Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

ditangkap dan dikenakan tahanan rumah oleh pemerintah Myanmar pada 29 Juli 1989. 6 Jenderal Saw Maung mundur dari pemerintahan dan digantikan oleh Jenderal Than Shwe. Pada masa pemerintahannya, ia telah mencabut UU Darurat pada 26 September 1992. Sedangkan pada tahun 1997, SLORC berganti nama menjadi SPDC The State Peace and Development Council dengan karakteristik pemerintahan yang sama yaitu otoriter, represif dan totaliter. Pengelakan hasil pemilu dan pengambilalihan kekuasaan atas sipil dilakukan militer dikarenakan militer menganggap bahwa kelompok prodemokrasi merupakan ancaman bagi supremasi pihak militer. Masalah yang terjadi dalam pemerintahan Myanmar menyita perhatian masyarakat internasional. Penyebab awal timbulnya perhatian internasional adalah sejak adanya tindakan pemerintahan junta yang menindas keras para demonstran yang beraksi menentang pemerintahannya. Rakyat Myanmar yang melakukan aksi protes menuntut pemerintahan junta untuk segera menjalankan sistem demokrasi, menghormati hak asasi manusia dan membebaskan aktor-aktor prodemokrasi. Kebijakan–kebijakan yang dijalankan oleh junta telah memiskinkan negara dan dari kebijakan tersebut terlihat jelas bahwa pemerintahan junta telah mengabaikan hak-hak masyarakat Myanmar. Masalah Myanmar telah menjadi tantangan bagi keamanan dan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan telah memberikan tantangan bagi ASEAN dalam hal membangun kepercayaan terhadap masyarakat internasional. 6 Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h. 86. Kebijakan domestik Junta juga telah menciptakan kondisi yang mengancam ketidakstabilan wilayah Asia Tenggara yang berujung pada kesinisan sikap internasional. Ketidakmampuan ASEAN membuat Myanmar untuk lebih bersikap terbuka dan memperbaiki kebijakan domestiknya akan memperkuat pandangan masyarakat internasional bahwa ASEAN tidak memainkan perannya secara penuh dalam wilayah Asia Tenggara. 7 Proses percobaan mempengaruhi Junta agar melakukan perubahan telah dilakukan oleh ASEAN dan PBB. Dengan melakukan misi kunjungan kenegaraan ASEAN telah diwakili oleh beberapa utusan dari negara-negara pendiri ASEAN yang bertugas untuk menyampaikan pandangan ASEAN tentang pentingnya percepatan proses rekonsiliasi nasional Myanmar. 8 Akan tetapi, dalam upaya itu tidak jarang Junta militer menolak dengan tegas misi kunjungan kenegaran tersebut. Dengan prinsip non-interference yang dipegang teguh ASEAN yang telah disepakati bersama, maka ASEAN tidak dapat bertindak lebih tegas dalam menghadapi kekerasan sikap Junta militer Myanmar. Selain itu, dengan pendekatan konstruktif yang dilakukan oleh ASEAN diasumsikan telah membuat sikap Junta sedikit melunak. Hal ini terlihat pada rencana junta untuk menjalankan referendum konstitusi baru yang diikuti dengan Pemilihan Umum tahun 2010. Sebagai bagian dari rencana ini, Myanmar telah menyiapkan 7 langkah “Road Map to Democracy”. Namun, rencana ini tidak cukup untuk perubahan politik Myanmar karena Junta militer setengah hati untuk menganut sistem tersebut. Hal ini didasarkan pada peraturan pemerintah militer 7 Sam Polk, ‘’Burma’s Crisis and Indonesia’s Opportunity”, The Indonesian Quarterly, Vol. 36 No. 1, First Quarter 2008, h. 94-95. 8 Fautinus Andrea, “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur: ASEAN, Myanmar dan Krisis Semenanjung Korea”, Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 186. yang mengatakan bahwa dalam konstitusi tersebut junta tetap menolak kesempatan partisipasi dalam sistem politik bagi Aung San Suu Kyi. 9 Jika Myanmar tidak sungguh-sungguh dalam implementasi proses demokratisasi, maka dampak yang ditimbulkannya akan mempengaruhi kredibilitas dan integritas ASEAN secara keseluruhan. Karenanya, Myanmar perlu memperlihatkan bukti nyata bahwa mereka tengah bergerak kearah demokrasi. 10 Dengan demikian, kerjasama yang baik antara ASEAN dan militer Myanmar dalam menciptakan kehidupan demokratis yang kondusif di Myanmar adalah sangat diperlukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik suatu permasalahan yaitu : 1. Bagaimana peran ASEAN dalam menciptakan kehidupan demokrasi di Myanmar? 2. Hambatan apa yang dihadapi ASEAN dalam mendorong pemerintahan militer Myanmar agar menegakkan demokrasi?

1.3 Tinjauan Pustaka

Setelah membuka daftar skripsi tahun sebelumnya maka dapat disimpulkan belum ada skripsi sebelumnya yang membahas mengenai Peranan ASEAN Mendorong Pemerintahan Militer dalam Menegakkan Demokrasi di 9 Sam Polk, Op.Cit., h. 73. 10 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian, Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 57. Myanmar. Penulisan-penulisan sebelumnya yang membahas mengenai ASEAN dan Permasalahan Myanmar adalah : 1. Agus Budi Rachmanto, Program Studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002. “Tantangan Gerakan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National League for Democracy NLD”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian tersebut menghasilkan fokus pembahasan mengenai tantangan terbesar yang dihadapi gerakan demokratisasi di Myanmar yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi sejak tahun 1988 yaitu munculnya militer yang memiliki sifat dan karakteristik yang otoriter, yang bermakna bahwa militer Myanmar mempunyai kecenderungan untuk menguasai pemerintahan dengan cara menggulingkan pemerintahan sipil. Strategi yang ditawarkan untuk terciptanya tatanan politik yang demokratis di Myanmar adalah penghapusan sifat dan karakteristik otoritarianisme yang melekat dalam Junta militer. Selama militer Myanmar masih otoriter, maka tidak mungkin demokrasi akan terwujud, sehingga militer otoriter harus diubah menjadi profesionalisme. 2. M.Adian Firnas, Program Studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000. ”Militer dan Kekuasaan : Suatu Studi Terhadap Upaya-Upaya Militer Myanmar Mempertahankan Kekuasaanya dalam Sistem Politik Myanmar”. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Fokus dari penelitian tersebut adalah faktor kebertahanan rezim militer Myanmar 6 ditengah desakan masyarakat internasional. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kebertahanan rezim militer Myanmar disebabkan oleh kemampuan militer untuk melemahkan kekuatan oposisi yang dilakukan dengan cara mengisolasi negaranya dari percaturan internasional, melakukan tindakan represif terhadap kekuatan demokrasi, membekukan kegiatan politik dan mengontrol media massa. Disamping itu, kekuatan hubungan korporat militer sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan ekonomi negara menjadi penyebab kedua kebertahanan rezim militer Myanmar. 3. Wahono, Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2005. ”Kebertahanan Pemerintahan Junta Militer Myanmar Menghadapi Oposisi, Tekanan Asing dan Gerakan-Gerakan Perlawanan”. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, maka penelitian tersebut menghasilkan faktor-faktor penentu bertahannya pemerintahan militer Myanmar, yaitu : loyalitas korporat militer, pengendalian oposisi yang ketat melalui pengendalian partai politik dan insurjen bersenjata, tekanan luar negeri yang mengendur dan survival strategy. 4. Triyogo Puspito Adi, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001. “Kepentingan Myanmar Menjadi Anggota ASEAN Periode 1988-1997”. Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa untuk meningkatkan volume perdagangan dengan negara-negara anggota ASEAN mendorong