Pengertian Pernikahan ATURAN PERNIKAHAN DAN PENCATATAN

Artinya: Maka jika suami menolaknya sesudah talak dua kali, maka perempuan tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. Qs. Al-Baqarah [2] : 230. 9         Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengigat akan kebesaran Allah. Qs Al-Dzariyat [51] : 49. 10 Ketentuan-ketentuan ini telah dituangkan di dalam firman Allah Swt antara lain berbunyi:                  Artinya: Dan dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung- gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah- buahan berpasang-pasangan. Qs. Ar- Ra’ad : [3]. 11 Allah berfirman dalam kitab-Nya:                     9 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Prenada Mulia, 2007, Cet., Ke-2. h. 36. 10 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 9. 11 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, Cet., Ke-1. h. 41. Artinya: Dan kawinilah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang- orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang elaki dan hamba-hamba sahayamuyang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Qs. Al-Nuur: [32]. 12 Arti Nikah menurut para Ahli Ushul, sebagai berikut: a. Ulama Syafi’iyah, berpendapat: Kata nikah, menurut arti sebenarnya hakiki berarti “akad”, dan dalam arti tidak sebenarnya majazi arti nikah berarti “bersetubuh” dengan lawan jenis. b. Ulama Hanafiyah, berpendapat: Kata nikah, menurut arti sebenarnya hakiki berarti “bersetubuh”, dan dalam arti tidak sebenarnya majazi arti nikah berarti “akad” yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. Pendapat ini sebaliknya dari pendapat ulama syafi’iyah. c. Ulama Hanabilah, Abu Qasim al-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, berpendapat: bahwa kata nikah untuk dua kemungkinan tersebut yang disebutkan dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam kedua pendapat di atas yang disebutkan sebelumnya, mengandung dua unsur sekaligus, 13 yaitu kata nikah sebagai “Akad” dan “Bersetubuh”. 14 12 Mona Eliza, Pelanggaran Terhadap UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya, Ciputat: Adelina Bersaudara, 2009, Cet., Ke-1. h. 11-12. 13 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 36-37. Adapun menurut Ahli Fiqh, nikah pada hakikatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan atau seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga. 15 Menurut para sarjan hukum ada beberapa pengertian perkawinan, sebagai berikut: a. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamidjojo mengemukakan: Arti perkawinan adalah hubungan suatu hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersma dengan kekal yang diakui oleh negara. b. Subekti, mengemukakan: Arti perkawinan adalah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. c. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan: Arti perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam perturan tersebut baik agama maupun aturan Hukum negara. 16 Dari pengertian perkawinan diatas, dapat disimpulkan beberapa unsur- unsur dari suatu perkawinan yaitu sebagai berikut: a. Adanya suatu hubungan hukum; 14 Chuzaimah Tahido yango dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK, 1994, Cet., Ke-1. h. 53. 15 Chuzaimah Tahido yango dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 54. 16 Eoh, O.S., Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, Cet., Ke-2. h. 27-28. b. Adanya seorang pria dan wanita; c. Untuk membentuk keluarga rumah tangga; d. Dilakukan menurut undang-undang dan menurut hukum yang beraku. Abu Yahya Zakariya Al- Anshary, memberikan arti “Nikah” menurut istilah syara ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya. 17 Dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 18 Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI, seperti yang terdapat pada pasal dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah. 19 Dan dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam KHI tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 20 17 Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab, Singapura: Su Laiman Mar’iy, T.,t.p, h. 30. 18 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdatata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI, Jakarta: Prenada Media Group, 2004, Cet., Ke-3. h. 43. Lihat juga, Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987, Cet., Ke-1. h. 3. 19 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Prkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI, h. 43. 20 Depag RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2004, h. 128. Sedangkan pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah rumah tangga yang bahagia dan kekal. 21

B. Rukun dan Syarat Pernikahan

Syarat sah dan tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh terpenuhinya atau tidak semua rukun dan syarat perkawinan. Syarat dan rukun dalam sebuah hukum fikih merupakan hasil ijtihad ulama yang diformulasikan dari dalil-dalil nash serta kondisi objektif masyarakat setempat. Rukun berasal dari kata rakana, yarkunu, ruknan, rukunan yang artinya tiang, sandaran, atau unsur. Yaitu suatu unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu tersebut. 22 Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkain pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam. Sah yaitu sesuatu pekerjaan ibadah yang memenuhi rukun dan syarat. 23 Dalam Islam pernikahan tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah dan dalam 21 Ma’ruf Amin, Fatwa-Fatwa masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Elsas, 2008, h. 3. 22 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2000, Cet., Ke-4. h. 1510. 23 Chuzaimah Tahido yango dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 12. Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 ditegaskan bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat, hal tersebut dilakuakan untuk mentaati perintah Allah Swt, dan dengan melaksanakanya merupakan suatu nilai ibadah kepada Allah Swt. 24 Para ulama berbeda pandangan tentang penentuan rukun dan syarat nikah. Menurut Hanafiyah, rukun nikah hanya terdiri dari ijab dan kabul saja. Bagi Syafi’iyah, rukun perkawinan terdiri dari calon suami isteri, wali, dua orang saksi, dan sighat ijab kabul. Sedangkan menurut Malikiyah berpendapat bahwa yang termasuk rukun nikah adalah wali, mahar calon suami isteri dan sighat. Sementara yang dipakai oleh penduduk Indonesia yang mayoritas penduduk mazhab Syafi’i. Yang menjadi rukun Perkawinan bagi Imam Syafi’i, menurut Peunoh Daly dan Ahmad Rofiq ada lima. 25 Dan dalam Bab IV diatur tentang rukun dan syarat Perkawinan sekalipun tidak tegas pembedaanya satu dengan yang lain. Pasal 14 menyebutkan apa yang biasa dalam kitab fiqh disebut dengan rukun nikah. dikatakan bahwa untuk melaksanakan Perkawinan harus ada. 26 a. Calon Suami. Dengan syarat: hendaklah calon suami bukanlah mahrom bagi calon isteri, calon suami haruslah ditentukan orangnya secara jelas dan 24 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 69. 25 Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 125. 26 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 69. Lihat Juga Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, Pamulang: CV Pamulang, 2005, Cet., Ke-1. h. 5. calon suami dalam keadaan boleh dikawin, artinya tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah. b. Calon Isteri. Dengan syarat: Tidak terdapatnya hal-hal yang dapat menghalangi Perkawinan terhadap calon istri berkaitan dengan halangan Perkawinan yang bersifat selamanya maupun temporer dan calon istri masih dalam peminangan orang lain, calon istri haruslah ditentukan orangnya secara jelas dan calon istri tidak dalam keadaan ihrom haji dan umrah. Pada Kompilasi Hukum Islam, syarat-syarat yang berkaitan dengan calon mempelai suami-isteri diatur pada pasal 15 hingga 18. Pada pasal 15 nya, ada syarat tambahan mengenai calon suami, yakni minimal 19 tahun, sedangkan calon isteri minimal 19 tahun. Sedangkan pada pasal 16 dan 17 mensyaratkan adanya persetujuan dari kedua belah pihak untuk berlangsungnya Perkawinan. 27 c. Wali Nikah. Dengan syarat: Beragama Islam, baligh, berakal, tidak terganggu pendengaranya, bukan orang yang sedang pailit, tidak dalam keadaan haji dan umrah. d. Dua Orang Saksi. Dengan syarat: Muslim, balig, berakal, merdeka, laki-laki, adil, Pendengaran dan penglihatanya sempurna, Memahami bahasa yang 27 Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, Pamulang: CV Pamulang, 2005, Cet., Ke-1. h. 5. diucapkan ijab qabul, Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah. 28 e. Ijab dan Kabul. Lafadz ijab dan kabul yang merupakan ikrar yang menyatakan kerelaan dan keinginan dari masing-masing dalam ikatan rumah tangga. Syarat-syarat Ijab dan kabul: adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan mengawinkan dari suami, memakai kata- kata nikah tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara Ijab dan kabul bersambung jelas maksudnya, orang yang berkaitan dengan Ijab kabul tidak dalam Ihram, haji, umrah dan majelis Ijab kabul itu harus dihadiri minimal 4 orang calon suami atau wakilnya, wali dan dua orang saksi. 29 Kaitanya pada bidang Perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat Perkawinan, seperti keharusan atau kewajiban ada kedua calon mempelai baik laki-laki dan perempuan, wali, ijab-kabul serta dua orang saksi. 30 Dalam melangsungkan dan mengurus adminstrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama mengacu kepada aturan hukum yakni berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang pelaksanaan Peradilan Agama ayat 4, dan hal-hal yang 28 Asrorun Ni’an Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Elsas, 2008, Cet., Ke-2. h. 31-32. 29 Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 126. 30 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1999, h. 24.