peneliti PPW-LIPI, Mizan, 1999, h. 40.


(33)

Faktor yang kedua adalah faktor eksternal, yang terdiri dari : Pertama,

intervensi militer dalam politik sebagai akibat dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan rentan. Kedua, kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah atau kelompok sipil dipandang tidak mampu memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas politik. Ketiga, kelompok sipil dianggap tidak mampu dalam melakukan modernisasi ekonomi. Keempat, terjadinya disintegrasi nasional.

Myanmar merupakan negara koloni Inggris sejak tahun 1885 dan Jepang semasa Perang Dunia II (1939-1945). Selama dijajah Inggris, rakyat Myanmar dibawah pimpinan Aung San melakukan perlawanan bekerjasama dengan Jepang dengan membentuk angkatan bersenjata BIA (Burma Independence Army).24

Akan tetapi setelah Myanmar dan Jepang berhasil, Jepang masih tetap menguasai Myanmar. Kemudian BIA tampil kembali bersama AFPL (Anti Fascist People’s Freedom) dan Inggris melakukan perlawanan mengusir Jepang.25

Seiring dengan kekalahan Jepang, tentara Inggris kembali memerintah Myanmar. Namun Inggris tidak dapat memerintah Myanmar kembali karena memiliki tantangan dari AFPL. AFPL menuntut kemerdekaan kepada Inggris, sehingga pada April 1947 diadakan pemilihan badan legislatif pertama yang dimenangkan oleh Aung San dari partai AFPL,26 kemudian Inggris menunjuk Jenderal Aung San menjadi Perdana Menteri Myanmar. Namun sebelum

24

BIA merupakan cikal bakal Angkatan Bersenjata (Tatmadaw) Myanmar yang mendapat pelatihan militer dari Jepang. Pada saat itu BIA telah mereorganisasi diri menjadi

Burmese Defence Army.

25

Wahono, ”Kebertahanan Pemerintahan Junta Militer Myanmar Menghadapi Oposisi, Tekanan Asing, dan Gerakan-Gerakan Perlawanan”, Tesis Program Pascasarjana Magister Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2005, h. 89-91.

26

Ian Holliday, ”Voting and Violence in Myanmar, Nation Building for a Transition to Democracy”, Asian Survey, Vol. XLVIII No. 6, November/December 2008, h. 1043.


(34)

kemerdekaan tercapai, Aung San dan para pemimpin lainnya tewas terbunuh pada 19 April 1947. Wakil Presiden AFPL U Nu menjadi Presiden partai dan Inggris menunjuknya sebagai Perdana Menteri Myanmar. Akhirnya, Myanmar sebagai negara plural memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 4 Januari 1948.27

Pada masa awal jabatannya U Nu lebih disibukkan untuk menghadapi ancaman dan tantangan dari gerakan komunis dan pemberontakan bersenjata oleh berbagai kelompok etnis.28 Situasi pemerintahan yang semakin tak terkendali membuat Perdana Menteri U Nu merancang persiapan peralihan kekuasaan secara formal kepada pihak militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win. Kemudian berdasarkan hasil rapat anggota perwakilan rakyat Jenderal Ne Win terpilih sebagai pemimpin kabinet yang baru yang diambil sumpahnya pada tanggal 29 Oktober 1958, dalam pidatonya Jenderal Ne Win berjanji akan taat pada konstitusi dan demokrasi serta akan melaksanakan pemilu yang bebas dan adil pada tahun 1960.29

Setelah mengabdi selama 2 tahun, Jenderal Ne Win memenuhi janjinya untuk melaksanakan pemilu bulan Februari 1960. Pada pemilu saat itu, U Nu kembali tampil sebagai pemenang dan pada masa kekuasannya kali ini situasi politik Myanmar memang belum stabil. Keadaan negara yang kacau menjadi peluang bagi Jenderal Ne Win untuk melakukan kudeta (kudeta tidak berdarah) yang berlangsung pada 2 Maret 1962. Dengan alasan pemerintahan sipil tidak dapat mengendalikan keadaan negara dan tidak dapat memajukan perekonomian negara, Ne Win melancarkan aksi kudeta terhadap pemerintahan U Nu, selain itu

27

Wahono, Op.Cit., h. 91.

28

Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,

Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 60.

29

“Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”, Kedutaan Besar Republik Indonesia,Yangon,Edisi ke-2 2002, h. 65-66.


(35)

ia juga telah menganulir konstitusi 1947. Didukung oleh aparat militer dan sekutunya, Ne Win mendirikan pemerintahan militer otoriter dan memerintah dengan gaya diktator. Rakyat tidak diperkenankan memilih pemimpinnya sendiri karena semua keputusan politik harus melalui pemimpin militer di Rangoon.30 Disinilah awal dari runtuhnya demokrasi di Myanmar.

2.2 Perubahan Bentuk Pemerintahan dan Politik di bawah Kekuasaan Jenderal Ne Win

Sejak Jenderal Ne Win mengambil alih kekuasaan dari tangan sipil, ia telah melakukan beberapa kebijakan dalam pemerintahan, diantaranya mengontrol ekonomi negara dan masyarakat dengan ketat, menghapuskan media independen, dan menghancurkan kekuatan masyarakat yang dianggapnya sebagai ancaman. Bahkan untuk memperkuat kekuasaannya, di awal tahun 1970-an Jenderal Ne Win merubah Myanmar menjadi negara sosialis yang isolasionis dengan diberlakukannya ”Cara Burma Menuju Sosialisme/ Burmese Way to Socialism” dan mendirikan sebuah partai yaitu BSPP (Burma Socialist Program Party) serta pada tahun 1974 konstitusi Burma dirancang setelah pelaksanaan referendum nasional.31

Pembentukan BSPP bertujuan untuk menciptakan negara sosialis Myanmar dengan cara memperkuat militer, melembagakan ekonomi sosial, dan menerapkan kebijakan garis keras atas kelompok etnis minoritas. Jenderal Ne Win juga menghapus semua partai oposisi dengan hanya mengizinkan satu partai (BSPP/

30

Priyambudi Sulistiyanto, ”Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasi; Studi Perbandingan Thailand, Indonesia dan Burma”, Prisma LP3ES, No. 5 tahun XXVI, Mei-Juni 1997, h. 19-20.

31

Win Min, ”Looking Inside The Burmese Military”, Asian Survey, Vol. XLVIII No. 6, November/December 2008, h. 1022.


(36)

Partai Lanzin) sebagai kendaraan politik pemerintah.32 Dalam bidang ekonomi, Ne Win menerapkan strategi pembangunan sosialis radikal dengan menghapuskan sistem pemilikan pribadi lewat program nasionalisasi.

Ne Win dengan BSPP sebagai payung politiknya tidak mampu menciptakan negara yang stabil dan bebas dari masalah sosial, politik, dan ekonomi yang selama ini telah mewarnai kehidupan rakyat Myanmar. Selain itu, meskipun dengan konstitusi baru (konstitusi 1974) dimungkinkan diselenggarakannya pemilu, namun BSPP terus menunda pelaksanaan pemilu tersebut dan masih tetap memegang kekuasaan. Keadaan negara seperti itu menimbulkan kemarahan bagi rakyat yang diluapkan melalui gerakan demonstrasi. Gerakan ini dilakukan oleh kekuatan rakyat pada 8 Agustus 1988 yang dikenal dengan peristiwa 8888. Peristiwa ini diperkirakan telah memakan korban jiwa lebih dari 3.000 orang sehingga gerakan ini sekaligus menjadi fakta kerepresifan pihak militer.

’’Demonstrasi dan penindasan berdarah ini telah menunjukkan bahwa militer tidak punya cara untuk melibatkan unsur-unsur masyarakat kecuali melalui pemaksaan dan kekerasan. Pejabat Rezim telah menghancurkan kompetensi dan independensi kepolisian, kejaksaan, dan pelayanan publik untuk terus mengkonsolidasikan kekuasaan mereka sendiri. Rezim militer hanya memiliki satu cara untuk mencegah keruntuhan tatanan sosial yaitu kekerasan. Penggunaan kekerasan terbukti tidak hanya dalam waktu jangka pendek, ketika mereka mulai kehilangan kendali negara”.33

Tanpa alasan yang jelas Jenderal Ne Win mengundurkan diri dari pemerintahan, melepaskan tanggung jawab terhadap negara yang sedang dalam keadaan kacau. Namun hal ini bukan menjadi akhir dari skenario rezim

32

Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,

Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 60-61.

33

Neil A. Englehart, “Is Regime Change Enough for Burma?, The Problem of State Capacity”, Asian Survey, Vol. XLV, No. 4, July/August 2005, h. 633-634.


(37)

pemerintahan militer di Myanmar. Kenyataannya Ne Win masih berada dibelakang layar dengan tetap menjadi ketua BSPP dan bibit-bibit Jenderal yang haus kekuasaan akan tetap tampil dalam pemerintahan demi mempertahankan kerajaan militer Myanmar.

2.3 Kekuasaan Rezim Militer Jenderal Saw Maung dan Kekacauan Politik Myanmar

Keadaan negara yang kacau dan gerakan demonstrasi rakyat menjadikan Jenderal Ne Win mundur dari pemerintahan. Posisi Ne Win kemudian digantikan oleh Jenderal Sein Lwin yang dikenal sebagai dalang utama pembantaian tragedi 8888. Sein Lwin akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 12 Agustus 1988 dan digantikan oleh mantan Jenderal yang telah pensiun yaitu Dr. Maung Maung. Maung Maung kemudian merencanakan diselenggarakannya pemilihan umum multipartai tetap dibawah pengawasan pemerintahan militer. Rencana tersebut dengan segera ditentang oleh kelompok oposisi yang menginginkan Maung Maung mundur dari pemerintahan. Tekanan dari masyarakat mengakibatkan terjadinya kembali kudeta34 militer dibawah pimpinan Jenderal Saw Maung.35

Pemerintahan Saw Maung dimulai pada 18 September tahun 1988. Tampilnya Saw Maung sekaligus sebagai petanda bubarnya BSPP dan berdirinya SLORC (State Law and Order Restoration Council). Pada masa awal pemerintahannya, Saw Maung menyatakan bahwa konstitusi 1974 tidak berlaku lagi. Selain itu, SLORC juga menetapkan tiga prinsip nasional (Three Main

34

Kudeta ini dikatakan sebagai kudeta berdarah karena dalam proses pengambilalihan kekuasaan tersebut telah memakan banyak korban jiwa.

35

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h. 84-85.


(38)

National Causes) yang harus ditaati oleh seluruh rakyat, yaitu : Non Disintegration of the Union, Non Disintegration of the National Unity, and Consolidation of National Sovereignty.36

Pada tahun 1990 SLORC resmi mengganti nama Burma menjadi Myanmar dengan Yangon sebagai ibu kotanya, dan sesuai dengan persetujuan SLORC untuk mengadakan pemilu multipartai, maka pada tanggal 27 Mei 1990 diadakan pemilu untuk memilih anggota parlemen.37 Dalam pemilu ini SLORC sangat yakin militer akan memenangi pemilu tersebut, sifat totaliter pemerintah militer menjadi dasar keyakinan mereka mengontrol perolehan suara politik rakyat. Namun ternyata prediksi SLORC berbeda dengan kenyataan. Partai oposisi yaitu National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi yang muncul sebagai partai pemenang pemilu saat itu, sehingga membuat SLORC tidak mengakui hasil pemilu tersebut. Pada 29 Juli 1990, SLORC mengumumkan bahwa pemerintahannya bukan berdasarkan konstitusi melainkan UU Darurat (Martial Law).

Kegagalan pemerintahan Ne Win menjadi pelajaran bagi Saw Maung. Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Saw Maung melakukan reformasi ekonomi dengan membentuk sistem ekonomi terbuka. Pemerintahan militer dari tahun 1988-1990 telah meluncurkan undang-undang tentang investasi asing, peraturan dalam sektor keuangan dan perbankan serta program swastanisasi. Bahkan pemerintahan militer juga mendapatkan keuntungan dari investor asing Cina, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Malaysia. Sayangnya, reformasi

36

”The New ASEANs: Vietnam, Burma, Cambodia & Laos”, Department of Foreign Affairs and Trade Commonwealth of Australia, 1997, h. 99.

37

Neil A. Englehart, “Is Regime Change Enough for Burma?, The Problem of State Capacity”, Asian Survey, Vol. XLV, No. 4, July/August 2005, h. 634.


(39)

ekonomi ini tidak dapat dikatakan berhasil dikarenakan hanya menguntungkan sekelompok orang dalam lingkup militer.38

Kebijakan politik dengan melaksanakan pemilu multipartai pun tidak dilakukan secara demokratis, akibatnya memunculkan tekanan dari rakyat untuk sesegera mungkin menjalankan proses demokrasi yang nyata. Tekanan yang bertubi-tubi menjadikan Jenderal Saw Maung memutuskan untuk mundur dari pemerintahan.

2.4 Myanmar Masa Pemerintahan Rezim Militer Jenderal Than Shwe

Mundurnya Jenderal Saw Maung kemudian digantikan oleh Jenderal Than Shwe pada 21 April 1992. Bergantinya kekuasaan ke tangan Than Shwe tidak menjamin Myanmar lebih dekat dengan jalan demokrasi. Jenderal Than Shwe menjalankan kekuasan berdampingan dengan Jenderal Khin Nyunt. Pada masa pemerintahannya, Jenderal Than Shwe telah mencabut Undang-Undang Darurat pada tanggal 26 September 1992. Tidak hanya itu, SLORC pun berjanji untuk tidak akan melakukan tindakan penekanan terhadap kaum minoritas seperti masa Jenderal Saw Maung.39

Tidak berbeda jauh dengan para pendahulunya, gaya pemerintahan represif dan otoriter pun telah menjadi pilihan bagi Jenderal Than Shwe, karena selama Than Shwe mengambil alih pemerintahan juga telah terjadi beberapa kebijakan yang menimbulkan masalah, diantaranya adalah : Menangkap, memenjarakan dan

38

Priyambudi Sulistiyanto, ”Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasi; Studi Perbandingan Thailand, Indonesia dan Burma”, Prisma LP3ES, No. 5 tahun XXVI, Mei-Juni 1997, h. 21-22.

39

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.88.


(40)

menyiksa para pendukung prodemokrasi. Melarang untuk berkumpul lebih dari 5 orang di malam hari bagi siapapun yang berada di Myanmar. Menaikkan Bahan Bakar Minyak sebesar 500%. Seluruh akses informasi keluar, baik jaringan internet maupun telepon diputus, serta melarang bepergian disekitar lima kuil Buddha utama.

Selain itu, dengan wataknya yang konservatif, Jenderal Than Shwe telah memberhentikan Jenderal Khin Nyunt yang dikenal lebih pragmatis yang masih melihat perlunya reformasi dan keterlibatan masyarakat internasional dalam proses demokrasi di negaranya. Terbukti dengan diluncurkannya Program ”Road Map to Democracy” oleh Jenderal Khin Nyunt pada 30 Agustus 2003,40 sesuai dengan tekadnya untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis.

Pada tanggal 15 November 1997, dibawah pemerintahan Jenderal Than Shwe SLORC merubah nama menjadi SPDC (State Peace and Development Council) namun tetap dengan karakteristik pemerintahan yang sama yaitu represif, otoriter dan totaliter. Penggantian ini ditunjukkan untuk menata kebijakan politik dan perekonomian guna mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, khususnya setelah Myanmar secara resmi diterima menjadi anggota penuh ASEAN. Dengan tetap menjalankan kebijakan sebelumnya, SPDC berusaha meningkatkan citra lain dengan membebaskan para tahanan politik yang dianggap tidak membahayakan keamanan nasional dan berjanji tidak akan memegang kekuasaan negara dalam jangka waktu lama, namun akan mengalihkan kekuasaan kepada sipil setelah konstitusi baru terbentuk.41 Akan tetapi, hal tersebut hanya

40

Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,

Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 57.

41

“Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”, Kedutaan Besar Republik Indonesia,Yangon,Edisi ke-2 2002, h. 73.


(41)

menjadi janji kosong SPDC karena nyatanya hingga kini peralihan kekuasaan kepada sipil tak kunjung dilaksanakan. Selain itu, pembebasan para tahanan politik sekedar tindakan sementara karena setelah para tahanan melakukan kegiatan diluar yang tidak disenangi militer, mereka menjadi tahanan politik kembali.

Fakta lain mengenai kerepresifan Jenderal Than Shwe dibawah naungan SPDC tampak dalam sikapnya menanggapi tekanan-tekanan internasional dengan meluncurkan statement mengenai persepsi pemerintahan Myanmar terhadap arti demokrasi. Melalui pernyataan ini, semakin menegaskan bahwa demokrasi di Myanmar berjalan lambat dan dominasi militer dalam pemerintahan akan semakin sulit dihilangkan. Pernyataan tersebut adalah :42

” Demokrasi harus didasarkan pada kepentingan umum dan bukan kepentingan sepihak. Termasuk pentingnya untuk tetap menjamin stabilitas keamanan domestik dan mencegah munculnya tindakan yang melawan hukum yang terpaksa akan dijawab dengan kekuatan militer”.

Dengan demikian, perhatian kepemimpinan militer Myanmar selama tiga generasi tidak menunjukkan perubahan secara signifikan. Janji militer untuk menjalankan demokrasi dan mengambalikan pemerintahan sipil tak kunjung dilaksanakan. Pengelolaan ekonomi negara pun hanya dipusatkan pada bisnis yang mengutamakan golongan militer dalam pemerintahan. Sehingga dapat dikatakan kapasitas militer Myanmar dalam mengendalikan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar sangat kuat.

42

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.88.


(42)

BABIII

Gerakan Perlawanan Prodemokrasi Terhadap Pemerintahan Militer

3.1 Aung San Suu Kyi Sebagai Aktor Demokrasi Myanmar

Daw Aung San Suu Kyi adalah salah satu tokoh prodemokrasi di Myanmar. Putri dari The Founding Father Myanmar Aung San ini telah menjadi tokoh pejuang demokrasi bagi rakyat Myanmar sejak tahun 1988. Sebagai putri dari pahlawan kemerdekan, Suu Kyi mewariskan keberanian orang tuanya dalam membela dan memajukan bangsanya sampai titik darah penghabisan. Gagasan-gagasan politiknya yang diperuntukan bagi perubahan negara tidak jarang menjadikan posisi militer terancam dan menyebabkan dirinya menjadi tahanan politik militer.

Kekacauan negara yang terjadi pada masa pemerintahan Ne Win, ketika rakyat merasakan perlunya kehidupan yang demokratis, mengakibatkan meledaknya gerakan demonstrasi besar-besaran disepanjang tahun 1988. Pengunduran diri Ne Win sebagai pemimpin yang diktator dan terjadinya aksi protes yang meluas di hampir seluruh wilayah Myanmar dan mengakibatkan terbunuhnya ribuan jiwa rakyat Myanmar, menjadi awal bagi Suu Kyi untuk segera melakukan perlawanan terhadap militer dan melakukan perubahan yang berhak didapatkan oleh rakyat Myanmar.

Menyadari betapa menderitanya rakyat Myanmar akibat kesewenang-wenangan pemerintahan militer membuat Suu Kyi memulai aksi politiknya. Aksi politik Aung San Suu Kyi untuk pertama kali dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1988 dengan melakukan pidato di lapangan depan Pagoda Shwedagon, Yangoon.


(43)

Dalam pidatonya Suu Kyi menegaskan tujuan perjuangan bersama adalah untuk mewujudkan pemerintahan multipartai yang demokratis, bukan referendum seperti yang ditawarkan pemerintah. Keberanian Suu Kyi menentang pemerintah militer diaplikasikan melalui pemikiran serta peran politiknya yang berlandaskan pada sistem demokrasi yang adil dan jujur. Ia juga tidak sepaham dengan militer yang lebih memilih politik isolasionis, sebaliknya ia lebih menginginkan Myanmar menjadi negara yang terbuka pada dunia luar dengan tetap menjaga budaya dan agama serta menghilangkan fanatisme sempit.43

Aung San Suu Kyi sangat lantang menyuarakan kebebasan dan demokrasi. Ia menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi ancaman dan menunjukkan bahwa dia tidak akan terintimidasi atau merasa takut. Itu merupakan gaya keberaniannya yang didukung oleh rakyat Myanmar yang menginginkannya untuk menjadi pemimpin.44 Sehingga perjuangan Aung San Suu Kyi tidak hanya dinilai oleh masyarakat Myanmar, masyarakat internasional juga memberi perhatian yang lebih terhadap perjuangannya. Berkat kegigihannya memperjuangkan demokrasi dan penegakkan hak asasi manusia, maka pada tanggal 4 November 1990 Aung San Suu Kyi dianugerahi Penghargaan HAM Thorolf Rafto. Pada 22 Januari 1991, ia kembali meraih penghargaan Sakharov tahun 1990 untuk kebebasan berfikir dari Parlemen Eropa. Di tahun yang sama ia mendapatkan Nobel Perdamaian dari Presiden Czechoslovakia, Vaclav Havel.45 Terakhir, ikon demokrasi Myanmar ini

43

Agus Budi Rahmanto, “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, h. 32-34.

44

Josef Silverstein, ”The Idea of Freedom in Burma and the Political Thought of Daw Aung San Suu Kyi”, Pacific Affairs, Vol. 69 No. 2 Summer 1996, h. 226.

45

Mya Maung, “Totalitarian in Burma, Prospect for Economic Development”, Paragon House, New York, 1992, h. 164.


(44)

menerima Simon Bolivar Prize untuk kebebasan pada tahun 1992. 46 Dalam

Thorolf Rafto Human Rights Prize, Komite Internasional mendeskripsikan Aung San Suu Kyi sebagai berikut :

”Daw Aug San Suu Kyi personified Burma’s movement for democracy. Through her courageous and devoted work for human rights and democracy, Daw Aung San Suu kyi has become the focal point of the Burmese opposition demanding an end to the iron-fisted military rule in the country, restoration of fundamental human rights and democracy. In this dark period of the history of Burma, Daw Aung San Suu Kyi has earned enormous respect both from her fellow-citizens and from the international human rights community’’.47

Sejak keterlibatannya dalam NLD sebagai sekertaris jenderal, Suu Kyi mulai berjuang atas nama partai. National League for Democracy (NLD) berdiri dengan tujuan menciptakan pemerintahan yang demokratis dengan cara mengusahakan perubahan sosial dan politik yang terjamin perdamaian, HAM dan kesejahteraan.48 Suu Kyi dan NLD mulai mendapat perhatian rakyat Myanmar akibat tujuannya untuk memberikan angin demokrasi yang selama ini tidak dipenuhi oleh pemerintahan militer. Perjuangan tokoh-tokoh demokrasi di dalam NLD menjadikan NLD sebagai partai paling populer di Myanmar. Namun kediktatoran militer menjadi tembok penghalang yang sangat kuat bagi NLD dalam usaha mencapai tujuannya.

Menghadapi penyelenggaraan pemilu multipartai tahun 1990, tokoh-tokoh NLD menyusun strategi untuk mencapai sasarannya menciptakan Myanmar sebagai negara demokrasi. Namun berkaitan dengan pernyataan Aung San Suu

46

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.86.

47

Mya Maung, Op.Cit., h. 137-138.

48

Agus Budi Rahmanto, “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, h. 35.


(45)

Kyi dalam sebuah wawancara pada masa kampanye bahwa ia dan partainya akan menyerukan boikot nasional terhadap proses ekonomi, maka Suu Kyi, Kyi Maung dan Tin Oo selaku pemimpin NLD ditangkap dan dikenakan tahanan rumah oleh pemerintah militer pada 29 Juli 1989.49 Dengan kenyataan Aung San Suu Kyi menjadi tahanan rumah, pemerintahan militer pernah menolak Suu Kyi dan Tin Oo mewakili distrik Yangoon. Terlebih Suu Kyi dianggap tidak layak menjadi wakil rakyat disebabkan latar belakang kehidupannya yang lama menetap di luar negeri dan menikah dengan warga negara asing.50 Menanggapi hal tersebut Aung San Suu Kyi dalam pidatonya mengatakan :

"Saya percaya bahwa semua orang yang telah berkumpul di sini tanpa terkecuali datang dengan keinginan yang tak tergoyahkan untuk memperjuangkan dan memenangkan sistem multipartai yang demokratis. Dalam hubungan ini, saya ingin menjelaskan bagian yang telah saya lakukan dalam gerakan ini. Hal ini diperlukan karena cukup banyak orang yang tidak mengetahui sejarah kehidupan saya ... Memang benar bahwa saya telah tinggal di luar negeri. Benar juga bahwa saya menikah dengan orang asing. Fakta-fakta ini tidak pernah dan tidak akan mengganggu atau mengurangi cinta dan pengabdian saya untuk negara oleh ukuran atau derajat apa pun".51

Tindakan SLORC menurunkan popularitas NLD agar tidak mendapatkan suara mayoritas dalam pemilu menjadi usaha yang sia-sia. Kenyataannya, hasil pemilu diluar prediksi pemerintahan militer dalam naungan SLORC. NLD menjadi pemenang, tetapi kemenangan tersebut tidak diakui SLORC dengan berbagai alasan. Tidak hanya itu, sejumlah besar anggota NLD pun menjadi tahanan politik.

49

”The New ASEANs: Vietnam, Burma, Cambodia & Laos”. Department of Foreign Affairs and Trade Commonwealth of Australia, 1997, h. 110.

50

Aung San Suu Kyi menikah dengan seorang ilmuwan ahli masalah Tibet berkebangsaan Inggris, Michael Aris.

51

Mya Maung, Totalitarian in Burma, Prospect for Economic Development, Paragon House, New York, 1992, h. 145-146.


(46)

Keadaan negara sedikit berubah ketika Jenderal Saw Maung mengundurkan diri. Tahta pemerintahan berpindah pada Jenderal Than Shwe dan Jenderal Khin Nyunt. Watak Khin Nyunt yang lebih pragmatis membuat Khin Nyunt memiliki inisiatif untuk melakukan pertemuan dengan Suu Kyi dan tokoh NLD lainnya. Hasil pertemuan ini berdampak pada dibebaskannya para tahanan politik termasuk Suu Kyi pada 10 Juli 1995. Suu Kyi diperbolehkan melakukan aktifitas kembali namun tetap berada di bawah kepemimpinan Aung Shwe yang merupakan anggota militer yang ditunjuk SLORC.52

Kebebasan yang dirasakan aktor-aktor demokrasi hanya sementara. Setelah Jenderal Khin Nyunt digantikan oleh Jenderal Than Shwe yang merupakan Jenderal bersifat konservatif telah menjadikan Suu Kyi dan tokoh-tokoh NLD lainnya sebagai tahanan rumah. NLD dan Suu Kyi yang dinilai sebagai ancaman bagi supremasi militer menjadikan mereka kembali berstatus sebagai tahanan rumah sejak 30 Mei 2003. Mengenai penahan kali ini seharusnya Suu Kyi dibebaskan pada bulan Mei 2009. Namun ternyata, intrusi yang dilakukan seorang warga negara Amerika Serikat bernama Yettaw ke rumah Suu Kyi, menjadi alasan bagi militer untuk mengadili hal tersebut. Pengadilan kemudian memutuskan hukuman penjara bagi Suu Kyi selama 18 bulan setelah adanya perintah keringanan dari Jenderal Than Shwe dengan alasan menjaga kestabilan dan perdamaian di Myanmar.53

Pertentangan antara sipil dan militer serta keadaan negara yang semakin tak terkendali, menjadikan Suu kyi menawarkan penyelesaian secara damai

52

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.88.

53

Alexandra Retno Wulan, ”Terorisme, Perkembangan Politik di Myanmar dan Pemilu di tiga Negara”, Analisis CSIS, Vol. 38 No. 3 September 2009, h. 356.


(47)

dengan pihak militer. Penyelesaian melalui jalan diskusi atau dialog telah diupayakan oleh Suu Kyi sejak lama, tetapi kenyataannya cara ini pun tak lantas diindahkan oleh pemerintah militer. Aung San Suu Kyi percaya bahwa penyelesaian atas semua masalah perbedaan yang terjadi di Myanmar dapat dicapai melalui diskusi atau dialog.

”Saya selalu meminta dialog...Tetapi dialog tanpa perdebatan. Akan ada perbedaan pendapat dan cara berfikir. Dialog tidak melibatkan pemenang dan pecundang. Ini bukan sebuah pertanyaan tentang kehilangan muka. Ini mengenai penemuan solusi yang terbaik untuk negara”.54

Sosok Aung San Suu Kyi telah menjadi kekuatan pokok dalam perjuangan demokrasi Myanmar. Berkat perjuangannya, kini NLD menjadi partai paling populer di Myanmar. Akan tetapi, kekuatan Suu Kyi dan NLD tidak mampu membendung otoritas militer. Kenyataan ini semakin membuat lambatnya proses demokrasi dan bukan tidak mungkin dapat membuat kekuasaan militer di Myanmar mendapatkan waktu yang lebih lama lagi.

3.2 Pemilihan Umum Multipartai Tahun 1990

Penyelenggaraan pemilu multipartai telah direncanakan sejak Myanmar dikuasai oleh Jenderal Saw Maung. Dalam pemilu untuk memilih anggota Parlemen (Pyithu Hluttaw) ini tetap memberlakukan Undang-Undang Darurat

(Martial Law) dan dimaksudkan untuk mempertahankan eksistensi SLORC. Sebenarnya banyak tokoh oposisi yang meragukan pemilu ini dapat berjalan dengan jujur. Terlebih pemerintah militer telah menampakkan kecurangannya beberapa hari menjelang pemilu dengan menangkap beberapa tokoh oposisi di

54

Josef Silverstein,”The Idea of Freedom in Burma and the Political Thought of Daw Aung San Suu Kyi”, Pacific Affairs, Vol. 69 No. 2 Summer 1996, h. 227.


(48)

Yangoon. Sehingga banyak tokoh oposisi awalnya enggan untuk mengikuti pemilu. Menanggapi hal tersebut, Saw Maung mengeluarkan pernyataan bahwa Pemilu ini merupakan momentum penting yang merupakan perwujudan dari tuntutan rakyat untuk memperbaiki politik. Seperti yang dikatakannya dalam rapat koordinasi SLORC tanggal 10 Januari 1990:55

”The reason way of Rule of Law and Order, and the prevalence of peace and tranquility is being given so much emphasis is because the Pyithu Hluttaw (People’s Assembly) election to be held this year is not an Ordinary one. It is an election of historic significance, a veritable milestone in the annals of history marking the change from one system to another and turning point in our history it self”.

Pemerintahan militer memberikan waktu bagi setiap partai untuk mendaftar menjadi peserta pemilu di mulai dari tanggal 17 September hingga 28 Februari 1989. Dalam pendaftaran ini terdapat 2.209 kandidat dari 93 partai dan 87 partai independen untuk memperebutkan 492 Pyithu Hluttaw.56 Namun akhirnya hanya tujuh partai politik yang diakui oleh pemerintah memenuhi persyaratan dan memiliki pengikut yang banyak, partai-partai tersebut adalah :57

1. National Unity Party. Merupakan nama baru untuk BSPP yang secara resmi dikukuhkan pemerintah tanggal 14 Oktober 1988 dengan ketua Than Kyaw dan didampingi oleh 14 komite sentral yang baru.

2. National League for Democracy. Partai oposisi yang terdaftar pada tanggal 30 September 1988 dipimpin oleh Aung Gyi, Tin Oo sebagai wakil ketua dan Aung San Suu Kyi sebagai sekertaris jenderal.

55

Agus Budi Rahmanto, “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, h. 67-68.

56

Mya Maung, “Totalitarian in Burma, Prospect for Economic Development”, Paragon House, New York, 1992, h. 181.

57


(1)

TRANSKIP WAWANCARA

Nama : Drs. Ade Padmo Sarwono, MA

Jabatan : Direktur Politik dan Keamanan ASEAN Waktu : 3 Agustus 2010, pukul 15.15 – 15.39 WIB

Tempat Wawancara : Direktorat Politik dan Keamanan ASEAN, Deplu RI, Jakarta

1. Mengenai peran ASEAN dalam mengupayakan demokrasi di Myanmar. Diketahui perannya memang sudah cukup banyak tetapi tidak dapat dipungkiri juga terdapat hambatan-hambatan. Bagaimana tanggapan Bapak mengenai hambatan-hambatan tersebut?

Jawab

Jadi pertama yang saya lihat terlebih dahulu adalah latar belakang permasalahan. Ketika ASEAN sekitar tahun 2000an kalau tidak salah, ASEAN menyatakan konsen terhadap masalah Myanmar. Kemudian Myanmar menyampaikan akan melaksanakan ”Road Map” untuk menuju demokrasi. Jadi intinya untuk pertama ini akan saya sampaikan bahwa proses demokrasi yang dilakukan Myanmar itu sebenarnya usul dari mereka sendiri, kita tidak memaksakan Myanmar untuk mengikuti kemauan kita, mereka sendiri yang mempersiapkan demokrasi termasuk membuat konstitusi, referendum, dan yang terakhir adalah pemilu. Disini peran apa yang mesti dilakukan ASEAN, pertama bahwa ASEAN itu pendekatannya ”constructive engagement”, kita melakukan dialog-dialog karena isolasi dan sanksi tidak berdampak signifikan. Setelah beberapa tahun kita melakukan ”constructive engagement” memang bisa juga dikatakan seperti yang dikatakan Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda bahwa ”constructive engagement” memang tidak 100% berhasil tetapi isolasi dan sanksi juga tidak berhasil. Sementara sesuai pandangan ASEAN, kalau melakukan isolasi sanksi itu yang tersiksa rakyatnya. Oleh karena itu, kita mencoba meyakinkan negara-negara Barat lebih baik menggunakan cara dialog. ASEAN boleh dikatakan cukup berhasil justru meyakinkan negara-negara Barat, ketika Amerika bersedia berdialog


(2)

dengan Myanmar yang sebelumnya Amerika tidak mau berdialog. Selain itu, kita juga berhasil meyakinkan Myanmar untuk melakukan hubungan dengan masyarakat internasional. Disatu sisi ini merupakan suatu keberhasilan ASEAN dalam membuka ruang untuk berdialog diantara Myanmar dengan masyarakat internasional. Namun, kita belum berhasil meyakinkan Myanmar terkait dengan pengharapan kita mengenai proses demokrasi yang melibatkan semua pihak, tentunya yang kita maksud dengan semua pihak salah satunya adalah keterlibatan Aung San Suu Kyi, itu yang kita katakan belum berhasil. Tapi disisi lain kita juga mencatat ada kemajuan bahwa mereka sudah mau melaksanakan pemilu, seperti yang kita tahu pemilu terakhir yang dilakukan tahun 1990 jadi sudah hampir 20 tahun Myanmar tidak melaksanakan pemilu. Memang, demokrasi bukan semata-mata dilihat dari pemilu tapi setidak-tidaknya ini adalah langkah awal yang perlu kita perlihatkan, namun kita juga tidak bisa memaksakan Myanmar akan tetapi kalau bisa berlaku transparant. Kalau dilihat dari berhasil atau tidaknya, kalau dikatakan berhasil 100% ya tentu tidak, tapi disisi lain kita sudah meyakinkan untuk melaksanakan pemilu sesuai dengan langkah-langkahnya. Kita hanya mengawasi pelaksanaan ”road map to democracy” apakah sesuai dengan langkah-langkahnya karena itu adalah kemauan Myanmar sendiri, tanpa adanya pressure dari ASEAN. Sesuai dengan komitmen Myanmar untuk melaksanakan pemilu maka ASEAN bertugas untuk membantu pelaksanan pemilu tersebut tentunya berdasarkan instruksi dari mereka, seperti misalnya begini ’kamu kan sudah berkeinginan untuk menuju proses demokrasi, apa langkah-langkahnya, oleh sebab itu jalankan prosesnya berdasarkan langkah-langkah tersebut dan kita akan mengawasi jalannya langkah-langkah tersebut, jika kalian butuh bantuan maka tentu kita akan membantu tapi jelaskan apa yang harus kita bantu’. Keberhasilan ASEAN bisa dikatakan dalam artian kita bisa meyakinkan Myanmar untuk melaksanakan ”Road Map to Democracy”, tetapi meyakinkan Myanmar untuk melibatkan semua pihak, itu belum berhasil. 2. Mengenai prinsip non-interference yang dipandang oleh beberapa pemerhati

ASEAN sebagai batu penghalang, bagaimana pendapat ASEAN mengenai masalah tersebut?


(3)

Jawab

Memang dari beberapa kutipan mengatakan bahwa yang menjadi penghalang adalah prinsip non-interference, tetapi sebetulnya prinsip itu bukan penghalang. Kalau kita memang benar-benar menerapkan prinsip non-interference, kita sama sekali tidak akan komentar karena dalam diplomasi itu apapun kamu bicara tentang situasi dalam negeri sebuah negara itu sudah masuk dalam bentuk intervensi. ASEAN bisa menyampaikan dalam forum resmi ASEAN itu juga sudah bentuk intervensi.

3. Jadi dengan kata lain berarti benar bahwa prinsip non-interference tidak absolute?

Jawab

Benar, tidak absolute. Sebetulnya prinsip non-interference ASEAN tidak absolute. Kita juga tidak mau jika ada kebijakan yang kita ambil yang tidak baik kemudian dikritik karena itu sudah masuk dalam bentuk intervensi. Negara manapun termasuk Amerika juga tidak mau diperlakukan seperti itu. Sebetulnya yang dimaksud dengan intervensi adalah keterlibatan yang lebih langgeng contohnya seperti mendanai kelompok separatis di negara lain, mengangkat isu suatu negara dalam forum internasional, itulah macam-macam bentuk intervensi. Yang ingin saya katakan bahwa prinsip non-interference itu bukan suatu yang sakral, sementara secara gradual prinsip ASEAN itu sudah lues, dan prinsip ini juga sebetulnya ada dalam PBB dalam UN Charter. Intinya prinsip non-interference tetap kita pegang, namun penerapannya sudah agak flexible, contoh berikutnya seperti permasalahan yang terjadi di Thailand, ASEAN sudah cukup lama akhirnya mengeluarkan statement mengenai situasi di Thailand yang sebetulnya hal itu sudah bertentangan dengan prinsip non-interference. Sebenarnya prinsip ini untuk negara adalah penting, apalagi untuk negara-negara Asia Tenggara yang belum semuanya dewasa. Sehingga prinsip ini sangat penting untuk menjaga negara-negara anggota agar jangan sampai di intervensi masyarakat luar.


(4)

4. Melihat kekerasan sikap pemerintah militer dan lemahnya posisi pihak oposisi. Menurut pengamatan ASEAN bagaimana prospek kehidupan demokrasi di Myanmar? Apakah Myanmar dapat menjadi negara demokrasi? Jawab

Ini memang tantangan yang berat, militer Myanmar sangat kuat sekali. Waktu itu saya sempat bertemu dengan salah satu kelompok yang aktif, saya tanya ada tidak di militer yang progresif, saya rasa militer Myanmar sangat kuat sekali karena yang progresif itu langsung dipenjarakan. Tapi disisi lain, oposisinya itu memang lemah karena problemnya, melihat kasus Myanmar ini problemnya sangat kompleks, mereka juga memiliki problem etnis. Etnisnya itu seperti Kayin yang dekat dengan Cina, ada yang lebih dekat dengan Thailand, ada yang lebih dekat ke India. Ada juga masalah drugs, ini menjadikan problem di Myanmar sangat kompleks sekali. Disamping itu, kita juga khawatir kalau misalnya demokrasi yang tidak terkontrol bisa menjadikan Myanmar terpecah belah, dan interest atau kepentingan Cina dan India menjadikan Myanmar membutuhkan suatu militer tetapi tentu juga kita tidak ingin militer yang terlalu otoriter, tapi yang memberikan sedikit kekuasaan bagi masyarakat teritori. Jika terjadi apa-apa, yang pertama kali merasakan dampaknya adalah negara-negara ASEAN ya tentunya juga negara-negara Cina, India, Bangladesh bukan negara-negara Eropa ataupun Amerika, kita yang terkena damapaknya, seperti contohnya masalah pengungsi. Yang kita inginkan adalah adanya stabilitas di Myanmar karena jika tidak stabil dampaknya akan ke kita juga. Itulah intinya, memang negara yang kuat sipilnya juga harus kuat, sedangkan di Myanmar sipilnya terutama figurenya tidak ada yang kuat kecuali Aung San Suu Kyi. Jika pemilu sukses kita mengusulkan figure yang tentunya intelektual dan demokratis.

5. Mengenai pemilu untuk tahun 2010, kita ketahui NLD sudah tidak terdaftar sebagai partai dalam pemilu 2010, sedangkan oposisi yang paling kuat adalah NLD. Berdasarkan kenyataan tersebut, bagaimana prospek demokrasi Myanmar menurut Bapak?


(5)

NLD sebetulnya kan sudah pecah antara generasi tua dan generasi muda. Generasi tua masih tidak percaya dengan pemerintah karena adanya traumatik pada pemilu 1990. Sedangkan generasi muda membuat partai baru, kalau tidak salah NLF karena yang muda-muda ini belum memiliki pengalaman berpartisipasi dalam politik, sehingga mereka berkeinginan kuat untuk mengikuti pemilu 2010. Meskipun mereka mengetahui tantangannya berat, kemungkinan tidak kredibel, atau kemungkinan pemerintahannya akan represif, tetapi mereka merasa harus mengalami pemilu tersebut. Jadi harapan kita, siapa tahu dari generasi muda ini muncul public figure dan masyarakat Myanmar menaruh kepercayaan terhadap generasi muda itu. Disinilah tentunya harapan kita dari pemilu yang akan datang, setidak-tidaknya ada partai diluar pemerintahan yang bisa masuk dalam parlemen, ini suatu proses pembelajaran mereka untuk menuju demokrasi dan nantinya harapan kita akan muncul figure yang menjadi pemimpin Myanmar. Dengan demikian, walaupun NLD tidak ikut at least ada partai lain diluar pemerintah yang ikut, itu cukup merepresentasikan wakil rakyat.

6. Jika ternyata hasil dari pemilu tahun 2010 sama dengan pemilu 1990, militer tidak mengakui kemenangan oposisi. Apakah mungkin Myanmar akan dikeluarkan dari ASEAN?

Jawab

Saya tidak bisa memprediksikan hal ini, tetapi pandangan saya pribadi, pertama terkait dengan isu expulsion atau pengeluaran itu nampaknya tidak mungkin, karena apa?, karena di Piagam ASEAN tidak ada pasal aturan mengenai expulsion, dan itu di UE pun tidak ada, dan apakah ada sanksi?, saya hanya bisa menjawab mungkin ada sanksi, tetapi sanksi seperti apa saya juga kurang tahu bentuknya, dan bagaimana tanggapan ASEAN nantinya ketika hal itu terjadi, saya juga belum bisa memastikan apa yang akan dilakukan karena saya juga belum tahu. Tetapi setidak-tidaknya apakah menjadi pembahasan?, itu jelas iya, kenapa?, ini sekali lagi bukan intervensi tapi sebagai negara yang sudah meratifikasi Piagam ASEAN itu kan ada di prinsip-prinsipnya untuk menjunjung tinggi rule of law dan constitutional


(6)

government. Jadi yang kita harapkan adalah pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Jadi kalau masalah pengeluaran itu kan tidak sesuai dengan Piagam ASEAN, nanti apakah jadi pembahasan di ASEAN, iya. Tetapi apa langkah-langkah yang akan di ambil saya juga kurang tahu. Yang jelas tidak ada expulsion karena expulsion tidak menguntungkan siapapun.

Jakarta, 14 Agustus 2010

Drs. Ade Padmo Sarwono, MA Direktur Politik dan Keamanan ASEAN