Kloramfenikol Terapi Demam Tifoid

15 bakteri dan transpeptidasi peptidoglikan, mengaktivasi enzim autolitik pada dinding sel bakteri sehingga menyebabkan dinding sel rusak dan bakteri akan mati. Obat ini melakukan penetrasi yang baik ke seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal dan bekerja membasmi bakteri gram negatif. 15 Dosis Seftriakson adalah 100 mgkgBBhari dibagi dalam 1 atau 2 dosis maksimal 4 grhari selama 5-7 hari sedangkan untuk Sefotaksim 150-200 mgkgBB hari selama 10 hari. 5 Dari hasil pencarian literatur oleh tim dokter dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia FKUI pemberian Seftriakson lebih dianjurkan dibandingkan pemberian Kloramfenikol karena terapi Kloramfenikol membutuhkan waktu selama 14 hari. Mengingat efek supresi terhadap sumsum tulang yang ditimbulkan oleh pemberian Kloramfenikol, selain itu sudah banyak kasus multidrugs resistance Salmonella typhi MDRST terhadap Kloramfenikol. Pada pemberian Seftriakson demam akan turun dan hasil kultur akan negatif pada hari keempat sehingga pengobatan dengan Seftriakson hanya membutuhkan waktu 5-10 hari saja sehingga akan menekan biaya pengobatan. 16

2.7.5 Fluorkuinolon

Fluorkuinolon bekerja sebagai antimikroba dengan menghambat topoisomerase II DNA girase dan topoisomerase IV bakteri sehingga sintesis protein terhambat. Bioavailabilitas dari obat ini mencapai 80-95 terdistribusi secara baik ke jaringan dan cairan tubuh setelah pemberian secara oral. Penyerapan obat yang diberikan secara intravena sama kadarnya dengan pemberian oral. Waktu paruh dari Fluorkuinolon berkisar 3-10 jam, diekskresikan sebagian besar lewat ginjal. 15 Untuk pengobatan demam tifoid Fluorquinolon diberkan 15 mgkgBB dalam sehari. Menurut WHO sampai saat ini Fluorquinolon masih memberikan hasil yang sangat baik untuk pengobatan demam tifoid pada dewasa, namun pada anak penggunaanya tidak dianjurkan karena efeknya dapat menyebabkan kerusakan pada sendi. 11 16

2.8 Penilaian Rasionalitas Pemberian Antibiotika

Terapi antibiotik berbeda dengan pemberian terapi farmakologi lain. Ada tiga aspek yang harus kita perhatikan yaitu karakteristik keadaan pasien, karakteristik antibiotika itu sendiri, dan mikroorganisme apa yang menginfeksi pasien. Dalam pemberian antibiotika haruslah sangat hati-hati karena hal yang paling ditakutkan adalah terjadinya resistensi terhadap antibiotik tersebut. Untuk menjaga keefektifan dari antibiotika tersebut maka kualitas pemberian antibiotika harus dimaksimalkan dan menghindari penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan aturan. Pemeberian antibiotika diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu : 1. Terapi Empirik yaitu pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi aktif tanpa mengetahui mikroorganisme yang menginfeksi. 2. Terapi Definitif yaitu pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi aktif yang sudah diketahui mikroorganisme penyebab infeksi tersebut. 3. Terapi Profilaksis yaitu pemberian antibiotika untuk mencegah kemungkinan infeksi yang bisa terjadi. 6 Rasionalitas pemberian antibiotika dapat dievaluasi dengan meperhatikan ketepatan indikasi terapi, efikasi, keamanan, kesesuaian, serta biaya terapi. Suatu peresepan antibiotika dikatakan tepat indikasi jika pasien sudah terdiagnosis pasti mengalami infeksi bakteri. Pertimbangan efikasi dari antibiotik dilihat dengan memperhatikan kerja obat serta farmakokinetik dan farmakodinamik dari antibotika yang akan dijadikan pilihan terapi. Kesesuaian terapi dinilai dengan memperhatikan dosis, rute pemberian obat, frekuensi pemberian obat, serta indikasi, dan kontraindikasi obat yang akan diberikan untuk pasien. Keamanan dinilai dengan melihat efeksamping yang akan ditimbulkan akibat terapi. Penilaian kefektifan biaya, dilakukan dengan melihat kesesuaian harga obat yang akan diberikan dengan kondisi pasien. 17 Untuk memudahkan mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotika, maka Gyseen dan timnya membuat sebuah alogaritma gambar tertera di lampiran yang mengadaptasi kriteria yang dibuat oleh Kunin sebelumnya. Setelah data dimasukan ke dalam alogaritma maka akan didapatkan hasil berupa pengkategorisasian mulai dari yang paling tidak rasional yaitu kategori VI sampai

Dokumen yang terkait

Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Sri Pamela PTPN 3 Tebing Tinggi Tahun 2004-2008

1 34 92

Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008

0 41 110

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Sayidiman Magetan Tahun 2014.

1 28 17

KAJIAN DOSIS PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI Kajian Dosis Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 1 10

KAJIAN DOSIS PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD “X” TAHUN 2011 Kajian Dosis Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 1 15

POTENSIAL INTERAKSI OBAT PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI Potensial Interaksi Obat Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 2 13

POTENSIAL INTERAKSI OBAT PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD “X” Potensial Interaksi Obat Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 2 13

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD dr. R. SOETRASNO REMBANG TAHUN 2010.

0 1 17

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TIFOID RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap di RSUD Dr. R.Goeteng Taroenadibrata Purbalingga Tahun 2010 Menggunakan Metode ATC/DDD.

0 4 15

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PADA PENGOBATAN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2013.

0 0 16