Penerapan Prinsip Hambatan ASEAN dalam Menegakkan Demokrasi di Myanmar
dengan alasan kemanusiaan.
114
Prinsip non-interference memang memiliki nilai positif untuk menghindari intervensi negara-negara lain. Namun
berdasarkan perkembangannya, nilai-nilai kemanusiaan merupaka hal yang tidak bisa dihiraukan.
Selaras dengan apa yang menjadi permasalahan di Myanmar, konflik internal Myanmar menjadikan posisi ASEAN menjadi sangat
dilematis. Di satu sisi ASEAN bersikukuh mempertahankan prinsip non- interference. Tetapi di sisi lain, perkembangan internasional kini telah
menuntut ASEAN untuk bersikap lebih realistis dan tegas terhadap Myanmar karena bagaimanapun masalah internal Myanmar jika tidak
segera menggunakan langkah konkrit akan mengancam kredibilitas ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara.
Bagi negara-negara anggota ASEAN, prinsip non-interference menjadi alasan untuk : berusaha agar tidak melakukan penilaian kritis
terhadap kebijakan pemerintah negara anggota terhadap rakyatnya masing- masing agar tidak menjadi penghalang bagi kelangsungan organisasional
ASEAN, mengingatkan negara anggota lain yang melanggar prinsip tersebut, menentang pemberian perlindungan bagi kelompok oposisi
negara lain, mendukung dan membantu negara anggota lain yang sedang menghadapi gerakan anti-kemapanan.
115
Berbeda dengan proses penyelesaian permasalahan demokrasi dan hak asasi manusia di Myanmar, prinsip non-interference telah menjadi
114
Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian, Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 59.
115
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.32.
salah satu sebab utama mengapa ASEAN tidak mampu memberi tindakan konkrit dalam menanggapi kekerasan sikap pemerintahan militer
Myanmar.
116
Meskipun ASEAN mengatakan bahwa prinsip intervensi bukan penghalang bagi ASEAN, setidaknya prinsip ini telah menjadikan
ASEAN melangkah dengan hati-hati dalam menyelesaikan masalah internal Myanmar sehingga proses rekonsiliasi di Myanmar berjalan
lambat. Namun demikian, kekerasan sifat junta militer yang telah
menjadikan ASEAN sebagai sandera politik Myanmar, membuat ASEAN geram dengan lambatnya proses rekonsiliasi nasional yang sudah
seharusnya segera dilakukan Myanmar. Menghadapi kekerasan sikap pemerintah militer Myanmar, ASEAN menunjukkan kelunakan prinsip
non-intervensinya. Mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh mantan Menlu RI Ali Alatas bahwa ” ASEAN memang menjunjung tinggi
prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota, tetapi hal itu sifatnya flexible”. Masalah di Myanmar tidak hanya telah memberikan
dampak regional tetapi juga berdampak internasional. Kenyatatan ini memaksa ASEAN terlibat dalam urusan internal Myanmar sehingga
memungkinkan ASEAN membicarakan masalah internal Myanmar secara terbuka. Hal ini mulai diterapkan ASEAN pada Pertemuan Para Menlu
ASEAN ASEAN Ministrial Meeting AMM di Phnom Phen Juni 2003.
117
116
Alexandra Retno Wulan, “Isu Myanmar, Semenanjung Korea dan Konflik Darfur”, Jurnal Analisis CSIS, Vol. 36 No. 4, 2007, h. 369.
117
Fautinus Andrea, “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur: ASEAN, Myanmar dan Krisis Semenanjung Korea”, Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 182.
Tindakan ASEAN membicarakan masalah internal Myanmar menjadi bukti bahwa ASEAN telah keluar dari tradisinya, karena dalam
prinsip tersebut negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk berusaha agar tidak melakukan penilaian kritis terhadap kebijakan pemerintah
negara anggota terhadap rakyatnya masing-masing agar tidak menjadi penghalang bagi kelangsungan organisasional ASEAN.
118
ASEAN memang tidak menggunakan cara konfrontatif dengan memberikan sanksi
tegas, bagi ASEAN membicarakan masalah internal negara anggotanya dalam suatu forum terbuka sudah merupakan perubahan yang sangat
berarti. Pendekatan konfrontatif yang dilakukan UE dan Amerika Serikat
tidak efektif karena tidak diiringi dengan dukungan yang setimpal dengan ASEAN. Beberapa pendapat mengatakan bahwa mungkin pendekatan
dengan menggunakan sanksi tegas akan berhasil jika ASEAN menanggalkan pendekatan ”contructive engagement” dan prinsip non-
interference.
119
Akan tetapi, hal demikian sulit terjadi mengingat pendekatan dan prinsip tersebut merupakan hal yang bersifat kekal bagi
ASEAN. Meskipun pelaksanaannya kini sudah flexible, nyatanya ASEAN belum dapat melakukan tindakan lebih tegas. ASEAN akan tetap memilih
silent diplomacy untuk mendorong reformasi politik di Myanmar. Sedangkan efektifitas pendekatan yang dilakukan ASEAN akan terjawab
118
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.32.
119
Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian, Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 74.
apabila Myanmar secara benar-benar serius melaksanakan pemilu 2010 dengan adil, jujur dan terbuka.