Ecosystem management of seagrass on the tourism area at Sanur Beach, Denpasar City, Bali

(1)

PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN KAWASAN WISATA

PANTAI SANUR KOTA DENPASAR PROVINSI BALI

RIEKE KUSUMA DEWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Denpasar Provinsi Bali adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012 Rieke Kusuma Dewi NIM C252090081


(4)

(5)

ABSTRACT

Rieke Kusuma Dewi, Ecosystem management of seagrass on the tourism area at Sanur Beach, Denpasar City, Bali. Under direction of Yusli Wardiatno and

Isdradjad Setyobudiandi.

Sanur is a famous beach with its white sand and a beautiful sunrise. Besides, a vast expanse of seagrass ecosystems which is provode a high diversity of marine life, covered all over the coast area of Sanur. Unfortunately, we find a less information and discussion of this seagrass ecosystem on the area. The purpose of this research is to analyze the existing conditions and the characteristics of chemical physics of Sanur Coast based on the condition of seagrass ecosystems and their associated biota and furthermore is to make a good management strategies to the seagrass in Sanur Coast. The datas are consists of primary and secondary. Primary data consists of water quality, Coastal profile, and the structure of seagrass vegetation. As for the secondary data are socio-economical data, climate, currents, tides and other supporting data in the study area. These data are obtained from Udayana University, National Bureau of Statistics of Bali Province, Bogor Agricultural University, and Fisheries and Maritime Affairs in Denpasar Bali.This research shows that there are 6 (six) species of seagrass existing in Sanur Coastal. They are Enhalus acoroides (15%), Cymodocea rotundata (24%), Cymodocea serrulata (23%), Halophila ovalis (7%), Halophila uninervis (14%), Syringodium isoetifolium (17%).


(6)

(7)

RINGKASAN

Rieke Kusuma Dewi. Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Kota Kota Denpasar Provinsi Bali. Dibimbing oleh Yusli Wardiatno dan

Isdradjad Setyobudiandi.

Ekosistem lamun yang ada di wilayah pesisir Kota Denpasar menyebar mulai dari Depan Hotel Grand Bali Beach hingga Pantai Mertasari. Lamun yang ada di sepanjang perairan Sanur tumbuh di hamparan pantai sepanjang sekitar 8 km yang terbentang dari Hotel Grand Bali Beach sampai Mertasari. Substrat dasar tempat lamun itu tumbuh terdiri atas pasir, pecahan karang, karang mati, batuan massif, karang dan algae. Di Pantai Padanggalak hingga pantai Matahari Terbit, tidak ada lamun karena ombaknya besar dan tidak terlindung oleh karang penghalang di depannya.

Dibandingkan dengan sumberdaya pesisir dan laut lainnya seperti terumbu karang, ikan, atau mangrove, bahwa lamun kurang mendapat perhatian selama ini. Hal ini disebabkan terutama karena kurangnya kesadaran akan pentingnya sumberdaya lamun ini. Berdasarkan pemikiran akan pentingnya sumberdaya padang lamun ini, maka kegiatan pengelolaan padang lamun penting dan mendesak untuk dilakukan. Agar pengelolaan dapat berlaku secara berkelanjutan dan bernilai guna, maka terlebih dahulu perlu adanya rencana strategi pengelolaan ekosistem padang lamun secara komprehensif dan terpadu.

Pantai Sanur adalah daerah wisata yang ramai dikunjungi wisatawan dari mancanegara dan domestik di pulau dewata di Bali. Di lokasi dengan kondisi seperti ini banyak dimanfaatkan untuk kegiatan renang dan kegiatan wisata lainnya. Ditambah pada kawasan ini beberapa hotel berbintang juga berdiri tepat di bibir pantai Sanur. Akibatnya limbah dari kegiatan manusia ini akan masuk secara langsung ke perairan. Ini mengakibatkan lamun yang tumbuh alami tersebut semakin hari semakin tertekan yang mengarah kepada terjadinya degradasi lingkungan pantai yang lebih serius. Penambatan perahu dan pembuatan jalur masuk perahu pada beberapa tempat membuat kerusakan terhadap ekosistem ini. Minimnya informasi serta pengelolaan terhadap ekosistem lamun mengakibatkan lamun tidak diperhatikan dalam pelestariannya dibanding ekosistem terumbu karang maupun mangrove. Ekosistem lamun di Bali sudah banyak terdegradasi akibat adanya aktivitas masyarakat dan pembangunan seperti pengambilan batu karang, reklamasi Pulau Serangan dan budidaya rumput laut di Pulau Nusa Penida dan Lembongan, serta aktivitas pariwisata tirta di lokasi yang berdekatan dengan habitat padang lamun tersebut, tak terkecuali yang ada di Pantai Sanur.

Dari berbagai permasalahan yang dihadapi ekosistem lamun pantai Sanur maka tujuan dari penelitian adalah : (1) Menganalisis kondisi existing ekosistem lamun dan karakteristik fisik—kimia Pantai Sanur Bali berdasarkan kondisi ekosistem lamun berserta biota yang berasosiasi ; (2) Menganalisa kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang beraktifitas di Pantai Sanur ; (3) Membuat strategi pengelolaan ekosistem lamun pantai Sanur Bali. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah ; (1) Menginformasikan kondisi terkini sumberdaya lamun untuk pengembangan ilmu pengetahuan bidang kajian pengelolaan dan konservasi ekosistem lamun ; (2) Sebagai bahan pertimbangan


(8)

untuk menyusun strategi dan kebijkan pengelolaan ekosistem padang lamun pantai Sanur Bali secara terpadu dan berkelanjutan.

Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Cakupan objek penelitian adalah kawasan wisata Pantai Sanur. Waktu penelitian dimulai bulan November 2010 sampai Maret 2011. Penelitian ini diawali dengan observasi lapangan dan pengumpulan data sekunder, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan data primer pada ekosistem lamun. Metode analisa data untuk membuat suatu pengelolaan ekosistem lamun yang menjadi obyek penelitian dilakukan dengan melibatkan berbagai macam variabel. Untuk menghitung struktur komunitas lamun dilakukan dengan menggunakan rumus nilai kerapatan jenis dan kerapatan relatif, nilai frekuensi dan frekuensi relatif serta nilai penutupan dan penutupan relatif. Setelah itu menggunakan rumus INP (Indeks Nilai Penting) untuk menghitung dan menduga peranan jenis lamun. Untuk perhitungan analisis kimia fisika perairan penelitian ini menggunakan rumus PCA (Principal Componen Analysis) untuk melihat variasi dalam kualitas air di pantai Sanur. Setelah itu pengelolaan ekosistem lamun dengan analisis deskriptif dengan menjabarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.Hasil dari penelitian ini adalah ditemukan 6 spesies lamun di pantai Sanur yaitu Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, dan Enhalus acoroides. Kondisi ekosistem lamun Pantai Sanur masih dalam keadaan baik dengan jumlah individu lamun sebanyak 6 spesies dan kondisi perairan yang masih mendukung kehidupan lamun dan biota perairan yang berasosiasi didalamnya. Walaupun demikian ada juga beberapa parameter fisik-kimia air laut yang perlu mendapatkan perhatian khusus seperti kandungan nitrat. fosfat. dan TSS yang telah melebihi baku mutu kualitas air laut untuk kawasan wisata. Adanya hubungan antara ekosistem lamun dengan biota yang berasosiasi dengan lamun.

Persepsi wisatawan terhadap kawasan wisata dan ekosistem lamun termasuk dalam kategori baik yang ditunjukan pada prosentase pengetahuan dan apresiasi wisatawan yang baik. serta adanya upaya untuk melestarikan kawasan wisata ini. Perlu adanya pemantaun kualitas air lingkungan perairan pantai Sanur secara time series untuk memonitor dan mengendalikan pencemaran yang ada di pantai Sanur. Sejauh ini pengelolaan ekosistem lamun masih kurang diperhatikan dibandingkan ekosistem lainnya seperti mangrove dan terumbu karang. Sudah saatnya perhatian diberikan kepada ekosistem ini mengingat fungsi dari ekosistem ini yang banyak dan saling mempengaruhi terhadap ekosistem lain. Pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan akan melestarikan ekosistem ini sehingga fungsinya akan tetap terjaga dengan baik.

Kata Kunci : Ekosistem Lamun, Pengelolaan, Pantai Sanur, Kawasan wisata, Denpasar


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN KAWASAN WISATA

PANTAI SANUR KOTA DENPASAR PROVINSI BALI

RIEKE KUSUMA DEWI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

(13)

Judul Penelitian : Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Kota Denpasar Provinsi Bali

Nama : Rieke Kusuma Dewi

NRP : C252090081

Pogram Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan ridho-nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Kota Denpasar Provinsi Bali.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis hingga menyelesaikan studi ini, terutama Ketua Komisi Pembimbing Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M. Sc selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan saran dan bimbingan, kepada teman-teman mahasiswa Program SPL yang telah memberikan masukan yang sangat berarti untuk perbaikan karya ini.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada kedua orang tua yang telah memberikan doa, dukungan dan semangat yang penuh. Serta kakak dan adik yang memberikan banyak masukan yang memotivasi penulis.

Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya kritik dan saran sangat diharapkan dari semua pihak sehingga dapat menjadi motivasi bagi penulis. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2012


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang Propinsi Jawa Timur tanggal 13 Agustus 1984 dari Ayah Sutarman dan Ibu Dyah Murtiningsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2008 Penulis berhasil menyelesaikan program Sarjana Manajemen Sumberdaya Perairan di Fakultan Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya. Tahun 2009 penulis melanjutkan Studi pada Program Magister Sains di program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Ekosistem Padang Lamun ... 5

2.2. Kondisi Lingkungan Perairan Ekosistem Padang Lamun ... 8

2.3 Peranan Ekosistem Padang Lamun ... 11

2.4 Pola Habitat dan Ancaman pada Ekosistem Lamun ... 15

2.5 Nilai Ekologi dan Ekonomi Ekosistem Padang Lamun ... 19

2.6 Pengelolaan Padang Lamun ... 21

3. METODOLOGI PENELITAN ... 25

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 25

3.3 Metode Pengambilan Sampel ... 25

3.4 Analisis Data ... 29

3.5 Pengelolaan Ekosistem Lamun Pantai Sanur ... 32

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33

4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 33

4.2 Kondisi Oseanografi... 33

4.3 Kondisi Sosial Pesisir Sanur ... 34

4.4 Kondisi Iklim Perairan Pantai Sanur ... 35

4.5 Kondisi Fisik Perairan Pantai Sanur ... 36

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 37

5.2 Struktur Komunitas Lamun ... 38

5.3 Karakteristik Pantai ... 44

5.4 Karakteristik Sosial ... 54

5.5 Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun Pantai Sanur ... 61

6. SIMPULAN DAN SARAN ... 65

6.1 Simpulan ... 65

6.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(19)

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 4

2. Kuadran Pengambilan contoh ... 27

3. Model Alat Pengukur Kemiringan Lereng (Profiler) ... 27

4. Grafik nilai kerapatan spesies lamun di Pantai Sanur ... 39

5. Nilai penutupan spesies lamun di pantai Sanur... 40

6. Grafik nilai frekuensi spesies lamun di pantai Sanur ... 41

7. Grafik nilai INP spesies lamun di pantai Sanur ... 42

8. Peta Sebaran Lamun di Pantai Sanur ... 43

9. a) Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik Fisik-Kimia ... 46

b) Sebaran stasiun Penelitian ... 46

10. Dendogram klasifikasi hierarki berdasarkan disimilaritas karakteristik fisik-kimia masing-masing stasiun. ... 50

11 Grafik kelimpahan biota di padang lamun Pantai Sanur ... 52

12. Peta Sebaran Biota di Pantai Sanur ... 53

13. Peta Sebaran Lamun dan Sebaran Biota di Pantai Sanur ... 56

14. Pendapatan wisatawan Pantai Sanur ... 58

15 Persepsi Wisatawan Terhadap Pantai Sanur ... 58

16. Persepsi Wisatawan Terhadap Nilai Estetika Padang Lamun ... 59

17. Persepsi Wisatawan Terhadap Kehadiran Lamun ... 59

18. Persepsi Wisatawan Terhadap Fungsi Ekosistem Lamun ... 60

19. Pendapatan wisatawan terhadap Konservasi Lamun ... 61


(21)

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Paramater Fisik dan Kimia Ekosistem Lamun ... 45 2. Data Parameter Fisik Kimia Pantai Sanur Tahun 2011 ... 47 3. Parameter fisik-kimia air laut pantai Sanur tahun 2000 dan 2006 ... 48 4. Matriks korelasi parameter fisik-kimia ... 49 5. Rencana Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun di Pantai Sanur... 64


(23)

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lokasi Penelitian dan Stasiun Pengamatan... 75 2. Stasiun Pengamatan ... 76 3. Kuisioner ... 77 4. Perhitungan Nilai Kerapatan, Frekuensi dan Penutupan serta INP Lamun di Pantai Sanur……….. 79

5. Data Responden………... 83 6. Perhitungan Kelimpahan Biota………. 84

7. Kemiringan Lereng………....85 8. Kawasan penelitian Pantai Sanur Bali……….. 86


(25)

(26)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan panjang garis pantai 81.000 km, Indonesia memiliki wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas (Dahuri 1999). Di wilayah pesisir dapat dijumpai beberapa ekosistem, seperti hutan mangrove, rawa payau, padang lamun, rumput laut, dan terumbu karang. Ekosistem tersebut di atas berperan sebagai penyedia berbagai sumberdaya alam dan sebagai penyangga kehidupan. Di antara ekosistem di wilayah pesisir yang belum banyak dikenal dan diperhatikan adalah padang lamun.

Lamun merupakan produsen primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Dengan adanya produksi primer yang tinggi ini, maka dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi lamun adalah menjaga atau memelihara produktivitas dan stabilitas ekosistem pesisir. Hal ini dapat diartikan bahwa lamun merupakan unsur utama dalam proses-proses siklus yang cukup rumit dan memelihara tingginya produktivitas daerah pesisir.

Pesisir perairan Indonesia dengan garis pantai yang sangat panjang diduga mempunyai padang lamun yang terluas di daerah tropik. Pengamatan struktur komunitas padang lamun yang telah dilakukan sejak tahun 1984 adalah usaha untuk memberikan informasi tentang padang lamun di perairan Indonesia. Walaupun demikian, informasi yang tersedia tentang struktur komunitas padang lamun dan ekologinya dari perairan Indonesia masih sedikit sekali yaitu belum mencapai 20 % dari luas wilayah perairan Indonesia (Kiswara 1999 ).

Ekosistem lamun ang ada di wilayah pesisir Kota Denpasar menyebar mulai dari Depan Hotel Grand Bali Beach hingga Pantai Mertasari. Lamun yang ada di sepanjang perairan Sanur tumbuh di hamparan pantai sepanjang sekitar 8 km yang terbentang dari Hotel Grand Bali Beach sampai Mertasari. Substrat dasar tempat lamun itu tumbuh terdiri atas pasir, pecahan karang, karang mati, batuan massif, karang dan algae. Di Pantai Padanggalak hingga pantai Matahari Terbit, tidak ada lamun karena ombaknya besar dan tidak terlindung oleh karang penghalang di depannya.


(27)

2

Dibandingkan dengan sumberdaya pesisir dan laut lainnya seperti terumbu karang, ikan, atau mangrove, bahwa lamun kurang mendapat perhatian selama ini. Hal ini disebabkan terutama karena kurangnya kesadaran akan pentingnya sumberdaya lamun ini. Berdasarkan pemikiran akan pentingnya sumberdaya padang lamun ini, maka kegiatan pengelolaan padang lamun penting dan mendesak untuk dilakukan. Agar pengelolaan dapat berlaku secara berkelanjutan dan bernilai guna, maka terlebih dahulu perlu adanya rencana strategi pengelolaan ekosistem padang lamun secara komprehensif dan terpadu.

1.2. Perumusan Masalah

Pantai Sanur adalah daerah wisata yang ramai dikunjungi wisatawan dari mancanegara dan domestik di pulau dewata di Bali. Di lokasi dengan kondisi seperti ini banyak dimanfaatkan untuk kegiatan renang dan kegiatan wisata lainnya. Ditambah pada kawasan ini beberapa hotel berbintang juga berdiri tepat di bibir pantai Sanur. Akibatnya limbah dari kegiatan manusia ini akan masuk secara langsung ke perairan. Ini mengakibatkan lamun yang tumbuh alami tersebut semakin hari semakin tertekan yang mengarah kepada terjadinya degradasi lingkungan pantai yang lebih serius. Penambatan perahu dan pembuatan jalur masuk perahu pada beberapa tempat membuat kerusakan terhadap ekosistem ini. Minimnya informasi serta pengelolaan terhadap ekosistem lamun mengakibatkan lamun tidak diperhatikan dalam pelestariannya dibanding ekosistem terumbu karang maupun mangrove. Ekosistem lamun di Bali sudah banyak terdegradasi akibat adanya aktivitas masyarakat dan pembangunan seperti pengambilan batu karang, reklamasi Pulau Serangan dan budidaya rumput laut di Pulau Nusa Penida dan Lembongan, serta aktivitas pariwisata tirta di lokasi yang berdekatan dengan habitat padang lamun tersebut, tak terkecuali yang ada di Pantai Sanur (Gambar 1).

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari berbagai permasalahan yang dihadapi ekosistem lamun pantai Sanur maka tujuan dari penelitian adalah :

1. Menganalisis kondisi existing ekosistem lamun dan karakteristik fisik—kimia Pantai Sanur Bali berdasarkan kondisi ekosistem lamun berserta biota yang berasosiasi.


(28)

3

2. Menganalisa kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang beraktifitas di Pantai Sanur.

3. Membuat strategi pengelolaan ekosistem lamun pantai Sanur Bali. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah :

1. Menginformasikan kondisi terkini sumberdaya lamun untuk pengembangan ilmu pengetahuan bidang kajian pengelolaan dan konservasi ekosistem lamun.

2. Sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun strategi dan kebijkan pengelolaan ekosistem padang lamun pantai Sanur Bali secara terpadu dan berkelanjutan.


(29)

4

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian FUNGSI PADANG LAMUN

PEMANFAATAN

SOSEKBUD EKOLOGI

DEGRADASI

ALAMIAH ANTHROPOGENIK

ANALISA

SOSEKBUD BIOFISIK

- Struktur komunitas (INP) - Kualitas air (PCA) - Substrat

- Kemiringan lereng

- Wisatawan

- Antropogenik activity

PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PANTAI SANUR BALI

EKOSISTEM LAMUN PANTAI SANUR BALI


(30)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Padang Lamun

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga

(Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup teredam

di dasar laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah

(propagule) yang dihasilkan secara seksual (Mann 2000).

Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat terjangkau oleh sinar matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar 1 – 12 meter dengan sirkulasi air yang baik (Mann 2000). Air bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat–zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun.

Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 55 jenis lamun, di mana di Indonesia sekitar 12 jenis dominan yagn termasuk dalam 2 famili : (1) Hydrocharitaceae dan (2) Potamogetonaceae. Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal antara lain : Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,

Halophila ovalis, Cymodocea serrulata dan Thalassodendron ciliatum (Bengen,

2001). Dua jenis lainnya Halophila spinulosa dan Halophila dicipiens tercatat hanya di beberapa lokasi saja. Tahun 2007, ditemukan jenis baru, Halophila

sulawesi, di perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan (Kuo 2007).

Penelitian terakhir menunjukkan ada sekitar 13 jenis lamun telah dilaporkan terdapat di perairan Indonesia (Kuo 2007). Di samping itu, ada dua jenis yakni

Halophila beccarii dan Ruppia maritima yang dipercaya terdapat di Indonesia,

meskipun keberadaan keduanya hanya diketahui dari herbarium lama yang tersimpan di Herbarium Bogor). H. beccarii tanpa informasi yang jelas lokasinya, sedangkan R. maritima ditemuai di kawasan mangrove sekitar Ancol (Jakarta) dan Pasir Putih (Jawa Timur). Namun setelah itu tidak pernah ditemukan lagi di lapangan oleh para peneliti. Sampai beberapa dekade terakhir ini,


(31)

6

Thalassodendron ciliatum menunjukkan sebaran yang sangat khusus yakni hanya

terdapat di perairan Indonesia bagian timur, di Maluku dan Nusa Tenggara. Tetapi menurut Tomascik et al. (1997) dan Kiswara et al (1985), jenis itu terdapat juga di Indonesia bagian barat yakni di perairan Kangean dan Kepulauan Riau.

Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya dengan produktivitas primer berkisar antara 900 – 4650 g c/m2/tahun. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, krustacea, moluska

(Pinna sp, Lambis sp, Strombus sp), ekinodermata (Holothuria sp, Synapta sp,

Diadema sp, Arcbaster sp, Linckia sp) dan cacing (Polichaeta) (Bengen 2001).

Lamun merupakan tumbuhan laut yang memiliki sebaran yang cukup luas. Zonasi sebaran lamun dari pantai ke arah tubir, perbedaan yang terdapat biasanya pada komposisi jenisnya (vegetasi tunggal atau campuran) maupun luas penutupannya. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas, baik yang bersifat padang lamun tunggal maupun padang lamun campuran. Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal antara lain Thalassia hemprichii,

Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Thalassodendron ciliatum dan Enhalus

acoroides.

Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska (Pinna sp., Lambis sp., dan Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Arcbaster sp.,Linckia sp.) dan cacing (Polichaeta) (Bengen, 2001). Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut:

Sebagai produsen primer

Sedangkan menurut Philips & Menez (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif. ekosistem lamun perairan dangkal mempunyai fungsi antara lain:


(32)

7

1. Menstabilkan dan menahan sedimen–sedimen yang dibawa melalui tekanan–tekanan dari arus dan gelombang.

2. Daun-daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi.

3. Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang berkunjung ke padang lamun.

4. Daun–daun sangat membantu organisme-organisme epifit. 5. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.

6. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.

Selanjutnya dikatakan Philips & Menez (1988), lamun juga sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupuin secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk :

1. Digunakan untuk kompos dan pupuk 2. Cerutu dan mainan anak-anak 3. Dianyam menjadi keranjang 4. Tumpukan untuk pematang 5. Mengisi kasur

6. Ada yang dimakan 7. Dibuat jaring ikan

Pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk: 1. Penyaring limbah

2. Stabilizator pantai

3. Bahan untuk pabrik kertas 4. Makanan

5. Obat-obatan dan sumber baha kimia 6. Sumber bahan kimia.

Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran perahu yang tidak terkontrol (Sangaji 1994). Limbah pertanian, industri, dan rumah tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur, lalu lintas perahu yang padat, dan lain-lain kegiatan manusia dapat mempunyai pengaruh yang merusak lamun.


(33)

8

Di tempat hilangnya padang lamun, perubahan yang dapat diperkirakan menurut Fortes (1989), yaitu:

1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring-jaring makanan di daerah pantai dan komunitas ikan.

2. Perubahan dalam produsen primer yang dominan dari yang bersifat bentik yang bersifat planktonik.

3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat-sifat pengikat lamun.

4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul

2.2. Kondisi Lingkungan Perairan Ekosistem Padang Lamun

Beberapa kondisi lingkungan yang perlu diperhatikan dalam pengkajian ekosistem padang lamun adalah sebagai berikut :

2.2.1.Suhu

Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di laut karena suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme dan pertumbuhan organism tersebut (Hutabarat dan Evans 1986). Suhu air permukaan di perairan Nusantara kita umumnya berkisar antara 28– 31o

Pada kondisi cahaya cukup, kebanyakan lamun mempunyai suhu optimum untuk berfotosintesis sekitar 25 – 35

C. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorology. Faktor – faktor yang berperan antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu, kecepatan angin, dan intensitas cahaya matahari (Nontji 2007).

o

C. Tumbuhan lamun yang hidup di daerah tropis umumnya tumbuh pada daerah dengan kisaran suhu air antara 20 – 30oC, sedangkan suhu optimumnya adalah 28 – 30oC (Supriharyono 2009). Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar, suhu mempengaruhi proses fisiologi, yaitu fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan, dan reproduksi. Proses – proses fisiologi tersebut akan menurun tajam apabila suhu perairan berada di luar kisaran suhu optimum (Dahuri 2003). Suhu yang tingi akan mengakibatkan banyaknya daun yang hilang dan menaikkan suhu sedimen. Kenaikan suhu sedimen akan menyebabkan tanaman lamun mati (BTNKpS 2008).


(34)

9

2.2.2 Arus

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut dan gerakan periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang ini adalah arus yang disebabkan oleh pasang surut. Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya banyak diamati diperairan teluk dan pantai (Nontji 2007). Pergerakan air sangat menentukan pertumbuhnan tanaman air, baik yang mengapung maupun yang menancap di dasar perairan, seperti lamun. Pengaruh pergerakan air, khususnya terhadap pertumbuhan lamun antara lain terkait dengan suplai unsur hara, sediaan gas – gas terlarut, serta menghalau sisa – sisa metabolisme atau limbah. Kecepatan arus yang sangat tinggi dan turbulensi dapat mengakibatkan baiknya padatan tersuspensi yang berlanjut pada reduksi penetrasi cahaya ke dalam air atau turunnya kecerahan air. Kondisi ini dapat menyebabkan rendahnya laju produksi tumbuhan lamun (Supriharyono 2009).

2.2.3 Kecerahan dan kekeruhan

Kekeruhan berkaitan erat dengan tipe substrat dasar dan partikel lain yang terlarut dalam air. Perairan dengan dasar substrat berlumpur cenderung memiliki kekeruhan yang tinggi. Pada daerah muara sungai tingkat kekeruhan lebih dipengaruhi oleh banyaknya bahan anorganik daripada bahan organik (Tinsley 1979).

Pada perairan yang keruh, cahaya merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan dan produktifitas lamun (Hutomo 1997). Penelitian tentang faktor kekeruhan di padang lamun di perairan Grenyang. Teluk Banten, Jawa Barat, cenderung berfluktuasi dari 11.80 – 28.74 NTU. Hal ini berkaitan erat dengan tipe substrat, kedalaman air dan keadaan cuaca (angin dan gelombang). Pengaruh nyata dari kekeruhan terhadap pertumbuhan dan bobot Enhalus acoroides, dimana pertumbuhan tertinggi terdapat pada lokasi perairan yang dangkal. Mahida (1993) menjelaskan kekeruhan yang terjadi di kolom air disebabkan oleh bahan – bahan organik, jazat renik, dan lumpur dan kekeruhan ini dapat mengganggu penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolom air dan berdampak langsung terhadap


(35)

10

aktifitas fotosintesis oleh organisme yang berada di dalam kolom air seperti lamun, sehingga jumlah produktifitas primer yang dihasilkan akan berkurang.

2.2.4 Padatan Tersuspensi Total (TSS)

Padatan tersuspensi total atau TSS adalah bahan – bahan tersuspensi

(diameter > 1μm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori

0,45 μm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad – jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003). Pada perairan yang tingkat erosi dan sedimentasinya tinggi, sedimen (padatan tersuspensi) akan menghalangi cahaya matahari sehingga mempengaruhi pertumbuhan lamun, dan dalam jangka waktu yang lama kerapatan tanaman lamun akan menurun (BTNKpS 2008).

Kekeruhan karena suspense sedimen dapat menghambat penetrasi cahaya dan secara otomatis kondisi ini akan mempengaruhi kehidupan lamun. Sedimen – sedimen halus, baik yang berasal dari erosi daratan pantai atau limpahan sungai maupun pengikisan dasar laut melayang – laying dan akhirnya mengendap di perairan tempat lamun tumbuh serta menempel pada permukaan daun lamun. Kondisi seperti ini dapat mengganggu kehidupan lamun (Suprihayono 2009).

2.2.5 Salinitas

Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah berat semua garam (dalam garam) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan o/oo (permil). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji 2007). Salinitas juga merupakan faktor yang cukup penting bagi kehidupan tumbuhan lamun seperti halnya cahya dan suhu air. Secara umum salinitas yang optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar antara 25 – 35 o/oo. Namun toleransi terhadap salinitas sangat bervariasi di antara spesies lamun. Lamun yang hidup di daerah estuaria cenderung lebih toleran terhadap salinitas (euryaline) dibandingkan dengan spesies yang stenohaline, yaitu selamanya tinggal di laut atau di perairan yang hipersaline. Walaupun demikian banyak jenis lamun yang tumbuh baik pada salinitas berkisar antara 15 – 55 o/oo dan dapat bertahan hidup pada kisaran 5 –


(36)

11

140 o

2.2.6 Derajat keasaman (pH)

/oo. Salah satu jenis lamun Halophila ovalis lebih suka pada salinitas rendah dan beberapa genera seperti Halodule, Syringodium, dan Thalassia yang mempunyai daya toleransi baik terhadap salinitas sangat luas (Supriharyono 2009).

Derajat keasaman menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hydrogen. Menurut Nybakken (1992), kisaran pH yang optimal untuk kisaran air laut berkisar antara 7,5 – 8,5. Menurut Philip dan Menez (1988) in Argadi (2003), kisaran pH yang baik lamun adalah pada saat pH air normal, yaitu 7,8 – 8,5 karena pada saat tersebut ion karbonat yang dbutuhkan untuk proses fotosintesis oleh lamun dalam keadaan melimpah. Odum (1971) in Argadi (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman merupakan salah satu indikator kualitas air yang sangat penting dan mempunyai pengaruh langsung dalam pengaturan sistem enzim pada organism perairan.

2.2.7 Oksigen terlarut (DO)

Kadar oksigen terlarut di perairan di pengaruhi oleh suhu, salinitas, dan turbulensi air. Kadar oksigen terlarut berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer. Kelarutan oksigen sangat penting bagi keseimbangan komunitas dan kehidupan organism perairan. Menurut Effendi (2003), perairan yang diperuntukan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik. Sumber oksigen terlarut bisa berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer sekitar 35% serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Effendi 2003).

2.3 Peranan Ekosistem Padang Lamun

Lamun berperan dalam proses pembentukan sejumlah karbon organik yang nantinya akan dimanfaatkan melalui proses pemangsaan oleh herbivora maupun melalui proses dekomposisi dari serasah. Serasah yang mengendap akan dikonsumsi oleh fauna bentik, sedangkan partikel–partikel serasah yang ada


(37)

12

dalam kolom air dimanfaatkan oleh organisme filter feeder yang pada gilirannya akan menjadi mangsa hewan karnivora seperti ikan (Hutomo dan Azkab 1987).

Sebagai penstabil substrat, lamun yang memiliki daun lebat dapat memperlambat gerakan air laut (meredam arus dan ombak), sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Daun lamun dapat menangkap sedimen halus melalui kontak, sehingga pada daun terdapat mikroorganisme (Azkab 1999).

Daun lamun menyerap hara secara langsung dari air laut. Daun – daunnya mempunyai stomata yang terbuka dan ruang–ruang yang berisi udara untuk mengapung, tetapi tidak mempunyai banyak sistem serat untuk menopang seperti pada rumput daratan. Lamun memiliki akar dan rizoma berada di dalam substrat. Rizoma memiliki cadangan pati dalam jumlah yang cukup banyak, yang digunakan saat pergantian daun bila ada yang rusak. Biomassa bagian lamun yang berada di bawah subtrat (akar dan rizom) lebih besar dan berbeda nyata dengan biomassa yang berada di atas subtract. Akar lamun dapat menyerap unsur hara dan pada beberapa jenis terdapat tanda–tanda fiksasi N pada bintil–bintil akar (Sloan, 1993). Selain itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar substrat dan pada saat yang sama menjadikan air lebih jernih.

Berbeda dengan tumbuhan laut lainnya, lamun mempunyai akar sejati, daun, sistem pengangkut internal (berupa pembuluh) yang mengangkut zat hara dan gas – gas. Lamun juga memiliki bunga, buah serta menghasilkan biji. Sistem pembuluhnya terdiri dari bagian dalam jaringan yang memiliki saluran – saluran dari akar sampai ke daun yang berfungsi sebagai alat transport air, unsur hara dan udara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Karena sistem pembuluh dan perakaran yang dimilikinya mennyebabkan daun lamun menjadi lebat dan hal ini bermanfaat dalam produktifitas ekosistem padang lamun. Sistem perakaran ini juga menyebabkan lamun dapat tumbuh pada subtrat berpasir dan lumpur yang memungkinkan pemanfaatan unsur hara di dasar perairan dalam jumlah yang tinggi, karena lamun mampu mendaur ulang nutrient kembali ke dalam ekosistem agar tidak terperangkap di dasar laut (Sloan 1993).

Lamun berperan penting dalam mata rantai ekosistem biota–biota di wilayah pesisir. Ada hubungan interaksi (asosiasi) antara seagrass dengan hewan dan


(38)

13

tumbuhan air lainnya. Komunitas hewan padang lamun dibagi berdasarkan struktur mikro habitatnya dan pola kehidupannya dalam empat kelompok yaitu: 1). Kelompok pertama, yaitu biota yang hidup di daun lamun terdiri atas :

a. Flora epifitik, mikro dan miofauna yang hidup di dalamnya, seperti protozoa, foramifera, nematoda, polychaeta, rotifer, tardigrada, copepoda dan arthoproda.

b. Fauna sesil, seperti hydrozoa, actinia, bryozoa, polychaeta dan ascidia. c. Epifauna bergerak, merayap dan berjalan di daun seperti gastropoda,

polychaeta, turbellaria, crustacean dan beberapa echinodermata.

d. Hewan – hewan yang bergerak tetapi beristirahat di daun lamun seperti mysidacea, hydromedusa, cephalopodadansyngnatidae.

2). Kelompok kedua, yaitu biota yang menempel pada rimpang seperti polychaeta dan amphipoda.

3). Kelompok ketiga, yaitu spesies bergerak yang hidup pada perairan di bawah tajuk daun lamun, seperti ikan, udang,dan cumi – cumi. Hewan – hewan yang bergerak cepat ini dibagi lagi dalam empat kategori berdasarkan periode mereka tinggal di padang lamun yaitu (a) penghuni tetap, (b) penghuni musiman

(c) pengunjung temporal dan (d) peruaya yang tidak menentu.

(4) Kelompok keempat, yaitu hewan–hewan yang hidup pada sedimen dan di dalam sedimen seperti epifauna dan infauna bentos.

Lamun merupakan salah satu produsen primer yang ada di perairan laut dangkal dan sebagai daerah asuhan atau perlindungan bagi kelangsungan hidup berbagai biota. Hal ini mendorong berbagai spesies untuk mencari makan di daerah ini. Howard et al. (1989) diacu in Keough dan Jenkinsn (1995) mengelompokkan organisme yang beasosiasi dengan padang lamun sebagai berikut :

1. Algae mikroskopis seperti perifiton yaitu organismee bersel tunggal yang menempel pada daun lamun.

2. Algae mikroskopis yang tumbuh di daun lamun.

3. Infauna bergerak, yaitu hewan yang hidup di dalam sedimen di sepanjang rimpang lamun.


(39)

14

4. Epifauna bergerak, yaitu hewan yang berukuran kecil, berasosiasi dengan permukaan sedimen dan sering ditemukan diantara serasah lamun, batang atau daun lamun.

5. Epifauna sesil, yaitu organisme yang menempel secara permanen pada batang atau daun lamun.

6. Fauna epibentik, yaitu hewan yang berukuran besar, bergerak dan berasosiasi dengan padang lamun.

Sedangkan menurut Philips dan Menez (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif. Ekosistem lamun di perairan dangkal mempunyai fungsi antara lain :

a. Menstabilkan dan menahann sedimen–sedimen yang dibawa melalui tekanan–tekanan dari arus dan gelombang.

b. Daun–daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi.

c. Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang berkembang biak di padang lamun.

d. Daun–daun sangat membantu organisme–organisme epifit. e. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.

f. Memfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.

Dengan menggunakan metode oksigen Lindeboom dan Sandee (1989) mendemonstrasikan bahwa produksi primer kotor (gross primary production) berbagai komunitas lamun di Laut Flores berkisar 1230 sampai 4700 mg C. m -2

.hari-1 sedangkan konsumsi untuk respirasi berkisar 860 – 3900 mg C. m-2 hari

. -1

. Produksi bersihnya (net primary production) berkisar 60 – 1060 mg C. m -2

. hari -1, atau setara dengan produksi tahunan sebesar 387 g C.m-2. Produksi primer oleh epifit dapat pula memberikan sumbangan yang bermakna, sampai sebesar 36 % dari laju produksi primer di suatu komunitas lamun.


(40)

15

2.4 Pola Habitat dan Ancaman pada Ekosistem Lamun

Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0.5 – 10 m, tetapi sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesies lamun lebih banyak terdapat di daerah tropik dari pada di daerah Ugahari (Barber 1985). Habitat lamun dapat dipandang sebagai suatu komunitas, dalam hal ini suatu padang lamun merupakan kerangka struktur dengan tumbuhan dan hewan yang saling berhubungan. Habitat lamun dapat juga dipandang sebagai suatu proses tunggal yang dikendalikan oleh pengaruh–pengaruh interkatif dari faktor–faktor biologis, fisika, kimiawi.

Lamun pada umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuhan yang homogen. Lamun terlihat mempunyai kaitan dengan habitat dimana banyak lamun adalah substrat dasar dengan pasir kasar. Lamun jenis Enhalus acoroides dominan hidup pada substrat berpasir dan pasir sedikit bercampur dan kadang–kadang terdapat pada dasar yang terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati. Keberadaan lamun pada kondisi habitat tersebut, tidak terlepas dari gangguan atau ancaman–ancaman terhadap kelangsungan hidupnya baik berupa ancaman alami maupun ancaman dari aktifitas manusia. Banyak kegiatan atau proses, baik alami maupun oleh aktifitas manusia yang mengancam kelangsungan ekosistem lamun. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat aktifitas perahu di lingkungan pesisir yang tidak terkontrol (Sangaji 1994). Pengamatan lokal di Pulau Pari dan Teluk Banten menunjukkan kerusakan pada lingkungan lamun

(Enhalus dan Syrongodium) karena kekeruhan air akibat teraduk oleh lalu lintas

perahu dan kapal nelayan. Degradasi padang lamun di Teluk Banten terjadi secara luas sejak reklamasi dimulai tahun 1990 untuk pembangunan kawasan industri dan pelabuhan. Degradasi padang lamun juga terjadi di Teluk Grenyang dan Bojonegara. Sekitar 116 ha atau 26 % dari total luas padang lamun di Teluk Banten telah lenyap (Giesen et al 1990). Hilangnya area padang lamun dari perairan Indonesia dijumpai di Teluk Banten akibat kegiatan reklamasi pantai untuk pembangunan pelabuhan, jalan dan kawasan industri. Luas padang lamun hilang mencapai sekitar 116 ha atau sekitar 25 % dari total luas padang lamun (Douven et al 2004).


(41)

16

Masuknya nutrisi yang berasal dari aktivitas kegiatan manusia ke lingkungan pesisir telah secara dramatis meningkat di berbagai belahan bumi pada ahir abad ke 20 dan telah merubah berbagai ekosistem pesisir. Deegan et al. (2002) mengevaluasi pengaruh-pengaruh dari penambahan nitrogen terhadap struktur komunitas makrofit dan assosiasi biotanya. Pengaruh-pengaruh tersebut adalah 1). Mereka menemukan suatu perubahan dalam produsen primer dari lamun Zostera ke algae makro sebagai reaksi terhadap peningkatan masuknya nutrisi dan perubahan habitat ikan, stuktur kimiawi dan rantai makanan. Akibat peningkatan masuknya nitrogen, mereka menemukan naiknya biomas algae dan turunnya kerapatan dan biomas lamun Zostera, penurunan kelimpahan dan biomas ikan dan dekapoda serta penurunan keanekaragam jenis ikan. 2). Pengurangan makro algae mampu meningkatkan kelimpahan lamun, kualitas perairannya serta kadar oksigen pada lapisan dasarnya. Perubahan dalam struktur fisika dan kimia ekosistem dengan turunnya biomas makro algae menghasilkan lebih tingginya kelimpahan dan biomas ikan dan dekapoda. 3). Kombinasi percobaan dengan penjejak isotop stabil 15N dan pertumbuhan ikan menunjukkan bahwa sedikit sekali produksi dari makro algae yang langsung ditransfer ke tingkat konsumen ke

dua. Nilai δ15

N menunjukkan bahwa kebanyakan ikan tidak menggunakan suatu rantai makanan berdasarkan pada makro algae. Ikan cenderung untuk untuk tumbuh lebih baik dan mempunyai kemungkinan hidup lebih lama pada lingkungan lamun dibandingkan pada habitat makro algae. 4). Peningkatan nutrisi yang berasal dari daratan teleh menyebabkan peningkatan biomas makro algae dan degradasi serta hilangnya habitat lamun.

Ancaman – ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan, siklon (terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut, interkasi populasi dan komunikasi (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat yang lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji 1994).


(42)

17

Limbah pertanian, industri dan rumah tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur dan lalu lintas perahu yang padat dapat merusak lamun. Di tempat hilangnya padang lamun, diperkirakan terjadi perubahan sebagai berikut (Fortes 1989).

1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring – jaring makan di daerah pantai dan komunitas ikan.

2. Perubahan dalam produsen yang dominan dari yang bersifat bentik ke yang bersifat planktonik.

3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat–sifat pengikat lamun.

4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul. Berbagai tekanan terhadap padang lamun yang terjadi di lingkungan baik dari darat maupun dari pantai yaitu :

a. Eutrofikasi dari sumber hara di darat seperti saluran air kotor, pupuk, sungai, limbah tambak, dapat menimbulkan peledakan epifit lamun dan mengurangi cahaya ke tumbuhan tersebut. Hilangnya tumbuhan lamun mengarah ke erosi lokal, yang meningkatkan gerakan ombak di dasar laut dan kekeruhan serta lebih jauh lagi mengurangi cahaya

b. Meskipun tumbuhan lamun dapat hidup pada tingkat sedimentasi tertentu, kekeruhan berlebihan dapat merusak yang disebabkan oleh penambangan, pengerukan, jaring pukat serta sedimen dari buruknya pemanfaat tanah di daerah aliran sungai

c. Perubahan struktur garis pantai (bangunan, hilangnya mangrove) dapat mengubah sirkulasi air dan habitat yang dibutuhkan untuk tumbuhan lamun

d. Eksploitasi perikanan berlebihan di dalam padang lamun dapat menjadi masalah

e. Polusi yang bersumber dari darat dapat menyebabkan akumulasi zat pencemar (biasanya logam berat) di dalam jaringan tumbuhan lamun dan di dalam binatang yang memakan lamun.sumber


(43)

18

Selain beberapa ancaman tersebut, kondisi lingkungan pertumbuhan juga mempengarui kelangsungan hidup suatu jenis lamun seperti yang dinyatakan oleh Barber (1985) bahwa temperatur yang baik untuk mengkontrol produktifitas lamun pada air adalah sekitar 20o sampai dengan 30oC untuk jenis lamun

Thalassia testudium dan sekitar 30oC untuk Syringodium filiforme. Intensitas

cahaya untuk laju fotosintesis lamun menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya suhu dari 20oC sampai 35oC untuk Zoantera marina, 30oC untuk

Cymodoceae nodosa dan 25 – 30oC untuk Possidonia oceania.

Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sekitar 30 – 40%. Di pesisir pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius akibat pembuangan limbah industri dan pertumbuhan penduduk. Diperkirakan sebanyak 60% lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir pulau Bali dan Lombok gangguan bersumber dari penggunaan potassium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai dan kerapatan spesies lamun. Rekolonisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu antara 5 – 15 tahun dan biaya yang dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di daerah tropis berkisar 22.800 – 684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktivitas pembangunan di wilayah pesisir hendaknya dapat meminimalkan dampak negatif melalui pengkajian yang mendalam pada tiga aspek yang tekait yaitu : aspek kelestarian lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial (Fortes 1989).

Ancaman kerusakan ekosistem padang lamun di perairan berasal dari aktifitas manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya ekosistem padang lamun dengan menggunakan potasium sianida, sabit dan gareng serta pembungan limbah industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional. Dalam hal ini Fauzi (2000) menulis bahwa dalam menilai dampak suatu aktifitas manusia terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat digunakan dengan metode teknik evaluasi lingkungan yang dikenal dengan istilah

Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikan instrumen

universal dalam mengevaluasi dampak lingkungan akibat aktifitas pembangunan, disamping itu metode evaluasi ekonomi dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi dari sumber daya alam.


(44)

19

2.5 Nilai Ekologi dan Ekonomi Ekosistem Padang Lamun

Keough dan Jenkins(1995) menyatakan ekosistem padang lamun memiliki kemampuan produktifitas yang tinggi dan memiliki peranan dalam sistem rantai makanan khususnya pada periphyton dan epiphytic dari detritus yang dihasilkan. Sumbangan lamun terhadap produksi primer di estuaria Australia yaitu :1 – 20 % dari Posidonia, Zostera dan Thalasia yang diekspor keluar dari padang lamun, ekosistem padang lamun di daerah tropis dan subtropik yang didominasi oleh jenis Syringodium 47 – 75% produksi primernya telah diekspor keluar dari padang lamun.

Padang lamun memiliki fungsi ekologis dan nilai ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Menurut Nybakken (1988), fungsi ekologis padang lamun adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sediment (trapping sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan. Selanjutnya, dari berbagai literatur, Dahuri (2003) menyimpulkan akan pentingnya nilai ekonomi dan ekologi padang lamun, terutama terkait dengan biota yang hidupnya tergantung dengan ekosistem padang lamun ini. Terdapat hingga 360 spesies ikan, 117 jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45 jenis ekinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung oleh ekosistem padang lamun di Indonesia. Disamping itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan. Keberadaan ekosistem padang lamun sepertinya akan semakin penting terkait dengan adanya isu pemanasan global, dimana kemungkinan potensi tumbuhan ini sebagai pereduksi CO2

Lindeboom dan Sandee (1989) mempelajari produksi vegetasi campuran di P. Komodo yang memakai metode pengukuran oksigen dengan menggunakan bell-jar. Mereka memperoleh hasilnya sebesar 1.230 – 4.700 mg.C.m

.

-2 .h-1. Metoda yang sama dipakai oleh Erfemeiyer et al. (1993) pada vegetasi campuran


(45)

20

di Kep. Spermonde dengan hasil 900 – 4.400 mg.C.m-2.h-1. Penelitian-penelitian produksi lamun di perairan Indonesia lainnya hanya memberikan nilai produksi lamun dalam berat kering, nilai terendah adalah 0,6 g.BK. m-2.h-1 (Cymodocea

serrulata) dan yang tertinggi adalah 8,1 g.BK. m-2.h-1

Kusumastanto et al. (1999) menyatakan bahwa produksi perikanan ekosistem padang lamun dapat dihitung seperti pada nilai produksi perikanan pada ekosistem terumbu karang. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai ekonomi padang lamun di Balerang dan Bintan yaitu : ikan 3,858.91 US S/ha/th, pencegahan erosi 34,871.75 US S/ha/th, biodiversity 15.00, US S/ha/th, dan total nilai ekonominya adalah 38,745.66 US S /ha/th.

(Thalassia hemprichii)

(Azkab, 1999).

Tomascik et al. (1997) menjelaskan bahwa molusca telah banyak dieksploitasi dari ekosistem padang lamun karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Jenis hewan tersebut telah mengalami penurunan jumlah populasi di ekosistem padang lamun Teluk Kute dan Teluk Gerupuk Lombok Selatan. Azkab (1988) menyatakan bahwa akhir – akhir ini telah terjadi peningkatan eksploitasi hewan echinodermatakhususnya teripang.

Perbandingan jumlah komposisi fauna yang berasosiasi dengan vegetasi lamun tergantung pada tipe padang lamun, pada padang lamun yang bertipe campuran yaitu zona Enhalus acoroides, didominasi oleh jenis fauna Gastropoda, dan pada zona Halodule uninerve didominasi oleh bivalvia (kerang – kerangan) dan pada jenis Halophila didominasi oleh jenis Crustacea.

Asosiasi antara lamun dengan hewan dapat terjadi jika ekosistem padang lamun dapat : (1) menyediakan makanan, (2) tempat perlindungan dari predator, (3) meningkatkan ruang kehidupan. MenurutDe Iongh (1995) duyung lebih suka makan Halodule uninervis. Merujuk pada hasil penelitiannya dapat ditegaskan bahwa terdapat korelasi antara jumlah duyung dan makanan yang tersedia. Selain itu, perubahan kelimpahan lamun dan kualitas haranya akan mempengaruhi pergerakan dan siklus kawin duyung.


(46)

21

2.6 Pengelolaan Padang Lamun

Pembangunan di wilayah pesisir dan laut yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hendaknya mempertimbangkan keterpaduan antara unsur ekologi, ekonomi dan sosial. Keterpaduan ini secara ekonomi dapat mencapai pertumbuhan, pemerataan dan efisiensi, sedangkan secara sosial dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat, mobilitas sosial yang terkontrol, tumbuhnya identitas budaya dan dapat dilakukan pengembangan kelembagaan baik yang formal maupun non formal, secara ekologi dapat memperlihatkan keterkaitan fungsional antar ekosistem, daya dukung (carrying

capacity), biodiversity dan hal–hal yang terkait dengan isu global (Daily 1996)

dan selanjutnya di jelaskan bahwa dalam menjamin keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya alam hal–hal yang harus diperhatikan adalah pemerataan (capacity), social polytical right, pendidikan, kesehatan dan teknologi. Dalam kondisi seperti ini konsep sustainability mengandung makna keterkaitan dengan konsep carrying capacity yang dapat dijadikan ukuran tercapainya sustainability mengandung makna keterkaitan dengan konsep carrying capacity yang dapat dijadikan ukuran tercapainya sustainability dari suatu aktivitas pembangunan.

Daily (1996) menjelaskan bahwa konsep daya dukung dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : (1) daya dukung biofisik yaitu merupakan ukuran maksimum populasi yang dapat survival, dibawah kendali suatu sumberdaya dan teknologi dan (2) daya dukung sosial yaitu merupakan jumlah penduduk yang dapat hidup layak di bawah kendali suatu sistem sosial.

Dahuri (1999) menjelaskan bahwa dalam kebijakan dan strategi pembangunan wilayah pesisir pada kegiatan perlindungan dan konservasi dititik beratkan pada dua komponen utama yaitu : (1) penanggulangan dampak dari daratan dan (2) perlindungan fisik habitat ekosistem pesisir dan lautan. Dari konsep ini dapat dilakukan beberapa hal penting diantaranya adalah : (a) meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir seperti ekosistem padang lamun, (b) mengikutkan nilai eksternal dalam perencanaan perhitungan nilai ekonomi suatu sumberdaya.


(47)

22

Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable environmental

management) yang memiliki dimensi ekonomi, sosial dan ekologi. Dimensi

ekonomi menekankan bahwa pertumbuhan dan efesiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam harus diupayakan secara terus menerus. Dimensi sosial mencakup isu – isu yang berkaitan dengan distribusi kekayaan/pemerataan pada pentingnya upaya – upaya untuk mencegah terganggunya fungsi dasar ekosistem sehingga tidak akan mengurangi fungsi layanan ekologi (ecology service). Oleh karena itu tuntutan ke arah konservasi ekosistem semakin besar karena meningkatnya ancaman terhadap kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati terutama akibat pertumbuhan jumlah penduduk, anomali iklim, pola konsumsi dan antropogenik lainnya.

Carter (1996) menjelaskan bahwa konsep pengelolaan berbasiskan masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu : (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, (2) mampu merefleksi kebutuhan–kebutuhan masyarakat local yang spesifik, (3) mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsive dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan local, (5) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.

Pengembangan persepsi sosial masyarakat yang positif perlu terus dikembangkan yaitu untuk melahirkan perilaku masyarakat yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan Persepsi sosial masyarakat yang perlu dikembangkan adalah : (1) saling menghargai dan bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat, (2) berorientasi pada peningkatan kualitas hidup, (3) menumbuhkan jiwa masyarakat yang peduli terhadap lingkungan, (4) merubah watak dan sikap individu maupun kelompok yang kurang baik, (5) menciptakan kebersamaan, (6) melestarikan nilai yang vital pada ekosistem wilayah pesisir seperti ekosistem padang lamun, terumbu karang dan mangrove, (7) mengurangi kemunduran secara ekologis maupun ekonomi dari ekosistem wilayah pesisir, dan (8) menjaga tetap dalam kapasitas kemampuan daya dukung yang maksimal.


(48)

23

Tiga kunci kegiatan diperlukan untuk menjamin efektivitas dari perlindungan ekosistem lamun: 1) membangun suatu jaringan monitoring dunia, 2) membangun model kuantitatif dugaan reaksi lamun terhadap gangguan-gangguan, dan 3) pendidikan masyarakat akan fungsi dan peranan padang lamun dan dampak-dampak dari kegiatan manusia (Duarte 2002).

Meskipun beberapa areal ekosistem pesisir termasuk areal padang lamun di Indonesia telah dimasukan ke dalam suatu kawasan lindung, namun pada kenyataan di lapangan menunjukkan banyak diantaranya yang masih mendapat tekanan yang cukup berarti. Sebagai upaya pemecahan, kini pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan instansi terkait lainnya berusaha mengembangkan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pihak, yaitu Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu atau Integrated Coastal Management (ICM).

Pengeloaan pesisir secara terpadu memerlukan justifikasi yang bersifat komprehensip dari subsistem-subsistem yang terlibat di dalamnya. misalnya implikasi terhadap lingkungan, ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam perspektif mikro maupun makro. Pembangunan hendaknya mempertimbangkan keterpaduan antar unsur ekologi, ekonomi dan sosial.

Pada lingkungan pesisir, memiliki kendala khusus dalam melihat implikasi dari suatu strategi pengelolaan, hal ini disebabkan karena adanya bermacam-macam aktivitas dan kelompok masyarakat sebagai pengguna, seperti rencana pengelolaan yang dibuat oleh pemerintah sering tidak dapat mencakup semua kepentingan masayarakat dan sebaliknya masyarakat menganggap sumber alam sebagai openacces

resources (Raharjo 1996).

Namun yang paling penting dalam pengelolaan ekosistem di dalam wilayah pesisir harus diingat, bahwa suatu ekosistem di wilayah pesisir tidak berdiri sendiri atau diantara beberapa ekosistem saling terkait baik secara biogeofisik, maupun secara sosioal-ekonomi; dan kelangsungan hidup suatu ekosistem juga sangat tergantung pada aktifitas manusia di darat yang dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, upaya konservasi dan pelestarian serta pengunaan sumber daya ekosistem lamun yang berkelanjutan memerlukan pengelolaaan secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumber daya alam jasa-jasa lingkungan pesisir


(49)

24

dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assesment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dangan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah area pesisir (stakeholder) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.

Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen 2001).


(50)

3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian adalah kawasan wisata Pantai Sanur. Waktu penelitian dimulai bulan November 2010 sampai Maret 2011. Penelitian ini diawali dengan observasi lapangan dan pengumpulan data sekunder, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan data primer pada ekosistem lamun.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi kualitas perairan (suhu, kekeruhan, pH, salinitas, kandungan oksigen terlarut, nitrat, fosfat, BOD, TSS, TOM), profil pantai, dan struktur vegetasi lamun. Sedangkan untuk data sekunder meliputi data sosial ekonomi, iklim, arus, pasang surut dan data pendukung lainnya pada daerah penelitian. Sumber data diperoleh dari Universitas Udayana, Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Intitut Pertanian Bogor, serta Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar Provinsi Bali.

3.3 Metode Pengambilan Sampel 3.3.1 Struktur Komunitas Lamun

Pengambilan data dalam perhitungan kerapatan lamun adalah transek kuadrat berukuran 50 x 50 cm2 dan transek garis sepanjang 50 – 100 meter (Gambar 2). Setelah itu di awali dengan menentukan letak dari transek garis yang telah ditentukan dan dicatat letaknya. Stasiun dimulai dari daerah yang paling dekat dengan pantai dan mencatat titik pertama dimulai dengan bantuan GPS

(Global Positioning System), sedangkan stasiun kedua, ketiga dan seterusnya

mempunyai jarak yang sama dan letaknya paralel mengikuti arah transek garis tegak lurus ke laut. Jarak antar stasiun di sesuaikan dengan tipe komunitas lamun, apabila mempunyai jenis yang beragam hendaknya jaraknya dipersempit ± 5 m, sedangkan apabila jenisnya homogen jarak yang sering digunakan 15 – 20 meter. Titik transek kuadrat sedikitnya harus dilakukan 3 kali pada tiap-tiap stasiun yang


(51)

26

letaknya tegak lurus dengan garis pantai. Pengambilan contoh titik ini akan semakin banyak pada setiap stasiunnya apabila sebaran lamun ini memanjang sampai ke laut.

Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang lamun adalah metode Transek dan Petak Contoh (Transec Plot). Metode transek dan petak contoh adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut.

Mekanisme pengukuran dengan menggunakan metode ini adalah sebagai berikut :

a. Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi padang lamun yang mewakili wilayah penelitian, dan dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona padang lamun yang terdapat di wilayah penelitian.

b. Pada setiap lokasi ditentukan stasiun – stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi penelitian.

c. Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah darat ke arah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun yang terjadi) di daerah intertidal.

d. Pada setiap transek garis, diletakkan petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 50 cm x 50 cm dengan interval 10 m ke arah laut.

e. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan lamun yang ada dan hitung jumlah individu setiap jenis.

3.3.2 Kualitas Air

Pengambilan contoh air dilakukan pada setiap stasiun sebanyak dua kali. Beberapa contoh air dianalisis dilapangan seperti parameter pH, salinitas, dan suhu. Sedangkan untuk parameter lainnya contoh air dianalisis di laboratorium Produktivitas Lingkungan Departemen MSP, FPIK IPB.


(52)

27

3.3.3 Profil Pantai

Pengukuran profil pantai dilakukan dengan cara mendirikan setiap tonggak tegak (Gambar 3). Selama pengukuran dipastikan bahwa kedua bandul yang dipasang selalu lurus supaya mendapatkan hasil pengukuran yang benar. Perbedaan ketinggian akan menyebabkan tali membentuk sudut sehingga dapat dilihat nilainya pada busur yang terpaut tonggak bagian bawah. Nilai sudut yang ditunjukkan tersebut, dicatat sebagai data untuk setiap panjang lereng sebesar 50 cm (Gambar 3).

Gambar 3. Model Alat Pengukur Kemiringan Lereng (Profiler) Gambar 2. Kuadran Pengambilan contoh


(53)

28

Kemiringan lereng gisik merupakan bagian dari aspek morfologi. Menurut Sunarto (1991), morfometri lereng dapat diperhitungkan berdasarkan sudut lereng dan panjang lereng. Sudut lereng terbagi atas lereng datar (0 – 2,9 %), lereng landai (3 – 7,9 %), lereng miring (8 – 13,9 %), lereng sangat miring (14 – 20,9 %), lereng curam (21 – 55,9 %), lereng sangat curam (56 – 140 %), dan lereng terjal (>140 %). Untuk panjang lereng diklasifikasikan menjadi sangat pendek (<15m), pendek (15 – 50m), agak panjang (51 – 250m), panjang (251 – 500m), dan sangat panjang (>500m).

Evaluasi terhadap tipologi padang lamun dilakukan melalui penggambaran terhadap distribusi, kerapatan dan penutupan jenis lamun yang diperoleh dengan menggunakan metode transek linear kuadrat berdasarkan petunjuk English et al. (1994). Lokasi penelitian dibagi dalam 3 stasiun pengamatan dimana setiap stasiun terdiri atas 3 (tiga) substasiun yang dipasang sejajar garis pantai.

3.3.4 Pengambilan substrat dan makrozoobentos

Pengambilan substrat dan makrozoobentos ini menggunakan Corer, alat

corer ditancapkan secara vertikal pada permukaan sedimen dan ditekan sampai

kedalaman 10 cm dari permukaan. Lalu diangkat dengan baik sehingga sedimen tidak tumpah dan dimasukkan ke saringan lalu diayak pelan-pelan di atas air. Organisme yang tersaring diidentifikasi atau masukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label (titik sampling).

3.3.5 Data Sosial Ekonomi dan Karakteristik Wisatawan

Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan pada beberapa instansi yang terkait seperti Badan Pusat Statistik dan Universitas Udayana. Kondisi sosial ekonomi dirasakan turut mempengaruhi kualitas lingkungan perairan pantai Sanur. Sedangkan untuk karakteristik wisatawan, responden dipilih secara acak untuk mewakili wisatawan yang berkunjung disana. Yang dinilai dari karakteristik responden adalah pemahaman akan fungsi lamun, tanggapan tentang ekosistem lamun, dan upaya dalam melestarikan ekosistem ini. Selain itu juga responden diminta untuk memberikan data pribadi berupa umur, daerah asal, pendidikan, serta biaya akomodasi selama berwisata didaerah ini.


(54)

29

3.4 Analisis Data

3.4.1 Struktur komunitas lamun

Kerapatan jenis dan kerapatan relative jenis lamun

Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu atau tegakan lamun dalam suatu unit area yang dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :

DI = ni / A Dimana :

Di = kerapatan jenis ke-i (ind/m2)

ni = jumlah total individu jenis ke-i (ind.) per transek

A = luas area total pengambilan contoh (m2) seluruh transek

Kerapatan relatif jenis lamun adalah perbandingan kerapatan mutlak jenis ke-i dan jumlah kerapatan seluruh jenis, dihitung berdasarkan petunjuk English et al.(1994) sebagai berikut :

RD = Di/∑Di x 100 Dimana :

RDi = kerapatan relative jenis ke-i

Di = kerapatan jenis ke-I (ind/m2) per transek

∑D = jumlah kerapatan seluruh jenis (ind/m2

) seluruh transek

Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis lamun

Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya jenis ke-i dalam suatu petak contoh terhadap seluruh petak contoh yang diamati, dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :

Fi = Pi/∑Pi Dimana :

Fi = frekuensi jenis ke-i

Pi = jumlah petak contoh ditemukannya jenis ke-I per transek ∑Pi = jumlah total petak contoh yang diamati seluruh transek


(55)

30

Frekuensi relative jenis lamun adalah perbandingan frekuensi jenis ke-i dengan jumlah total frekuensi jenis, dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :

RFi = Fi/∑Fi x 100 Dimana :

RFi = frekuensi relative jenis ke-i Fi = frekuensi jenis ke-I per transek

∑F = jumlah total frekuensi jenis seluruh transek Penutupan jenis dan penutupan relative jenis lamun

Perhitungan penutupan jenis lamun dilakukan berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :

Ci = ci/A Dimana :

Ci = penutupan jenis ke-i

Mi = persentase nilai tengah kelas ke-i

fi = frekuensi (jumlah tutupan kotak – kotak kecil dari jenis ke-i, yang dominan)

∑f = jumlah total frekuensi jenis ke-i

Penutupan relative jenis lamun adalah perbandingan antara penutupan jenis ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.

RCi = Ci/∑Ci x 100% Dimana :

RCi = penutupan relative jenis ke-i Ci = penutupan jenis ke-i

∑Ci = jumlah total penutupan

Indeks nilai penting jenis lamun

Indeks nilai penting digunakan untuk menghitung dan menduga peranan jenis ke-I dalam suatu komunitas. Semakin tinggi Indeks Nilai Penting jenis ke-I maka semakin tinggi jenis ke-I di dalam komunitas dan sebaliknya (English et al. 1990):

Dimana : IVi = indeks nilai penting jenis ke-i RDi = kerapatan relative jenis ke-i


(56)

31

RFi = frekuensi relative jenis ke-i RCi = penutupan relative jenis ke-i

3.4.2 Jumlah Responden

Jumlah responden ditentukan dengan memakai rumus dari Yulianda et al (2010) :

n = jumlah contoh

p = proporsi kelompok yang akan diambil contohnya q = proporsi sisa dalam populasi contoh

Z = nilai tabel Z dari ½ α dimana α = 0.05 maka

Z = 1.96 dibulatkan 2 b = Nilai kritis (10%)

3.4.3 Analisa Sebaran Karakteristik Fisik Kimia.

Variabel fisika – kimia perairan yang terdistribusi pada ekosistem padang lamun, memiliki tingkat variasi yang berbeda – beda antar antar stasiun pengamatan. Untuk melihat variasi ini pendekatan analisis yang digunakan adalah analisis statistik peubah ganda yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama

(Principal Component Analysis) (Bengen 2000). Adapun tahapan yang dilakukan

dalam analisis dengan menggunakan PCA adalah :

1. Membangun matrik data yang terdiri dari baris dan kolom, dimana stasiun pengamatan sebagai individu atau baris dan variable kualitas lingkungan sebagai kolom.

2. Menormalisasi data hasil pengukuran di lapangan dengan cara pemusatan dan pereduksian.

3. Korelasi linier antara dua parameter yang dihitung dari indek sintetik merupakan peragam (kovarian) dua parameter yang telah dinormalisasikan melalui pemusatan dan pereduksian.

4. Menggunakan pengukuran jarak euclidean yaitu jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variable yang berkorespondesi atau berhubungan. Dari

n ≥ 33

p = 135 : 1500 =0,1 q = 1- 0 = 0,9 Z = 2


(57)

32

hasil perhitungan tersebut dapat diketahui kemiripan sifat antar stasiun pengamatan dan semakin kecil jaraknya maka kemiripannya semakin besar.

3.5 Pengelolaan Ekosistem Lamun Pantai Sanur

Strategi pengelolaan ekosistem lamun dibuat berdasarkan analisa terhadap isu dan permasalahan disana serta kondisi existing yang ada. Analisa terhadap kondisi ekologi ekosistem lamun baik dari kualitas air ataupun kondisi lamun yang ada dapat dijadikan acuan dalam pembuatan strategi pengelolaan ekosistem lamun. Kondisi sosial ekonomi yang diwakili profil Desa Sanur serta pemahaman, partisipasi, pendapatan dan tingkat pendidikan wisatawan akan membantu dalam menganalisa upaya pelestarian ekosistem dan konservasi padang lamun yang ada dipantai Sanur.


(58)

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian

Pantai Sanur terletak pada Kelurahan Sanur, kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar Provinsi Bali. Selain Kelurahan Sanur pada daerah pesisir ini juga mempunyai desa-desa lain yang memiliki nama Sanur yaitu Desa Sanur Kaja dan Desa Sanur Kauh yang merupakan bagian dari wilayah kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Propinsi Bali. Pantai Sanur terletak pada 80o35’’3’’ – 80o44’’49’’ LS dan 115o10’’23’’ – 115o

4.2 Kondisi Oseanografi

Kondisi arus di perairan Pantai Sanur lebih banyak dipengaruhi oleh arus dari perairan Samudera Hindia melalui Selat Badung. Kecepatan arus sejajar Pantai Sanur berkisar antara 0,25 sampai 0,60 m/dt dengan arah arus sepanjang tahun menuju ke selatan (Bappeda Kota Denpasar 2006).

16’’27’’ BT .

Secara fisiografi kawasan Sanur merupakan bagian dari suatu daratan rendah yang terletak di bagian Tengah Selatan Pulau Bali. Daratan rendah ini dibatasi oleh deretan pegunungan ± 50 km di sebelah utara dan perbukitan kapur ± 12 km di sebelah selatan (Armadi 2005). Daerah Sanur memiliki kemiringan lereng antara 0 – 3% merupakan daerah datar sampai hampir datar dan umumnya merupakan daerah alluvial yang terdiri dari pasir, kerakal, kerikil dan batu (Chandana 2005).

Menurut hasil deskripsi cutting di daerah Sanur menunjukkan lapisan batuan sebagai berikut : pada lapisan paling atas berupa pasir berwarna coklat keabu – abuan dengan ketebalan 20 m, dibagian bawahnya tersusun oleh tufa

breksi dengan komponen batu apung berwarna coklat sampai pada kedalaman 40

m (tebal 20 m), dibagian bawahnya masih endapan batu gamping terumbu mengandung pecahan cangkang coral sampai kedalaman 43 m (tebal 3 m). Kemudian dibawahnya disusul oleh endapan tufa breksi pasiran berwarna hitam sampai kedalaman 60 m (PU, 2004). Dilihat dari tekstur tanah di Sanur yang berupa pasir maka tanah di daerah Sanur bersifat porous (mampu melakukan atau memindahkan air). Adapun karakteristik sifat tanah ditunjukkan dalam Tabel 3 berikut ini.


(59)

34

Perairan Pantai Sanur memiliki pola pasang surut campuran dominan semi diurnal. Fluktuasi pasang surut perairan adalah 0,6 meter dengan Mean Sea Level adalah 1,0 meter dan pasang tertinggi mencapai 2 meter serta pasang terendah mencapai 0,6 meter (Bappeda Kota Denpasar 2006).

Pantai Sanur secara geografis merupakan kawasan yang dipengaruhi oleh perairan laut Selat Badung dan Samudera Hindia. Perairan Pantai Sanur memiliki tinggi gelombang berkisar antara 0,5 – 1,4 meter dengan periode gelombang berkisar antara 10 – 30 detik dan panjang gelombang berkisar antara 12 – 18 meter (Bappeda Kota Denpasar 2006).

Kondisi oseanografi lokasi penelitian seperti yang digambarkan diatas mengindikasikan bahwa pantai Sanur memiliki kondisi oseanografi yang memungkinkan untuk ditumbuhi lamun. Ekosistem padang lamun yang ada didaerah ini sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti arus, gelombang, dan pasang surut. Arus sebagai agen geomorfik membawa nutrient dari daratan atau ekosistem sekitarnya untuk mendukung kelangsungan hidup lamun, selain itu juga lamun adalah faktor terpenting dalam flushing-rate suatu perairan yang berfungsi sebagai media untuk sirkulasi air. Gelombang dengan tinggi dan frekuensi yang kecil memungkinkan kawasasan ini dijadikan kawasan wisata favorit di Pulau Bali. Gelombang membantu proses aerasi dalam memperkaya kandungan oksisgen perairan yang sangat dibutuhkan oleh biota yang ada pada perairan ini. Gelombang yang ada pada daerah ini tidak setinggi pada daerah Bali yang lain, Pantai Kuta yang terkenal dengan gelombangnya yang besar memiliki daya tarik yang lain untuk wisatawan mancanegara.

4.3 Kondisi Sosial Pesisir Sanur

Penduduk pesisir Pantai Sanur menggantungkan hidupnya pada sumberdaya yang ada pada daerah tersebut. Kegiatan perdagangan dan industri mendominasi kegiatan ekonomi didaerah ini. Kegiatan tersebut pasti menghasilkan limbah yang bermuara pada daerah pantai Sanur. Kebanyakan industri pada daerah ini berskala kecil, hal ini berdampak pada instalasi pengelolaan limbah yang sering diabaikan oleh masyarakat sekitar. Selain itu dapat dilihat bahwa di sektor perikanan masih banyak juga masyakarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya


(60)

35

pesisir. Untuk kegiatan pertanian dan peternakan walaupun tidak berdampak langsung terhadap pantai Sanur, akan tetapi pembukaan lahan pada daerah tinggi disekitar pantai Sanur akan berimplikasi pada kualitas perairan karena tingkat sedimantasi dapat menurunkan kualitas air disekitar pantai Sanur.

4.4 Kondisi Iklim Perairan Pantai Sanur

Iklim kawasan pantai Sanut termasuk dalam kategori iklim tropis yang mengalami perubahan setiap 6 (enam) bulan baik dari musim hujan ke musim kemarau maupun sebaliknya. Musim kemarau dipengaruhi oleh angin Timur, berlangsung dari bulan April hingga bulan Oktober, sedangkan musim hujan dipengaruhi dari bulan April hingga bulan Oktober, sedangkan musim hujan dipengaruhi oleh angin Barat berlangsung oleh massa udara continental Australia, sedangkan musim hujan dipengaruhi oleh massa udara continental Asia dan Pasifik yang melalui lautan. Faktor – faktor ini akan mengendalikan siklus alami yang berpengaruh terhadap kepariwisataan.

Curah hujan di kawasan pariwisata Sanur cukup bervariasi dalam tiap – tiap bulannya. Hal ini disebabkan adanya angin Barat yang bertiup pada bulan Oktober – April dan angin Timur yang bertiup pada bulan April – Oktober. Rata – rata hujan pada bulan April sampai September akan menurun karena dipengaruhi oleh angin Timur yang bersifat kering, sedangkan rata – rata hujan pada bulan Oktober – April cukup tinggi karena dipengaruhi oleh angin Barat yang bersifat basah.

Suhu udara dapat di uraikan dalam beberapa kategori yaitu temperature rata – rata, temperature maksimum rata – rata temperature minimum rata – rata, temperatur minimum absolut, temperature maksimum absolut. Temperatur maksimum rata – rata berkisar antara 26.2 OC – 28.1 OC; temperature maksimum rata – rata berkisar antara 29.5 OC – 31.8 OC; temperature minimum rata – rata berkisar antara 23.6 OC – 25.0 OC; temperature minimum absolute berkisar antara 18.4 OC – 22.4OC dan temperature maksimum absolute berkisar antara 31.4 OC – 34.4OC (Sidarta 2002).


(61)

36

4.5 Kondisi Fisik Perairan Pantai Sanur

Kawasan wisata Sanur merupakan kawasan transisi antara darat dan laut yang menghampar sepanjang garis pantai termasuk zona pembatas sempit yang kebanyakan berhabitat pasang surut. Kawasan ini juga bermuatan hunian manusia dengan segala aktifitas kegiatan yang dilakukan.

Umumnya kawasn pariwisata Sanur merupakan gisik (daratan yang terbentuk oleh pasir – pasir endapan gelombang laut), mengarah ke daratan merupakan pasir berdebu yang terbentuk oleh endapan aluvial, formasi palasau, kapur miosen dan formasi ulakan yang langsung berhadapan dengan laut. Kondisi pada dataran rendah meliputi endapan aluvial dataran vulkanik dan sedimen, pantai sungai dan rawa, berupa pasir lempung dan lanau. Pasir bersifat lepas dan lempung pasiran bersifat lunak. Batuan vulkanik berupa tufa yang bersifat agak lepas batuan sedimen terdiri dari konglomerat, dan batu pasir bersifat agak kompak. Namun kawasan pariwisata Sanur memiliki jenis tanah bertekstur kasar, yaitu terdiri dari lumpur lempung, lumpur pasiran, dan lanau yang memiliki sifat meresapkan air lebih baik, sehingga pembentukan air tanah yang berlangsung lebih cepat. Jenis tanah dicirikan oleh warna abu – abu muda kecoklatan, bersifat agak lepas – lepas dengan ukuran butir lempeng pasir dengan ketebalan umumnya kurang dari 1 meter (Sidarta 2002).


(62)

37

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Sanur merupakan laguna dari sistem terumbu tepi selatan pulau Bali yang terbentang lebih dari 8 km. Pada beberapa tempat lebar laguna bisa mencapai 700m. Substrat dasar laguna terbentuk ari akumulasi cangkang foraminifera serta materi biogenik lainnya. Dasar laguna ditumbuhi oleh delapan jenis lamun yang membentuk hamparan lamun yang luas. Bagi masyarakat setempat, pantai Sanur memiliki peranan yang sangat penting, selain tempat pariwisata, nelayan setepat juga memanfaatkan pantai sanur sebagai tempat mencari ikan, udang dan kerang - kerangan yang dipanen langsung dari padang lamun tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

5.1.1 Pantai Segara Agung, Mertasari (Stasiun A)

Wilayah pesisir Pantai Segara Agung ini merupakan pantai yang relatif jauh dari aktifitas penduduk. Di lokasi ini hanya di temukan hamparan pantai pasir putih. Tipe substrat dasar perairan pesisir Segara Agung di dominasi oleh tesktur pasir. Padang lamun yang ada di perairan ini cukup luas kea arah laut (Lampiran 1).

5.1.2 Pantai Hotel Grand Bali Beach (Stasiun B)

Lokasi ini berjarak 1 km dari pantai Segara Agung. Pantai pada lokasi penelitian disini merupakan pantai yang dengan orang – orang tertentu yang beraktifitas disni, khususnya pengunjung dan karyawan hotel saja. Tipe subtrat di lokasi ini masih di dominasi oleh tekstur pasir. Di pantai ini juga ada bangunan – bangunan yang menjorok ke pantai yang di fungsikan untuk pengunjung menikmati matahari terbit. Gambar lokasi dapat dilihat pada (Lampiran 1).

5.1.3 Pantai Matahari Terbit (Stasiun C)

Pantai Matahari Terbit merupakan pantai umum di Sanur dimana wisatawan domestik maupun mancanegara datang untuk menikmati matahari terbit sebagai salah satu icon utama di pantai Sanur ini. Disni banyak sekali kegiatan manusia seperti berenang, bermain di pantai, para penjual kaki lima dan


(63)

38

perahu – perahu kecil untuk wisatawan. Tipe substrat di pantai ini masih di dominasi oleh tekstur pasir (Lampiran 1).

5.2 Struktur Komunitas Lamun

5.2.1 Nilai Kerapatan Spesies Lamun di Pantai Sanur

Jenis lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian berjumlah enam spesies yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata,

Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Syringodium isoetifolium. Pada ketigas

stasiun ini , dibagi menjadi 3 sub stasiun pada masing – masing stasiun. Pada stasiun A, nilai tertinggi terdapat pada titik A3 dimana dimiliki oleh spesies

Cymodocea rotundata dengan jumlah tertinggi 67,50 individu/m2

Pengunjung yang datang pada daerah ini sebatas pengunjung yang beraktivitas sekitar hotel tersebut. Sedangkan untuk stasiun C dimana terdapat pantai untuk umum. Aktivitas manusia disana sangat banyak, mulai dari renang, berjualan, perahu, mancing, dan kegiatan wisata bahari lainnya sangat banyak, akibatnya lingkungan yang ada disana kurang mendukung lamun untuk

, diikuti oleh jenis Syringodium isoetifolium pada A3 , Halodule uninervis pada A3,

Cymodocea serrulata pada A1, Halophila ovalis pada A3dan kemudian Enhalus

acoroides pada A3. Untuk stasiun B, pada masing – masing sub stasiunnya, nilai

tertinggi di dapatkan oleh jenis Cymodocea rotundata di B2, disusul oleh

Cymodocea serrulata di B2, Enhalus acoroides di B1, Halophila ovalis di B2dan

terakhir Syringodium isoetifolium di B2 dan B3.Selanjutnya untuk stasiun C, dalam tiap sub stasiunya nilai tertinggi didapati oleh spesies jenis Cymodocea

rotundata di C2, kemudian disusul spesies Enhalus acoroides di C1, Cymodocea

serrulata di C1, Halophila ovalis di C1, untuk spesies Syringodium isoetifolium

dan Halodule uninervis tidak ditemukan di stasiun C (Gambar 4). Perbedaan

jumlah individu pada masing-masing stasiun diakibatkan oleh perbedaan karakteristik perairan dan kondisi oseanografi lokasi penelitian. Pada stasiun A dimana kurang kegiatan antropogenik, lamun dapat tumbuh subur karena didukung lingkungan perairan yang baik. Sedangkan untuk stasiun B yang lokasinya tepat di belakang Hotel Grand Bali Beach lamun yang ada disana masih terpelihara dengan baik karena aktivitas manusia pada daerah ini masih terbatas.


(1)

Lampiran 6. Perhitungan Kelimpahan Biota

nama spesies

jumlah

individu kelimpahan/25m2

BIOTA A Strombus labiatus 2 0,0008

diadema setosum 1 0,0004

upenus tragula 3 0,0012

Protoreaster nodosus 5 0,002

Tripneustes gratilla 1 0,0004

Cerithium tenellum 6 0,0024

Bohadschia argus 5 0,002

pyrene versicolor 3 0,0012

Archaster tipicus 2 0,0008

anadara scapha 3 0,0012

Cymbiola vespertilio 2 0,0008

Hippocampus bargibanti 1 0,0004

Mactra patagonica 3 0,0012

S. luhuanus 1 0,0004

Palaemonella sp 1 0,0004

TOTAL 39 0,0156

BIOTA B Protoreaster nodosus 4 0,0016

Cerithium tenellum 2 0,0008

Mactra patagonica 1 0,0004

Bohadschia argus 2 0,0008

Archaster tipicus 3 0,0012

pyrene versicolor 3 0,0012

Cymbiola vespertilio 1 0,0004

S. luhuanus 1 0,0004

diadema setosum 1 0,0004

anadara scapha 2 0,0008

Hippocampus bargibanti 2 0,0008

Strombus labiatus 2 0,0008

BIOTA C Bohadschia argus 1 0,0004

Cerithium tenellum 3 0,0012

Mactra patagonica 2 0,0008

Protoreaster nodosus 4 0,0016

pyrene versicolor 2 0,0008

Cymbiola vespertilio 3 0,0012

Archaster tipicus 1 0,0004

diadema setosum 2 0,0008


(2)

Lampiran 7. Kemiringan Lereng Stasiun A

Stasiun B


(3)

Lampiran 8. Kawasan penelitian Pantai Sanur Denpasar Bali

Stasiun A (Mertasari)


(4)

Stasiun C (Pantai Umum Sanur)


(5)

Bahan dan Alat untuk pengambilan sampel kualitas air


(6)

Contoh pengambilan sample kuadran