79
BAB IV PENERAPAN SITA UMUM TERHADAP ASET BADAN USAHA MILIK
NEGARA PERSERO PAILIT
A. Kepailitan Sebagai Sita Umum
1. Sejarah hukum kepailitan
Sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 masa yaitu, masa sebelum Faillisements Verordening berlaku, masa berlakunya
Faillisements Verordening itu sendiri, dan masa berlakunya Undang-Undang
Kepailitan yang sekarang ini.
143
Sebelum berlaku Faillisements Verordening FV, dahulu hukum kepailitan itu diatur dalam dua tempat, yaitu:
a. Wet Book van koophandel selanjutnya disingkat dengan Wvk, buku ketiga
berjudul “van Onvormogen van kooplieden” atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi
pedagang. b.
Reglement op de Rechtvoordering Rv S. 1847-52 bsd 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul “van den staat Von Kenneljk
Onvermogen ” atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.
Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya, kedua aturan tersebut
justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah: a.
Banyak formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya. b.
Biaya tinggi.
143
Rayu Hartini, Hukum Kepailitan, Edisi Revisi Malang: UMM Press, 2006, hlm. 9- 14.
Universitas Sumatera Utara
80
c. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan.
d. Perlu waktu yang cukup lama.
144
Oleh karena itu, maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening S. 1905-217 untuk
menggantikan 2 dua peraturan kepailitan tersebut.
145
Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Fv S.1905-217 jo. S. 1906- 348. Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropa ,
golongan Cina, dan golongan Timur Asing. Bagi golongan Indonesia asli pribumi dapat saja menggunakan FV ini dengan cara melakukan penundukan
diri. Dalam masa ini untuk kepailitan berlaku Fv 1905-217 yang berlaku bagi semua orang, yaitu baik bagi pedagang, baik perserorangn maupun badan
hukum.
146
Jalannya sejarah peraturan kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan dengan apa yang terjadi di negara Belanda dengan melalui asas konkordansi
Pasal 131 IS, yakni dimulai dengan berlakunya “Code de Commerce” Tahun 1811-1838 kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893
yang berlaku pada 1 September 1896.
147
Pada akhirnya setelah berlakunya Faillisements Verordening, Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan, yakni sudah ada tiga peraturan
perundangan yang merupakan produk hukum nasional. Dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
144
HMN. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 8, Perwasiatan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
dalam Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga lembaga Arbitrase
Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 66.
145
Ibid,
146
Ibid,
147
Ibid, hlm. 67
Universitas Sumatera Utara
81
Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian digantikan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
148
Berdasarkan sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, seharusnya paling lambat tanggal 9 September 1999,
pemerintah sudah harus menyampaikan RUU tentang Kepailitan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Namun
demikian, amandemen ini baru dapat dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2004 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
149
2. Dasar umum filosofi hukum kepailitan
Di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, di samping hak menagih vorderingsrecht, apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar
utangnya, maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur, sebesar piutangnya kepada debitur itu verhaalstrecht.
150
Apabila seorang debitur, mengabaikan atau mengalpakan kewajiban dan karena itu ia melakukan cacat
prestasi, maka krediturnya dapat menuntut pemenuhan prestasi. Menuntut ganti rugi pengganti kedua-duanya ditambahkan dengan kemungkinan penggantian
kerugian selanjutnya. Jika menghadapi suatu persetujuan timbal balik, maka sebagai gantinya kreditur dapat menuntut pembatalan persetujuan plus ganti
rugi.
151
148
Ibid, hlm. 67.
149
Sunarmi, Hukum Kepailitan Medan: USU Press, 2009, hlm. 15.
150
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm 9.
151
F. Tengker, Hukum Suatu Pendekatan Elementer, dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan Medan: USU Press, 2009, hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
82
Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan oleh hukum untuk menyelesaikan utang piutang di antara debitur dan kreditur. Filosofi
hukum kepailitan adalah untuk mengatasi permasalahan apabila seluruh harta debitur tidak cukup untuk membayar seluruh utang-utangnya kepada seluruh
krediturnya. Hakikat tujuan adanya kepailitan adalah proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitur terhadap para krediturnya.
Kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitur yang nantinya merupakan harta pailit secara pasti dan adil. Kepailitan
merupakan exit from financial distress yaitu suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit yang secara financial sudah tidak bisa diselesaikan. Undang-Undang
Kepailitan khususnya tidak membicarakan persoalan mengenai apakah debitur dapat dimintai pertanggungjawaban atas kekayaan finansialnya.
152
Undang-undang kepailitan berbicara secara netral tentang kepailitan menyangkut debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar. Undang-
undang kepailitan tidak membicarakan mengapa seorang jatuh bangkrut. Undang- undang kepailitan tidak membedakan antara seoarang yang pailit karena
melakukan penipuan atau jatuh pailit di luar kesalahannya. Undang-undang kepailitan hanya mengatur bahwa pada saat ditagih orang tersebut tidak
membayar utangnya.
153
Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal
1131 KUH Perdata menentukan bahwa semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seoarang debitur, baik yang sekarang ada, maupun yang akan diperolehnya,
152
MR. J.B. Huizink, Insoventie, ahli bahasa Linus Dolujawa, dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan
Medan: USU Press, 2009, hlm. 16.
153
Ibid, hlm.17.
Universitas Sumatera Utara
83
menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan pribadinya. Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa benda-benda itu dimaksudkan sebagai jaminan bagi para
krediturnya bersama-sama dan hasil penjualan atas benda-benda itu akan dibagi diantara mereka secara seimbang, menurut imbangan tagihan-tagihan mereka,
kecuali bilamana diantara mereka atau para kreditur terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah.
154
3. Pengertian kepailitan sebagai sita umum
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas. Dari rumusan ini, tampak bahwa inti dari kepailitan adalah sita umum beslaag atas kekayaan debitur. Sita umum yang dimaksud dalam
kepailitan adalah rangkaian penyitaan yang meliputi seluruh harta kekayaan Debitur Pailit sejak putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan. Sita umum mengakhiri sita dan eksekusi sendiri- sendiri yang dilakukan oleh para Kreditur sehingga para kreditur harus tunduk
secara bersama-sama concursus creditorum. Maksud dari penyitaan ini agar semua kreditur mendapat pembayaran yang seimbang dari hasil pengelolaan aset
yang disita.
155
Hal yang menarik dalam penyelesain sengketa lewat pranata hukum kepailitan adalah aset yang disita dikelola atau dalam bahasa UU KPKPU
disebutkan pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator. Pasal 1 butir 5 UU KPKPU menyebutkan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang
perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan
154
Ibid, hlm. 18.
155
Sentosa Sembiring, Op.Cit, hlm. 241.
Universitas Sumatera Utara
84
harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.
156
Jadi selama debitur tersebut masih menjadi debitur pailit maka kuratorlah yang berperan dalam
pengurusan harta debitur, sampai dicabutnya pernyataan pailit debitur tersebut oleh pengadilan.
4. Syarat kepailitan
Dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 1 UU KPKPU, debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonanya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Jika dicermati Pasal 2 ayat 1 UU KPKPU tersebut, tampaknya pembentuk undang-undang berupaya merumuskan suatu kriteria, apa persyaratan yang harus
dipenuhi jika seseorang hendak dinyatakan pailit atau ingin dipailitkan. Adapun kriteria yang harus dipenuhi, yakni debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan
tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
157
Rumusan utang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6 UU KPKPU, utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam
mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberihak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
debitur. Sedangkan pengerti kreditur dijabarkan dalam Pasal 1 butir 2 UU KPKPU, bahwa kreditur adalah orang-orang atau badan hukum yang mempunyai
156
Ibid,
157
Sentosa Sembiring, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
85
piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU KPKPU tersebut, dapat diketahui bahwa pihak yang berhak mengajukan permohonan pailit adalah
kreditur dan debitur. Selain itu, dalam UU KPKPU dikemukakan, untuk bidang usaha tertentu yang berhak mengajukan permohonan pailit adalah lembaga yang
ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Dalam hal debitur
adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit haya dapat
diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Perusahaan asuransi, perusahaan re- asuransi, dana pensiun, permohonan pernyataan pailit haya dapat diajukan oleh
Menteri Keuangan. Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka tugas Bank Indonesia, Badan
Pengawas Pasar Modal dan Menteri Keuangan sebagai pihak yang mengajukan permohonan pailit tersebut beralih ke Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disebut
OJK. Sedangkan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Serta
permohonan pernyataan pailit dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
158
5. Pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dijatuhi
158
Republik Indonesia Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 2 ayat 2, 3, 4, 5.
Universitas Sumatera Utara
86
keputusan kepailitan. Debitur di sini dapat terdiri dari orang atau badan pribadi maupun badan hukum, maka berdasarkan hal tersebut pihak-pihak yang bisa
dinyatakan pailit adalah;
159
a. Orang atau badan pribadi.
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yang disebut orang. Orang menurut konsep hukum terdiri atas manusia dan badan hukum.
Manusia adalah subjek hukum menurut konsep biologis, sebagai gejala alam, sebagai makhluk budaya ciptaan Tuhan yang dilengkapi dengan
akal, perasaan, dan kehendak.
160
b. Debitur yang telah menikah.
Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitur yang menikah, harus ada persetujuan suami atau istrinya, apabila di antara mereka ada
percampuran harta.
161
Lebih lanjut dalam Pasal 119 KUH Perdata menyebutkan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum
berlakulah persatuan bulat antara kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Oleh
karena itu, bagi mereka yang menikah berdasarkan KUH Perdata, untuk mengajukan permohonan pailit haruslah ada persetujuan dari suami atau
istrinya kecuali di antara mereka ada perjanjian perkawinan.
162
c. Badan-badan usaha dan badan hukum
159
Rahayu Hartini, Op.Cit, hlm. 93.
160
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 23.
161
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 3 dan Pasal 4.
162
R. Soebekti, Aneka Perjanjian, Cetakan IV Bandung: Alumni, 1987, hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
87
Badan hukum sebagai subjek hukum yang mempunyai kekayaan terpisah dari kekayaan perseronya dapat juga dinyatakan pailit. Dengan pernyataan
pailit, organ badan hukum tersebut akan kehilangan hak untuk mengurus kekayaan badan hukum. Pengurus hrta kekayaan badan hukum yang
dinyatakan pailit beralih pada kuratornya. Oleh karena itu, menurut ketentuan Pasal 24 UU KPKPU, gugatan hukum yang bersumber pada hak
dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan pada kuratornya.
163
Dalam hal permohonan pernyataan pailit ditujukan kepada badan usaha yang tidak berbadan hukum maka, permohonan pailitnya
bukan ditujukan kepada badan usahanya tetapi kepada orang pribadi sebagai pengurus badan usaha tersebut.
d. Harta warisan.
Dalam UU KPKPU, bahwa pengajuan permohonan pernyataan pailit harus diajukan kepada pengadilan paling lambat 90 sembilan puluh hari setelah
debitur meninggal. Dan putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan
ahli warisnya. Dalam kepailitan harta warisan tidak berlaku adanya perdamaian, kecuali apabila warisannya telah diterima oleh ahli waris
secara murni.
164
B. Kepailitan Badan Usaha Milik Negara Persero