ditengah desakan masyarakat internasional. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kebertahanan rezim militer Myanmar disebabkan oleh
kemampuan militer untuk melemahkan kekuatan oposisi yang dilakukan dengan cara mengisolasi negaranya dari percaturan internasional,
melakukan tindakan represif terhadap kekuatan demokrasi, membekukan kegiatan politik dan mengontrol media massa. Disamping itu, kekuatan
hubungan korporat militer sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan ekonomi negara menjadi penyebab kedua kebertahanan rezim militer
Myanmar. 3.
Wahono, Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2005.
”Kebertahanan Pemerintahan Junta Militer Myanmar Menghadapi Oposisi, Tekanan Asing dan Gerakan-Gerakan Perlawanan”. Dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif, maka penelitian tersebut menghasilkan faktor-faktor penentu bertahannya pemerintahan militer
Myanmar, yaitu : loyalitas korporat militer, pengendalian oposisi yang ketat melalui pengendalian partai politik dan insurjen bersenjata, tekanan
luar negeri yang mengendur dan survival strategy. 4.
Triyogo Puspito Adi, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001.
“Kepentingan Myanmar Menjadi Anggota ASEAN Periode 1988-1997”. Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif.
Penelitian tersebut menghasilkan bahwa untuk meningkatkan volume perdagangan dengan negara-negara anggota ASEAN mendorong
Myanmar untuk menjadi anggota ASEAN, dan untuk meningkatkan investasi dari ASEAN mendorong Myanmar untuk menjadi anggota
ASEAN. Selain itu, adanya dukungan ASEAN melalui kebijakan constructive engagement mendorong Myanmar untuk menjadi anggota
ASEAN. 5.
Dwi Wahyuni, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002.
“Efektifitas Kebijakan Constructive Engagement ASEAN Terhadap Myanmar 1992-2000. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian deskriptif kualitatif. Berdasarkan indikator yang ditawarkan maka hasil penelitian ini yaitu kebijakan constructive engagement ASEAN
tidak cukup efektif dalam membawa perubahan kebijakan dalam negeri Myanmar. Selain itu, kebijakan constructive engagement ASEAN tidak
mampu membuat keseimbangan dalam unsur tekanan dan akomodasi terhadap pemerintah Junta militer yang berkuasa di Myanmar.
Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah :
a. Penelitian ini menekankan pada peran ASEAN menciptakan demokrasi
pada negara anggotanya yang masih di kuasai oleh rezim militer. b.
Rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini sampai pada tahun 2010 karena pada tahun tersebut terdapat rencana pelaksanaan pemilihan
umum multipartai. 8
1.4 Kerangka Teori
Myanmar sebagai salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara resmi menjadi anggota organisasi regional ASEAN Association of
Southeast Asia Nation sejak tahun 1997 bersama dengan Laos. Berdasarkan kedekatan geografis dan kesadaran negara-negara anggota ASEAN mengenai
kerentanan kawasannya akan berbagai pengaruh dan kekuatan negara-negara besar, maka ASEAN menerima Myanmar menjadi anggotanya.
Sesuai dengan pemahaman regionalisme yang dikemukakan Louis Cantori dan Steven Spiegel bahwa konsep region memiliki arti dua atau lebih negara yang
saling berinteraksi dan memiliki kedekatan geografis, kesamaan etnis, bahasa, budaya, keterkaitan sosial dan sejarah serta perasaan identitas yang seringkali
meningkat disebabkan adanya aksi dan tindakan dari negara-negara diluar kawasan.
11
Pemahaman tentang regionalisme lebih lanjut dapat dijelaskan berdasaran empat fenomena yang dikemukakan oleh Andrew Hurrell, yaitu :
12
1. Tahap regionalisasi yang ditandai munculnya hubungan antar masyarakat di
kawasan secara spontan dan intensif yang didorong karena kedekatan wilayah.
2. Fenomena regional awareness yaitu proses regionalisme yang di dorong
dengan adanya kesadaran kesamaan identitas antar masyarakat di suatu
11
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, ”Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, h. 104.
12
Andrew Hurrel dan Louise Fawcett, ”Regionalism in World Politics : Regional Organization and International Order”, Oxford University Press, Oxford, 1995, h. 40-44, dalam
Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006,
h. 78.
kawasan sehingga menimbulkan keinginan untuk melakukan kerjasama secara intens.
3. Berkaitan dengan pembentukan institusi formal di tingkat kawasan atau
dalam bentuk forum kerjasama antar negara yang lebih didorong oleh kepentingan pemerintah negara-negara di kawasan untuk mengadakan
kerjasama secara formal yang disebut sebagai regional inter-state cooperation.
4. Tingkat yang paling advance dari proses regionalisme yaitu pembentukan
regional integration yang diwujudkan dalam bentuk organisasi supra- nasional.
Sebagai organisasi regional, ASEAN memiliki tanggung jawab yang besar untuk megupayakan pendekatan terhadap pemerintah Myanmar guna menegakkan
demokrasi. Dengan adanya upaya pelibatan pendekatan konstruktif yang dilakukan oleh ASEAN diharapkan dapat melunakkan sikap junta militer
dibandingkan dengan menggunakan pendekatan konfrontatif seperti yang dilakukan Barat. Peranan ASEAN dalam masalah Myanmar merupakan perilaku
politik yang tidak dapat dielakkan. Suatu organisasi memiliki struktur organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah disepakati bersama. Apabila suatu
struktur tersebut telah menjalankan fungsi-fungsinya, maka organisasi itu telah menjalankan peranan tertentu.
13
Sebagaimana dalam teori peranan ditegaskan bahwa perilaku politik adalah perilaku dalam menjalankan peranan politik. Teori ini beransumsi bahwa
sebagian besar perilaku politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap
13
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, h. 30.
peran yang kebetulan dipegang oleh aktor politik. Mengenai sumber munculnya harapan tersebut dapat berasal dari dua sumber : Pertama, harapan yang dimiliki
orang lain terhadap aktor politik. Kedua, harapan juga bisa muncul dari cara si pemegang peran menafsirkan peran yang dipegangnya, yaitu harapannya sendiri
tentang apa yang harus dan yang tidak boleh dilakukan, tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan. Sedangkan kegunaan teori peranan ini sebagai alat analisis,
untuk menjelaskan dan meramalkan perilaku politik. Peranan juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran.
14
Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan militer Myanmar begitu kuat memerintah di atas tekanan dunia internasional. Lalu
adakah kemungkinan bagi rezim militer Myanmar untuk mundur dari pemerintahan?. Untuk menjawab masalah tersebut, maka dibutuhkan variable
alasan mundurnya militer dari pemerintahan yang sangat penting untuk meneliti prospek pemerintahan Myanmar. Menurut Ulf Sundhaussen terdapat tiga alasan
militer mundur dalam pemerintahan, seperti :
15
Pertama, faktor eksternal militer yaitu adanya oposisi terhadap
keberlangsungan kekuasaannya. Contohnya dalam kasus Venezuela, oposisi terbukti mampu mendesak rezim tersebut untuk segera menjalankan demokrasi.
Perlawanan dan protes tebuka yang dilakukan oleh Accion Democratica dan partai-partai politik lain terhadap Jenderal Perez Jimenez telah berhasil membawa
negara itu menuju proses redemokratisasi kembali pada tahun 1958.
16
14
Ibid, h. 30-31.
15
Ulf Sundhaussen, ”Penarikan Militer dari Pemerintahan”, Prisma LP3ES, No.7 tahun XXIV Juli 1995, h. 60-61.
16
M. Adian Firnas, “Prospek Demokrasi di Myanmar”, Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, 2003, h. 135.