Profil pemberian antibiotika rasional pada pasien demam tifoid anak di bangsal rawat inap RSUD Tangerang Tahun 2010 dan 2011.

(1)

DI BANGSAL RAWAT INAP RSUD TANGERANG

TAHUN 2010- 2011

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Angelia Puspita

NIM : 109103000002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Puji dan syukur tidak henti-hentinya saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya saya bisa menyelesaikan penelitian dengan judul PROFIL PEMBERIAN ANTIBIOTIKA RASIONAL PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI BANGSAL RAWAT INAP RSUD TANGERANG TAHUN 2010-2011. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta para umatnya hingga akhir zaman. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dukungan, serta doa dari berbagai pihak saya akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan penelitian ini. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan penghargaan serta rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Prof. DR. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And sebagai Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syaruf Hidayatullah Jakarta.

3. dr. Riva Auda, Sp.A, M.Kes sebagai pembimbing I dan dr, Erike Anggraini Suwarsono, M.Pd yang telah meluangkan, membimbing, serta mengarahkan saya selama menjalankan proses penelitian.

4. Direktur serta semua staf bagian diklit dan rekam medis RSUD Tangerang yang sudah memberikan izin serta membantu saya untuk melakukan penelitian di RSUD Tangerang.

5. Kedua orang tua yang saya sayangi Ayahanda Muhammad Irwan Nasution, S.E dan Ibunda Henny, S.H, serta adikku tersayang Albert Shehaffudin Nasution atas semua kasih sayang, dukungan, serta doa yang tiada henti yang menjadi kekuatan serta semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.

6. Sahabat-sahabat seperjuangan kelompok riset Adi Heryadi, Adita Dianputra Kencana, dan Oktavia Utami atas semua bantuan, masukan, serta dukungan selama proses penelitian ini.

7. Sahabat-sahabat tersayang Dian Fithria Hidayaty, Eka Noviawati, Adinda Pramitra Permatasari, Rahmatul Fithriyanti, Adelita Tri Rahmawati, Reani


(6)

vi

8. Seluruh teman sejawat dan seperjuangan mahasiswa PSPD 2009 yang selalu bersama-sama dan bahu-membahu selama menyelesaikan pendidikan ini.

Akhir kata saya berharap semoga Allah senantiasa membalas semua kebaikan dari pihak-pihak yang telah membantu saya dalam melakukan penelitian ini. Semoga penelitian ini bisa memberikan manfaat dan sumbangsih bagi perkembangan ilmu terutama dalam ilmu kedokteran.

Ciputat, 18 September 2012


(7)

vii

rasional pada pasien demam tifoid anak di bangsal rawat inap RSUD Tangerang Tahun 2010 dan 2011.

Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri

Salmonella typhi sehingga tatalaksana utamanya adalah terapi antibiotika. Pemberian antibiotika harus serasional mungkin dengan memperhatikan efikasi, kesesuaian, keamanan, serta biaya terapi. Dampak terbesar dari pemberian antibiotika yang tidak rasional pada pasien demam tifoid adalah timbulnya multi drugs resistance Salmonella typhi (MDRST). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat rasionalitas pemberian antibiotika untuk pasien demam tifoid anak yang menjalani rawat inap di RSUD Tangerang. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan cross-sectional. Sampel diambil dengan metode

simple random sampling berjumlah 130 rekam medis. Data yang didapatkan kemudian dinilai tingkat rasionalitasnya menggunakan alogaritma Gyssen. Hasil menunjukan antibiotika yang paling banyak digunakan dokter untuk terapi demam tifoid adalah ceftriaxone yaitu 100 (76,9%) resep, kategori rasionalitas adalah sebanyak 44 (33,8%) resep termasuk katogori IIIb, 33 (25,4%) resep termasuk kategori I, 23 (17,7%) resep termasuk kategori V, 18 (13,8%) resep termasuk kategori IIa, dan 12 (9,2%) termasuk kategori IIb.

Kata kunci : Rasionalitas, antibiotika, demam tifoid

ABSTRACT

Angelia Puspita. Medical Study Programe. Profile of antibiotic rational administration in children with typhoid fever in Tangerang Distric Hospital 2010-2011.

Typhoid fever is a disease caused by infection Salmonella typhi with the main treatment is antibiotic therapy. Antibiotics should be given as rational as possible with look the efficacy, suitability, safety, and cost of therapy. The biggest impact of irrational antibiotic treatment in patients with typhoid fever is multi-drugs resistance Salmonella typhi (MDRST). The purpose of this study was to determine the rationality level of antibiotics for children with typhoid fever that hospitalized in Tangerang District Hospital. This is a descriptive study with cross-sectional design. Samples were taken by simple random sampling method amounted to 130 medical records. The rationality level of datas were assessed using Gyssen’s alogaritm. The results showed that the most widely used antibiotic for the treatment of typhoid fever is ceftriaxone with 100 (76.9%) prescriptions, the category of rationality is 44 (33.8%) prescriptions, including Categories IIIb, 33 (25.4%) prescriptions category I, 23 (17.7%) prescriptions category V, 18 (13.8%) prescriptions category IIa, and 12 (9.2%) IIb category.


(8)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1 Tujuan Umum ... 2

1.3.2 Tujuan Khusus ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Demam Tifoid ... 4

2.2 Epidemiologi Demam Tifoid ... 4

2.3 Etiologi Demam Tifoid ... 5

2.4 Patogenesis Demam Tifoid ... 6

2.5 Manifestasi Klinis Demam Tifoid ... 7

2.6 Penegakan Diagnosis Demam Tifoid ... 8

2.6.1 Kultur ... 9

2.6.2 Uji Serologis Widal ... 10

2.6.3 IDL Tubex ... 10

2.6.4 IgM Dipstick Test ... 11

2.7 Terapi Demam Tifoid ... 11

2.7.1 Kloramfenikol ... 12

2.7.2 Penisilin ... 13

2.7.3 Trimetoprim dan Sulfametoksazol (TMP-SMZ) ... 14

2.7.4 Sefalosporin Generasi Ketiga ... 15

2.7.5 Fluorkuinolon ... 15

2.8 Penilaian Rasionalitas Pemberian Antibiotika ... 16

2.9 Kerangka Konsep ... 19

2.10 Definisi Operasional ... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 22

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 22

3.3.1 Populasi Penelitian ... 22

3.3.2 Sampel Penelitian ... 22


(9)

ix

3.8 Rencana Pengolahan Data dan Analisis Statistik ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 26

4.2 Analisis Penggunaan Antibiotika ... 34

4.3 Keterbatasan Penelitian ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 39

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN ... 44


(10)

x

Tabel 2.1 Gejala Demam Tifoid ... 8

Tabel 2.2 Perbandingan Sensitivitas Kultur dari Berbagai Spesimen ... 9

Tabel 2.3 Pengobatan Demam Tifoid Tanpa Komplikasi ... 11

Tabel 2.4 Pengobatan Demam Tifoid Berat ... 12

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel ... 26

Tabel 4.2 Persentase Penggunaan Antibiotika ... 34


(11)

xi

Gambar 2.1 Alogaritma untuk Mengevaluasi Rasionalitas Pemberian Antibiotika...

43 Gambar 2.2 Kerangka Konsep... 18 Gambar 4.1 Karakteristik Jenis Kelamin Pasien Demam Tifoid Anak... 27 Gambar 4.2 Karakteristik Usia Pasien Demam Tifoid Anak... 28 Gambar 4.3 Karakteristik Unit Rawat Inap Pasien Demam Tifoid Anak... 30 Gambar 4.4 Karakteristik Lama Rawat Inap Pasien Demam Tifoid Anak.. 31 Gambar 4.5 Karakteristik Berat Badan Pasien Dema Tifoid Anak... 30 Gambar 4.6 Karakteristik Nilai IgM Antisalmonella Pada Pasien Demam

Tifoid Anak... 33 Gambar 4.7 Karakteristik Hasil Widal Pada Pasien Demam Tifoid Anak.. 33 Gambar 4.8 Jenis Antibiotika yang Digunakan Untuk Pasien Demam

Tifoid Anak... 34 Gambar 4.9 Tingkat Rasionalitas Pemberian Antibiotika untuk Pasien

Demam Tifoid Anak... 37


(12)

xii RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

MDRST : Multi Drugs Resistance Salmonella typhi

RS : Rumah Sakit

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

cAMP : Cyclic Adenosine Monophosphate

IgM : Imunoglobulin M

WHO : World Health Organization

PABA : P-amino Benzoat

TMP-SMZ : Trimetoprim-Sulfametoksazol AMR : Antimicrobial Resistance


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid yang biasa kita kenal juga dengan demam enterik merupakan sindrom klinis sistemik yang dihasilkan oleh infeksi organisme Salmonella typhi.1 Demam tifoid terutama muncul di negara-negara berkembang dengan tingkat sanitasi yang rendah. Salmonella typhi menginfeksi dan menyebabkan demam tifoid pada 21,6 juta orang di dunia dengan insiden 3,6 per 1.000 populasi dan menyebabkan kematian pada 200.000 orang setiap tahunnya.2

Angka kejadian demam tifoid di Indonesia masih tergolong tinggi bahkan Indonesia menyumbang 80% angka kejadian demam tifoid untuk dunia. Penyakit tersebut dihubungkan dengan higienitas individu yang kurang baik, sanitasi lingkungan yang buruk, ditambah lagi dengan pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) prevalensi demam tifoid mencapai 1,6 % di tahun 2007.3 Di tahun 2010 demam tifoid masih menduduki peringkat tiga dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia.4

Penatalaksanaan untuk demam tifoid ini terdiri dari istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, serta yang paling penting adalah terapi medikamentosa yaitu dengan pemberian antibiotika.5 Dalam penggunaannya, pemberian antibiotika berbeda dengan pemberian jenis obat-obatan yang lainnya, selain harus memperhatikan pasien dan obat kita juga harus memperhatikan karakteristik dari infeksi yang akan ditangani. Untuk mencapai tujuan terapi yang optimal antibiotika harus digunakan serasional mungkin. Penggunaan antibiotika yang rasional harus didasari dengan pemahaman terhadap beberapa aspek dari penyakit infeksi terkait dan memperhatikan beberapa faktor seperti ketahanan individu, virulensi, mikroorganisme serta farmakokinetik dan farmakodinamis dari antibiotika yang akan digunakan.6 Penggunaan antibiotika secara irasional tidak akan memperbaiki keadaan karena tujuan terapi yang optimal tidak akan tercapai, dapat menimbulkan resistensi, interaksi obat, efek samping, serta melonjaknya


(14)

biaya pengobatan.7 Dampak terbesar akibat penggunaan antibiotika yang tidak rasional adalah berkembangnya kuman-kuman resisten antibiotik.6

Kejadian Multi drugs resitance Salmonella typhi (MDRST) terutama terhadap ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol sedang menjadi masalah global pada saat ini. MDRST disebabkan karena pemberian antibiotika untuk penatalaksanaan tifoid yang tidak rasional.8 Melihat pentingnya pemberian antibiotika yang rasional terutama dalam hal ini untuk penatalaksanaan demam tifoid, maka diperlukan adanya suatu evaluasi terhadap peresepan antibiotika yang diberikan oleh dokter untuk terapi demam tifoid. Telah dilakukan penelitian untuk mengevaluasi pemberian antibiotika untuk terapi demam tifoid di RSUP DR. Kariadi Semarang pada tahun 2008. Dari 137 peresepan yang diamati kerasionalitasannya hanya 11 resep saja yang memenuhi kriteria penggunaan antibiotika secara rasional dan selebihnya diberikan secara tidak rasional.9 Melihat pentingnya diadakan evaluasi guna perbaikan peresepan antibiotika khususnya untuk terapi demam tifoid, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana profil pemberian antibiotika rasional pada pasien demam tifoid anak di bangsal anak RSUD Tangerang ?

1.3 Tujuan Penelitan 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui tingkat rasionalitas pemberian antibiotika untuk pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di RSUD Tangerang

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui jenis antibiotika yang digunakan untuk penatalaksanaan demam tifoid di RSUD Tangerang

2. Mengetahui tingkat rasionalitas pemberian antibiotika untuk pasien demam tifoid yang dirawat di bangsal anak RSUD Tangerang


(15)

1.4 Manfaat Penelitian

A. Bagi Penulis

1. Sebagai syarat kelulusan di Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu dan teori yang diperoleh pada saat kuliah dan untuk menambah wawasan serta pengalaman dalam melakukan penelitian.

B. Bagi RSUD Tangerang

Diharapkan penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat memberikan informasi dan memberikan landasan bagi tenaga medis dalam pemberian antibiotik pada pasien anak yang menderita demam tifoid.

C. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi pihak pendidikan sebagai bahan perbendaharaan bacaan di perpustakaan dan dapat dijadikan dasar pemikiran didalam penelitian lanjutan.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid

Demam Tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang ditandai oleh demam berkepanjangan. Infeksi tersebut disertai dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan payer’s patch.5

2.2 Epidemiologi Demam Tifoid

Jika kita membandingkan insiden, cara penyebaran dan konsekuensi dari demam tifoid antara negara maju dan negara sangat berbeda. Insiden sangat menurun di negara maju sedangkan di negara berkembang kasus demam tifoid sangat marak. Di negara berkembang Salmonella thypi sering merupakan isolat

Salmonella yang paling sering menginfeksi dengan insiden yang dapat mencapai 500 per 100.000 (0,5%) dan angka mortalitas tinggi.1 Sekitar 16 juta penduduk dunia mengalami demam tifoid setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di Asia Tenggara dengan angka kematian mencapai 600.000, sedangkan di Indonesia angka kejadian demam tifoid mencapai 760-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan angka kematian 3,1-10,4 %.10 Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus dengan hasil kultur darah positif sebanyak 1026 per 100 000 kasus pertahun.11

Manusia adalah natural reservoir dari Salmonella typhi dan manusia yang terinfeksi Salmonella thypi dapat mengekskresikan bakteri ini untuk kemudian menularkan ke individu yang lain melalui sekret saluan nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella thypi yang berada di luar tubuh dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering ataupun pada pakaian, akan tetapi Salmonella thypi

hanya dapat hidup kurang dari satu minggu pada suhu ruangan, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temperatur 63o C). Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui minuman atau makanan yang


(17)

tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama–sama dengan tinja (melalui rute fecal oral). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.5

2.3 Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Salmonella adalah bakteri berbentuk basil gram negatif yang memiliki panjang bervariasi dan bersifat aerobik. Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrika. Salmonella

mudah tumbuh pada medium sederhana, tetapi hampir tidak pernah memfermentasikan laktosa atau sukrosa. Organisme ini membentuk asam dan kadang–kadang gas dari glukosa dan manosa. Salmonella biasanya bertahan di air yang membeku untuk waktu yang lama. Salmonella resisten terhadap bahan kimia tertentu (misal hijau brilian, natrium tetrationat, dan natrium deoksikolat) yang menghambat bakteri enterik lain.1

Salmonella typhi merupakan isolat Salmonella yang paling banyak menginfeksi manusia terutama di negara berkembang seperti Indonesia.

Salmonella typhi paling banyak menginfeksi anak dengan usia lebih muda dari 5 tahun terutama kurang dari satu tahun dan sering juga menginfeksi usia-usia di atas 70 tahun.1,12,13 Infeksi Salmonella typhi juga paling banyak terjadi pada saat musim panas dan sangat erat hubungannya dengan banyaknya konsumsi makanan yang terkontaminasi.12Salmonella typhi memiliki 3 macam antigen yaitu :

1. Antigen O (somatik) terletak di lapisan luar dari bakteri yang mempunyai komponen protein, lipopolisakarida, dan lipid. Antigen O ini sering disebut dengan endotoksin.

2. Antigen H (flagela) terletak pada flagela, fimbriae dan pili dari bakteri dengan struktur kimia berupa protein

3. Antigen Vi (antigen permukaan) terletak pada selaput dinding bakteri yang berfungsi untuk melindungi dirinya dari fagositosis oleh sel imun dengan struktur kimia yang sama dengan antigen yang terletak di flagel yaitu protein.10


(18)

2.4 Patogenesis Demam Tifoid

Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh melalui mulut yang terbawa lewat makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Dosis infeksius dari Salmonella typhi yang masuk ke saluran pencernaan adalah 105-109 mikroorganisme dengan masa inkubasi sekitar 4-14 hari.1 Pada saat bakteri melewati lambung dengan PH asam yang mencapai < 2 banyak bakteri yang mati namun sebagian ada yang lolos. Bakteri yang berhasil bertahan dari asam lambung selanjutnya akan masuk ke usus halus tepatnya di ileum dan jejunum kemudian akan menempel di mukosa usus. Kuman ini akan menginvasi mukosa dan menembus dinding usus. Salmonella typhi mengalami proses internalisasi di sel M dari peyer’s patch kemudian mencapai folikel limfe usus halus dan mengikuti aliran kelenjar limfe mesenterika dan ada yang masuk ke sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Kemudian bakteri ini akan bermultiflikasi dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati, dan limpa. Jika telah lewat masa inkubasi

Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus menuju ke aliran sistemik dan singgah pada organ yang menjadi target seperti hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, serta peyer’s patch dari ileum terminal.5

Proses patogenesis dari demam tifoid terjadi melibatkan 4 proses di mana proses tersebut mengikuti ingesti organisme. Keempat proses tersebut terdiri dari :

1. Penempelan dan invasi bakteri ke peyer’s patch

2. Bakteri yang telah masuk ke sel-sel M payer’s patch akan bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus,dan organ-organ ekstraintestinal sistem retikuloendotelial. Selain itu infeksi Salmonella typhi di mukosa usus dan komponen limfoid usus akan menyebabkan inflamasi, hiperplasia, yang kemudian bisa berlanjut menjadi nekrosis.1

3. Bakteri bertahan hidup di aliran darah

4. Bakteri memproduksi enterotoksin yang akan menigkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus yang akan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.5


(19)

2.5 Manifestasi Klinis Demam Tifoid

Masa inkubasi dari Salmonella typhi pada anak adalah sekitar 10-14 hari.5 Gejala klinis dari demam tifoid sangat bervariasi mulai dari gejala klinis yang ringan sehingga tidak memerlukan perawatan yang khusus sampai dengan gejala klinis yang berat sehingga membutuhkan perawatan khusus. Pada umumnya semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada permulaan penyakit. Biasanya pola demam pada demam tifoid dikenal dengan istilah step-ladder temperature chart selama 2 sampai 7 hari yang ditandai dengan demam secara terus-menerus dan setiap harinya akan ada kenaikan suhu secara bertahap dan akan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama yang bisa mencapai 40o C. Demam akan bertahan tinggi dan akan berangsur turun di minggu ke-4.5,14 Pada demam tifoid pasien akan mengeluhkan demam yang meningkat di sore dan malam hari dan akan berangsur turun pada pagi hari. Demam yang sangat tinggi mengakibatkan munculnya keluhan pada saraf pusat seperti kesadaran menurun bahkan sampai koma bisa terjadi.5

Gejala sistemik yang muncul menyertai gejala demam antara lain sakit kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Ketika demam sangat tinggi disertai dengan asupan cairan yang kurang makan bisa timbul syok hipovolemik. Penurunan pulsasi juga timbul pada saat demam.14 Demam tifoid juga menimbulkan gejala pada gastrointestinal yang keluhannya dapat berupa diare lalu obstipasi, maupun obstipasi yang kemudian disusul dengan episode diare. Pada sebagian pasien lidah akan terlihat kotor dengan bagian tengah lidah terlihat putih sedangkan bagian pinggir lidah kemerahan. Pada anak banyak dijumpai gejala meteorismus. Hepatomegali lebih banyak dijumpai pada anak Indonesia dibandingkan dengan splenomegali. Pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas, dan punggung pada orang dengan kulit putih dapat terlihat rose spot yaitu berupa ruam makulopapular berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm yang muncul pada hari ke 7-10 dan akan bertahan selama 2-3 hari.


(20)

Tabel 2.1 Gejala Demam Tifoid

PERIODE PENYAKIT

KELUHAN GEJALA PATOLOGI

Minggu Pertama Panas berlangsung

terus-menerus, tipe panas step ladder yang mencapai 30-400 C, mengigil, nyeri kepala

Gangguan saluran cerna Bakterimia

Minggu Kedua Rash, nyeri abdomen,

konstipasi, derllirium Rose spots, splenomegali, hepatomegali Vaskulitis disertai adanya hiperplasia pada payer’s patches.

Minggu Ketiga Komplikasi :

perdarahan saluran cerna, perforasi, syok

Melena, ileus, ketegangan abdomen, koma

Ulserasi pada pater

payer’s patch. Disertai ploriferasi disertai peritonitis Minggu Keempat,dst. Keluhan menurun,

relaps, penurunan berat badan

Tampak sakit berat Kolesistitis, karier kronik

Sumber : Nasronudin dkk, 2007.

2.6 Penegakan Diagnosis Demam Tifoid

Penegakan diagnosis untuk demam tifoid didasarkan dengan gejala klinis berupa demam, keluhan gastrointestinal dan dapat disertai dengan keluhan penurunan kesadaran yang ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti atau diagnosis definitif demam tifoid ditegakkan ketika ditemukannya

Salmonella typhi pada hasil kultur darah, sumsum tulang, atau lesi anatomi lain.11 Berikut adalah kriteria yang bisa membantu penegakan diagnosis untuk demam tifoid :

a) Kasus demam tifoid yang sudah dikonfirmasi.

Apabila pasien demam dengan suhu 380 C atau lebih yang sudah diderita minimal 3 hari dengan hasil kultur (darah, sumsum tulang, cairan usus) positif ditemukan Salmonella typhi.


(21)

b) Kemungkinan kasus demam tifoid.

Apabila ada pasien demam dengan suhu 380 C atau lebih yang sudah diderita minimal 3 hari dengan hasil uji serodiagnosis atau deteksi antigen yang positif tapi tanpa pemeriksaan kultur Salmonella typhi. c) Kronik Karier.

Ekskresi dari Salmonella typhi di urin atau di feses setelah 1 tahun atau lebih setelah terserang demam tifoid akut.11

2.6.1 Kultur

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa diagnosis definitif untuk demam tifoid adalah ditemukannya Salmonella typhi pada darah. Pada dua minggu pertama sakit kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih besar dibandingkan dengan minggu-minggu berikutnya yaitu sekitar 85-90 % kasus.2,5 Biakan dari spesimen yang berasal dari urin dan feses memiliki kemungkinan keberhasilan yang rendah, sedangkan biakan dari hasil aspirasi sumsum tulang memiliki sensitivitas paling tinggi dengan hasil sensitivitas mencapai 90 % kasus. Metode kultur pada sumsum tulang ini jarang dipakai saat praktik karena merupakan prosedur yang sangat invasif. Pada keadaan-keadaan tertentu spesimen untuk kultur diambil dari empedu yang diambil melalui duodenum dan hasil kultur dari spesimen empedu ini memberikan hasil yang cukup baik.5

Tabel 2.2 Perbandingan Sensitivitas Kultur dari Berbagai spesimen

Inkubasi Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

Aspirasi sumsum tulang 90% (biakan akan menurun pada hari kelima

pemberian antibiotik) Kultur darah (10-30 mL), feses,

aspirasi duodenum

40%-80% 20% 20%-80%

Urin 25%-30%, waktu tidak dapat diprediksi

Sumber : John L Brusch, 2011.

Kelemahan dari penegakan diagnosis dengan menggunakan kultur itu adalah masalah waktu, karena untuk melakukan pemeriksaan kultur sampai


(22)

dengan keluar hasilnya membutuhkan waktu berhari-hari. Untuk kultur darah dibutuhkan waktu 5-7 hari.10

2.6.2 Uji Serologis Widal

Uji serologis widal merupakan suatu metode serologis yang memeriksa derajat aglutinasi antibodi terhadap antigen somatik (O) dan antigen flagelar (H).10 Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan menggunakan uji widal menunjukan nilai ramal l positif 96% yang artinya apabila hasil positif 96 % kasus benar demam tifoid namun jika negatif tidak menyaring.5 Biasanya antibodi O akan terdeteksi pada hari ke 6-8 sedangkan antigen H terdeteksi pada hari ke 10-12 setelah timbulnya penyakit.11 Berdasarkan pendapat dari beberapa senter diagnosis dapat ditegakan apabila terjadi kenaikan sebesar 4 kali titer O aglutinin sekali periksa >1/200 atau pada titer sepasang .5 Aglutinin H sering dikaitkan dengan infeksi masa lampau atau pasca imunisasi sedangkan aglutinin Vi dipakai untuk mendeteksi karier infeksi Salmonella typhi. Meskipun banyak para ahli mengemukakan bahwa uji serologis widal kurang dapat dipercaya karena dapat memberikan hasil positif palsu maupun negatif palsu namun uji widal yang paling sering digunakan oleh para dokter untuk menegakan diagnosis demam tifoid.5,10

2.6.3 IDL Tubex Test

Tubex test sering dijadikan pilihan untuk menegakan diagnosis demam tifoid karena mudah dilakukan serta hasilnya bisa langsung dilihat hanya dalam waktu 2 menit. Tes Tubex menunjukan hasil yang lebih spesifik karena tes ini mendeteksi antibodi tehadap antigen tunggal yang terdapat di Salmonella typhi

yaitu antigen O9 yang merupakan antigen yang sangat spesifik yang tidak ditemukan di mikroorganisme lain. Hasil Tubex yang positif dapat dijadikan penunjang ditegakannya diagnosis demam tifoid.11


(23)

2.6.4 IgM Dipstick Test

IgM dipstick test didisain untuk serodiagnosis dari demam tifoid dengan mendeteksi antibodi IgM spesifik Salmonella typhi yang terdapat dalam serum. Pemeriksaan dengan menggunakan IgM dipstick ini mudah dan efisien sehingga sering digunakan untuk menegakan diagnosis demam tifoid ketika kultur darah tidak tersedia.11

2.7 Terapi Demam Tifoid

Tata laksana untuk pasien demam tifoid terbagi menjadi dua bagian besar yaitu tata laksana umum dan tata laksana antibiotik. Tata laksana umum demam tifoid yang bersifat suportif terdiri dari tirah baring, pemberian rehidrasi oral maupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat, serta transfusi darah jika diindikasikan.5,13 Komponen-komponen tersebut ikut memberikan kontribusi untuk perbaikan kondisi kesehatan pasien. Berdasarkan dengan etiopatogenesis dari demam tifoid yaitu infeksi Salmonella typhi maka pengobatan utama untuk penyakit ini adalah pemberian antibiotika. Berikut adalah tabel rekomendasi pemberian antibiotika pada demam tifoid dengan dan tanpa komplikasi menurut WHO :

2.3 Pengobatan demam tifoid tanpa kompllikasi.

Terapi Optimal Obat Alternatif

Kepekaan Antibiotik Dosis harian (mg/kg BB) Lama pemberian (hari)

Antibiotik Dosis harian (mg/kgBB)

Lama pemberian (hari)

Sensitif Flourokuinolon 15 5-7 Kloramfenikol

Amoksisilin TMP-SMX 50-75 75-100 8-40 14-21 14 14

MDR Flourokuinolon

Atau Sefiksim 15 15-20 5-7 7-4 Azitromisin Sefiksim 8-10 15-20 7 7-14 Resisten kuinolon Azitromisin atau Seftriakson 8-10 75 7 10-14

sefiksim 20 7-14


(24)

2.4 Pengobatan demam tifoid berat.

Terapi Optimal Obat alternatif

Kepekaan Antibiotik Dosis harian (mg/kg BB) Lama pemberian (hari)

Antibiotik Dosis harian (mg/kg BB) Lama pemberian (hari)

Sensitif Fluorkuinolon 15 10-14 Kloramfenikol

Amoksisilin TMP-SMX 100 100 8-40 14-21 14 14

MDR Flourkuinolon 15 10-14 Seftriakson

atau sefotaksim 60 80 10-14 Resisten kuinolon Seftriakson atau Sefotaksim 60 80

10-14 Flourokuinolon 20 7-14

Sumber : WHO, 2003.

2.7.1 Kloramfenikol

Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan pasien demam tifoid anak.5 Koramfenikol terikat secara reversibel pada tempat reseptor subunit 50S ribosom bakteri, obat ini bekerja sebagai antimikroba dengan menghambat peptidil transferase sehingga penggabungan asam amino dengan peptida baru akan terganggu. Dampaknya adalah sintesis protein mikroba akan terhambat secara kuat. Obat ini juga mempengaruhi sebagian kecil dari proses metabolisme mikroba yang lainnya.15

Kristal Kloramfenikol yang diberikan secara oral akan mengalami absorbsi secara cepat dan lengkap. Anak-anak biasanya diberikan Kloramfenikol palmitat per oral dengan dosis 50-100 mg/kg/hari kemudian akan mengalami hidrolisis di usus dan menghasilkan Kloramfenikol bebas yang di dalam darah kadarnya tidak pernah melebihi 10µg/mL. Selain sediaan untuk dikonsumsi per oral tersedia pula Kloramfenikol sediaan parenteral yaitu koramfenikol suksinat dengan dosis 25-50 mg/kg/hari yang diberikan secara intravena maupun intramuskular. Pemberian secara oral terbukti lebih baik hasilnya karena kadarnya dalam serum lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemberian secara parenteral. Setelah Kloramfenikol diabsorpsi maka selanjutnya obat tersebut akan didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh tidak terkecuali susunan saraf pusat dan cairan serebrospinal. Sebanyak 30% dari Kloramfenikol yang beredar dalam sirkulasi terikat dengan protein dan obat ini mudah menembus membran sel. Sebanyak 90% produk inaktif dari hasil degradasi Kloramfenikol akan dieksresikan melalui urin dan


(25)

sisanya 10% masih dalam bentuk aktif. Pada pemberian Kloramfenikol sistemik untuk pasien dengan insufisiensi ginjal tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis, berbeda dengan pasien gagal hati dosis pemberian Kloramfenikol secara sistemik harus sangat dikurangi.15

Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus malnutrisi atau penyakit pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis.5

Salah satu efek samping dari Kloramfenikol adalah gangguan pada sumsum tulang hal ini diakibatkan oleh efek penghambatan sintesis protein mitokondria sumsum tulang yang dilakukan oleh obat ini. Pemberian Kloramfenikol lebih dari 50mg/kgbb/hari dalam waktu 1-2 minggu akan menunjukan penurunan maturasi sel darah merah. Pemberian Kloramfenikol dengan dosis lebih dari 75 mg/kgbb/hari pada neonatus akan menyebabkan gray baby syndrome yaitu muntah, lemas, hipotermia, warna kelabu, syok, dan kolaps.15

Koramfenikol akan berinteraksi dengan fenitoin, tolbutamid, klorpropamid, dan warfarin. Interaksi yang timbul berupa perpanjangan waktu paruh dan peningkatan konsentrasi darah dari obat-obat tersebut. Kloramfenikol juga dapat mengendapkan obat lain dari larutannya, selain itu juga bekerja sebagai antagonis bakterisidal penisilin dan aminoglikosida.15

2.7.2 Penisilin

Penisilin merupakan obat beta-laktam yang bekerja sebagai obat antimikroba dengan merusak dinding bakteri.15 Golongan penisilin yang bisa digunakan untuk pengobatan demam tifoid adalah Ampisilin dan Amoksisilin.5 Penisilin dapat diberikan secara parenteral maupun oral. Absorbsi obat akan berlangsung secara cepat dan lengkap setelah pemberian parenteral, sedangkan dengan pemberian secara oral absorpsi dapat berbeda sama sekali dipengaruhi oleh kestabilan asam dan ikatan protein. Setelah diabsorpsi penisilin akan didistribusikan ke dalam jaringan dan cairan tubuh, namun penisilin tidak menembus dinding sel dan tidak larut dalam sel. Amoksisilin dan Ampisilin mempunyai spektrum dan aktivitas yang sama hanya saja amoksisilin lebih mudah


(26)

diserap oleh usus sehingga dalam pemberiannya dosis Amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan dosis Ampisilin.15

Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan Kloramfenikol sehingga jarang dijadikan pilihan untuk terapi demam tifoid. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intervena. Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intervena. Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian peroral memberaikan hasil yang setara dengan Kloramfenikol namun penurunan demam lebih lama.15

2.7.3 Trimetoprim dan Sulfametoksazol (TMP-SMZ)

Efek antimikroba dari Trimetoprim adalah menghambat asam dihidrofolat reduktase bakteri, sedangkan kerja dari Sulfametoksazol adalah menghambat sintesis asam folat dengan bekerja sebagai antagonis kompetitif dari p-amino benzoat (PABA). Kombinasi dari Trimetoprim dan Sulfametiksazol akan menghasilkan aktifitas sinergistis dalam penghambatan sisntesis asam folat. Trimetoprim diabsorbsi di usus kemudian didistribusikan keseluruh jaringan dan cairan tubuh tidak terkecuali cairan serebrospinal. Volume distribusi dari Trimetoprim lebih besar jika dibandingkan dengan Sulfametoksazol karena Trimetoprim lebih larut lama.15

Kombinasi Trimethoprim dan Sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik jika dibandingkan dengan Kloramfenikol disamping itu penurunan demam juga lebih lama. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10 mg/kgBB/hari atau SMZ 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.15

2.7.4 Sefalosporin Generasi Ketiga

Setelah maraknya kejadian resistensi terhadap Kloramfenikol, Ampislin, dan TMP-SMZ, sefalosporin generasi ketiga kini menjadi pilihan untuk terapi demam tifoid, terutama seftriakson dan sefotaksim.5 Aktifitas antimikrobanya sama denga penisilin yaitu mengikat protein pengikat penisilin yang spesifik yang berfungsi sebagai reseptor obat pada bakteri, menghambat sintesis dinding sel


(27)

bakteri dan transpeptidasi peptidoglikan, mengaktivasi enzim autolitik pada dinding sel bakteri sehingga menyebabkan dinding sel rusak dan bakteri akan mati. Obat ini melakukan penetrasi yang baik ke seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal dan bekerja membasmi bakteri gram negatif.15

Dosis Seftriakson adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gr/hari) selama 5-7 hari sedangkan untuk Sefotaksim 150-200 mg/kgBB/ hari selama 10 hari.5 Dari hasil pencarian literatur oleh tim dokter dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pemberian Seftriakson lebih dianjurkan dibandingkan pemberian Kloramfenikol karena terapi Kloramfenikol membutuhkan waktu selama 14 hari. Mengingat efek supresi terhadap sumsum tulang yang ditimbulkan oleh pemberian Kloramfenikol, selain itu sudah banyak kasus multidrugs resistance Salmonella typhi (MDRST) terhadap Kloramfenikol. Pada pemberian Seftriakson demam akan turun dan hasil kultur akan negatif pada hari keempat sehingga pengobatan dengan Seftriakson hanya membutuhkan waktu 5-10 hari saja sehingga akan menekan biaya pengobatan.16

2.7.5 Fluorkuinolon

Fluorkuinolon bekerja sebagai antimikroba dengan menghambat

topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV bakteri sehingga sintesis protein terhambat. Bioavailabilitas dari obat ini mencapai 80-95 % terdistribusi secara baik ke jaringan dan cairan tubuh setelah pemberian secara oral. Penyerapan obat yang diberikan secara intravena sama kadarnya dengan pemberian oral. Waktu paruh dari Fluorkuinolon berkisar 3-10 jam, diekskresikan sebagian besar lewat ginjal.15 Untuk pengobatan demam tifoid Fluorquinolon diberkan 15 mg/kgBB dalam sehari. Menurut WHO sampai saat ini Fluorquinolon masih memberikan hasil yang sangat baik untuk pengobatan demam tifoid pada dewasa, namun pada anak penggunaanya tidak dianjurkan karena efeknya dapat menyebabkan kerusakan pada sendi.11


(28)

2.8 Penilaian Rasionalitas Pemberian Antibiotika

Terapi antibiotik berbeda dengan pemberian terapi farmakologi lain. Ada tiga aspek yang harus kita perhatikan yaitu karakteristik keadaan pasien, karakteristik antibiotika itu sendiri, dan mikroorganisme apa yang menginfeksi pasien. Dalam pemberian antibiotika haruslah sangat hati-hati karena hal yang paling ditakutkan adalah terjadinya resistensi terhadap antibiotik tersebut. Untuk menjaga keefektifan dari antibiotika tersebut maka kualitas pemberian antibiotika harus dimaksimalkan dan menghindari penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan aturan. Pemeberian antibiotika diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu :

1. Terapi Empirik yaitu pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi aktif tanpa mengetahui mikroorganisme yang menginfeksi.

2. Terapi Definitif yaitu pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi aktif yang sudah diketahui mikroorganisme penyebab infeksi tersebut.

3. Terapi Profilaksis yaitu pemberian antibiotika untuk mencegah kemungkinan infeksi yang bisa terjadi.6

Rasionalitas pemberian antibiotika dapat dievaluasi dengan meperhatikan ketepatan indikasi terapi, efikasi, keamanan, kesesuaian, serta biaya terapi. Suatu peresepan antibiotika dikatakan tepat indikasi jika pasien sudah terdiagnosis pasti mengalami infeksi bakteri. Pertimbangan efikasi dari antibiotik dilihat dengan memperhatikan kerja obat serta farmakokinetik dan farmakodinamik dari antibotika yang akan dijadikan pilihan terapi. Kesesuaian terapi dinilai dengan memperhatikan dosis, rute pemberian obat, frekuensi pemberian obat, serta indikasi, dan kontraindikasi obat yang akan diberikan untuk pasien. Keamanan dinilai dengan melihat efeksamping yang akan ditimbulkan akibat terapi. Penilaian kefektifan biaya, dilakukan dengan melihat kesesuaian harga obat yang akan diberikan dengan kondisi pasien.17

Untuk memudahkan mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotika, maka Gyseen dan timnya membuat sebuah alogaritma (gambar tertera di lampiran) yang mengadaptasi kriteria yang dibuat oleh Kunin sebelumnya. Setelah data dimasukan ke dalam alogaritma maka akan didapatkan hasil berupa pengkategorisasian mulai dari yang paling tidak rasional yaitu kategori VI sampai


(29)

dengan kategori paling rasional yaitu kategori I. Berikut adalah penjelasan masing-masing kategori :

1. Kategori VI

Peresepan antibiotik dimasukan ke dalam kategori VI apabila data-data yang dibutuhkan untuk evaluasi tidak tersedia secara lengkap sehingga tidak dapat dilakukan penilaian lebih lanjut.

2. Kategori V

Peresepan antibiotika termasuk kategori V apabila tidak ada indikasi yang jelas untuk diberikannya antibiotik. Pemberian antibiotik hanya berdasarkan gejala klinis saja seperti demam tanpa ada pemeriksaan laboratorium yang menunjang diagnosis infeksi.

3. Kategori IV

a. Termasuk kategori IVa apabila antibiotik yang dipilih memiliki efektifitas yang rendah dan ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif untuk dijadikan sebagai pilihan terapi.

b. Termasuk kategori IVb apabila antibiotik yang dipilih memiliki toksisitas yang tinggi dan ada alternatif antibiotik lain yang toksisitasnya lebih rendah.

c. Termasuk kategori IVc apabila antibiotika yang dipilih untuk terapi memiliki harga jual yang tinggi sehingga meningkatkan biaya terapi sedangkan ada alternatif antibiotik lain yang lebih murah d. Termasuk kategori IVd apabila antibiotika yang dipilih adalah

antibiotika dengan spektrum luas sedangkan ada alternatif lain dengan spektrum yang lebih sempit.

4. Kategori III

a. Jika waktu pemberian antibiotika terlalu lama dibandingkan dengan waktu terapi yang seharusnya maka peresepan tersebut termasuk kedalam kategori IIIa.

b. Jika waktu pemberian antibiotika terlalu singkat dari waktu terapi yang seharusnya maka peresepan termasuk ke dalam kategori IIIB.


(30)

5. Kategori II

a. Apabila terjadi ketidaksesuaian dosis pada pemberian antibiotik baik terlalu banyak maupun terlalu sedikit maka peresepan antibiotik tersebut termasuk ke dalam kategori IIa.

b. Peresepan antibiotik termasuk kedalam kategori IIb apabila interval pemberian antibiotika tidak tepat.

c. Apabila rute pemberian antibiotika yang dipilih tidak tepat maka peresepan tersebut termasuk kedalam kategori IIc.

6. Kategori I

Kategori I ini merupakan kategori yang paling rasional hanya saja waktu pemberiannya yang tidak tepat baik itu terlalu cepat yaitu ketika mikroorganisme penyebab infeksi belum teridentifikasi maupun waktu pemberiannya terlambat.6


(31)

2.9 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Diagnosis kerja demam tifoid ditegakan dari gejala klinis yang harus ditunjang dengan hasil positif dari minimal satu pemeriksaan laboratorium diantaranya kultrur darah, IgM antisalmonella, uji widal, dan uji Tubex. Demam Tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, oleh karena itu antibiotik merupakan terapi utama untuk tata laksana penyakit ini. Dalam pemberian antibiotik tingkat rasionalitas harus sangat diperhatikan untuk mengindari efek samping yang tidak diinginkan akibat pemberian antibiotik yang tidak rasional. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam rasionalitas pemberian antibiotika diantaranya adalah :

Keefektifan /efikasi antibiotika Kesesuaian/suitab ilityility Keamanan /safety Biaya/cost

RASIONALITAS PEMBERIAN ANTIBIOTIKA Pasien dengan diagnosis

kerja demam tifoid Infeksi bakteri Salmonella

typhi

Diperlukan terapi antibiotika

Ketepatan indikasi Berdasarkan pertimbangan farmakokinetik dan farmako dinamik suatu antibiotika

- rute pemberian

- dosis

-indikasi dan kontraindikasi

efek samping

- harga obat

- ekonomi pasien


(32)

1. Indikasi pemberian antibiotika harus jelas yaitu haru ada bukti bahwa pasien sedang terkena infeksi.

2. Efektifitas antibiotik terhadap target terapi yang dinilai dari segi farmakokinetik dan farmakodinamik.

3. Kesesuain dosis, rute pemberian, dan memperhatikan pula apakah ada kontraindikasi dari antibiotik yang akan diberikan untuk pasien.

4. Keamanan dari pemberian antibiotik dipertimbangkan dengan memperhatikan efeksamping terapi yang akan timbul.

5. Biaya terapi juga harus dipertimbangkan dengan memegang prinsip menekan biaya terapi menjadi seminimal mungkin.


(33)

2.10 Definisi Operasional

Tabel 2.5 Definisi Operasional

NO Variebel Definisi Alat Ukur Skala

Pengukuran

1 Demam Tifoid Demam Tifoid adalah suatu

penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang ditandai oleh panas berkepanjangan, disertai dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Payer’s patch.

- gejala klinis - uji kultur - widal test - tubex test - IgM

antisalmonella

Kategorik

2 Rasionalitas antibiotika

Pemberian antibiotika dengan memerhatikan efikasi, sutability, safety, dan dikelompokaan menjadi 6 kategori yaitu : a. Kategori VI

b. Kategori V

c. Kategori IVa, IVb, IVc, IVd d. Kategori IIIa, IIIb

e. Kategori IIa, IIb f. Kategori I

Alogaritma Gyssen


(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Desain

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kategorik dengan desain studi potong lintang (cross sectional). Penelitian ini untuk melihat profil pemberian antibiotika untuk demam tifoid di bangsal anak RSUD Tangerang tahun 2010 dan 2011.

3.2Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Tangerang. Waktu penelitian tanggal 27 Juni sampai 4 Agustus 2012.

3.3Populasi dan Sample Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Rekam medis pasien yang dirawat di bangsal anak RSUD Tangerang

3.3.2 Sample Penelitian

Rekam medis pasien yang menderita demam tifoid yang dirawat di bangsal rawat inap anak RSUD Tangerang tahun 2010 dan 2011

3.4Besar Sampel

Penelitian ini mengambil sampel dari rekam medis pasien di bangsal anak RSUD Tangerang yang didiagnosis demam tifoid pada tahun 2010 dan 2011 dengan estimasi besar sample sebagai berikut :

n = Zα PQ

d2

= 1,96 . 0,5 . 0,5 (0,1)2 = 0,9604

0,01 = 96,04 = 97


(35)

3.5Inklusi dan Ekslusi

A. Inklusi

Rekam medis pasien di bangsal anak yang didiagnosis demam tifoid dan dirawat inap di RSUD Tangerang.

B. Ekslusi

Rekam medis pasien anak yang didiagnosis demam tifoid di RSUD Tangerang tetapi tidak dirawat inap.

3.6 Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh dari rekam medis yang antara lain terdiri dari :

1. Data demografik : a) Usia

b) Jenis kelamin c) Unit rawat inap d) Durasi terapi e) Pekerjaan orang tua f) Asuransi

2. Diagnosis kerja : Demam Tifoid Komplikasi

Dasar diagnosis : a) tubex c) kultur

b) widal d) IgM Salmonella 3. Data antibiotika :

a) Jenis antibiotik b) Rute pemberian c) Dosis

d) Frekuensi

e) Lama pemberian f) Efek samping


(36)

3.7 Cara Kerja

Penyelesaian proposal

Pengurusan izin melakkan penelitian

Pengambilan data rekam medis

Memisahkan rekam medis berdasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi

Mencatat data yang diperlukan dari rekam

medis

Menilai rasionalitas pemberian antibiotika dengan menggunakan alogaritma gyssen

Menganalisis data dengan menggunakan


(37)

3.8 Rencana Pengolahan Data dan Analisis Data

Data yang terkumpul akan dimasukan ke dalam komputer menggunakan


(38)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melihat bagaimana profil pemberian antibiotika rasional untuk pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di RSUD Tangerang yang tercatat dalam rekam medis pasien tahun 2010 dan 2011. Dari jumlah rekam medis pasien rawat inap anak yang didiagnosis menderita demam tifoid diambil masing-masing 65 dari total 234 rekam medis di tahun 2010 dan 65 dari total 91 rekam medis di tahun 2011 secara random sampling sehingga total sampel yang diambil adalah sebanyak 130 sampel.

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel (n=130)

Karakteristik N (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 68 (52,3%)

Perempuan Usia 0-1 tahun 2-3 tahun 4-5 tahun 6-7 tahun 8-9 tahun 10-11 tahun 12-13 tahun 14-15 tahun

Unit Rawat Inap

Kelas III Kelas II Kelas I VIP

Lama Rawat Inap

2-4 hari 5-7 hari 8-10 hari 11-13 hari 62 (47,7%) 8 (6,2%) 20 (15,4%) 20 (15,4%) 15 (11,5%) 20 (15,4%) 20 (15,4%) 23 (17,7%) 4 (3,1%) 88 (67,7%) 29(22,3%) 12(9,2%) 1 (0,8%) 37 (28,5%) 63 (48,5%) 21 (16,2%) 7 (5,4%)


(39)

14-16 hari 17-19 hari 20-22 hari Berat Badan 6-15 kg 16-23 kg 24-31 kg 32-39 kg 40-47 kg 48-55 kg 56-63 kg 64-71 kg

Nilai IgM Salmonella

Tidak diperiksa Negatif Borderline Positif lemah Positif kuat Hasil Widal Tidak diperiksa Negatif Positif Hasil Tubex Tidak diperiksa Negatif borderline Positif kuat Hasil Kultur Tidak diperiksa Negatif Positif

1 (0,8 %) 0 (0%) 1 (0,8%) 43 (33,1%) 39 (30,0%) 27 (20,8%) 12 (9,2%) 8 (6,2%) 0 (0%) 0 (0%) 1 (0,8%) 22 (16,9%) 20 (15,4%) 2 (1,5%) 17 (13,1%) 69 (53,1%) 74 (56,9%) 28 (21,5%) 28 (21,5%) 121 (93,1%) 2 (1,5 %) 7 (5,4%)

127 (97,7%) 2 (1,5%) 1 (0,8%)

Subjek pada penelitian ini terdiri dari 68 anak laki-laki (52,3%) dan 42 anak perempuan (47,7%). Pasien demam tifoid di RSUD Tangerang didominasi oleh anak laki-laki seperti yang tergambar dalam bagan berikut ini :


(40)

Gambar 4.1 Karakteristik Jenis Kelamin Pasien Demam Tifoid Anak Hasil penelitian di rumah sakit Mayo Lahore Pakistan menunjukan bahwa probabilitas anak laki-laki untuk terjangkit demam tifoid adalah lebih dari 5 sedangkan nilai probabilitas anak perempuan untuk terjangkit demam tifoid lebih rendah yaitu di bawah 5.18 Penelitian yang dilakukan di rumah sakit Chennai India Selatan menunjukan perbandingan antara anak laki-laki dan anak perempuan yang terjangkit demam tifoid adalah 1,29:1, dari 316 anak yang didiagnosis terjangkit demam tifoid 178 adalah anak laki-laki dan 138 adalah anak perempuan.19 Penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUP Fatmawati dari sebanyak 182 anak yang menderita demam tifoid sebanyak 110 pasien (55,49%) adalah anak laki-laki dan sisanya yaitu 81 pasien (44,51%) adalah anak perempuan.20

Dari hasil penelitian yang kami lakukan di RSUD Tangerang dan di tiga rumah sakit lain yang berbeda menunjukan hasil yang sama yaitu penderita demam tifoid didominasi oleh anak laki-laki. Hal tersebut dikarenakan aktivitas anak laki-laki di luar rumah lebih tinggi sehingga meningkatkan risiko terkena infeksi.18,20

Setelah dikelompokan menjadi 8 kelompok usia kemudian dilakukan analisis, didapatkan hasil bahwa pasien demam tifoid di RSUD Tangerang paling banyak terdapat pada kelompok usia 12-13 tahun yaitu dengan jumlah 23 pasien (17,7%). Jumlah terbanyak kedua terdapat di kelompok usia 2-3 tahun, 4-5 tahun, 8-9 tahun, dan 10-19 tahun yang menunjukkan jumlah yang sama yaitu masing-masing terdapat sebanyak 20 pasien (15,4%). Pasien yang termasuk kedalam kelompok usia 6-7 tahun menyusul di urutan ketiga dengan jumlah sebanyak 15

68

62

58 60 62 64 66 68 70

laki-laki Perempuan

Jenis Kelamin


(41)

pasien (11,5%). Di urutan keempat adalah kelompok usia 0-1 tahun sebanyak 8 pasien (6,22%). Dan jumlah paling sedikit adalah kelompok usia 14-15 tahun yaitu hanya sebanyak 4 pasien (3,11%) saja. Dapat disimpulkan bahwa demam tifoid banyak terjangkit pada usia antara 5 sampai 15 tahun, seperti yang tergambar dalam bagan berikut :

Gambar 4.2 Karakteristik Usia Pasien Demam Tifoid Anak

Penelitian di Pakistan menunjukkan hasil yang sama bahwa insiden terbanyak demam tifoid di Pakistan terjadi pada usia di atas 5 tahun dan di bawah 15 tahun.18 Hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan pada penelitian di Mesir yang menyebutkan bahwa demam tifoid paling banyak terjangkit di usia sekolah 5 sampai 9 tahun yaitu 143 dari 100.000 kasus pertahun dan usia 10 sampai 14 tahun yaitu 160 dari 100.000 kasus pertahun. Anak usia di bawah 5 tahun jarang terjangkit tifoid yaitu hanya 6 dari 100.000 kasus saja pertahun.21 Penelitian yang dilakukan di Indonesia yaitu di RSUP Fatmawati menunjukkan hasil bahwa yang paling banyak terjangkit demam tifoid adalah anak usia 7-9 tahun yaitu sebanyak 51 pasien (28,02%) dari total 182 pasien.20

Terdapat persamaan hasil dari ketiga penelitian di empat tempat yang berbeda yaitu menunjukan bahwa yang paling banyak terjangkit demam tifoid adalah anak pada usia sekolah yaitu anak di atas usia 5 tahun dan di bawah 15 tahun dan jarang terjadi pada anak dengan usia di bawah 5 tahun. Anak usia sekolah lebih berisiko tinggi terpapar oleh Salmonella typhi karena kebiasaan jajan di luar rumah yang higienitas dari makanannya tidak terjamin sehingga

8

20 20

15

20 20

23 4 0 5 10 15 20 25 0-1 tahun 2-3 tahun 4-5 tahun 6-7 tahun 8-9 tahun 10-11 tahun 12-13 tahun 14-15 tahun

Usia

Usia


(42)

kemungkinan besar makanan tersebut sudah terkontaminasi oleh Salmonella typhi.20,21

Beberapa literatur mengemukakan hal yang berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan di empat tempat berbeda yaitu di Fayoum Mesir, RS Mayo Lahore Pakistan, RSUP Fatmawati, dan RSUD Tangerang. Literatur mengemukakan bahwa yang paling rentan terjangkit demam tifoid adalah usia-usia di bawah 5 tahun.1,13,14 Pernyataan tersebut dihubungkan dengan hasil penelitian berbasis populasi di beberapa negara di Asia Tenggara yang hasilnya menyatakan bahwa banyak anak di bawah usia 5 tahun yang dirawat inap dengan diagnosis demam tifoid karena usia yang lebih muda akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi.1

Pasien dalam penelitian ini berasal dari pasien yang dirawat mulai dari unit perawatan kelas III sampai kelas VIP, dengan persentase terbanyak merupakan pasien yang dirawat di kelas III sebanyak 88 pasien (67,7%). Sebanyak 29 pasien (22,3%) merupakan pasien kelas II, kelas I sebanyak 12 pasien (9,2%), dan jumlah paling sedikit berasal dari pasien yang dirawat di kelas VIP yaitu sebanyak 1 pasien (0,8%). Sebaran data tersebut dapat dilihat dalam bagan berikut :

Gambar 4.3 Karakteristik Unit Rawat Inap Pasien Demam Tifoid Anak Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati pada tahun 2001-2002 pasien demam tifoid terbanyak dirawat di unit perawatan kelas III yaitu 81 pasien (44,1%) dari 244 pasien, dan paling sedikit berasal dari pasien kelas VIP yaitu sebanyak 10 pasien (5,49%).20 Dari 2 penelitian yang dilakukan di dua rumah sakit yang berbeda menunjukan hasil yang sama bahwa pasien demam

88

29

12 1

0 20 40 60 80 100

Kelas III Kelas II Kelas I VIP

Unit Rawat Inap


(43)

tifoid banyak dirawat di unit perawatan kelas III dan hanya sedikit pasien yang dirawat di unit perawatan VIP.

Lama rawat inap dikelompokan menjadi 8 kategori, sebanyak 63 pasien (48,5%) yang merupakan jumlah terbanyak dirawat dalam rentang 5-7 hari. Tiga puluh tujuh pasien (28,5%) pasien dirawat dalam jangka waktu 2-4 hari. Dua puluh satu pasien (16,2%) dirawat dalam rentang 8-10 hari. Tujuh pasien (5,4%) dirawat di rumah sakit selama 11-13 hari. Hanya 1 pasien (0,8%) saja yang dirawat di rumah sakit dalam rentang waktu 14-16 hari dan 20-22 hari. Sebaran data seperti di atas dapat dilihat pada bagan berikut :

Gambar 4.4 Karakteristik Lama Rawat Inap Pasien Demam Tifoid Anak Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati jumlah terbanyak yaitu sebanyak 82 pasien (45,02%) dirawat dalam retang waktu 5-6 hari.20 Dari dua penelitian yang dilakukan di rumah sakit berbeda yaitu RSUD Tangerang dan RSUP Fatmawati didapatkan hasil yang sama yaitu pasien demam tifoid anak dirawat di rumah sakit selama 5-7 hari. Hal tersebut dikarenakan setelah terapi antibiotika terutama seftriakson yang mendominasi terapi antibiotika untuk demam tifoid anak di RSUD Tangerang, demam akan turun pada hari keempat disertai dengan hasil kultur akan menjadi negatif pada hari keempat pula sehingga setelah itu pasien bisa dipulangkan.

Berat badan pasien dikelompokan menjadi 8 kelompok. Sebanyak 43 pasien (33,1%) memiliki berat badan antara 6-15 kg dan jumlah tersebut merupakan jumlah terbanyak. Sebanyak 39 pasien (30,0 %) memiliki berat badan antara

16-37 63

21

7 1 0 1

0 10 20 30 40 50 60 70 2-4 hari 5-7 hari 8-10 hari 11-13 hari 14-16 hari 17-19 hari 20-22 hari

Lama Rawat Inap


(44)

23 kg. Pasien dengan berat badan antara 24-31 kg ada sebanyak 27 pasien (20,8%). Sebanyak 12 pasien (9,2%) memiliki berat badan antara 32-39 kg. Delapan pasien (6,2%) memiliki berat badan antara 40-47 kg. Jumlah terkecil yaitu 1 pasien (0,8%) yang termasuk dalam kelompok pasien dengan berat badan antara 64-71 kg. Hasil seperti di atas tergambar dalam bagan berikut :

Gambar 4.5 Karakteristik Berat Badan Pasien Demam Tifoid Anak

Terdapat perbedaan hasil dari penelitian yang dilakukan di RSUD Tangerang dan RSUP Fatmawati. Di RSUD Tangerang paling banyak pasien demam tifoid memiliki berat badan antara 6-15 kg sedangkan di RSUP Fatmawati sebanyak 50 pasien (27,47%) memiliki berat badan 15-19 kg.20

Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ada hasil positif pada pemeriksaan laboratorium yang menunjang diantaranya adalah pemeriksaan kultur darah, widal, IgM salmonella, dan Tubex. Pemeriksaan laboratorium yang menjadi pilihan utama untuk digunakan sebagai penegak diagnosis demam tifoid di RSUD Tangerang adalah pemeriksaan IgM Salmonella. Dari 130 pasien anak yang didiagnosis demam tifoid sebanyak 42 pasien (83,1%) melakukan pemeriksaan IgM salmonella. Dua puluh dua pasien (15,4%) yang diperiksa menunjukan hasil yang negatif. Dua pasien (1,5%) menunjukan hasil borderline. Tujuh Belas pasien (13,1%) menunjukan hasil positif lemah. Enam puluh sembilan pasien (53,1%) menunjukan hasil postif kuat terdiagnosis demam tifoid. Sisanya sebanyak 22 pasien (16,9%) tidak melakukan pemeriksaan IgM salmonella. Data-data seperti di atas tergambar dalam bagan berikut :

43

39

27

12 8 1

0 10 20 30 40 50

6-15 kg 16-23 kg 24-31 kg 32-39 kg 40-47 kg 64-71 kg

Berat Badan


(45)

Gambar 4.6 Karakteristik Nilai IgM Salmonella Pasien Dema Tifoid Anak Sebanyak 56 pasien (41,3%) melakukan tes Widal. Dua puluh delapan pasien (21,5%) menunjukan hasil tes negatif dan 28 pasien (21,5%) menunjukan hasil test yang positif. Sisanya sebanyak 79 pasien (56,9%) tidak melakukan test Widal. Hasil seperti di atas tergambar dalam bagan berikut :

Gambar 4.7 Karakteristik Hasil Uji Widal Pasien Demam Tifoid Anak

Hanya 9 pasien (6,9%) yang melakukan pemeriksaan Tubex. Tujuh pasien (5,4%) menunjukan nilai Tubex positif kuat. Dua pasien (1,5%) menunjukkan hasil Tubex negatif borderline, dan sisanya yaitu sebanyak 121 pasien (93,1%) melakukan pemeriksaan laboratorium yang lainnya selain Tubex.

Hanya 3 pasien (2,3%) yang melakukan pemeriksaan kultur darah. Sebanyak 2 pasien (1,5%) menunjukan hasil biakan yang negatif. Satu pasien

22 20

2 17

69

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Nilai IgM Salmonella

Nilai IgM Salmonella

74

28 28

0 20 40 60 80

Tidak diperiksa Negatif Positif

Hasil Widal


(46)

(0,8%) menunjukan hasil biakan yang positif. Sisanya sebanyak 127 pasien (97,7%) tidak melakukan pemeriksaan kultur darah.

4.2 Analisis Penggunaan Antibiotika

Ada 2 jenis antibiotika yang menjadi pilihan utama dokter untuk penatalaksanaan demam tifod anak yang dirawat inap di RSUD Tangerang yaitu Seftriakson dan Sefotaksim dengan persentase penggunaan seperti yang tersaji dalam tabel berikut :

Tabel 4.2 Persentase Penggunaan Antibiotika

Nama Antibiotika N (%)

Seftriakson 100 (76,9%)

Sefotaksim 30 (23,1%)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis antibiotika yang paling banyak digunakan untuk penatalaksanaan demam tifoid anak di RSUD Tangerang adalah seftriakson yang digunakan oleh 100 pasien (76,9%) sedangkan sefotaksim digunakan oleh 30 pasien (23,1%). Data seperti di atas dapat dilihat pula dalam bagan berikut :

Gambar 4.8 Jenis Antibiotika Yang Digunakan Untuk Pasien Demam Tifoid Anak

Digunakannya Seftriakson sebagai pilihan utama terapi antibiotika untuk pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap di RSUD Tangerang dikarenakan Seftriakson memiliki beberapa keunggulan diantaranya angka resistensi terhadap Seftriakson yang rendah, efek samping lebih rendah,

100

30 0

20 40 60 80 100 120

Seftriakson Sefotaksim

Jenis Antibiotika


(47)

demam turun lebih cepat yaitu turun pada hari ke 4 begitu juga hasil kultur akan menjadi negatif pada hari ke 4 sehingga durasi terapi lebih pendek, pemberian Seftriakson untuk anak dinyatakan aman dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari. Harga Seftriakson memang lebih mahal jika dibandingkan dengan harga antibiotik lainnya yang diindikasikan untuk terapi demam tifoid seperti misalnya Kloramfenikol namun karena durasi terapi yang lebih singkat jadi biaya terapi demam tifoid dengan menggunakan Seftriakson lebih rendah.16

Penelitian yang dilakukan pada pasien demam tifoid anak di RSUP Fatmawati menunjukan bahwa Kloramfenikol masih menjadi antibiotika yang paling banyak dijadikan pilihan terapi oleh para dokter. Dari 185 peresepan, Kloramfenikol diresepkan sebanyak 97 resep (53,55%). Hal tersebut karena meskipun angka MDRST terhadap kloramfenikol dan risiko terjadinya relaps

tinggi tetapi efektivitas terapi kloramfenikol masih baik ditunjang pula dengan harganya yang murah. Dari penelitian tersebut juga terlihat bahwa penggunaan Seftriakson juga tergolong tinggi yaitu sebanyak 49 resep (26,92%). Hal tersebut karena Seftriakson merupakan antibiotik yang memiliki efektivitas tinggi untuk terapi demam tifoid, bekerja selektif dengan menghancurkan struktur kuman tanpa mengganggu sel tubuh manusia, kemampuan penetrasi pada jaringan yang baik, serta angka resistensinya yang rendah.20

Tabel 4.3 Tingkat Rasionalitas Pemberian Antibiotika

Kategori N (%)

Kategori V Kategori IIIB

23 (17,7%) 44 (33,8%) Kategori IIa

Kategori IIb Kategori I

18 (13,8%) 12 (9,2%) 33 (25,4%)

Penilaian tingkat rasionalitas pemberian antibiotika untuk pasien demam tifoid anak pada penelitian ini menggunakan alogaritma Gyssen dengan memperhatikan beberapa komponen yang terdiri dari indikasi terapi, karakteristik antibiotika (efikasi, keamanan penggunaan, harga, serta spektrum), dosis, interval, serta waktu pemberian.6


(48)

Setelah melewati proses penilaian dengan menggunakan alogaritma Gyssen didapatkan hasil berupa penggunaan antibiotika untuk pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di RSUD Tangerang sebanyak 44 peresepan (33,8%) yang merupakan jumlah tertinggi termasuk kedalam kategori IIIb. Durasi pemberian antibiotik dikatakan terlalu pendek karena pemberian Seftriakson dan Sefotaksim sebagai pilihan antibiotika yang digunakan para dokter di RSUD Tangerang seharusnya minimal 5 hari ketika hasil kultur bakteri menjadi negatif pada hari keempat pemberian antibiotika.9 Jumlah terbanyak kedua yaitu sebanyak 33 peresepan (25,4%) termasuk ke dalam kategori I, artinya peresepan antibiotika memenuhi kriteria rasional yaitu antibiotika diberikan dengan indikasi yang jelas, pilihan antibiotika tepat sesuai dengan kebutuhan pasien (dinilai dari segi efikasi, keamanan, kesesuaian, serta biaya yang dibutuhkan untuk terapi), serta dosis, interval, durasi, dan rute pemberian tepat. Jumlah terbanyak ketiga yaitu sebanya 23 peresepan (17,7%) termasuk kategori V yang merupakan pertimbangan paling tidak rasional dalam pemberian terapi antibiotika karena tidak didasari oleh indikasi yang jelas dalam artian tidak ada keterangan penunjang yang menunjukan bahwa pasien tersebut terkena infeksi bakteri (dalam hal ini Salmonella typhi) dan membutuhkan terapi antibiotika dan pemberian antibiotika harus segera dihentikan.6 Sebanyak 18 peresepan (13,8%) termasuk kategori IIa yaitu dosis yang diberikan tidak tepat baik melampaui dosis maksimal maupun kurang dari dosis minimal. Dosis Seftriakson yang seharusnya diberikan adalah 50-100 mg/kgBB/hari dan untuk Sefotaksim adalah 50-200 mg/kgBB/hari.22 Sisanya sebanyak 12 peresepan ( 9,2%) termasuk kedalam kategori IIb artinya interval pemberian antibiotika tidak tepat dan ini terjadi pada pemberian Sefotaksim yang seharunya diberikan 4-6 dosis dalam sehari kebanyakan hanya diberikan 2-3 dosis dalam sehari.22 Hasil seperti di atas tergambar dalam diagram berikut :


(49)

Gambar 4.9 Tingkat Rasionalitas Pemberian Antibiotika Untuk Pasien Demam Tifoid Anak

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan antibiotika secara tidak rasional masih mendominasi dalam peresepan antibiotika untuk pasien demam tifoid anak di RSUD Tangerang. Terlihat perbedaan hasil dari evaluasi rasionalitas pemberian antibiotika untuk pasien demam tifoid yang dilakukan di RSUD Tangerang dengan yang dilakukan di RSUP DR. Kariadi Semarang. Hasil evaluasi di RSUD Tangerang menunjukan peresepan antibiotika untuk pasien demam tifoid anak didominasi oleh kategori IIIb yaitu durasi terapi yang terlalu singkat sebanyak 44 peresepan (33,8%), sedangkan di RSUP DR. Kariadi Semarang yang mendominasi adalah kategori IVc yaitu ada alternatif antibiotika yang memiliki harga lebih murah dari antibiotik pilihan terapi sebanyak 92 peresepan.9 Di RSUD Tangerang peresepan yang memenuhi syarat rasional atau yang termasuk kategori I ada sebanyak 33 peresepan (25,4%) resep dari total 130 peresepan, sedangkan di RSUP DR. Kariadi Semarang hanya 11 peresepan saja dari total 137 peresepan yang termasuk kedalam kategori peresepan antibiotik rasional atau kategori I,9 Dapat disimpulkan bahwa pemberian antibiotik untuk pasien demam tifoid di RSUD Tangerang lebih baik dibandingkan dengan pemberian antibiotik di RSUP DR. Kariadi Semarang.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut diantaranya adalah kurangnya kepatuhan dokter terhadap pedoman penggunaan antibiotika, serta ketidak mampuan pasien terkait masalah biaya sehingga mengharuskan terputusnya penggunaan lebih awal ketika target terapi belum tercapai. Kesadaran dokter akan pentingnya rasionalitas dalam peresepan antibiotika harus

23

44

18 12

33 0 10 20 30 40 50 Kategori V Kategori IIIB Kategori IIa Kategori Iib Kategori I

Tingakat Rasionalitas Pemberian

Antibiotika

Tingakat Rasionalitas Pemberian Antibiotika


(50)

ditingkatkan karena pemberian antibiotika yang tidak rasional dapat menyebabkan AMR atau antimicrobial resistance 6,23 khususnya dalam hal ini untuk demam tifoid bisa menyebabkan MDRST atau Multidrugs Resistance Salmonella typhi

yang sudah terjadi pada obat lini pertama untuk terapi demam tifoid yaitu Kloramfenikol, Ampisilin, Trimetoprim dan Sulfametoksazol sedang menjadi permasalahan global saat ini.24 Pemberian antibiotika yang tepat dan rasional juga memberikan manfaat yang besar bagi pasien. Pasien diuntungkan karena terapi yang diberikan akan mencapai hasil yang maksimal dengan risiko terjadinya efek samping yang rendah, penyembuhan berlangsung cepat, dan biaya pengobatan menjadi lebih rendah.

4.3 Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan terkait penilaian rasionalitas pemberian antibiotika untuk pasien demam tifoid anak di RSUD Tangerang ini memiliki beberapa ketebatasan, yang diantaranya sebagai berikut :

1. Waktu penelitian yang pendek sehingga hanya bisa mengevaluasi sebanyak 130 peresepan saja. Lebih baik lagi jika pada penelitian selanjutnya jumlah sampel diperbanyak dengan memperpanjang waktu penelitian agar lebih mewakili keadaan yang sesungguhnya.

2. Penelitian ini hanya menggambarkan seberapa tepat dan rasional antibiotika yang diberikan kepada pasien demam tifoid tanpa menghubungkan dengan kefektifan terapi yang bisa dilihat dari lama proses penyembuhan. Peneliti menyarankan jika akan dilakukan penelitian selanjutnya, dilihat juga hubungan tingkat rasionalitas pemberian antibiotika dengan lama proses penyembuhan pasien agar tergambar dengan jelas bahwa pemberian antibiotika yang rasional sangat menguntungkan bagi pasien. Salah satu dampaknya akan mempercepat proses penyembuhan.


(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai profil pemberian antibiotika rasional untuk pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di RSUD Tangerang pada Tahun 2010-2011 didapatkan hasil sebagai berikut :

1. Pasien demam tifoid anak disominasi oleh anak laki-laki yaitu sebanyak 68 pasien (52,3%).

2. Pasien demam tifoid anak paling banyak terdapat pada kelompok usia 12-13 tahun yaitu sebanyak 23 pasien (17,7%).

3. Pasien demam tifoid anak paling banyak dirawat di unit rawat inap kelas III yaitu sebanyak 88 pasien (67,7%).

4. Pasien demam tifoid anak paling banyak dirawat selama 5-7 hari yaitu sebanyak 63 pasien (48,5%).

5. Pasien demam tifoid anak paling banyak memiliki berat badan 6-15 kg yaitu sebanyak 43 pasien (33,1%).

6. Nilai Igm Salmonella positif kuat sebanyak 69 pasien (53,1%). 7. Hasil widal positif sebanyak 28 pasien (21,5%).

8. Hasil Tubex positif sebanyak 7 pasien (5,4%). 9. Hasil kultur darah positif sebanyak 2 pasien (1,5%)

10.Antibiotika yang paling banyak diresepkan dokter adalah Seftriakson yaitu sebanyak 100 resep (76,9%).

11.Jika dinilai dari tingkat rasionalitasnya, peresepan antibiotika yang paling banyak yaitu sebanyak 44 resep (33,8%) termasuk ke dalam kategori IIIb yaitu durasi pemberian antibiotika terlalu pendek.


(52)

5.2 SARAN

1. Bagi RSUD Tangerang dalam hal ini tim dokter diharapkan dapat lebih meningkatkan kepedulian terhadap pentingnya pemberian antibiotika secara rasional khususnya dalam hal ini untuk terapi demam tifoid untuk menekan kejadian MDRST

2. Bagi masyarakat diharapkan agar meningkatkan kepatuhan selama menjalankan terapi antibiotika sampai tuntas untuk menekan kejadian MDRST

3. Bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian serupa di rumah sakit yang lainnya agar tercapainya perbaikan tingkat rasionalitas dalam pemberian antibiotika.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed Zulfikar Bhutta. Enteric fever (Typhoid fever). In : Nelson Text Book of Pediatric. 19th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.954-958.

2. Brush L John . Typhoid fever. emedichine. 2011. [Cited 1st November 2011].

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. h.14.

4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta ; 2011. h.57. 5. Soedarmo Sumarmo SP, Gama Herry, Rezki Sri SH, Irawan HS. Demam

Tifoid. Dalam : Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2012. h.338-345.

6. Gyssen Inge C. Audits for monitoring the quality of antimicrobial prescriptions. In: Antibiotic Policies Fighting Resistance. New York : Springer; 2005. p.197-208.

7. Van der Meer J.W.M, Gyssen I C. Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital. Europian Sociaty of Clinical Microbiology and Infectious Diseases. 2001; 7 (supplement 6): 12-15 [Cited 28th May 2012]. 8. Nagshetty Kavita, Channappa TS, Gaddad MS. Antimicrobial Susceptibility of Salmonella Typhi in India. The Journal of Infection In Develoving Coutries. 2010; 4(2): 070-073 [ Cited 6st September 2012]. 9. Santoso Henry. Kajian rasionalitas penggunaan antibiotik pada kasus

demam tifoid yang dirawat pada bangsal penyakit dalam di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008. Diponogoro University Institutional Repository. 2009 [Diunduh tanggal 11 November 2011].

10.Nasronudin. Demam tifoid. Dalam : Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press; 2007. h.121-136.


(54)

11.World Health Organization. The Diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever. Communicable Disease Surveillance and Response

Vaccines and Biologicals World Health Organization; 2003 [cited 26th

January 2012]

12.Clearly Thomas G. Salmonella Ser. typhi. In : Textbook of pediatric infectious diseases volume 1. 5th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004. p.1475-1482.

13.Prayitno Ari. Pilihan terapi antibiotik untuk demam tifoid. Dalam : Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak; 2012. h.9-14.

14.Pickering Larry K, Clearly Thomas G. Infection of the gastrointestinal tract. In : Krugman’s Infectious Diseases of Children. 11th edition. Philadelphia: Mosby; 2004. p.212-218.

15.Chamber Henry F. Obat kemoterapetik. Dalam : Farmakologi Dasar dan Klinik Katzung. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2011. h.775-776, 759-760, 788-794.

16.Sidabutar Sondang, Irawan Hindra S. Pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak : Kloramfenikol atau Seftriakson. Sari Pediatri volume 11. 2010; 11(6) : 434-9) [Diunduh tanggal 24 Mei 2012].

17.World Health Organization. Guide to good prescribing. Geneva: Action Programe on Essential Drugs World Health Organization; 1994. P.31-33 [cited 25th April 2012]

18.Ayaz Ayesha, Khalid Muhammad P, Din M Azad, et al. Risk factor of enteric fever in children less than 15 years of age. Journal of Statistic volume 13. 2006; ISSN 1684-8403 [Cited 6 September 2012].

19.Ganesh Ramaswamy, Janakiraman Lalitha, Vasanthi T, et al. Profile of typhoid fever in children from a tertiary care hospital in Chennai-South India. Indian Journal Pediatric. 2010; 77:1089-1092 [Cited 6 September 2012].


(55)

20.Musnelina Lili, Fuad A Afdhal, Gani Aschobat, dkk. Dalam : Pola pemberian antibiotika pengobatan demam tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002. Makara Kesehatan volume 8. 2004; 27-31. [Diunduh tangga 6 September 2012].

21.Srikantiah Padmini, Girgis Fouad Y, Luby Stephen P, et al. Population besed surveillance of typhoid fever in Egypt. American Journal of Tropic Medicine. 2006; pp. 114-119. [Cited 6st September 2012].

22.Istiantro Vati H, Gan Vincent HS. Penisilin, Sefalosforin, dan antibiotik Beatalaktam Lainnya. Dalam : Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. h.700-702

23.World Health Organization. Antimicrobial resistance. World Health Organization; 2012. [Cited 6th September 2012].

24.Rowe Bernard, Ward Linda R, Therlfall E John. Multidrug-Resistant

Salmonella typhi: A Worldwide Epidemic. Clinical Infection Diseases Oxford Journal. 2012; 24 (suppl 1) : S 106-9 [Cited 6st September 2012].


(56)

Lampiran 1 Alogaritma Gyssen

Mulai

Data tidak lengkap Tidak VI HENTIKAN

Ya

Antibiotik yang diindikasikan Tidak HENTIKAN

Ada alternatif yang lebih efektif

Ya

V

Ya IVa

Tidak

Toksisitas obat alternatif lebih rendah

Tidak

Ya IVb

Obat alternatif lebih murah Ya IVc

Tidak

Obat alternatif memiliki spektrum yang

lebih sempit Ya IVd

Tidak Durasi terlalu lama Ya IIIa Tidak Durasi terlalu cepat Tidak Ya IIIb

Dosis tepat IIa

Tidak Ya Interval Tepat Tidak IIb Ya

Rute tepat IIc

Ya

Tidak

Waktu tepat I

Ya

0

Tidak

Gambar 2.1 Alogaritma untuk mengevaluasi rasionalitas pemberian antibiotika Sumber : Gyssen, 2005.


(57)

Lampiran 2 Data Hasil Uji Statistik

A. Hasil Analisis freqquencies subjek penelitian pasien demam tifoid anak

jenis kelamin responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid perempuan 62 47.7 47.7 47.7

laki-laki 68 52.3 52.3 100.0


(58)

(Lanjutan)

usia responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0-1 8 6.2 6.2 6.2

2-3 20 15.4 15.4 21.5

4-5 20 15.4 15.4 36.9

6-7 15 11.5 11.5 48.5

8-9 20 15.4 15.4 63.8

10-11 20 15.4 15.4 79.2

12-13 23 17.7 17.7 96.9

14-15 4 3.1 3.1 100.0


(59)

unit rawat inap responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid kelas 3 88 67.7 67.7 67.7

kelas 2 29 22.3 22.3 90.0

kelas 1 12 9.2 9.2 99.2

VIP 1 .8 .8 100.0

Total 130 100.0 100.0


(60)

lama rawat inap responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2-4 37 28.5 28.5 28.5

5-7 63 48.5 48.5 76.9

8-10 21 16.2 16.2 93.1

11-13 7 5.4 5.4 98.5

14-16 1 .8 .8 99.2

20-22 1 .8 .8 100.0


(61)

(Lanjutan)

berat badan responden (kg)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 6-15 43 33.1 33.1 33.1

16-23 39 30.0 30.0 63.1

24-31 27 20.8 20.8 83.8

32-39 12 9.2 9.2 93.1

40-47 8 6.2 6.2 99.2

64-71 1 .8 .8 100.0


(62)

nilai IgM salmonella

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak diperiksa 22 16.9 16.9 16.9

negatif 20 15.4 15.4 32.3

borderline 2 1.5 1.5 33.8

positif lemah 17 13.1 13.1 46.9

positif kuat 69 53.1 53.1 100.0


(63)

hasil widal responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak diperiksa 74 56.9 56.9 56.9

negatif 28 21.5 21.5 78.5

positif 28 21.5 21.5 100.0

Total 130 100.0 100.0


(64)

hasil tubex responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak diperiksa 121 93.1 93.1 93.1

negatif borderline 2 1.5 1.5 94.6

positif kuat 7 5.4 5.4 100.0


(65)

(Lanjutan)

hasil kultur responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak diperiksa 127 97.7 97.7 97.7

negatif 2 1.5 1.5 99.2

positif 1 .8 .8 100.0


(66)

(Lanjutan)

B. Hasil analisis freqquencies penggunaan antibiotika

jenis antibiotika yang diberikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ceftriaxone 100 76.9 76.9 76.9

cefotaxime 30 23.1 23.1 100.0

Total 130 100.0 100.0


(67)

(Lanjutan)

kategori pemberian antibiotik

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid kategori V 23 17.7 17.7 17.7

kategori IIIb 44 33.8 33.8 51.5

kategori IIa 18 13.8 13.8 65.4

kategori IIb 12 9.2 9.2 74.6

kategori I 33 25.4 25.4 100.0


(68)

Lampiran 3 Daftar Riwayat Hidup DAFTAR RIWAYAT HIDUP

PERSONAL DATA

Nama : Angelia Puspita

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir: Karawang, 24 Agustus 1992

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. RH Djadja Abdullah Perumahan Cluster Block B2 RT 05 RW 11 Kelurahan Karawang Kulon

Kabupaten Karawang Jawa Barat Nomor Telepon/HP : 085722188275

Email : angelia_puspita@yahoo.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1995 – 1997 : Taman Kanak-kanak RA Masyitoh Karawang 1997 – 2003 : SD Negeri Nagasari III Karawang

2003 – 2006 : SMP Negeri 1 Karawang 2006 – 2009 : SMA Negeri 3 Karawang

2009 – Sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter,

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(1)

hasil widal responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak diperiksa 74 56.9 56.9 56.9

negatif 28 21.5 21.5 78.5

positif 28 21.5 21.5 100.0

Total 130 100.0 100.0


(2)

hasil tubex responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak diperiksa 121 93.1 93.1 93.1

negatif borderline 2 1.5 1.5 94.6

positif kuat 7 5.4 5.4 100.0


(3)

(Lanjutan)

hasil kultur responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak diperiksa 127 97.7 97.7 97.7

negatif 2 1.5 1.5 99.2

positif 1 .8 .8 100.0


(4)

B. Hasil analisis

freqquencies

penggunaan antibiotika

jenis antibiotika yang diberikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ceftriaxone 100 76.9 76.9 76.9

cefotaxime 30 23.1 23.1 100.0

Total 130 100.0 100.0


(5)

(Lanjutan)

kategori pemberian antibiotik

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid kategori V 23 17.7 17.7 17.7

kategori IIIb 44 33.8 33.8 51.5

kategori IIa 18 13.8 13.8 65.4

kategori IIb 12 9.2 9.2 74.6

kategori I 33 25.4 25.4 100.0


(6)

Daftar Riwayat Hidup

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

PERSONAL DATA

Nama

:

Angelia Puspita

Jenis Kelamin

:

Perempuan

Tempat Tanggal Lahir:

Karawang, 24 Agustus 1992

Status

:

Belum Menikah

Agama

:

Islam

Alamat

:

Jl. RH Djadja Abdullah Perumahan Cluster Block B2

RT 05 RW 11 Kelurahan Karawang Kulon

Kabupaten Karawang Jawa Barat

Nomor Telepon/HP :

085722188275

Email

:

angelia_puspita@yahoo.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1995

1997

:

Taman Kanak-kanak RA Masyitoh Karawang

1997

2003

:

SD Negeri Nagasari III Karawang

2003

2006

:

SMP Negeri 1 Karawang

2006

2009

:

SMA Negeri 3 Karawang

2009

Sekarang

:

Program Studi Pendidikan Dokter,

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.


Dokumen yang terkait

Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Sri Pamela PTPN 3 Tebing Tinggi Tahun 2004-2008

1 34 92

Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008

0 41 110

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Sayidiman Magetan Tahun 2014.

1 28 17

KAJIAN DOSIS PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI Kajian Dosis Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 1 10

KAJIAN DOSIS PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD “X” TAHUN 2011 Kajian Dosis Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 1 15

POTENSIAL INTERAKSI OBAT PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI Potensial Interaksi Obat Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 2 13

POTENSIAL INTERAKSI OBAT PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD “X” Potensial Interaksi Obat Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 2 13

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD dr. R. SOETRASNO REMBANG TAHUN 2010.

0 1 17

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TIFOID RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap di RSUD Dr. R.Goeteng Taroenadibrata Purbalingga Tahun 2010 Menggunakan Metode ATC/DDD.

0 4 15

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PADA PENGOBATAN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2013.

0 0 16