Rukun dan Syarat Pernikahan

diucapkan ijab qabul, Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah. 28 e. Ijab dan Kabul. Lafadz ijab dan kabul yang merupakan ikrar yang menyatakan kerelaan dan keinginan dari masing-masing dalam ikatan rumah tangga. Syarat-syarat Ijab dan kabul: adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan mengawinkan dari suami, memakai kata- kata nikah tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara Ijab dan kabul bersambung jelas maksudnya, orang yang berkaitan dengan Ijab kabul tidak dalam Ihram, haji, umrah dan majelis Ijab kabul itu harus dihadiri minimal 4 orang calon suami atau wakilnya, wali dan dua orang saksi. 29 Kaitanya pada bidang Perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat Perkawinan, seperti keharusan atau kewajiban ada kedua calon mempelai baik laki-laki dan perempuan, wali, ijab-kabul serta dua orang saksi. 30 Dalam melangsungkan dan mengurus adminstrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama mengacu kepada aturan hukum yakni berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang pelaksanaan Peradilan Agama ayat 4, dan hal-hal yang 28 Asrorun Ni’an Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Elsas, 2008, Cet., Ke-2. h. 31-32. 29 Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 126. 30 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1999, h. 24. berkenaan dengan perkawinan dapat diatur di Peradilan Agama pada pasal 1 ayat 1 yang menegaskan bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. 31 Pada tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan oleh presiden R.I. suatu Undang-undang Perkawinan Nasional, yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974 dengan peraturan pelaksanaanya PP. I No. 9 tahun 1975. Maka terhadap segenap warga negara Indonesia yang ingin melangsungkan suatu Perkawinan berlakulah Perkawinan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dengan pelaksanaanya PP. No. 9 tahun 1975. 32 Setelah ditetapkanya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dasar berlakunya hukum Islam di bidang Perkawinan, talak dan rujuk tentulah Undang-undang No. 1 tahun 1974, ini terutama pasal 2 ayat 1 dan pasal 2 ayat 2 yang menetapkan sebagai berikut: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan yang berlaku. 33 Sahnya suatu Perkawinan itu ditetapkan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan Perkawinan, berarti apabila suatu Perkawinan yang dilakuakan bertentangan dengan ketentuan agama dan 31 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat, Jakarta: Kencana, 2006, Cet., Ke-1. h. 185. 32 Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia,h. 15. 33 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 48-49. kepercayaanya, dengan sendirinya menurut hukum Perkawinan belum sah dan tidak mampunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. 34 Adapun syarat merupakan sesuatu hal yang mesti harus dijalani dalam Perkawinan. apabila syarat tidak dipenuhi maka bisa menimbulkan pencegahan terhadap Perkawinan, yakni keterangan terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 60 ayat 1 yaitu pencegahan Perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu Perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Dan pada ayat 2 yaitu pencegahan Perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan Perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan Perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang- undangan. 35 Menurut ulama Hanafi’yah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan yakni berkaitan atau berhubungan dengan: a. Akad, serta sebagian yang lainya berkaitan dengan saksi. 36 1. Shihot, yaitu ibarat Ijab qabul, dengan syarat sebagai berikut: a. Menggunakan lafad tertentu, baik dalam lafaz sarih. Misalnya Tazwij atau Nikah. b. Ijab-qabul dilakuakan didalam satu majelis; c. Sighat didengar oleh orang-orang yang menyaksikan; d. Ijab-qabul tidak berbeda maksud dan tujuan; 34 Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 20. 35 Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawina: Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, Bandung: Nuansa Aulia, 2008, h. 19. 36 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 69. e. Lafaz sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu. 2. Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat-syarat apabila kedua calon pengantin berakal, baligh dan merdeka. 3. Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oleh satu orang saksi. Dan syarat-syaratnya dalah: a. Berakal; b. Baligh; c. Merdeka; d. Islam; e. Kedua orang saksi mendengar. 37 b. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan syarat-syarat perkawinan disebutkan dalam pasal 6 sebagai berikut: 1. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin orang tua. 3. Dalam hal orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka ijin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atu dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah 37 Abdul Rahman Ghazaly, fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-2. h. 64. dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yan disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dalam memberikan ijin setelah leboh dahulu mendengat orang- orang tersebut dalam ayat dan pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 38 Syarat pernikahan secara global ada lima macam yaitu: a. Ketentuan adanya masing-masing pasangan. Karena nikah merupakan aqd yang dilakukan secara timbal balik. b. Keridhaan masing-masing pasangan. c. Wali. Pernikahan tanpa wali tidak dianggap sah. Sedang syarat wali ada tujuh yaitu: merdeka, laki-laki, adanya kesamaan agama antara wali dengan orang yang di wali, baligh, berakal, adil dan benar. d. Kesaksian. Pernikahan tidak dapat dilaksanakan kecuali ada dua orang saksi. e. Masing-masing pasangan terbebas dari larangan untuk melaksanakan pernikahan karena suatu sebab atau karena masih ada keturunan. 39 38 Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, h. 81. Rukun dan syarat Perkawinan tersebut di atas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka Perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam Kitab al- Fiqh’ala al-Mazahib al-Arbaah: Nikah Fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunya. Dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah. 40

C. Pencatatan Pernikahan

Pada mulanya, syariat Islam baik dalam al- Qur’an maupun hadis tidak mengatur secara konkret tentang pencatatan Perkawinan dan akta nikah sebagai alat bukti. Ini berbeda dengan ayat muamalah mudayanahy yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatkannya. 41 Pencatatan pernikahan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang otentik agar seseorang mendapatkan kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 282:             Artinya: Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya tidak secara 39 Syaikh Humaidhy bin Abdul Aziz bin Muhammad, Kawin Campur Dalam Syariat Islam, Jakarta: Pustka Al-Kautsar, 1993, Cet., Ke-3. h. 16. 40 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 72. 41 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, Cet., Ke-6. h. 107. tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskanya. Qs.Al- Baqarah : [282]. Ayat tersebut menjelaskan tentang pencatatan secara tertulis dalam segala bentuk urusan muamalah, seperti perdagangan, hutang piutang dan sebagainya. 42 Pencatatan pernikahan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik pelaksanaan perkawinan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam. 43 Pencatatan pernikahan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap peristiwa Perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan akad Perkawinan antara calon suami dan calon isteri. 44 Pencatatan adalah suatu administrasi negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami isteri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk. Juga oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor 42 Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya?, Jakarta: Visimedia, 2007, h. 57. 43 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 26. 44 Muhammad Zain Muhtar Alshodiq, Membangun keluarga Humanis, h. 36. Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan perkawinan. 45 Yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah PPN adalah pegawai pencatat Perkawinan dan perceraian pada KUA kecamatan bagi umat Islam dan catatan sipil bagi nonmuslim. 46 Pencatatan Perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa Perkawinan. 47 Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 6 ayat 1 mengulangi pengertian pencatatan dimaksud dalam artian setiap P erkawinan “harus” dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 48 Dengan demikian, maka pengertian pencatatan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh pejabat atau seseorang yang ditunjuk oleh pemerintah mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan pengertian Perkawinan dalam Ensiklopedi Indonesia adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim dan dilakukan dengan ijab kabul. 49 Pencatatan Perkawinan dimulai sejak pemberitahuan kehendak melangsungkan Perkawinan dan berahir sesaat sesudah dilangsungkan 45 Arso Sostroatmodjo dan Awasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h. 55-56. 46 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-1. h. 14. 47 Muhammad Zain Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, h. 36. 48 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Presindo, 2007, Cet., Ke-5. h. 68. 49 Hassan Sadily, et. al., Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, 1883, h. 2388. Perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, yaitu pada saat akta perkawinan selesai ditandatangani oleh kedua mempelai, kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri Perkawinan dan wali nikah bagi yang beragama Islam. Dengan penandatanganan akta Perkawinan, maka Perkawinan telah tercatat secara resmi. 50 Pencatatan Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban Perkawinan dalam masyarakat .51 Pencatatan Perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975. Bab II Pasal 2 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975, Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954, tentang pencatatan Nikah Talaq dan Rujuk. 52 Selanjutnya pada penjelasan atas PP. No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa Pencatatan Perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau instansi atau pejabat yang membantunya. Adapun tentang cara melakukan pencatatan tersebut telah diatur dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 dan juga pasal 11 peraturan pelaksanaan yang 50 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986, Cet., Ke-1. h. 25. 51 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 107. 52 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 131.